BREAKING NEWS

Watsapp

Showing posts with label FIQIH THOHAROH. Show all posts
Showing posts with label FIQIH THOHAROH. Show all posts

Friday, October 11, 2024

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN PASAL MASALAH MASALAH YG TERSEBAR { PRENCO PRENCO / PISAH} PART 16 YANG MEMBATALKAN WUDLU 0⃣2⃣

 TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN

PASAL MASALAH MASALAH YG TERSEBAR { PRENCO PRENCO / PISAH}


PART 16

YANG MEMBATALKAN WUDLU 0⃣2⃣



مسار الصفحة الحالية:

فهرس الكتاب فصل في مسائل منثورة

  ------------------------------------

ثمَّ نزلُوا المظنة منزلَة المئنة ، ثمَّ جعلُوا نفس النّوم على هَذِه الْهَيْئَة ناقضا وَإِن تَيَقّن عدم خُرُوج شَيْء من دبره


Kemudian mereka menyamakan posisi yang memungkinkan dengan keadaan yang menunjukkan keluarnya sesuatu, dan mereka menjadikan tidur dalam posisi ini membatalkan wudu meskipun yakin tidak ada sesuatu yang keluar dari duburnya.



 كَمَا لَو أخبرهُ مَعْصُوم بِأَنَّهُ لم يخرج مِنْهُ شَيْء أَو كَانَ الْمحل مسدودا بِمَا لَا يُمكن مَعَه خُرُوج شَيْء

 

"Seperti halnya jika seseorang yang ma'shum (terjaga dari kesalahan) memberitahukannya bahwa tidak ada sesuatu yang keluar darinya, atau tempat tersebut tertutup sedemikian rupa sehingga tidak mungkin sesuatu keluar darinya.


وَعلم مِمَّا ذكر أَن الْقبل لَا يجب تَمْكِينه وَإِن احْتمل خُرُوج ريح مِنْهُ لِأَن ذَلِك نَادِر

 

Dan diketahui dari apa yang telah disebutkan bahwa (udara) yang keluar dari depan (kemaluan) TIDAK WAJIB dipedulikan ( yang memungkinkan kemaluan depan tetap menempel pada tempat duduknya ) meskipun memungkinkan adanya udara yang keluar dari sana, karena hal itu jarang terjadi.


 بل قَالُوا لَا يضر وَإِن كَانَ من عَادَته خُرُوج الرّيح من قبله


 Bahkan, mereka mengatakan bahwa TIDAK BERBAHAYA meskipun sudah menjadi kebiasaan seseorang keluarnya udara dari depan (kemaluan)-nya."


نعم إِن تَيَقّن خُرُوج شَيْء من قبله انْتقض وضوؤه


Tentu, jika seseorang YAQIN bahwa ada sesuatu yang keluar dari KEMALUAN depannya, maka wudhunya BATAL.


وَلَو نَام مُمكنا وزالت إِحْدَى ألييه أَو سقط ذراعه على الأَرْض فَلهُ أَربع حالاتn , فَإِن كَانَ ذَلِك قبل انتباهه يَقِينا انْتقض وضوؤه أَو بعده أَو مَعَه أَو شكّ فَلَا


Dan jika seseorang tidur dengan tetap menempelkan pantatnya (dalam posisi stabil), lalu salah satu pantatnya terangkat atau lengannya jatuh ke tanah, maka ada 

4⃣empat kondisi: 

1⃣jika hal itu terjadi sebelum ia terjaga dengan yakin, maka wudhunya batal; atau setelahnya; atau 

2⃣bersamaan dengannya IA TERJAGA ; atau

3⃣ jika ia ragu, maka tidak batal.


وَلَو شكّ هَل كَانَ مُتَمَكنًا أم لَا فَلَا نقض


4⃣Dan jika seseorang ragu apakah ia dalam posisi stabil saat tidur atau tidak, maka wudhunya tidak batal.


وَلَا ينْقض النعاس لِأَنَّهُ أخف من النّوم لِأَن سَبَب النّوم ريح تَأتي من قبل الدِّمَاغ فتغطي الْقلب


"Kantuk tidak membatalkan (sesuatu) karena kantuk lebih ringan daripada tidur. Sebab tidur adalah hasil dari angin (udara) yang datang dari otak, yang menutupi hati. 


 فَإِن لم تصل إِلَى الْقلب بل غطت الْعين فَقَط كَانَ نعاسا

 Jika angin tersebut tidak mencapai hati, tetapi hanya menutupi mata saja, maka itu disebut kantuk.


وَمن عَلَامَات النّوم الرُّؤْيَا وَمن عَلَامَات النعاس سَماع كَلَام الْحَاضِرين مَعَ عدم فهمه.



Di antara tanda-tanda tidur adalah mimpi, sedangkan di antara tanda-tanda kantuk adalah mendengar pembicaraan orang yang hadir tetapi tidak memahaminya. 


 فَلَو رأى رُؤْيا علم أَن ذَلِك نوم , وَلَو شكّ هَل نَام أَو نعس وَأَن الَّذِي خطر بِبَالِهِ رُؤْيا أَو حَدِيث نفس فَلَا نقض


Jika seseorang melihat mimpi, dia tahu itu adalah tidur. Namun, jika dia ragu apakah dia tidur atau hanya mengantuk, dan apa yang ada dalam pikirannya adalah mimpi atau bisikan diri, maka itu tidak membatalkan (sesuatu)."


(و) ثَالِثهَا (مس فرج آدَمِيّ) وَهُوَ قبله وَلَو مَحل الْجب

أَو ذكرا أشل وحلقة دبره من نَفسه أَو غَيره وَلَو مَعَ التوافق فِي الذُّكُورَة أَو الْأُنُوثَة.


"Dan yang

🔷 3⃣ ketiga (hal yang MEMBATALKAN WUDLU) adalah menyentuh KEMALUAN MANUSIA, baik kemaluannya SENDIRI, maupun ORANG LAIN, meskipun hanya KULIT TIPIS (seperti lapisan pelindung), atau KEMALUAN YANG CACAT, atau LUBANG DUBUR dari dirinya sendiri atau orang lain, bahkan jika ada KESAMAAN dalam jenis kelamin (antara SESAMA LAKI - LAKI atau antara SESAMA PEREMPUAN).



 وَالْمرَاد بفرج الْمَرْأَة الشفران من أَولهمَا إِلَى آخرهما وَمن ذَلِك مَا يظْهر عِنْد جلوسها على قدميها


Yang dimaksud dengan KEMALUAN WANITA adalah kedua bibir kemaluan (labia) dari awal hingga akhirnya, termasuk KEMALUAN WANITA bagian yang terlihat ketika dia duduk dengan kedua kakinya."


وَالظَّاهِر أَن من ذَلِك مَا يظْهر عِنْد الاسترخاء الْمَطْلُوب فِي الِاسْتِنْجَاء , 


👉"Dan yang TAMPAK dari KEMALUAN WANITA adalah mencakup bagian yang TERLIHAT saat rileks, yang diperlukan dalam proses istinja' (membersihkan diri setelah buang air besar atau kecil), 


وَمثل ذَلِك مَا يقطع فِي الْخِتَان مِنْهَا حَال اتِّصَاله وَلَو بارزا ,


serta bagian yang dipotong dalam khitan (sunat) saat masih menyatu, meskipun tampak menonjol. 


وَالْمرَاد بِحَلقَة الدبر ملتقى منفذه, فَمَا عدا ذَلِك كُله لَا نقض فِيهِ بالمس .


👉Yang dimaksud dengan LINGKARAN DUBUR adalah tempat bertemunya lubang keluarnya, jadi BAGIAN LAINYA tidak membatalkan wudhu dengan menyentuhnya.


فَلَا نقض بِمَسّ الْأُنْثَيَيْنِ وَلَا بِمَسّ الْعَانَة (بِبَطن كف) ,


📌Tidak membatalkan wudhu dengan menyentuh DUA TESTIS atau dengan menyentuh bulu kemaluan (DENGAN TELAPAK TANGAN),


وَهِي رَاحَة مَعَ أَصَابِع وَلَو من يَد شلاء من غير حَائِل سَوَاء كَانَ الْآدَمِيّ ذكرا أَو أُنْثَى بلغ حد الشَّهْوَة أم لَا عمدا أَو سَهوا طَوْعًا أَو كرها وَلَو بِلَا قصد وَلَا فعل.


TELAPAK TANGAN yaitu telapak dengan jari-jarinya, meskipun dari tangan yang cacat, tanpa penghalang, baik orang itu laki-laki atau perempuan, baik telah mencapai batas syahwat atau tidak, baik disengaja atau tidak, suka atau terpaksa, bahkan tanpa niat dan tanpa adanya tindakan.


