Ikhlas
Ikhlas adalah keadaan jiwa mengkhususkan Allah sebagai tujuan dalam beramal, tidak ada tujuan selain-Nya. Ikhalas timbul dalam hati dilandasi jiwa tauhid dan terstimulasi oleh kecintaan kepada-Nya. Karena ikhlas didorong dan ditarik, maka orang ikhlas akan merasa ringan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sehingga apa yang dilakukannya pun akan bernilai dan berkualitas. Perbuatan ibadah yang dilakukan bukan karena pamrih, tetapi karena cinta. Karena itu Allah hanya memerintahkan ibadah kepada-Nya dengan ikhlas. Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدٍّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِيْنُ اْلقَيٍّمَةِ. (البينة: 5)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah: 5)
Dalam ketulusan (ikhlas) sudah tentu ada ingat (dzikir) bersama cinta (mahabbah), rindu (Syauq) dan kedekatan (Qurbah). Maka ikhlas tentu akan menentramkan jiwa, membahagiakan dan membuatnya ridha. Keikhlasan dalam jiwa akan tampak pada konsistensi (istiqâmah) dalam beribadah, tidak banyak mengeluh dan selalu energik sebagai manipestasi dari akhlak sabar dan syukur. Menurut Dzu Nun al-Misri tiga di antara tanda ikhlas adalah: sama antara pujian dan celaan dari orang-orang, lupa dari melihat perbuatan dalam berbuat, dan dari menuntut pahala perbuatan di akhirat.[1]
Ikhlas tidak akan muncul dalam hati disebabkan terkontaminasinya dengan kotoran-kotoran riya. Riya terkadang mencampuri tujuan ibadah tanpa terasa, hingga menyebabkan tidak adanya ikhlas. Maka Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “berbahagialah orang yang suatu langkahnya benar, ia tidak menginginkan dengan langkah itu, kecuali Allah.[2]
[1] Abu al-Qasim al-Qusyairi, Ar-Risâlah Al-Qusyairiyah, (Al-Haramain, tt), hlm. 208.
[2] Imam al-Ghazali, Kitab al-Arba’în Fî Ushûl ad-Dîn, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah), hlm. 166.
Post a Comment