 مُتَّصِلا كَانَ الْفرج أَو مُنْفَصِلا , وَكَانَ بِحَيْثُ يُطلق عَلَيْهِ اسْم الْفرج , وَلَو نبت على بَاطِن الْكَفّ شعر كثير , لَا يعد حَائِلا بل ينْقض الْمس بِهِ .

 

 Apakah KEMALUAN itu tersambung atau terpisah, jika masih disebut KEMALUAN, dan meskipun ada banyak rambut yang tumbuh di bagian DALAM TELAPAK TANGAN, itu tidak dianggap sebagai penghalang, tetap membatalkan WUDLU dengan menyentuhnya. 

 

 ثمَّ عِنْد مس الْقبل , إِن كَانَ كل من الماس والممسوس, وَاضحا , فَالْأَمْر وَاضح, وَكَذَا إِن كَانَ الماس مُشكلا والممسوس وَاضحا.


Kemudian ketika menyentuh KEMALUAN, jika kedua pihak, baik yang menyentuh maupun yang disentuh, JELAS ( JENIS KELAMINNYA), maka urusannya JELAS (BATAL ), dan demikian pula jika yang menyentuh tidak jelas ( KHUNSA) dan yang disentuh JELAS ."

وَأما عكس هَذِه وَهِي أَن يكون الماس وَاضحا والممسوس مُشكلا فَإِن مس الآلتين جَمِيعًا فَالْأَمْر ظَاهر.

Adapun kebalikan dari ini, yaitu jika yang menyentuh jelas (PRIA / WANITA) dan yang disentuh tidak jelas ( KHUNSA ), maka jika kedua alat KELAMIN DEPAN MILIK KHUNSA tersentuh semuanya, masalahnya sudah jelas ( BATAL ).

 وَإِن مس إِحْدَاهمَا فَإِن كَانَ مثل مَا لَهُ مَعَ فقد الْمَحْرَمِيَّة والصغر انْتقض الْوضُوء جزما , 

 Namun, jika hanya salah satu dari keduanya ( ALAT KELAMIN KHUNSA ) yang disentuh, maka jika yang disentuh adalah sesuatu yang serupa dengan yang menyentuh dari segi jenis kelamin (laki-laki atau perempuan), maka wudhu menjadi BATAL dengan PASTI, 

 👉 CONTOH : wanita menyentuh salah satu alat kelamin wanita khunsa.

Atau pria menyentuh alat kelamin prianya Khunsa.

 لِأَن الممسوس إِن كَانَ مثل الماس ذكورة أَو أنوثة فقد حصل مس.

karena yang disentuh, jika jenis kelaminnya sama dengan yang menyentuh (laki-laki atau perempuan), maka telah berhasil terjadi sentuhan. 

 وَإِن لم يكن مثله فقد لمس .

Jika jenis kelaminnya berbeda, maka itu dianggap menyentuh. 

وَإِن كَانَ غير مَا لَهُ أَو مثله مَعَ الْمَحْرَمِيَّة أَو الصغر فَلَا نقض ,

Tetapi, jika yang disentuh adalah sesuatu yang bukan serupa dengan yang menyentuh atau serupa dengan adanya hubungan mahram atau usia kecil, maka wudhu tidak batal,

لاحْتِمَال توافقهما فِي الذُّكُورَة أَو الْأُنُوثَة فِي الأولى ولوجود الْمَحْرَمِيَّة أَو الصغر فِي الثَّانِيَة.

 karena ada kemungkinan bahwa keduanya serupa dalam jenis kelamin dalam kasus pertama, dan karena adanya hubungan mahram atau usia kecil dalam kasus kedua.

وَإِن كَانَ كل من الماس والممسوس مُشكلا فَلَا بُد من مس الآلتين جَمِيعًا .

"Dan jika setiap dari yang menyentuh (al-mās) dan yang disentuh (al-mamsūs) adalah perkara yang membingungkan, maka tidak ada pilihan selain menyentuh kedua alat tersebut secara bersamaan. 

لِأَنَّهُمَا إِن كَانَا ذكرين فقد مس آلَة الذُّكُور أَو أنثيين فقد مس آلَة النِّسَاء أَو متخالفين فَهُوَ مس ولمس.

Karena jika keduanya adalah laki-laki, maka telah terjadi sentuhan alat laki-laki; atau jika keduanya adalah perempuan, maka telah terjadi sentuhan alat perempuan; atau jika keduanya berlainan jenis, maka ini adalah sentuhan dan kontak fisik.

 وَلَو تعدد الْقبل من الْوَاضِح فعلى التَّفْصِيل الْمُتَقَدّم فِي خُرُوج الْخَارِج

 Walaupun jika terdapat lebih dari satu kemaluan (qubul) menurut penjelasan yang jelas, maka berlaku perincian yang telah disebutkan dalam peristiwa keluarnya sesuatu (al-khārij)."

وَلَو نَبتَت لَهُ أصْبع زَائِدَة فَإِن كَانَت على سمت الْأَصْلِيَّة نقض بَاطِنهَا دون ظَاهرهَا ,

"Dan jika seseorang tumbuh jari tambahan, jika jari tersebut berada di posisi sejajar dengan jari yang asli, maka yang membatalkan bagian dalamnya bukan bagian luarnya.

وَإِن كَانَت بِبَطن الْكَفّ فَإِن سامتت فَكَذَلِك

Namun, jika jari tersebut berada di telapak tangan dan sejajar dengan yang asli, maka sama perlakuannya.


 وَإِن لم تسامت نقض بَاطِنهَا وظاهرها كسلعة فِي بطن الْكَفّ , 

 

 Jika tidak sejajar, maka yang membatalkan bagian dalam dan luarnya seperti halnya benjolan di telapak tangan.


وَإِن كَانَت بِظهْر الْكَفّ لَا ينْقض.


  Namun, jika berada di punggung tangan, maka tidak membatalkan.

  

والله اعلم بالصواب.

MOHON DIKOREKSI DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT


HAL 26

Tuesday, July 11, 2023

TATA CARA MANDI WAJIB YANG MENCAKUP WUDHU



Soal

[10/7 00.36] +62 896-5336-5381: 

Assalamualaikum, para yai mau nanya kalau kita mandi wajib, pada saat mandi wajib megang kemaluan, apakah setelah mandi hadas kecilnya hilang sehingga tidak perlu wudhu lagi?


Jawaban

[10/7 00.46] Kyai Sibawaih: Tetap wudhu lagi

 TATA CARA  MANDI  WAJIB YANG MENCAKUP WUDHU

1- Basuh qubul-dubur dengan niat menghilangkan hadats besar "secara khusus". Pas basuh dubur niat "saya niat menghilangkan hadats besar khusus pada dubur". Dan pas basuh qubul niat "saya niat menghilangkan hadats besar khusus pada qubul." 

Kalau ingin niat bahasa Arab :

• Saat basuh Qubul :

نَوَيْت رفعَ الْحَدثِ الْأَكْبَر عَن القُبُلِ بِخُصُوصِهِ

• Saat basuh Dubur :

نَوَيْت رفعَ الْحَدثِ الْأَكْبَر عَن الدبر بِخُصُوصِهِ

2. Setelah itu jangan lagi memegang qubul dubur, karena itu bisa membatalkan wudhu yg nanti mandinya dinilai tidak lagi mencakup wudhu. Juga jangan sampai ada yang batalin wudhu selama proses mandi, seperti kencing, kentut dll. Kalau kencing lakukanlah sebelum proses mandi wajib.

3. Setelah basuh qubul dubur secara khusus kemudian basuh seluruh badan lain (selain qubul dubur) dengan niat menghilangkan hadats besar pada seluruh tubuh seperti yang telah lumrah di ketahui. Misal "saya niat menghilangkan hadats besar pada badan saya fardhon lillahi ta'ala". 

Atau kalau ingin yang bahasa Arab :

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ اْلحَدَثِ اْلأَكْبَرِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

o0o

Jika sesuai ketentuan nomor satu sampai tiga ini, maka mandi wajibnya sudah mencakup wudhu. Nantinya sehabis mandi wajib, tidak wudhu, langsung shalat, maka sudah sah, walaupun tidak wudhu sama sekali saat mandi.

Keterangan: Tulisan ini hanya berfokus membahas mandi wajib yang mencakup wudhu. Tidak membahas kesunahan dalam mandi wajib dll. karena khawatir kepanjangan.

Referensi: Nihayatuz Zain & Hasyiyah Bujairomi.

ثمَّ الِاغْتِسَال عَن الْحَدث الْأَكْبَر إِمَّا بالانغماس أَو بالصب أَو بالاغتراف من المَاء فَإِن كَانَ بالانغماس فَالْأَمْر ظَاهر وَإِن كَانَ بالصب فيبقي للمغتسل مُرَاعَاة مَحل الِاسْتِنْجَاء لِأَنَّهُ رُبمَا لَا يصل إِلَيْهِ مَاء الصب فَيَنْبَغِي عَلَيْهِ الْحَدث الْأَكْبَر فَيحْتَاج إِلَى غسله آخرا

فَإِن مَسّه بِبَطن كَفه من غير حَائِل انْتقض وضوؤه وَإِن لف على يَده خرقَة مثلا فَفِيهِ كلفة والمخلص من ذَلِك أَنه بعد فرَاغ الِاسْتِنْجَاء يَنْوِي رفع الْحَدث الْأَكْبَر مَعَ صب المَاء على الْمحل وَهَذِه الْمَسْأَلَة تسمى الدقيقة

لَكِن إِذا أطلق النِّيَّة فَإِن الْحَدث الْأَكْبَر يرْتَفع عَن مَحل الِاسْتِنْجَاء وَعَن بَاطِن كف المغتسل لملاقاة ذَلِك للْمَاء حَال النِّيَّة ويرتفع الْحَدث الْأَصْغَر عَن بَاطِن الْكَفّ فِي ضمن ارْتِفَاع الْحَدث الْأَكْبَر

ثمَّ يعود الْحَدث الْأَصْغَر على بَاطِن الْكَفّ بِمَسّ حَلقَة الدبر فَيحْتَاج المغتسل إِلَى إفَاضَة المَاء على بطن كَفه بنية رفع الْحَدث الْأَصْغَر عَنهُ بعد رفع حدث وَجهه وَإِنَّمَا قُلْنَا بعد رفع حدث وَجهه لوُجُوب التَّرْتِيب فِي الْحَدث الْأَصْغَر إِذا لم يكن ارتفاعه فِي ضمن الْأَكْبَر وَحدث الْكَفّ فِي هَذِه الْحَالة لَيْسَ فِي ضمن الْأَكْبَر فيراعى فِيهِ التَّرْتِيب وَالْمُسلم من هَذِه الورطة أَن يُقيد النِّيَّة بِأَن يَقُول نَوَيْت رفع الْحَدث الْأَكْبَر عَن مَحل الِاسْتِنْجَاء بِخُصُوصِهِ ثمَّ يَأْتِي بنية أُخْرَى لباقي بدنه وَهَذِه تسمى دقيقة الدقيقة فمجموع الْمَسْأَلَتَيْنِ يُسمى الدقيقة ودقيقة الدقيقة

[نووي الجاوي ,نهاية الزين ,30]

قَوْلُهُ: (يَنْبَغِي لَهُ) أَيْ يُنْدَبُ إلَخْ. وَتَرْتَفِعُ الْجَنَابَةُ عَنْ كَفِّهِ وَعَنْ مَحَلِّ الِاسْتِنْجَاءِ أَيْ: إذَا نَوَى رَفْعَ الْجَنَابَةِ عَنْهُمَا أَمَّا الْحَدَثُ الْأَصْغَرُ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى كَفِّهِ بِمَسِّهِ حَالَ النِّيَّةِ النَّاقِضِ اهـ. قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: فَيَحْتَاجُ إلَى غَسْلِ كَفِّهِ بَعْدَ ذَلِكَ أَيْ بَعْدَ رَفْعِ حَدَثِ الْوَجْهِ بِنِيَّةٍ مُعْتَبَرَةٍ مِنْ نِيَّاتِ الْوُضُوءِ لِتَعَذُّرِ الِانْدِرَاجِ حِينَئِذٍ، فَإِنَّ جَنَابَةَ الْيَدِ ارْتَفَعَتْ ثُمَّ طَرَأَ الْحَدَثُ الْأَصْغَرُ عَلَيْهَا بِالْمَسِّ أَيْ: فَالشَّرْطُ أَنْ لَا يُقَدِّمَ غَسْلَ كَفَّيْهِ عَلَى الْوَجْهِ فَلَوْ أَخَّرَهُ بِالْكُلِّيَّةِ عَنْ غَسْلِ جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ، وَنَوَى كَفَى فَتَأَمَّلْ م د.

وَقَالَ شَيْخُنَا الْعَشْمَاوِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تُسَمَّى بِالدَّقِيقَةِ أَوْ دَقِيقَةِ الدَّقِيقَةِ، فَالدَّقِيقَةُ النِّيَّةُ عِنْدَ غَسْلِ مَحَلِّ الِاسْتِنْجَاءِ، وَدَقِيقَةُ الدَّقِيقَةِ بَقَاءُ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ عَلَى كَفِّهِ، وَهَذَا إذَا نَوَى رَفْعَ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ عَنْ الْمَحَلِّ وَالْيَدِ مَعًا أَوْ أَطْلَقَ، فَإِنْ نَوَى رَفْعَ الْجَنَابَةِ عَنْ الْمَحَلِّ فَقَطْ فَلَا يَحْتَاجُ إلَى نِيَّةِ رَفْعِ حَدَثٍ أَصْغَرَ عَنْهَا؛ لِأَنَّ الْجَنَابَةَ لَمْ تَرْتَفِعْ عَنْهَا فَهَذَا مُخَلِّصٌ لَهُ مِنْ غَسْلِ يَدِهِ ثَانِيًا اهـ.

[البجيرمي، حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب، ٢٣٩/١]

Tuesday, July 4, 2023

HUKUM PENGGUNAAN AIR YANG DI PANASKAN, BAGAIMANAKAH?


Boleh

وأما مسألة التطهر بالماء المسخن فاتفقوا على جوازه الا ما نقل عن مجاهد

Air yg dipanaskan dengan api berbeda air yang panas karena terkena matahari...

Dalam kitab Fathul bari Juz 1_299

: مسألة

قَالَ الشَّافِعِيُّ ﵀: وَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ «.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْفَصْلِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنْ طَرِيقِ اللُّغَةِ فَقَالُوا: قَوْلُهُ» فَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ " خَطَأٌ فِي اللُّغَةِ، لِأَنَّ الْعَرَبَ تَقُولُ مَاءٌ مِلْحٌ، وَلَا تَقُولُ: مَالِحٌ، وَإِنَّمَا هَذَا مِنْ كَلَامِ الْعَامَّةِ.

Hawie kabir

: وَلَعَلَّه كَانَ فِي الأَصْل الَّذِي نَقله الرَّافِعِيّ: أَن بعض الصَّحَابَة تطهَّر بِالْمَاءِ المسخن. . إِلَى آخِره، فَسقط لفظ «بعض»، إِمَّا من الأَصْل الْمَنْقُول مِنْهُ أَو من أصل الرَّافِعِيّ.

نعم، قد رُوِيَ (التطهر) بِالْمَاءِ المسخن من فعل جمع من الصَّحَابَة:


Badru munir



: ولا يكره التطهر بالماء المسخن بالنار؛ سواء كان مسخنًا بنار الحطب، أو بنار السرقين؛ لأن السخونة بالحرارة، ولا نجاسة فيها؛ فإن كان شديد السخونة - يكره؛ لأنه يحرق، وربما لا يمكنه إسباغ الوضوء به.

Soreh dari kitab tadzhib ala fiqih imam syafii.

Air musyammas pun di negara kita gak ada, itu hanya ada di negara yg panas nya banget 😁

: الماء المشمس، في قطر حار، في إناء منطبع (أي مصنوع من معدن قابل للصفح والطرق غير النقدين، الذهب والفضة، كالحديد والرصاص والنحاس) وعلة الكراهة فيه طبية

قال الشافعي رضي الله عنه: لا أكره المشمس إلا أن يكره من جهة الطب، وأسند الكراهة في ذلك إلى سيدنا عمر بن الخطاب رضي الله عنه لأنه كان يكره الاغتسال بالماء المشمس، ويقول إنه يورث البرص، (قال النووي في المجموع: الحديث ضعيف لأنه من رواية إبراهيم بن محمد بن أبي يحيى، وقد اتفقوا على تضعيفه إلا أن الشافعي وثقه) وضابط المشمس أن تخرج على الماء زهومة، وهي ناتجة عن تفاعل الماء مع معدن الإناء تحت أشعة الشمس، لذا فإن كراهته مقتصرة على استعماله للبدن، أما إذا استعمل لتطهير الثياب فليس فيه كراهة، وتزول الكراهة بالتبريد لتفكك الزهومة. *أما في بلادنا فالماء المشمس غير مكروه، لأن بلادنا معتدلة الحرارة*

[درية العيطة، فقه العبادات على المذهب الشافعي، ٥٠/١]


Dalam referensi lain redaksi sama yaitu

ولا يكره التطهر بالماء المسخن بالنار؛ سواء كان مسخناً بنار الحطب، أو بنار السرقين؛ لأن السخونة بالحرارة، ولا نجاسة فيها؛ فإن كان شديد السخونة - يكره؛ لأنه يحرق، وربما لا يمكنه إسباغ الوضوء به.

[البغوي ، أبو محمد، التهذيب في فقه الإمام الشافعي، ١٤٤/١]


Semoga bermanfaat untuk kita semuanya dalam hukum penggunaan air yang dipanaskan diperbolehkan.

Sunday, June 18, 2023

HUKUM AIR KURANG DUA KULLAH DAN AIR KOLAM IKAN HIAS

 MWC.NUGAR.ANZAAY



#RUMUSAN

Pertanyaan :

1.  Bagaimana hukum air kurang 2 kullah kejatuhan tahi burung ? 

2.  Bagaimana hukum air kurang 2 kullah ada tahi ikan didalamnya, apakah tetap suci atau tidak ?


Jawaban :

1.  Air yang kurang dari dua qollah terkena sesuatu yang najis, baik berubah ataupun tidak tetap dihukumi mutanajis & tidak boleh dipakai bersuci.

2.  Para ulama madzhab Syafi'i berbeda pendapat dalam menghukumi kotoran ikan, ada yang mengatakan najis dan ada yang mengatkan suci.

Apabila mengikuti pendapat yang mengatakan kotoran ikan dihukumi najis, maka hukumnya diperinci sebagai berikut :

a.  Apabila penempatan ikan kedalam kolam atau aquarium tersebut karena ada hajat, seperti agar ikan tersebut memakan kototan-kotoran yang ada didalam kolam atau aquarium tersebut maka hukum kotorannya dima'fu (diampuni) , sehingga air yang berada dalamnya tetap dihukumi suci selama tidak sampai berubah salah satu sifatnya (bau, rasa dan warna) karena kotoran ikan tadi.

b.  Apabila penempatannya bukan karena ada hajat, hanya sekedar untuk hiasan. maka hukum kotorannya tidak dima'fu, sehingga air yang ada didalamnya dihukumi najis (mutanajjis) apabila airnya hanya sedkit (kurang dari 2 kulah). Sedangkan apabila airnya banyak (2 kulah atau lebih) maka airnya dihukumi najis apabila sampai berubah salah satu sifatnya (warna, bau dan rasa) karena kemasukan kotoran ikan tersebut, dan tidak dihukumi najis apabila sifat-sifatnya air tidak sampai berubah.

Sedangkan apabila kita mengikuti pendapat ulama' yang menghukumi suci kotoran ikan, tentu saja kotoran tersebut tidak dipermasalahkan, meskipun sifat airnya sampai berubah.


Catatan :

►  Ukuran 2 kullah adalah ± 192, 857 kg atau ± 217 liter sama dengan ± 10 Jerigen. Sedangkan ukuran dalam & lebar jeding adalah 60 cm persegi empat.


Referensi :

منهاج القويم - (ج ١ / ص ١٦)

ﻓﺼﻞ: ﻓﻲ اﻟﻤﺎء اﻟﻨﺠﺲ ﻭﻧﺤﻮﻩ، ﻳﻨﺠﺲ اﻟﻤﺎء اﻟﻘﻠﻴﻞ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ اﻟﻤﺎﺋﻌﺎﺕ ﺑﻤﻼﻗﺎﺓ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ.

(ﻳﻨﺠﺲ اﻟﻤﺎء اﻟﻘﻠﻴﻞ) ﻭﻫﻮ ﻣﺎ ﻳﻨﻘﺺ ﻋﻦ اﻟﻘﻠﺘﻴﻦ ﺑﺄﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺭﻃﻠﻴﻦ (ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ اﻟﻤﺎﺋﻌﺎﺕ) ﻭﺇﻥ ﻛﺜﺮ ﻭﺑﻠﻎ ﻗﻼﻻ ﻛﺜﻴﺮﺓ (ﺑﻤﻼﻗﺎﺓ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ) ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺘﻐﻴﺮ ﻟﻤﻔﻬﻮﻡ ﻣﺎ ﺻﺢ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: "ﺇﺫا ﺑﻠﻎ اﻟﻤﺎء ﻗﻠﺘﻴﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻤﻞ ﺧﺒﺜﺎ" ﺇﺫ ﻣﻔﻬﻮﻣﻪ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺩﻭﻧﻬﻤﺎ ﻳﺤﻤﻞ اﻟﺨﺒﺚ: ﺃﻱ ﻳﺘﺄﺛﺮ ﺑﻪ ﻭﻻ ﻳﺪﻓﻌﻪ.


الوسيط - (ج 1 / ص 154)

الثاني روث السمك والجراد وما ليس له نفس سائلة ففيه وجهان أحدهما نجس طردا للقياس والثاني أنه طاهر لأنه إذا حكم بطهارة ميتتهما فكأنهما فى معنى النبات وهذه رطوبات فى باطنها


البيان - (ج 4 / ص 525)

وأما صاحب " الإبانة ": فقال: في روث السمك وجهان، كدمه، أصحهما: أنه ليس بنجس. فعلى هذا: يحل أكله قبل أن يخرج


المجموع - (ج 2 / ص 550)

قال المصنف رحمه الله : وأما سرجين البهائم وذرق الطيور فهو كالغائط في النجاسة لما روى ابن مسعود رضي الله عنه قال (أتيت النبي صلى الله عليه وسلم بحجرين وروثة فأخذ الحجرين وألقى الروثة وقال إنها ركس) فعلل نجاسته بأنه ركس والركس الرجيع وهذا رجيع فكان نجسا ولأنها خارج من الدبر أحالته الطبيعة فكان نجسا كالغائطالشرح : حديث ابن مسعود رواه البخاري بلفظه وقد سبق أن مذهبنا أن جميع الارواث والدرق والبول نجسة من كل الحيوان سواء المأكول وغيره والطير وكذا روث السمك والجراد وما ليس له نفس سائلة كالذباب فروثها وبولها نجسان على المذهب وبه قطع العراقيون وجماعات من الخراسانيين وحكى الخراسانيون وجها ضعيفا في طهارة روث السمك والجراد وما لا نفس له سائل


بغية المسترشدين - (ص 32)

فائدة : نقل عن البريهمي أنه قال فى الأصح أن ذرق السمك والجراد وما يخرج من فيها نجس وفى الإبانة أنه طاهر


حاشية الرشيدي على فتح الجواد - (ص 44)

قوله فقال هو طاهر : معتمد, وقوله تنجس ضعيف


أسنى المطالب - (ج 1 / ص 13)

ويعفى عن روث سمك) فلا ينجس الماء لتعذر الاحتراز عنه (ما لم يغيره) فإن غيره نجسه


حاشية البجيرمي على الخطيب - (ج 1 / ص 94)

ويعفى أيضا عن روث سمك لم يغير الماء

قوله: (عن روث سمك) أي صغير إذا سقط بنفسه أو وضعه فيه لا عبثا


حاشية الشرواني على تحفة المحتاج - (ج 1 / ص 98)

(قوله وروث إلخ) عبارة النهاية وعن روث نحو سمك لم يضعه في الماء عبثا وألحق الأذرعي به ما نشؤه من الماء الزركشي ما لو نزل طائر، وإن لم يكن من طيور الماء وذرق فيه أو شرب منه وعلى فمه نجاسة ولم تتخلل عنه اهـ قال ع ش (قوله عبثا) ومن العبث ما لو وضع فيه لمجرد التفرج عليه فيما يظهر، وليس منه ما يقع كثيرا من وضع السمك في الآبار ونحوها لا كل ما يحصل فيها من العلق ونحوه حفظا لمائها عن الاستقذار، وقوله م ر لم تتحلل عنه مفهومه أنها إذا تحللت ضر، وقياس ما تقدم فيما تلقيه الفئران وفيما لو وقعت بعرة في اللبن العفو للمشقة اهـ


كاشفة السجا لنووي الجاوي - (ص ٣٨-٣٩)

(فصل): في الماء الذي لا يدفع النجاسة والذي يدفعها قال: (الماء) في قانون الشرع قسمان (قليل وكثير، القليل ما دون القلتين) بأن نقص منهما أكثر من رطلين (والكثير قلتان فأكثر) من محض الماء يقيناً ولو مستعملاً وقدرهما بالوزن خمسمائة رطل بالبغدادي التي هي أربعة وستون ألف درهم ومائتان وخمسة وثمانون درهماً وخمسة أسباع درهم إذ كل رطل بغدادي مائة وثمانية وعشرون درهماً وأربعة أسباع درهم، وبالمكي أربعمائة رطلٍ واثنا عشر رطلاً وثلاثة عشر درهماً وخمسة أسباع درهم، على أن الرطل مائة وستة وخمسون درهماً، أفاد ذلك العلامة محمد صالح الرئيس، وبالطائفي ثلاثمائة وسبعة وعشرون رطلاً وثلثا رطل إذ كل رطل طائفي مائة وستة وتسعون درهماً نبه على ذلك عبد الله المرغني في مفتاح فلاح المبتدي، وبالمصري أربعمائة رطل وستة وأربعون رطلاً وثلاثة أسباع رطل، وبالدمشقي مائة وسبعة أرطال وسبع رطل وقدرهما بالمساحة في المربع ذراع وربع طولاً وعرضاً وعمقاً بذراع الآدمي وهو شبران تقريباً، وفي المدور ذراعان عمقاً بذراع الحديد وذراع عرضاً بذراع الآدمي فكان ذلك بذراع اليد ذراعاً عرضاً وذراعين ونصفاً عمقاً لأن ذراع الحديد بذراع الآدمي ذراع وربع وفي المثلث وهو ماله ثلاثة أبعاد متساوية ذراع ونصف طولاً وعرضاً وذراعان عمقاً بذراع الآدمي، فالعرض هو ما كان بين الركنين والطول هو الركنان الآخران. (القليل) حكمه (يتنجس بوقوع النجاسة) المنجسة يقيناً (فيه وإن لم يتغير) لمفهوم قوله صلى الله عليه وسلّم: "إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل خبثاً" وفي رواية نجساً إذ مفهومه أن ما دونها يحمل الخبث، وخرج بالنجاسة المنجسة النجس المعفو عنه كميتة لا دم لها سائل، ونجس لا يدركه طرف معتدل حيث لم يحصل بفعله ولو من مغلظ، كما إذا عف الذباب على نجس رطب ثم وقع في ماء قليل أو مائع فإنه لا ينجس مع أنه علق في رجله نجاسة لا يدركها الطرف وما على منفذ حيوان طاهر غير آدمي وروث سمك لم يغير الماء ولم يضعه فيه عبثاً وما يماسه العسل من الكوارة التي تجعل من روث نحو البقر وجرة البعير وألحق به فم ما يجتر من ولد البقر والضأن إذا التقم أخلاف أمه، وفم صبي تنجس ثم غاب واحتمل طهارته كفم الهرة فإنه لا ينجس الماء القليل.


التقريرات السديدة - (ص ٦٢)

والقلتان لغة الجرتان العظيمتان، وشرعا ماوزنه (٥٠٠) رطل بغدادي أو (٥٦٥) رطلا تريميا، وبالمقاييس الحديثية (٢١٧) لترا تقريبا، وهو مايساوي عشر تنكات كماقال بعضهم:

والقلتان عشرة من التنك ۞ كذا أتى تحريره بغير شك 


الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي - (ج ١ / ص ٣٤)

اﻷﻭﻝ ﻗﻠﻴﻞ: ﻭﻫﻮ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺩﻭﻥ اﻟﻘﻠﺘﻴﻦ. ﻭﻫﺬا اﻟﻤﺎء ﻳﻨﺠﺲ ﺑﻤﺠﺮﺩ ﻭﻗﻮﻉ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ، ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻗﻠﻴﻠﺔ ﻭﻟﻢ ﻳﺘﻐﻴﺮ ﻓﻴﻪ ﺷﻲء ﻣﻦ ﺃﻭﺻﺎﻓﻪ ﻛﺎﻟﻠﻮﻥ ﻭاﻟﺮﻳﺢ ﻭاﻟﻄﻌﻢ. ﻭاﻟﻘﻠﺘﺎﻥ: ﺧﻤﺴﻤﺎﺋﺔ ﺭﻃﻞ ﺑﻐﺪاﺩﻱ ﻭﺗﺴﺎﻭﻱ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﺃﺛﻨﻴﻦ ﻭﺗﺴﻌﻴﻦ ﻛﻴﻠﻮ ﻏﺮاﻣﺎ ﻭﺛﻤﺎﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﺳﺒﻌﺔ ﻭﺧﻤﺴﻴﻦ ﻏﺮاﻣﺎ (857، 192 ﻛﻠﻎ)، ﻭﻳﺴﺎﻭﻱ ﺑﺎﻟﻤﻜﻌﺐ ﺫﺭاﻋﺎ ﻭﺭﺑﻌﺎ ﻃﻮﻻ ﻭﻋﺮﺿﺎ ﻭﻋﻤﻘﺎ.


الفقه الاسلامي وأدلته - (ج ١ / ص ٢٧٣)

ﻭاﻟﻘﻠﻴﻞ: ﻫﻮ ﻣﺎ ﻧﻘﺺ ﻋﻦ اﻟﻘﻠﺘﻴﻦ ﺑﺄﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺭﻃﻠﻴﻦ. ﻭاﻟﻘﻠﺘﺎﻥ: ﺧﻤﺲ ﻣﺌﺔ ﺭﻃﻞ ﺑﻐﺪاﺩﻱ ﺗﻘﺮﻳﺒﺎ (500) ﻭﺑﺎﻟﻤﺼﺮﻱ (446ﻭ7/ 3) ﺭﻃﻼ ﻭﺑﺎﻟﺸﺎﻣﻲ (81) ﺭﻃﻼ، ﻭاﻟﺮﻃﻞ اﻟﺸﺎﻣﻲ: (2ﻭ2/ 1) ﻛﻎ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻗﺪﺭﻫﻤﺎ (112،195ﻛﻎ) ﻭﺗﺴﺎﻭﻱ (10) ﺗﻨﻜﺎﺕ (ﺻﻔﺎﻳﺢ) ﻭﻗﻴﻞ: (15) ﺗﻨﻜﺔ ﺃﻭ (270) ﻟﺘﺮا، ﻭﻗﺪﺭﻫﻤﺎ ﺑﺎﻟﻤﺴﺎﺣﺔ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻣﺮﺑﻊ: ﺫﺭاﻉ ﻭﺭﺑﻊ ﻃﻮﻻ ﻭﻋﺮﺿﺎ ﻭﻋﻤﻘﺎ ﺑﺎﻟﺬﺭاﻉ اﻟﻤﺘﻮﺳﻂ. ﻭﻓﻲ اﻟﻤﻜﺎﻥ اﻟﻤﺪﻭﺭ ﻛﺎﻟﺒﺌﺮ: ﺫﺭاﻋﺎﻥ ﻋﻤﻘﺎ، ﻭﺫﺭاﻉ ﻋﺮﺿﺎ. ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ: ﺫﺭاﻋﺎﻥ ﻭﻧﺼﻒ ﻋﻤﻘﺎ، ﻭﺫﺭاﻉ ﻃﻮﻻ.

Semoga bermanfaat untuk kita semuanya 

Thursday, June 1, 2023

MENGHAFALKAN AL-QUR'AN SEORANG WANITA SEDANG HAID, BAGAIMANA KAH?

 


#RUMUSAN

Pertanyaan :

1.  Bagaimana cara menyikapi tentang seorang wanita yang menghafal al-Qur'an yang sedang haid, apakah ketika dia sedang haid diperbolehkan membawa dan membaca mushaf ?


Jawaban :


1.  Orang yang sedang haid membaca mushaf/ayat al-Qur’an itu khilaf :

a)  Menurut madzhab Syafi’iyah, tidak boleh kecuali melafalkan/mengucapkan ayat al-Qur’an dengan syarat tidak ada tujuan/membaca al-Quran.

b)  Menurut madzhab Malikiyah, boleh membaca mushaf al-Qur’an ketika perempuan tersebut keadaan aktif darah haid/nifasnya.


Sedangkan Ijma’ Ghalibiyah Ulama Fiqih menyatakan orang yang sedang haid membawa mushaf al-Qur’an itu dicegah (tidak boleh). 


Referensi jawaban no. 1 :

حاشية البجيرمي على الخطيب - (ج 1 / ص 259)

( وَ ) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }.

قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ.


المجموع شرح المهذب ـ (ج ٢ / ص ٣٥٧)

(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي قِرَاءَةِ الْحَائِضِ الْقُرْآنَ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الْمَشْهُورَ تَحْرِيمُهَا وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَجَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَقَتَادَةُ وَعَطَاءٌ وَأَبُو العالية والنخعي وسعيد بن جبير والزهرى واسحق وأبو ثور وعن مالك وأبى حنية وَأَحْمَدَ رِوَايَتَانِ إحْدَاهُمَا التَّحْرِيمُ وَالثَّانِيَةُ الْجَوَازُ وَبِهِ قَالَ دَاوُد وَاحْتُجَّ لِمَنْ جَوَّزَ بِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهِيَ حَائِضٌ: وَلِأَنَّ زَمَنَهُ يَطُولُ فَيَخَافُ نِسْيَانَهَا وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا وَالْجُمْهُورُ بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ الْمَذْكُورِ وَلَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى الْجُنُبِ فَإِنَّ مَنْ خَالَفَ فِيهَا وَافَقَ عَلَى الْجُنُبِ إلَّا دَاوُد وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ الْأُصُولِيِّينَ أَنَّ دَاوُد لَا يُعْتَدُّ بِهِ فِي الْإِجْمَاعِ وَالْخِلَافِ وَفِعْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَا حُجَّةَ فِيهِ عَلَى تَقْدِيرِ صِحَّتِهِ لِأَنَّ غَيْرَهَا مِنْ الصَّحَابَةِ خَالَفَهَا وَإِذَا اخْتَلَفَتْ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ رَجَعْنَا إلَى الْقِيَاسِ وَأَمَّا خَوْفُ النِّسْيَانِ فَنَادِرٌ فَإِنَّ مُدَّةَ الْحَيْضِ غَالِبًا سِتَّةُ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةٌ وَلَا يُنْسَى غَالِبًا فِي هَذَا الْقَدْرِ وَلِأَنَّ خَوْفَ النِّسْيَانِ يَنْتَفِي بِإِمْرَارِ الْقُرْآنِ عَلَى القلب والله أعلم


إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ـ (ج ١ / ص ٨٥)

والحاصل أنه إن قصد القرآن وحده أو قصده مع غيره كالذكر ونحوه فتحرم فيهما، وإن قصد الذكر وحده أو الدعاء أو التبرك أو التحفظ أو أطلق فلا تحرم، لأنه عند وجود قرينة لا يكون قرآنا إلا بالقصد، ولو بما لا يوجد نظمه في غير القرآن، كسورة الإخلاص، واستثنى من حرمة القراءة قراءة الفاتحة على فاقد الطهورين في المكتوبة، وقراءة آية في خطبة جمعة، فإنها تجب عليه لضرورة توقف صحة الصلاة عليها.

وقوله: ولو بعض آية قال في بشرى الكريم ولو حرفا منه وحيث لم يقرأ منه جملة مفيدة يأثم على قصده المعصية وشروعه فيها لا لكونه قارئا اهـ وإنما حرم ذلك لخبر الترمذي: ولا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن. ويقرأ - بكسر الهمزة - على النهي، وبضمها على النفي فهو خبر على الثاني بمعنى النهي.

(قوله: بحيث يسمع نفسه) قيد لحرمة القراءة أي ومحل حرمة القراءة إذا تلفظ بها بحيث يسمع بها نفسه، حيث لا عارض من نحو لغط، فإن لم يسمع بها نفسه بأن أجراها على قلبه أو حرك بها شفتيه - ويسمى همسا - فلا تحرم.


الموسوعة الفقهية الكويتية ـ (ج 18 / ص 322)

وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ، وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَانَ، هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ، لأَنَّهَا قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل الْحَيْضِ، فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ.


شرح الياقوت النفيس ـ (ج 1 / ص 116)

حمل المصحف للتعلم

قال أحد العلماء المعاصرين، في حديث عن الطالبات التي يضطررن إلى حمل المصحف للدراسة، وهن حائضات، أنه يجوز لهن ذلك، مستدلا بقول ابن تيمية. والذي يظهر لي، أن الطالبة إذا استطاعت أن تستعين بمن هي طاهرة، من زميلاتها، لتحتمل لها المصحف، وتكون قراءتها بنية التعليم، لأنه لايجوز لها حمله. ولعل العالم المذكور أخذ بقول الظاهرية، الذي يجوزون ذلك، متأولين قوله تعالى: "المطهرون" بأنهم المسلمون أوالملائكة. وفي ظلال القرأن لسيد قطب، تحقيق وفهم عجيب، يستأنس به في هذا المجال. فهذه الأقوال وأمثالها، تحمل هذه الطالبة في جواز حمل المصحف وهي حائض. ولكن إجماع غالبية الفقهاء يمنعها من ذلك.


الأذكار للنووي - (ص 10)

أجمع العلماء على جواز الذكر بالقلب واللسان للمحدث والجنب والحائض والنفساء، وذلك في التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم والدعاء وغير ذلك. ولكن قراءة القرآن حرام على الجنب والحائض والنفساء، سواء قرأ قليلا أو كثيرا حتى بعض آية، ويجوز لهم إجراء القرآن على القلب من غير لفظ، وكذلك النظر في المصحف، وإمراره على القلب. قال أصحابنا : ويجوز للجنب والحائض أن يقولا عند المصيبة : إنا لله وإنا إليه راجعون، وعند ركوب الدابة : سبحان الذي سخر لنا هذا وما كنا له مقرنين، وعند الدعاء : ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، إذا لم يقصدا به القرآن، ولهما أن يقولا : بسم الله، والحمد لله، إذا لم يقصدا القرآن، سواء قصدا الذكر أو لم يكن لهما قصد، ولا يأثمان إلا إذا قصدا القرآن، ويجوز لهما قراءة ما نسخت تلاوته ك (الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما). وأما إذا قالا لإنسان : خذ الكتاب بقوة، أو قالا : ادخلوها بسلام آمنين، ونحو ذلك، فإن قصدا غير القرآن لم يحرم، وإذا لم يجدا الماء تيمما وجاز لهما القراءة، فإن أحدث بعد ذلك لم تحرم عليه القراءة كما لو اغتسل ثم أحدث. ثم لا فرق بين أن يكون تيممه لعدم الماء في الحضر أو في السفر، فله أن يقرأ القرآن بعده وإن أحدث.


روضة الطالبين - (ج 1 / ص 86)

وَلَوْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَمْ يَقْصِدِ الْقُرْآنَ، جَازَ، كَقَوْلِهِ: بِسْمِ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، أَوْ قَالَ: (سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ) الزُّخْرُفِ: الْآيَةُ 13. عَلَى قَصْدِ سُنَّةِ الرُّكُوبِ. وَلَوْ جَرَى هَذَا عَلَى لِسَانِهِ وَلَمْ يَقْصِدْ قُرْآنًا وَلَا ذِكْرًا، جَازَ. وَيَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ مَا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى الْمَذْهَبِ، وَأَثْبَتَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ قَوْلًا قَدِيمًا أَنَّهَا لَا تَحْرُمُ.

قُلْتُ: وَلَوْ كَانَ فَمُ غَيْرِ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ نَجِسًا، فَفِي تَحْرِيمِ الْقِرَاءَةِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ، الْأَصَحُّ يُكْرَهُ وَلَا يَحْرُمُ. وَلَا تُكْرَهُ الْقِرَاءَةُ فِي الْحَمَّامِ. وَيَجُوزُ لِلْحَائِضِ وَالْجُنُبِ قِرَاءَةُ مَا يُسْتَحَبُّ تِلَاوَتُهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.


المجموع - (ج 2 / ص 164)

(اﻟﻌﺎﺷﺮﺓ) ﺃﺟﻤﻊ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ التسبيح ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﻭﻣﺎ ﺳﻮﻯ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺠﻨﺐ ﻭاﻟﺤﺎﺋﺾ ﻭﺩﻻﺋﻠﻪ ﻣﻊ اﻹﺟﻤﺎﻉ ﻓﻲ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﻣﺸﻬﻮﺭﺓ:

ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺟﺮاء اﻟﻘﺮاءﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﺤﺮﻳﻚ اﻟﻠﺴﺎﻥ ﻭاﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ اﻟﻤﺼﺤﻒ ﻭﺇﻣﺮاﺭ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻓﻲ اﻟﻘﻠﺐ ﻓﺠﺎﺋﺰ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻭﺃﺟﻤﻊ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ التسبيح ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭﺳﺎﺋﺮ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﻏﻴﺮ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺤﺎﺋﺾ ﻭاﻟﻨﻔﺴﺎء ﻭﻗﺪ ﺗﻘﺪﻡ ﺇﻳﻀﺎﺡ ﻫﺬا ﻣﻊ ﺟﻤﻞ ﻣﻦ اﻟﻔﺮﻭﻉ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻐﺴﻞ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.


مغني المحتاج - (ج 1 / ص 217)

(وَتَحِلُّ) لِجُنُبٍ (أَذْكَارُهُ) وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ (لَا بِقَصْدِ قُرْآنٍ) كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ: {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ} [الزخرف: 13] أَيْ مُطِيقِينَ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} [البقرة: 156] وَلَا مَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ، فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حَرُمَ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ فِي الدَّقَائِقِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ، قَالَهُ الْمُصَنِّفُ وَغَيْرُهُ. وَظَاهِرٌ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدْ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ، وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ، وَمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ وَهُوَ كَذَلِكَ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلُ الرَّوْضَةِ، أَمَّا إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ، وَلَوْ عَبَّرَ الْمُصَنِّفُ بِهَا هُنَا كَانَ أَوْلَى لِيَشْمَلَ مَا قَدَّرْتُهُ، بَلْ أَفْتَى شَيْخِي بِأَنَّهُ لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ جَمِيعَهُ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ جَازَ


بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي - (ص 52) بيروت - دار الفكر

وَتَحْرُمُ قِرَاءَةُ القُرْآنِ عَلَى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ القِرَاءَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِهَا لَا مَعَ الِإطْلَاقِ عَلَى الرَّاجِحِ وَلَا بِقَصْدِ غَيْرِ الْقِرَاءَةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وَتَعْلِيمٍ وَتَبَرُّكٍ وَدُعَاءٍ.

Sunday, March 26, 2023

ALASAN LAFADZ NIAT WUDHU PAKAI FI'IL MADHI DAN NIAT SHOLAT PAKAI FI'IL MUDHORI'

 

6137. ALASAN LAFADZ NIAT WUDHU PAKAI FI'IL MADHI DAN NIAT SHOLAT PAKAI FI'IL MUDHORI'


Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Mohon maaf mau tanya, bagaimana pula dalil mantuq dan mafhumnya ? [Khaeratu Hamdilah].

JAWABAN :

Wa'alaikumussalam. Perbedaan lafadh niat antara wudhu dan shalat, kenapa sighatnya berbeda-beda. Titik beratnya adalah "Niat itu wajib, talaffudh bin niat hanya Sunnah". Niat harus muqtarinah bil fi'litalaffudh tidak harus muqoronah (karena tujuannya untuk mendikte atau mengingatkan pada hati)
Jadi talaffudh niat wudhu dengan redaksi نويت itu sudah tepat, karena muqorinan bi awwal ghusli.
Sedangkan talaffudh niat sholat dengan redaksi أصلي juga sudah tepat, karena jika muqtarin bi awwal fi'li jelas tidak mungkin talaffudh niat bersamaan dengan takbiratul ikhram, maka talaffudh dianjurkan qubaila awwal fi'li tujuannya untuk mengingkatkan hati.

Perlu diketahui bahwa Fi'il Madhi itu punya 4 Zaman :
1. Zaman Madhi (zaman lampau/simple past tense ) seperti umumnya fiil madhi. Contoh : Nashoro, dhoroba, fa'ala.
2. Zaman Hal (zaman saat ini/present tense) seperti contoh : Bi'tu, Nawaitu, Qobiltu, tholaqtu, isytaroitu dll
3. Mustaqbal litholab (zaman akan datang dalam rangka berharap/future tense), contoh : ghofarohullah laka, hafidzohulloh, rohimahulloh, barokallahu laka wajama'a bainakuma fi khoir. 
4. Berzaman istiqbal dan madhi, yaitu ketika jatuh setelah hamzah taswiah, misal sawaa-un alayya aqumta aw qo'adta...
Jadi untuk talafudz niat shalat bisa baca Nawaitu an usholliya bisa, langsung usholli bisa.

Jawabannya juga bisa mengkombinasikan dua fan ilmu yaitu fiqh dan balaghah :
1. Lafadz نويت berfaidah huduts dan bermakna madli atau tahqiq dan tidak berfaidah istimror sehingga qot'un niat setelah niatnya sah itu tidak mencegah sahnya wudlu' misal kalian berwudlu' sampai basuhan tangan namun kalian hendak membatalkannya maka hal itu tidak dapat membatalkan niat wudlu' kalian, sehingga kalian bisa melanjutkan wudlu' kalian dg niat melanjutkan wudlu' kalian tanpa haris mengulang niat dari awal,
Contoh lain : kalian berwudlu' lalu pada basuhan tangan murtad, maka murtad itu tidak bisa membatalkan wudlu' dan untuk melanjutkan wudlu'nya cukup masuk islam lagi dan tinggal melanjutkan wudlu'nya.
2. Lafadz أصلي bermakna huduts dan berfaedah istimror sehingga butuh keberlangsungan niat dari takbir hingga salam, jika di pertengahan sholat berniat menghentikan sholatnya maka secara tomatis sholatnya batal dan apabila ingin melanjutkannya maka harus mengulang niatnya lagi dari awal takbir.

Bagaimana dengan niat puasa yang juga memakai fi'il nawaitu, padahal kan juga tidak boleh putus?
Justru hal itu sama dengan niat wudlu'. Yakni kalau hanya niat membatalkan puasa takkan jadi batalnya puasa selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkannya. Semisal sudah niat puasa di waktu malam lalu di siang harinya ad niatmenghentikan puasanya maka, puasanya tetap bisa dilanjutkan dan sah-sah saja. Cuma berbeda dengan wudlu'dalam hal murtad, karena murtad adalah hal yg membatalkan puasa sedangkan murtad tidak membatalkan wudlu' hanya saja murtad menghalangi sahnya wudlu', yakni apabila di pertengahan wudlu'murtad maka bisa sah wudlu'nya diteruskan apabila masuk islam dulu lalu bisa dilanjutkan wudlu'nya.
Sebab keabsahan niat dalam ibadah syaratnya ialah islam. Semua sahnya ibadah mahdloh itu harus dengan niat, dan syarat sahnya niat harus islam, semisal ada orang kafir niat berpuasa, atau sholat, atau, wudlu' maka hukumnya niatnya tidak sah sebelum masuk islam. Pengecualian: sah niatnya wanita kafir kitabiyah mandi sebab suci dari haid dalam rangka diperbolehnya ia dijimak sama sang suami yang islam.

Jawaban lainnya, niat wudhu memakai fi'il madhi karena niat wudhu adalah niatnya itu sendiri. Sedangkan fungsi kebiasaan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) untuk "memperdengarkan" kepada hati atau "membantu" hati dalam berniat karena dalam kitab Al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa niat sholat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram dan merupakan bagian dari shalat (rukun shalat).
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbiratul ihram, dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi)
Jadi dengan sabda Rasulullah yang ARTINYA "yang menghalalkannya adalah salam" MAKNANYA batas yang menghalalkan untuk melakukan kesibukan di luar shalat adalah salam maka setelah salam boleh melakukan aktifitas apapun termasuk berdzikir atau berdoa apapun selama redaksi doa tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits.

Begitupula dengan sabda Rasulullah yang ARTINYA "mengharamkannya adalah takbiratul ihram" MAKNANYA batas yang mengharamkan untuk melakukan kesibukan di luar shalat adalah takbiratul ihram maka aktifitas atau ucapan apapun SEBELUM takbiratul ihram TIDAKLAH TERLARANG.
Para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat bahwa kebiasaan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bermanfaat membantu hati dalam berniat, seperti untuk menghilangkan gangguan hati (was-was).
Al-Imam Muhammad bin Abi al-‘Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan “Syafi’i Kecil” dalam kitab Nihayatul Muhtaj juz I : 437 :

وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ

“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan sekaligus mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Begitupula ulama dari kalangan mazhab yang lain seperti :
– Mazhab Hanafi : Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan sholat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadzkan dengan lisan. Adapun melafadzkan niat dengan lisan sunah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. (al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66)

– Mazhab Maliki : Ulama Malikiyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan (al-Syarhu al-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305. al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520).

– Mazhab Hambali : Ulama Hanabilah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sholat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. (al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370).
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud melaksanakan sesuatu yang disertai dengan perbuatan. Letaknya dalam hati. Niat sholat disunnahkan melafadzkan menjelang Takbiratul Ihram dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan. (Hasyiyah al-Bajury I/149. Mughny al-Muhtaj I/148-150. 252-253. al-Muhadzab I/70 al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab III/243-252).

Jadi jelaslah bahwa kebiasaan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) untuk membantu hati dalam berniat karena di dalam melakukan niat shalat fardlu diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
– Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu mnyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
– Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
– Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal,
ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ
"Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah Ta'ala" saja sudah cukup.
Wallohu a'lam. [Anake Garwane Pake, Zon Jonggol,Ardian Habib, Huda Aly Eljaqoly, Tsabit Abi Fadhil II].

Ibarot :
- Jami'ul jawami' :
للماضي أَربع حالات أَيْضا أَحدهَا أَن يتَعَيَّن مَعْنَاهُ للمضي وَهُوَ الْغَالِب الثَّانِي أَن ينْصَرف إِلَى الْحَال وَذَلِكَ إِذْ قصد بِهِ الْإِنْشَاء كبعت واشتريت وَغَيرهمَا من أَلْفَاظ الْعُقُود إِذْ هُوَ عبارَة عَن إِيقَاع معنى بِلَفْظ يقارنه فِي الْوُجُود
الثَّالِث أَن ينْصَرف إِلَى الِاسْتِقْبَال وَذَلِكَ إِذا اقْتضى طلبا نَحْو غفر الله لَك وعزمت عَلَيْك إِلَّا فعلت أَو لما فعلت أَو وَعدا نَحْو {إِنَّا أعطيناك الْكَوْثَر} الْكَوْثَر 1 أَو عطف على مَا علم استقباله نَحْو {يقدم قومه يَوْم الْقِيَامَة فأوردهم النَّار} هود 98
{وَيَوْم ينْفخ فِي الصُّور فَفَزعَ} النَّمْل 87 أَو نفي ب لَا أَو إِن بعد قسم نَحْو {وَلَئِن زالتا إِن أمسكهما من أحد من بعده} فاطر 41 أَي مَا يمسكهما
(ردُوا فواللَّهِ لَا ذُدْناكُمُ أبدا ... )
الرَّابِع أَن يحْتَمل الِاسْتِقْبَال والمضي وَذَلِكَ إِذا وَقع بعد همزَة التَّسْوِيَة نَحْو سَوَاء عَليّ أَقمت أم قعدت إِذْ يحْتَمل أَن يُرَاد مَا كَانَ مِنْك من قيام أَو قعُود أَو مَا يكون من ذَلِك

الفقه الإسلامي وأدلته ج ١ ص ١٧٩ المكتبة الشاملة
والحاصل: إن كانت الصلاة إحدى الفرائض الخمس، يجب على المصلي ثلاث نيات: فعل الصلاة، والفرضية، والتعيين، فيقول: نويت أن أصلي فرض الظهر، أو نويت أداء فرض صلاة العصر، أو فرض صلاة المغرب، ينوي الصلاة لتتميز العبادة عن العادة، وينوي الظهر لتمتاز عن العصر، وينوي الفرض ليمتاز عن النفل.

التهذيب في فقه الإمام الشافعي ج ٢ ص ٧٣
أما كيفية النية: نظر: إن كانت الصلاة إحدى الفرائض الخمس، يجب عليه ثلاث نيات: فعل الصلاة، والفريضة، والتعيين؛ فيقول: نويت أن أصلي فرض الظهر، أو نويت أداء فرض صلاة العصر، أو شرعت فرض صلاة المغرب؛ ينوي الصلاة؛ لتمتاز العبادة عن العادة، وينوي الظهر؛ ليمتاز عن العصر، وينوي الفرض؛ ليمتاز عن النفل.

الفتاوي الفقهية الكبرى ج ١ ص ١٣٩
(وَسُئِلَ) - فَسَحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ - فِي أَنَّ الْمُصَلِّيَ يَقُولُ: أُصَلِّي فَرْضَ صَلَاةِ الظُّهْرِ أَوْ صَلَاةِ الظُّهْرِ، وَهَلْ فِي هَذَا خِلَافٌ وَمَا الصَّحِيحُ فِي ذَلِكَ؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: فَرَّقَ بَعْضُهُمْ بَيْنَ فَرْضِ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَفَرْضِ الظُّهْرِ، فَقَالَ: إنَّ الْأُولَى صَحِيحَةٌ بِخِلَافِ الثَّانِيَةِ؛ لِأَنَّ الظُّهْرَ اسْمٌ لِلْوَقْتِ لَا لِلْعِبَادَةِ وَهُوَ فَرْقٌ ضَعِيفٌ، وَالْمُعْتَمَدُ الصِّحَّةُ فِي كُلٍّ مِنْهُمَا، وَمَا عُلِّلَ بِهِ مَمْنُوعٌ، وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

الفتاوي الفقهية الكبرى ج ١ ص ٢١٩
(وَسُئِلَ) - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ كَيْفِيَّةِ نِيَّةِ الصَّلَاةِ بِأَنَّهُ كَيْفَ يَقُولُ الْمُصَلِّي أُصَلِّي سُنَّةَ الْعِيدِ. وَكَذَا فِي الْوِتْرِ أُصَلِّي صَلَاةَ الْوِتْرِ وَكَذَا الضُّحَى أَصَلَّى صَلَاةَ الضُّحَى وَكَذَا سُنَّةُ صَلَاةِ الْكُسُوفِ وَكَيْفَ يَنْوِي صَلَاةَ الْجِنَازَة وَمَا أَحْسَنَ مَا يَقُولُهُ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ.
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: إنَّ الْأَوْلَى فِي ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ سُنَّةُ صَلَاةِ الْعِيدِ أَوْ الْوِتْرِ أَوْ الضُّحَى أَوْ الْكُسُوفِ وَالْقَوْلُ بِأَنَّ الْأَوْلَى نِيَّةُ الْوِتْرِ ضَعِيفٌ وَيَجِبُ أَنْ يُعَيِّنَ أَنَّ الْعِيدَ الْأَكْبَرُ أَوْ الْأَصْغَرُ وَأَنَّ الْكُسُوفَ لِلشَّمْسِ أَوْ الْقَمَرِ وَكَيْفِيَّةُ صَلَاةِ الْجِنَازَة أُصَلِّي عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ أَوْ عَلَى فُلَانٍ إنْ كَانَ غَائِبًا أَوْ عَلَى مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ الْإِمَامُ فَرْضَ كِفَايَةٍ مَأْمُومًا إنْ كَانَ فِي جَمَاعَةٍ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

شرح المقدمة الحضرمية المسمى بشرى الكريم ص ١٩٧ المكتبة الشاملة
(ونية الفرضية) ويجمع الثلاثة قولك: أصلي فرض الظهر، أو أصلي الظهر فرضاً، وبذلك يتميز الفرض عن النفل،

LINK ASAL :

Terimakasih, tetap mencantumkan sumber kutipan.

Monday, February 27, 2023

NAJIS MUKHOFAFAH BAGI BAYI LAKI-LAKI DAN MUTAWASITOH UNTUK BAYI PEREMPUAN, BAGAIMANA KAH...?





Perbedaan kencing bayi laki-laki dan perempuan :

1. Kencing bayi laki-laki lebih lembut ketimbang kencing bayi perempuan dan persatuan dengan tempat yang terkencingi bayi laki-laki lebih banyak ketimbang persatuan dengan tempat yang terkencingi bayi perempuan, *menurut kitab alfiqh islami-Zuhaily I/311*

 “Kencing bayi laki-laki lebih lembut ketimbang kencing bayi perempuan sehingga bertemunya kencing laki-laki tempat yang terkencingi tidak sekuat bayi perempuan” karenanya kencing laki-laki diringankan hukumnya tidak kencing bayi wanita. Intinya kencing wanita lebih pesing dan lebih menyengat baunya,,, Hehe

2. Asal kejadian laki-laki dari dari air dan tanah sedang asal kejadian wanita dari daging dan darah (najis) karena Hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam AS yang pendek.

3. Tanda balig (dewasa) nya anak laki-laki ditandai dengan cairan suci yaitu mani sedang tanda balig (dewasa) nya anak perempuan ditandai dengan mani dan cairan najis yaitu darah haid.

 *_(Kitab AlBaajuuri I/106-107 dan alfiqh islami-Zuhaily I/311). Wallaahu A’lamu bis shawaab_.*

Dalam keterangan yang sama hanya ungkapan bahasa berbeda menjelaskan bahwa hal air kencing bayi laki-laki disebut najis mukhofafah itu karena 

Perkara taabbudi saja, kita disuruh mengikuti perintah saja... Seperti halnya dengan sholat subuh, kenapa harus dua rakaat....? Tentu karena ikut perintahnya saja.

Namun sepertinya ada penelitian tentang kandungan antara kencing bayi laki² dan perempuan...

Karena kencing laki² lebih lembut dan gak berserakan sedangkan kencing perempuan lebih berserakan, kencing perempuan lebih berbau dibanding kencing laki². 

Seperti dalam kitab bayjuri dijelaskan perbedaannya sebagai berikut:

: والفرق بينهما ان بول الصبي ارق من بول الصبية و الائتلاف بمحله اكثر من الائتلاف بمحلها فخفف فيه دونها وايضا اصل خلقه من ماء وطين واصل خلقها من لحم ودم فان حواء خلقت من ضلع ادم القصير وايضا بلوغ الصبي بمائع طاهر وهو المني فقط وبلوغها بذالك وبمائع نجس وهو الحيض وأما الطفلة الصبية والخنثى فلا بد من غسل موضع بولهما ، بإسالة الماء عليه ، وذلك لما رواه الترمذي وحسنه: «يغسل من بول الجارية ، ويرش من بول الغلام» وفرّق بين بول الصبي والصبية وذلك لأنّ بول الصبي أرقّ من بولها ، فلا يلصق بالمحل لصوق بولها به ، وألحق بها الخنثى. (انظر: الفقه الإسلامي ، زحيلي ، ج1 -311).

Perbedaan kencing bayi laki² dan bayi perempuan adalah kencing bayi laki³ lebih halus/lembut daripada kencing bayi perempuan, tidak menempel pada suatu tempat, beda dengan kencing bayi perempuan yang lebih mudah lengket, sehingga tdk cukup hanya dengan menyiprati air saja. 

Jika melirik keterangan yang ada di kitab bayjuri sarah fathul qorib, Alasannya karna secara asal Khilqoh/penciptaan : laki² di ciptakan dari air dan tanah, sedangkan perempuan di ciptakan dari daging dan darah, sebagaimana siti hawa yg tercipta dari tulang rusuknya nabi adam.


Demikian semoga bermanfaat untuk kita semuanya dan menjadikan renungan dalam kajian ini.

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes