BREAKING NEWS

Watsapp

Showing posts with label FIQIH IBADAH. Show all posts
Showing posts with label FIQIH IBADAH. Show all posts

Monday, December 30, 2024

Beberapa pendapat terkait dengan 2 kulah

Beberapa pendapat terkait dengan 2 kulah
2 Qullah Menurut Qoul Ashah adalah kira-kira air mencapai 500k di negeri bakda titik 1 kati Baghdad menurut imam nawawi yaitu 128 lebih 4/7 dirham.
*Menurut kitab Fiqhul islami adalah 270 liter
*menurut imam nawawi adalah 174,580 liter atau air dalam satu wadah penuh yang berkumpul kubus dengan ukuran panjang lebar dalam 55,9 cm ³ (55,9x55,9x55,9)
*sedangkan menurut imam rafia adalah 126,245 liter atau air dalam satu wadah penuh yang berbentuk kubus dengan ukuran panjang lebar dan dalam 56,1 cm3 (56,1x56,1x56,1)
* Sedangkan mayoritas ulama berpendapat dua kulah itu sama dengan 216 liter atau setara dengan (60x60x60)
demikian yang bisa saya tulis semoga bermanfaat dan berkah bagi kita semua dan apabila ada kesalahan mohon diperbaiki dikoreksi dan ditegur. Sekian dari saya wallahul muwafiq wal Hadi ila sabili Rosyad assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Muhammad Al-Haitami 
Kadar air dua Qullah menurut beberapa versi Ulama :
1.Imam Nawawi = -+ 55,9 CM = 174,58 Liter
2.Imam Rofi'i = -+ 56,1 CM = 176,245 Liter
3.Ulama Iraq = -+ 63,4 CM = 255,325 Liter
4.Mayoritas Ulama = -+ 60 CM = 216 Liter
Air kurang dua Qullah yang kemasukan najis tersebut menjadi najis , baik mengalami perubahan atau tidak, dan tidak bisa lagi dipakai untuk :
1.ROF'I ALHADTS = Menghilangkan hadats (besar atau kecil) seperti untuk mandi wajib wajib dan wudhu
2.IZAALATIN NAJIS = Mengangkat barang yang terkena najis.
Air tersebut dapat digunakan lagi setelah ditambah dengan air suci lagi hingga menjadi lebih dari dua Qullah dan tidak ada perubahan padanya
Semoga bermanfaat untuk kita semua 
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Monday, March 4, 2024

PERBEDAAN QURBAN DAN AQIQAH

 Pengertian Kurban

Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas IX SMP, secara bahasa kurban berasal dari kata qarraba yang berarti dekat. Secara syariat kurban artinya ibadah dalam bentuk melaksanakan penyembelihan hewan tertentu atas dasar perintah Allah SWT dan petunjuk Rasulullah SAW dengan harapan dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

Sementara dalam istilah ilmu fikih, hewan kurban biasa disebut dengan nama al-udhiyah yang bentuk jamaknya al-adahi. Udhiyah artinya menyembelih hewan pada waktu matahari naik di pagi hari (pada hari raya Idul Adha dan hari tasyrik).

Ibadah kurban diperintahkan Allah SWT dalam firmannya, surah al Kautsar/108:1-3 yang artinya:

"Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurban lah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)" (Q.S. alKautsar/108:1-3)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia telah diberikan nikmat yang banyak, seperti tersedianya sumber air, tanaman dengan segala macam buah dan umbinya yang bermanfaat, hewan-hewan yang dapat diambil tenaga ataupun dagingnya, serta masih banyak nikmat-nikmat lainnya lagi. Sebagai bukti rasa syukur atas semua itu, manusia diperintahkan untuk mendirikan sholat baik fardu maupun sunnah dengan ikhlas karena Allah SWT, serta diperintahkan untuk menyembelih hewan kurban dengan hanya menyebut nama Allah SWT semata.


Pengertian Aqiqah
Aqiqah secara bahasa artinya memutus, melubangi, membelah atau memotong. Secara syariat makna aqiqah adalah menyembelih kambing/domba sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas lahirnya anak, baik laki-laki atau perempuan.

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk mengadakan aqiqah, karena sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah SWT sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah SWT dengan lahirnya sang anak.

Aqiqah paling utama dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran anak. Pada hari itu pula seorang bayi dicukur rambutnya dan diberi nama yang baik.

Melansir NU Online, hukum melaksanakan ibadah aqiqah adalah sunah muakkadah. Sebagaimana dalam hadits Nabi:

عَنْ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُسَمَّى، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

Artinya: Dari Samurah, ia berkata, Nabi bersabda: Seorang bayi itu digadaikan dengan (jaminan) aqiqahnya; aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh (dari hari kelahiran), (pada hari itu pula) si bayi diberi nama dan dipotong rambutnya (HR Sunan al-Tirmidzi 4/101, dalam kitab Al-Adlaha bab Al-aqiqah).

Perbedaan Kurban dan Aqiqah
Walau sama-sama melakukan penyembelihan hewan, namun ada beberapa hal yang membedakan antara kurban dan aqiqah. Berikut beberapa perbedaannya yang dijelaskan dalam buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas IX SMP:

1. Jenis Hewan yang Disembelih
Pada ibadah kurban jenis hewan yang diperbolehkan untuk disembelih adalah hewan ternak berupa unta, sapi, kerbau, kambing atau biri-biri. Sedangkan pada ibadah aqiqah, mayoritas ulama menyatakan bahwa hewan yang digunakan untuk aqiqah adalah kambing/domba.

2. Ketentuan Hewan
Perbedaan selanjutnya adalah ketentuan hewan yang disembelih. Untuk ibadah kurban hewan unta, sapi, dan kerbau boleh ibadah kurban bagi tujuh orang. Sedangkan kambing dan domba hanya untuk ibadah kurban satu orang. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:

"Kami pernah menyembelih hewan kurban bersama Rasulullah Saw. pada tahun Hudaibiah dengan seekor unta kepada tujuh orang dan lembu juga kepada tujuh orang. (H.R. al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah)."

Sementara ketentuan hewan pada aqiqah yakni mayoritas ulama berpendapat bahwa untuk anak laki-laki sebanyak 2 ekor kambing/domba dan untuk anak perempuan sebanyak 1 ekor kambing/domba.

3. Waktu Pelaksanaan
Perbedaan lainnya adalah waktu pelaksanaannya. Waktu pelaksanaan ibadah kurban adalah setelah sholat Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan tiga hari tasyrik (11,12, dan 13 bulan Dzulhijjah).

Penyembelihan boleh dilakukan pada siang hari atau sore hari pada hari-hari tersebut hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzulhijjah. Tidak ada perbedaan waktu siang atau pun malam.

Dan tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan. Tujuannya adalah untuk memberitahukan kepada kaum Muslimin bahwa kurban sudah boleh dilakukan dan untuk mengajari kaum Muslimin tata cara kurban yang benar.

Sedangkan penyembelihan hewan aqiqah sebaiknya dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran bayi. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika pada hari ketujuh tersebut belum mampu melaksanakan aqiqah untuk anaknya, Sayyidah Aisyah r.a. dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aqiqah bisa dilaksanakan pada hari keempat belas, atau pun hari kedua puluh satu.

Jika pada hari-hari itu juga belum mampu, boleh dilakukan kapan saja saat yang bersangkutan sudah mampu. Kewajiban aqiqah menjadi gugur apabila bayi meninggal sebelum usia tujuh hari.

4. Pembagian daging kurban
Daging kurban dibagikan kepada fakir dan miskin dalam keadaan masih mentah, belum dimasak. Apabila orang yang berkurban (sahibul qurban) menghendaki, ia boleh mengambil daging kurban itu maksimal sepertiganya.

Untuk aqiqah, sebaiknya daging yang diberikan dalam kondisi yang sudah dimasak. Orang tua yang melaksanakan aqiqah untuk anaknya boleh memakan daging aqiqah tersebut, menghadiahkan sebagian dagingnya kepada orang terdekat, dan menyedekahkan sebagian lagi kepada kaum Muslimin.

Boleh juga mengundang kerabat dan tetangga untuk menyantapnya, serta boleh juga disedekahkan semuanya.

5. Tujuan penyembelihan
Penyembelihan hewan qurban tujuannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang berkurban (sahibul qurban) disunnahkan untuk menyembelih hewan kurbannya sendiri, tetapi boleh diwakilkan kepada orang lain.

Sementara penyembelihan hewan saat aqiqah sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah SWT atas lahirnya sang anak.

Itulah informasi mengenai pengertian kurban serta perbedaannya dengan aqiqah. Semoga bermanfaat ya detikers!

Baca artikel detiksulsel, "Pengertian Kurban dan Aqiqah dalam Islam, Apa Bedanya?" selengkapnya https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6762938/pengertian-kurban-dan-aqiqah-dalam-islam-apa-bedanya.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Thursday, February 22, 2024

HUKUM MUSIK DALAM ISLAM

 HUKUM MUSIK DALAM ISLAM

Halal dan haram musik (music) dalam hukum Islam. Musik adalah suatu aktifitas budaya yang dilakukan oleh hampir semua orang, disengaja atau tidak. Sedikitnya, orang pasti mendengarkan alunan musik di rumah tetangga, TV, radio, mall, di jalan-jalan, di angkutan umum, dan lain-lain. Itu artinya, musik harus mendapat status yang jelas dalam perspektif Islam agar supaya umat tidak melakukan sesuatu tanpa payung hukum syariah.

DEFINISI MUSIK

Dalam pengertian masyarakat umum, kata "musik" merujuk pada suatu seni yang mengombinasikan antara paduan berbagai alat musik tertentu dengan seni suara. Sehingga, musik yang hanya menampilkan paduan alat musik saja, seperti musik klasik, atau paduan suara saja, dianggap "kurang musik". Dalam performa panggung, seni musik juga sering dipadukan dengan seni tari atau dansa. Terkadang, musik dan lagu disebut terpisah. Tapi tidak jarang juga dua kata itu disebut secara berkelindan (interchangeable) untuk pengertian yang sama.

Dalam bahasa Arab pun, lagu disebut dengan ghina' (jamak, aghani) (غناء أغاني), sedang musik disebut musiqi (موسيقي). Tapi, tidak jarang dua kata itu disebut terpisah dengan makna yang sama.

Dalam tulisan ini, kata musik mencakup arti semua seni alat musik dan lagu/nyanyian. Kecuali apabila disebut secara khusus.

PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN MUSIK

Ulama yang mengharamkan musik pun memiliki pandangan yang beragam soal keharaman dan dalil yang mengharamkannya. Perlu dicatat bahwa musik yang dibahas adalah musik yang santun yang kata-katanya sopan dan wajar serta tidak mengundang konotasi sex atau syahwat. Musik yang liriknya bernuansa pornografi, mengundang syahwat dan tampilan panggung yang tidak islami--mengumbar aurat dan percampuran dan sentuhan laki-laki perempuan bukan mahram--jelas hukumnya haram dalam musik atau dalam kehidupan biasa.

DALIL HARAMNYA MUSIK

1. Quran Surat Luqman 31:6:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Artinya: Dan diantara mereka (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits (kata- kata tak berguna) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai bahan olok-olokan. Mereka itu memperoleh adzab yang menghinakan.

Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi menyatakan:

( يشتري لهو الحديث أي : يستبدل ويختار الغناء والمزامير والمعازف على القرآن ، قال أبو الصباء البكري سألت ابن مسعود عن هذه الآية فقال : هو الغناء ، والله الذي لا إله إلا هو ، يرددها ثلاث مرات

وقال إبراهيم النخعي : الغناء ينبت النفاق في القلب ، وكان أصحابنا يأخذون بأفواه السكك يخرقون الدفوف . وقيل : الغناء رقية الزنا . وقال ابن جريج : هو الطبل وعن الضحاك قال : هو الشرك . وقال قتادة : هو كل لهو ولعب

Artinya: Tafsir kalimat "يشتري لهو الحديث" adalah mengganti dan memilih nyanyian dan alat musik dibanding Quran. Abu Shoba Al-Bakri berkata: Aku bertanya pada Ibnu Mas'ud tentang maksud ayat ini, ia menjawab: Maksudnya adalah nyanyian (musik) demi Allah (ia mengulang sumpahnya tiga kali). Ibrahim An-Nakha'i berkata: Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati.. Ibnu Juraij berkata: ia adalah alat musik drum. Ad-Dhahhak berkata: ia adalah syirik. Qatadah berkata: Setiap permainan.

Muhammad ibnu Jarir At-Tabari dalam Tafsir At-Tabari berkaitan dengan "lahwal hadits" menyatakan demikian:

اختلف أهل التأويل في تأويل قوله : ( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ) فقال بعضهم : من يشتري الشراء المعروف بالثمن ، ورووا بذلك خبرا عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - .

وهو ما حدثنا أبو كريب قال : ثنا وكيع ، عن خلاد الصفار ، عن عبيد الله بن زحر ، عن علي بن يزيد ، عن القاسم ، عن أبي أمامة قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " لا يحل بيع المغنيات ، ولا شراؤهن ، ولا التجارة فيهن ، ولا أثمانهن ، وفيهن نزلت هذه الآية : ( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ) .

حدثنا ابن وكيع قال : ثني أبي ، عن خلاد الصفار ، عن عبيد الله بن زحر ، عن علي بن يزيد ، عن القاسم ، عن أبي أمامة ، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - بنحوه . إلا أنه قال : " أكل ثمنهن حرام " وقال أيضا : " وفيهن أنزل الله علي هذه الآية : ( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله ) .

حدثني عبيد بن آدم بن أبي إياس العسقلاني قال : ثنا أبي قال : ثنا سليمان بن حيان ، عن عمرو بن قيس الكلابي ، عن أبي المهلب ، عن عبيد الله بن زحر ، عن علي بن يزيد ، عن القاسم ، عن أبي أمامة . قال : وثنا إسماعيل بن عياش ، عن مطرح بن يزيد ، عن عبيد الله بن زحر ، عن علي بن زيد ، عن القاسم ، عن أبي أمامة الباهلي قال : سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول : " لا يحل تعليم المغنيات ، ولا بيعهن ولا شراؤهن ، وثمنهن حرام ، وقد نزل تصديق ذلك في كتاب الله ( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ) إلى آخر الآية " .

وقال آخرون : بل معنى ذلك : من يختار لهو الحديث ويستحبه .

Ulama ahli takwil berbeda dalam menakwili ayat 

"( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ) 

". Sebagian menyatakan: Orang yang membeli pembelian yang masyhur dengan harga, lalu meriwayatkan hal itu sebagai berita dari Rasulullah.

Rasulullah bersabda: Tidak halal menjual penyanyi, membelinya, memperdagangkannya, tidak juga harganya. Dalam soal ini turun ayat

 "( ومن الناس من يشتري لهو الحديث )"

 dalam riwayat lain ada tambahan "Memakan harga penyanyi adalah haram"...

Rasulullah bersabda: "Tidak halal mengajar para penyanyi, menjual penyanyi, membeli penyanyi. Harga mereka haram. Telah turun ayat soal itu dalam Al Quran ( ومن الناس من يشتري لهو الحديث )

Sebagian berpendapat: Makna ayat di atas adalah "Orang yang memilih perkataan tiada guna (lahwal hadits) dan menyukainya.

Al-Husain ibnu Mas'ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menyatakan seputar maksud kata "lahwal hadits" demikian:

( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ) الآية . قال الكلبي ، ومقاتل : نزلت في النضر بن الحارث بن كلدة كان يتجر فيأتي الحيرة ويشتري أخبار العجم ويحدث بها قريشا ، ويقول : إن محمدا يحدثكم بحديث عاد وثمود ، وأنا أحدثكم بحديث رستم واسفنديار وأخبار الأكاسرة ، فيستملحون حديثه ويتركون استماع القرآن ، فأنزل الله هذه الآية . وقال مجاهد : يعني شراء القيان والمغنيين ، ووجه الكلام على هذا التأويل : من يشتري ذات لهو أو ذا لهو الحديث . أخبرنا أبو سعيد الشريحي ، أخبرنا أبو إسحاق الثعلبي ، أخبرنا أبو طاهر محمد بن الفضل بن محمد بن إسحاق المزكي ، حدثنا جدي محمد بن إسحاق بن خزيمة ، أخبرنا علي بن حجر ، أخبرنا مشمعل بن ملحان الطائي ، عن مطرح بن يزيد ، عن عبيد الله بن زحر ، عن علي بن يزيد ، عن القاسم بن عبد العزيز ، عن أبي أمامة قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " لا يحل تعليم المغنيات ولا بيعهن وأثمانهن حرام " ، وفي مثل هذا أنزلت هذه الآية : " ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله " ، وما من رجل يرفع صوته بالغناء إلا بعث الله عليه شيطانين : أحدهما على هذا المنكب ، والآخر على هذا المنكب ، فلا يزالان يضربانه بأرجلهما حتى يكون هو الذي يسكت .

أخبرنا عبد الرحمن بن أحمد القفال ، أخبرنا أبو منصور أحمد بن الفضل البروجردي ، أخبرنا أبو أحمد بكر بن محمد بن حمدان الصيرفي ، أخبرنا محمد بن غالب بن تمام ، أخبرنا خالد بن أبي يزيد ، عن هشام هو ابن حسان ، عن محمد هو ابن سيرين ، عن أبي هريرة أن النبي - صلى الله عليه وسلم - " نهى عن ثمن الكلب وكسب الزمارة " . قال مكحول : من اشترى جارية ضرابة ليمسكها لغنائها وضربها مقيما عليه حتى يموت لم أصل عليه ، إن الله يقول : " ومن الناس من يشتري لهو الحديث " الآية . وعن عبد الله بن مسعود ، وابن عباس ، والحسن ، وعكرمة ، وسعيد بن جبير قالوا : " لهو الحديث " هو الغناء ، والآية نزلت فيه . ومعنى قوله : ( يشتري لهو الحديث ) أي : يستبدل ويختار الغناء والمزامير والمعازف على القرآن ، قال أبو الصباء البكري سألت ابن مسعود عن هذه الآية فقال : هو الغناء ، والله الذي لا إله إلا هو ، يرددها ثلاث مرات

Artinya: .. Al-Kalbi dan Muqatil berkata: Ayat ini turun terkait Al-Nadhar bin Al-Harits bin Kildah. Ia berdagang lalu merasa bingung dan membeli berita ajam dan menceritakan itu pada orang Quraisy dan berkata: Muhammad menceritakan kalian dengan hadits kaum 'Ad dan Tsamud. Sedangkan aku menceritakan pada kalian dengan hadits Rustum, Isfandiyar dan para Kaisar. Maka mereka menikmati kisahnya dan meninggalkan mendengar Al Quran. Lalu Allah menurunkan ayat ini. Mujahid berkata: Maksudnya adalah membeli penyanyi perempuan dan para penyanyi. Inti pembahasan ulama atas takwil ini adalah: Orang yang membeli permainan atau cerita tidak berguna. .. Rasulullah bersabda: Tidak halal mengajar para penyanyi wanita, tidak halal menjual mereka. Harga mereka haram. Terkait ha ini maka turunlah ayat ini 

 ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله " 

Tidak ada seorang lelaki yang meninggikan suaranya dengan nyanyian kecuali Allah mengutus dua setan padanya, yang pertama pada bahu yang ini, yang lain pada bahu yang ini. Lalu keduanya senantiasa memukul keduanya dengan kedua kakinya sampai dia (lelaki itu) diam.

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi melarang dari harga anjing dan alat bunyi-bunyian. Makhul berkata: Siapa yang membeli budak wanita yang pandai memukul untuk tujuan menikmati nyanyiannya dan memukulnya dan tinggal bersamanya sampai mati maka aku tidak akan menyolati (jenazah)nya. Allah berfirman "Dan diantara mereka (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits (kata- kata tak berguna) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah" Ibnu Masud dll berkata: maksud 'lahwal hadits' adalah nyanyian (lagu) sedangkan ayat di atas diturunkan terkait hal ini. Adapun makna "( يشتري لهو الحديث )" yakni mengganti dan memilih lagu, seruling dan alat musik daripada Al Quran. Abu Shaba Al Bakri berkata: Aku bertanya pada Ibnu Masud tentang ayat ini, ia menjawab: "Itu tentang nyanyian" demi Allah Ibnu Mas'ud mengulanginya sampai tiga kali.

2. Quran Surat An-Najm 53:59-61:

أَ فَمِنْ هذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُوْنَ وَ تَضْحَكُوْنَ وَ لاَ تَبْكُوْنَ وَ أَنْتُمْ سَامِدُوْنَ

Artinya: Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)?

Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud "shamidun" ialah al-ghina (nyanyian)

3. Quran Surat Al-Isra' 17:64

وَ اسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Artinya: Dan asunglah (kobarkanlah, bujuklah) siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu (shautika).

Menurut Mujahid maksud "shautika" tidak lain adalah nyanyian dan hiburan

4. Hadits Bukhari no. 5590

لِيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيْرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيْهِمْ يَعْنِي الْفَقِيْرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُوْا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِيْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Artinya: Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.

Dalil Quran dan hadits di atas di jadikan dasar oleh para ulama atas haramnya musik dalam Islam. Ulama dalam kelompok ini antara lain adalah Imam Ibnu Al-Jauzi (Talbis Iblis, hlm. 2321), Imam Qurthubi (Tafsir Qurtuhbi, XIV/51-54), Asy-Syaukani (Nail-ul-Authar, VIII/442).

Sahabat mengharamkan musik antara lain sahabat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud. Sedang dari tabi'in antara lain Mujahid, Hasan Al-Basri, Ikrimah, Said bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim An-Nakha'i menafsirkan lahw-al-hadis dalam QS Luqman 31:6 dengan arti nyanyian atau menjualbelikan (menyewakan) biduanita.

Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurashi Ad-Dimashqi dalam Ibnu Katsir III/442 menegaskan maksud dari "lahwal hadits" adalah al-ghina' (nyanyian).


عن أبي الصهباء : أنه سأل ابن مسعود عن قول الله : ( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ) قال : الغناء .

وكذا قال ابن عباس ، وجابر ، وعكرمة ، وسعيد بن جبير ، ومجاهد ، ومكحول ، وعمرو بن شعيب ، وعلي بن بذيمة .

وقال الحسن البصري : أنزلت هذه الآية : ( ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله بغير علم ) في الغناء والمزامير


5. Abū Ishāk Asy-Syirāzī (madzhab Syafi'i) mengharamkan musik kecuali memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan selain itu haram (Al-Muhadzab II/237)

6. Al-Muhāsibi dalam Ar-Risalah: menyanyi itu harām seperti harāmnya bangkai.

7. Madzhab Syafi'i: musik itu haram apabila disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat.


PENDAPAT YANG MENGHALALKAN MUSIK

Berikut pendapat Sahabat, Tabi'in dan ulama yang membolehkan musik. Tentu saja musik yang baik.

1. Sahabat Nabi: antara lain ‘Umar bin Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abī Waqqās dan lain-lain (An-Nawawi dalam Al-Umdah).

2. Tabi'in: Sa‘īd bin Musayyab, Salīm bin ‘Umar, Ibnu Hibbān, Khārijah bin Zaid, dan lain-lain. (An-Nawawi dalam Al-Umdah)

3. Mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Sūfiyah, Abū Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī).

4. Mazhab Maliki membolehkan menyanyi dengan ma‘azif (alat-alat musik yang berdawai).

5. Mazhab Syāfi‘i menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan sedangkan nyanyian pada saat bekerja, seperti mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang Arab untuk memberikan semangat berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, maka menurut Imām Awzā‘ī adalah sunat.


IMAM AL-GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, "Bab: Ad-Dalil ala Ibahatis Sama'", hlm. 2/269, menyatakan:

فسماع هذه الأصوات يستحيل أن يحرم لكونها طيبة أو موزونة فلا ذاهب إلى تحريم صوت العندليب وسائر الطيور. ولا فرق بين حنجرة وحنجرة ولا بين جماد وحيوان. فينبغي أن يقاس على صوت العندليب الأصوات الخارجة من سائر الأجسام باختيار الآدمى كالذي يخرج من حلقه أو من القضيب والطبل والدف وغيره.

Artinya: Mendengarkan suara-suara (lagu) ini tidak mungkin diharamkan karena alasan indah atau dihiasi. Maka, tidak bisa mengharamkan suara burung Bulbul dan suara burung-burung lain. Maka, sebaiknya suara nyanyian dianalogikan pada suara burung bulbul yang keluar dari benda-benda atas usaha manusia sebagaimana yang keluar dari kerongkongannya atau dari tongkat, drum, rebana dan lainnya.

IBNU ARABI DALAM AHKMUL QURAN

Abu Bakar ibnul Arabi dalam Ahkamul Quran, hlm. 3/526, menyatakan:

المسألة الثالثة: هذه الاحاديث التي اوردناها لايصح منها شيء بحال لعدم ثقة ناقليها إلى من ذكر من الاعيان فيها واصح مافيه قول من قال إنه الباطل فأما قول الطبري أنه الطبل فهو على قسمين : طبل حرب وطبل لهو فأما طبل الحرب فلاحرج فيه لأنه يقيم النفوس ويرهب على العدو وأما طبل اللهو فهو كالدف وكذلك الآت المشهرة للنكاح يجوز إستعمالها فيه لمايحسن من الكلام ويسلم من الرفث)

Artinya: Hadits ini (tentang haramnya alat musik) statusnya tidak sahih karena perawinya tidak tsiqah (tidak bisa dipercaya)... Adapun pendapat Tabari yang dimaksud adalah drum (rebana). Drum terbagi dua: drum untuk perang dan drum untuk permainan. Drum perang tidak masalah karena dapat memotivasi diri dan menakuti musuh. Sedangkan drum permainan maka hukumnya seperti rebana, begitu juga alat-alat yang biasa dipakai untuk memeriahkan pernikahan, boleh dipakai karena akan memperindah ucapan dan menyelamatkan dari keburukan.

Hukum musik adalah halal atau mubah. Namun, musik Haram Apabila Mengakibatkan Perbuatan Haram

Dalam QS Al-Isra 17:64 Allah berfirman:

واستفزز من استطعت منهم بصوتك وأجلب عليهم بخيلك ورجلك وشاركهم في الأموال والأولاد وعدهم , وما يعدهم الشيطان إلا غرورا

Artinya: Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.

Dalam menafsiri ayat tersebut, Ibnu Arabi dalam Ahkamul Quran, hlm. 3/208, menyatakan:

المسألة الثانية : قوله : { بصوتك } : فيه ثلاثة أقوال :

الأول : بدعائك . الثاني : بالغناء والمزمار . الثالث : كل داع دعاه إلى معصية الله ؟ قاله ابن عباس . فأما القول الأول فهو الحقيقة ، وأما الثاني والثالث فهما مجازان ، إلا أن الثاني مجاز خاص ، والثالث مجاز عام . وقد { دخل أبو بكر بيت عائشة ، وفيه جاريتان من جواري الأنصار تغنيان بما تقاولت به الأنصار يوم بعاث ، فقال : أمزمار الشيطان في بيت رسول الله ؟ فقال : دعهما يا أبا بكر ، فإنه يوم عيد } . فلم ينكر النبي صلى الله عليه وسلم على أبي بكر تسمية الغناء مزمار الشيطان ؟ وذلك لأن المباح قد يستدرج به الشيطان إلى المعصية أكثر وأقرب إلى الاستدراج إليها بالواجب ، فيكون إذا تجرد مباحا ، ويكون عند الدوام وما تعلق به الشيطان من المعاصي حراما ، فيكون حينئذ مزمار الشيطان ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم : { نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين فذكر الغناء والنوح } . وقدمنا شرح ذلك كله

Artinya: Maksud kata "shout" dalam "shoutika" ada tiga pendapat: (i) bermakna panggilan atau ajakanmu; (ii) nyanyian atau alat musik seruling; (iii) setiap ajakan ke arah maksiat pada Allah.

 Ibnu Abbas berkata: Pendapat pertama adalah makna hakiki. Makna kedua dan ketiga adalah makna majazi. Yang kedua majaz khusus, sedang yang ketiga majaz umum. Dalam sebuah hadits "Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah di situ terdapat dua budak perempuan Anshar yang sedang bernyanyi dengan lagu yang pernah dinyanyikan kaum Anshar pada hari bi'ats. Abu Bakar berkata: Apakah ada seruling setan di rumah Rasulullah? Nabi berkata: Biarkan mereka (bernyanyi) wahai Abu Bakar karena saat ini hari raya." Dalam hadits ini Nabi tidak mengingkari Abu Bakar dengan penamaan lagu sebagai seruling setan. Hal itu karena, perkara mubah terkadang oleh setan dapat dipalingkan ke perkara maksiat lebih banyak dan lebih dekat dibanding memalingkannya ke perkara wajib. Maka, musik itu apabila murni tanpa efek, hukumnya mubah (halal). Namun apabila terus-menerus dan berkaitan dengan maksiat maka menjadi haram. 

Dalam konteks terakhir ini maka musik atau lagu disebut seruling setan. Itulah latarbelakang sabda Nabi "Aku dilarang dari dua suara yang bodoh. Lalu Nabi menyebut menyanhi dan berkabung."

pandangan salah satu cendikiawan Muslim asal Mesir yang banyak menekuni fiqih perbandingan lintas mazhab, yaitu Syekh Ali Jum’ah dalam Kitab al-Bayan li Ma Yusyghilu al-Azhan fi Fatawa Syafiya wa Qadhaya ‘Ajilah. Dengannya, kita bisa menjadi tahu hukumnya dan alasan-alasan keharaman dan kebolehannya.  Menurut Syekh Ali Jumah, musik adalah setiap ritme atau irama yang keluar dari alat musik yang dimainkan. Oleh karenanya, para ulama berbeda pendapat perihal hukumnya karena tidak ada ketentuan yang jelas baik dari Al-Qur’an, hadits, maupun konsensus para ulama.

  وَمَسْأَلَةُ الْمُوْسِيْقِى مَسْأَلَةٌ خِلَافِيَةٌ فِقْهِيَّةٌ، لَيْسَتْ مِنْ أُصُوْلِ الْعَقِيْدَةِ، وَلَيْسَتْ مِنَ الْمَعْلُوْمِ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ، وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يُفَسِّقَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَلَا يُنَكِّرُ بِسَبَبِ تِلْكَ الْمَسَائِلِ الْخِلَافِيَّةِ  

Artinya, “Persoalan tentang musik merupakan persoalan khilafiyah (berbeda pendapat) dalam ranah fiqih, bukan termasuk ranah pokok akidah, bukan pula bagian dari suatu agama yang setiap muslim tahun tentangnya, sehingga tidak sepantasnya bagi kaum muslimin untuk menuduh fasik sebagian dari mereka pada sebagian yang lain, tidak pula mengingkari mereka disebabkan persoalan yang masih berselisih (hukumnya),”

 (Syekh Ali Jumah, al-Bayan li Ma Yusyghilu al-Azhan fi Fatawa Syafiyah wa Qadhaya ‘Ajilah, [Darul Ma’arif: cetakan pertama], juz I, halaman 365). 

Lebih lanjut, menurut ulama kelahiran Beni Seuf Mesir itu, alasan terjadinya perbedaan pendapat di antara para ulama fiqih karena tidak adanya nash (ketentuan) khusus dari Al-Qur’an, hadits, maupun konsensus para ulama yang mengharamkannya. Tidak hanya itu, menurut ulama kelahiran Beni Suef Mesir itu, tidak seharusnya umat Islam larut dalam perdebatan hukum-hukum yang masih diperselisihkan oleh para ulama, dan semua orang memiliki hak masing-masing untuk mengikuti salah satu pendapat yang ada, baik yang boleh maupun yang haram. Dengan demikian, tidak layak untuk mempermasalahkannya agar tidak terjadi perpecahan antaraumat Islam. Syekh Ali Jumah mengutip pendapat Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (wafat 505 H) yang mengategorikan musik dari bagian al-lahwu (permainan-kesenangan). 

Oleh karenanya, tidak jarang banyak orang-orang menjadikannya sebagai salah satu wahana untuk menenangkan dirinya dari rasa lelah sehingga sudah selayaknya untuk diperbolehkan sepanjang tidak berupa alat-alat yang memang diharamkan seperti gitar, dan seruling:


 فَاللَّهْوُ دَوَاءُ الْقَلْبِ مِنْ دَاءِ الْإِعْيَاءِ وَالْمِلَالِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ مُبَاحًا وَلَكِنْ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْهُ كَمَا لَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ الدَّوَاءِ

 Artinya, “al-Lahwu (kesenangan-musik) merupakan obat hati dari rasa lelah dan bosan, maka sudah seharusnya untuk diperbolehkan. Hanya saja, lebih baik untuk tidak memperbanyak dengannya, sebagaimana tidak berlebihan dalam mengonsumsi obat,” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 287).

 Sementara itu, ada juga ulama yang menegaskan bahwa tempat-tempat nyanyian yang di dalamnya disertai dengan alat-alat musik, hukumnya haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Dr Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, ia mengatakan

 وَتَكُوْنُ مَجَالِسُ الْغِنَاءِ الْمَقْرُوْنَةِ بِالْآلَاتِ الْمُوْسِيْقِيَّةِ حَرَاماً

 Artinya, “Tempat-tempat nyanyian yang di dalamnya bersamaan dengan alat-alat musik hukumnya haram,” (Syekh Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatih, [Damaskus, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 215).

✒️ Simpulan Hukum Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum musik masih diperselisihkan oleh para ulama sejak masa dahulu. Lantas, bagaimana cara menggabungkan dua pendapat di atas? Berikut jawabannya. Menurut Syekh Ali Jumah, setiap musik dan nyanyian yang mengandung unsur mengajak pada hal-hal yang diharamkan, mengandung keburukan, kejelekan, mengajak pada kemaksiatan, maka hukumnya haram. Dan, setiap nyanyian yang di dalamnya tidak ada unsur-unsur tersebut hukumnya boleh sepanjang tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram

 وَلِهَذَا نَرَى جَوَازَ الْغِنَاءِ، سَوَاءٌ كَانَ مَصْحُوْبًا بِالْمُوْسِيْقِي أَوْ لَا، بِشَرْطٍ أَلَّا يَدْعُوْ اِلَى مَعْصِيَةٍ أَوْ تَتَنَافِي مَعَانِيْهِ مَعَ مَعَانِي الشَّرْعِ الشَّرِيْفِ، غَيْرِ أَنَّ اسْتِدَامَتَهُ وَالْاِكْثَارَ مِنْهُ يُخْرِجُهُ مِنْ حَدِّ الْاِبَاحَةِ اِلَى حَدِّ الْكَرَاهَةِ وَرُبَّمَا اِلَى حَدِّ الْحُرْمَةِ 

Artinya, “Oleh karena itu, saya memandang bolehnya nyanyian, baik disertai musik atau tidak, dengan syarat tidak mengajak pada kemaksiatan atau di dalamnya mengandung nyanyian yang menghilangkan makna syariat yang mulia. Hanya saja, selalu menggunakan dan memperbanyaknya bisa mengeluarkannya pada batas boleh hingga masuk pada batas makruh, dan terkadang bisa sampai pada batas haram.” (Jumah: 1/368). .

Demikian penjelasan perihal hukum musik perspekstif Syekh Ali Jumah. 

Dengan mengetahuinya, semoga tidak lagi menjadikan musik sebagai legitimasi untuk saling menyalahkan sesama, dan semakin menimbulkan kesadaran bahwa perbedaan pendapat antarlama adalah rahmat bagi semua manusia.

KESIMPULAN HUKUM MUSIK DALAM ISLAM

Ulama sepakat bahwa aktifitas musik baik itu melakukan atau mendengarkan adalah haram apabila aktifitas itu dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Adapun mendengarkan musik yang isinya berkaitan dengan hal-hal yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada akhirat tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan menurut Al-Auza'i.

Imam Syafi'i seperti dikutip oleh Al-Ghazali menyatakan bahwa tidak ada seorangpun dari para ulama Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang tidak baik yang bertentangan dengan hukum syariah


wallohu'alam

Saturday, September 2, 2023



BAGAIMANA BILA AIR BELUM SAMPAI KEDALAM KUKU PADAHAL WUDHUK TELAH SELESAI 

Seandainya seseorang berwudhuk dan wudhuk nya pun telah selesai ia lakukan, kemudian ia menemukan bahwa kulit dibawah kukunya belum terkena ai wudhuk, lalu ia memotong kuku tersebut dengan maksud agar kuku tersebut tidak menjadi sebab tidak sah wudhuk nya, kemudian ia tidak mengulang kembali bagian yang belum terkena air tersebut, maka wudhuk nya tidak sah. 

Lalu solusinya bagaimana....? 


Solusinya adalah : 

Bila ia telah selesai berwudhuk, dan terjadi hal seperti diatas, maka setelah kukunya dipotong ia harus mengulang kembali wudhuk nya, pengulangan dimulai dari membasuh dua siku kemudian membasuh Kepala dan terakhir membasuh dua kaki. 


Hal ini dilakukan untuk memelihara ketertiban dalam berwudhuk. 

Namun akan berbeda halnya dengan mandi wajib... 

Kalau mandi wajib, bila seseorang selesai mandi wajib, kemudian melihat bahwa dibawah kukunya belum terbasahi air, kemudian ia memotong kuku tersebut... Maka ia hanya harus membasuh bagian yang belum terkena air tersebut. Karna dalam masalah mandi wajib, tidak ada keharusan untuk tertip dalam membasuh anggota wajib 


📚 Referensi : 

📚 kitab ianah At-thalibin , j : 1, h : 40, cet : al haramain 

ولو توضأ ثم تبين أن الماء لم يصب ظفره فقلمه لم يجزه بل عليه أن يغسل محل القلم ثم يعيد مسح رأسه وغسل رجليه مراعاة للترتيب. ولو كان ذلك في الغسل كفاه غسل محل القلم لأنه لا ترتيب فيه


والله اعلم بالصواب

Friday, February 3, 2023

HUKUM PINDAH, GONTA GANTI MADZHAB DAN TALFIQ

 


*Hukum pindah, gonta ganti madzhab dan talfiq*

Fenomena perpindahan mazhab telah terjadi sejak generasi ulama terdahulu. Seperti Imam Abu Tsaur yang awalnya bermazhab Hanafi lalu menjadi murid Imam Syafii dan menyebarkan mazhabnya. Imam Thahawi semula bermazhab Syafii lalu pindah ke mazhab Hanafi. Dan Imam Ibnu Mulaqqin berpindah dari mazhab Maliki ke mazhab Syafii.

Berpindah mazhab, baik secara total maupun hanya dalam beberapa masalah, hukumnya boleh dengan dua syarat berikut:

1. Tidak menyengaja mencari pendapat yang paling ringan dari setiap mazhab dalam keadaan tidak mendesak

Syekh Zainuddin Al-Malibari, ulama mazhab Syafii, menyatakan bahwa orang awam wajib berpegang pada salah satu dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).

Namun, ia masih boleh berpindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun dalam beberapa masalah, dengan syarat tidak mencari yang ringan-ringan saja secara sengaja. Jika ia melakukannya, maka ia termasuk golongan yang fasik.

Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, ulama terkemuka mazhab Hanbali, juga menuliskan:

وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَّبِعَ رُخَصَ الْمَذَاهِبِ وَأَخْذَ غَرَضِهِ مِنْ أَيِّ مَذْهَبٍ وَجَدَهُ فِيهِ، بَلْ عَلَيْهِ اتِّبَاعُ الْحَقِّ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ

Seseorang tidak boleh mencari-cari pendapat yang ringan dari beberapa mazhab, dan mengambil pendapat sesuai kehendaknya dari mazhab manapun itu. Namun, wajib baginya mengikuti pendapat yang benar sebisa mungkin.

Imam Syathibi, pakar ushul fikih dari mazhab Maliki, mengemukakan bahwa mengambil pendapat-pendapat yang ringan dari setiap mazhab adalah tindakan menuruti hawa nafsu.

Apabila keadaan mendesak atau seseorang membutuhkan pendapat yang ringan, maka ia boleh mengambil pendapat mazhab lain. Imam Taqiyuddin As-Subuki, ulama fikih terkemuka mazhab Syafii, mengungkapkan:

فَإِنَّهُ يَجُوْزُ التَّقْلِيْدُ لِلْجَاهِلِ وَالْأَخْذُ بِالرُّخْصَةِ مِنْ أَقْوَالِ الْعَلَمَاءِ بَعْضَ الْأَوْقَاتِ عِنْدَ مَسِيْسِ الْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ تَتَبُّعِ الرُّخَصِ. وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ يَصِحُّ أَنْ يُقَالَ الْإِخْتِلَافُ رَحْمَةٌ إِذِ الرُّخَصُ رَحْمَةٌ

Maka boleh taqlid bagi orang yang tidak tahu dan mengambil keringanan hukum dari pendapat-pendapat para ulama di sebagian waktu saat dibutuhkan, tanpa (menyengaja) mencari-cari pendapat yang ringan. Dari sini sah dikatakan bahwa perbedaan adalah rahmat, karena keringanan adalah rahmat.

2. Tidak menimbulkan talfiq (mencampurkan dua mazhab atau lebih dalam satu masalah)

Pengertian talfiq secara istilah menurut Ensiklopedia Fikih Kuwait adalah:

أَخْذُ صِحَّةِ الْفِعْل مِنْ مَذْهَبَيْنِ مَعًا بَعْدَ الْحُكْمِ بِبُطْلاَنِهِ عَلَى كُل وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمُفْرَدِهِ

Mengambil sahnya satu perbuatan dari dua mazhab secara bersamaan setelah perbuatan tersebut dihukumi batal menurut masing-masing mazhab.

Misalnya, seseorang berwudhu sesuai mazhab Syafii, tetapi ketika bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram ia menganggapnya tidak batal, karena menurut mazhab Maliki hal itu tidak membatalkan wudhu selama tidak disertai syahwat.

Hal seperti itu tidak diperbolehkan, karena ada perbedaan pendapat dalam rukun wudhu antara mazhab Syafii dan Maliki. Dalam mazhab Syafii, hanya diwajibkan mengusap sebagian kepala saja, sementara mazhab Maliki mewajibkan untuk mengusap seluruh kepala.

Jika seseorang berwudhu dengan mazhab Syafii dan bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram, maka wudhunya batal. Untuk memakai pendapat Maliki yang menghukumi bersentuhan kulit tidak batal, seseorang harus berwudhu dengan cara Maliki juga.

Ulama madzhab Syafi'i, imam Ibnu Hajar Al-Haitami, melarang seseorang untuk mencampurkan dua mazhab dalam masalah yang sudah tersusun dan terstruktur rangkaiannya menurut masing-masing mazhab. Demikian pula menurut ulama mazhab Hanafi, Syeikh ‘Alauddin Al-Hashkafi.

Agar tidak terjadi talfiq, maka seseorang harus mengikuti satu mazhab saja dalam setiap satu masalah atau ibadah. Misalnya, jika seorang bermazhab Syafii bermaksud berpindah ke mazhab Maliki saat wudhu, maka ia harus mengikuti mazhab Maliki dalam keseluruhan hukum wudhu, mulai syarat-syarat wudhu, rukun-rukunnya, sampai hal-hal yang membatalkannya. 

Namun, ada beberapa ulama yang membolehkan talfiq, antara lain Imam Ibnu Al-Humam dari mazhab Hanafi, serta Imam Ibnu ‘Arafah dan Syeikh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki, dengan tiga syarat:

Pertama, tidak sengaja mencari keringan-keringanan hukum sebagaimana penjelasan di atas.

Kedua, tidak dilakukan untuk membatalkan vonis hakim.

Ketiga, tidak dilakukan karena menarik diri dari perbuatan yang sudah dilakukan atau dari sesuatu yang disepakati.


Kesimpulan

Berpindah mazhab adalah hal yang tidak dapat dihindari karena situasi yang berubah-ubah. Ulama sepakat membolehkan seseorang berpindah mazhab dengan dua syarat:

Pertama, tidak berpindah mazhab dengan tujuan mengambil pendapat yang ringan-ringan saja dalam keadaan tidak terdesak. Kedua, tidak talfiq atau menggabungkan dua mazhab atau lebih dalam satu perkara ibadah.

Jika seseorang pindah mazhab dan memenuhi dua syarat di atas, maka amalannya sah secara fikih.

Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.

Tuesday, January 31, 2023

OBROLAN RINGAN KAJIAN MEMBANGUN MAQBAROH DAN MENANAM MAESAN/ KIJING

[NASEHAT UNTUK DIINGAT}


30/1 21.56] NERIMA PESAN HNI-SHOPEE: Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh mau nanya Poro Masyayikh

Bagaimana hukum nembok maqbaroh, kalau boleh sebatas mana kebolehan nya. Kalau gak Boleh Kenapa alasan nya banyaknya masyarakat dan orang sholeh menemboknya.

Terimakasih jazakumullah buat yang lagi kesepian karena ga ada yang nanya. Mempeng sepi🙏🙏🙏

Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh 

[30/1 22.16] +62 853-3359-2253: Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim...

 🙏🏻🙏🏻🙏🏻

قَالَ أَصْحَابُنَا تَجْصِيصُ الْقَبْرِ مَكْرُوهٌ وَالْقُعُودُ عَلَيْهِ حَرَامٌ وَكَذَا الِاسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالِاتِّكَاءُ عَلَيْهِ

[30/1 22.23] +62 853-3359-2253: Dalam kalam imam safi,i...

ويسطح القبر ولا يبني عليه ولا يجصص

Mungkin yang menemboknya itu sudah di bayar tanahnya atao membayar pajak  sama ahli keluarga makanya di bangun...kalo tempat umum yang di miliki masarakat tidak di ijinkan...kuatir tidak ada tempat untuk orang lain...

Dalam keterangan di bawah ini kuburan harus diratakan dan tidak boleh di bangun....

ويسطح القبر ولا يبني عليه ولا يجصص

Konteks di atas di dukung dgn hadis ini.... kalo nggak salah...lupa soalnya ...pikun...hee

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Dan Referensinya  Kalo nggak salah kiyai... (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 83 dan At Tadzhib, hal. 94).

Dan Kalo hadisnya Kifayatul Akhyar, hal. 214. kalo nggak salah...maklum fikun..heee🙏🏻

[30/1 22.43] NERIMA PESAN HNI-SHOPEE:

Bagaimana dengan MAKBAROH para ulama kalau ZIYAROH suka banyak yang ditembok. Apakah pengecualian itu? 

[31/1 03.24] Admin 6: Bagaimana sebenarnya hukum Memberi Maesan / kijing diatas kuburan.? 

 🌨️Jawaban 🌨️

Hukum memasang kijing atau maesan di atas kuburan menurut qoul yang di unggulkan adalah haram karena :

▪️Masih tetap ada setelah rusaknya mayit

▪️Memyempitkan lahan bagi muslim lain tanpa ada tujuan yang di benarkan

📝Terkecuali kuburan para nabi, syuhada dan orang-orang sholeh maka di perbolehkan membangun meski di atas tanah kuburan umum.

📝 Hukum ini ketika di tanah makam umum (mauqufah/musabbalah) berbeda hukum makam tanah pribadi/milik orang lain maka dengan ada idzin maka hukumnya makruh.

📝Tujuan yang di benarkan itu seperti menjaga dari pencurian, hewan buas dan banjir maka boleh membangun di atas kuburan bila terdapat salah satu alasan ini. 

⚜️🌐 *━•⊰Referensi⊱•━*⚜️🌐

📚تحفة ج٣ / ١٩٨ 

وَهَلْ مِنْ الْبِنَاءِ مَا اُعْتِيدَ مِنْ جَعْلِ أَرْبَعَةِ أَحْجَارٍ مُرَبَّعَةٍ مُحِيطَةٍ بِالْقَبْرِ مَعَ لَصْقِ رَأْسِ كُلٍّ مِنْهَا بِرَأْسِ الْآخَرِ بِجِصٍّ مُحْكَمٍ أَوْ لَا لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى بِنَاءً عُرْفًا وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ الْأَوَّلُ لِأَنَّ الْعِلَّةَ السَّابِقَةَ مِنْ التَّأْبِيدِ مَوْجُودَةٌ هُنَا

📚اعانة الطالبين ج ٢ ص ١٣٦

( وكره بناء له ) أي للقبر ( أو عليه ) لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل

ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل ا...لبلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه

(قوله: لصحة النهي عنه) أي عن البناء. وهو ما رواه مسلم، قال: نهى رسول الله (ص) أن يجصص القبر وأن يبنى عليه. زاد وأن يقعد عليه الترمذي: وأن يكتب عليه، وأن يوطأ عليه. وقال: حديث حسن صحيح. وقال البجيرمي: واستثنى بعضهم قبور الانبياء والشهداء والصالحين ونحوهم. برماوي. وعبارة الرحماني. نعم، قبور الصالحين يجوز بناؤها ولو بقية لاحياء الزيارة والتبرك.

📚نهاية الزين ج ١ ص ١٥٥ 

ولو وجد بناء في أرض مسبلة ولم يعلم أصل وضعه هل هو بحق أو لا ترك لاحتمال أنه وضع بحق نعم لو كان البناء في المسبلة لخوف نبش سارق أو سبع أو تخرق سيل جاز ولا يهدم

📚(الباجوري ١/ ٥٦٥) 

قوله (ولا يبنى عليه) فيكره البناء عليه إن كان في غير نحو المقبرة المسبلة للدفن فيهاوإلا حرم سواء كان فوق الارض أو في باطنها، فيجب على الحاكم هدم جميع الأبنية التي في القرافة المسبلة للدفن فيها، وهي التي جرت عادة اهل البلد بالدفن فيها لأنه يضيق على الناس ولا فرق بين أن يكون البناء قبة أو بيتا أو مسجدا أو غير ذلك، ومنه الأحجار المعروفة بالتركيبة.

📚[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٤١١/١] 

 قَوْلُهُ: (بِحُرْمَةِ الْبِنَاءِ) وَلَوْ نَحْوَ بَيْتٍ لِيَأْوِيَ فِيهِ الزَّائِرُونَ، *وَسَوَاءٌ بَاطِنُ الْأَرْضِ وَظَاهِرُهَا*، وَمِنْهُ الْأَحْجَارُ الْمَشْهُورَةُ الْآنَ.

[31/1 04.55] Admin 6: Ngaji Fiqih

Hukum Membangun Kuburan (kijing)

Oleh Muhans / Tinggalkan Komentar / Januari 14, 2022 / 12 minutes of reading


Deskripsi Masalah

Suatu hari Karim yang sudah lama merantau dan baru kembali ke kampung halamannya hendak berziarah ke makam orangtuanya di pemakaman desa. Namun karena setelah puluhan tahun ia baru kembali dan banyak perubahan yang terjadi di area makam, ia merasa pangling dan tidak lagi mengenali kuburan orang tuanya. Apalagi kuburan orang tuanya tidak dibangun dengan menggunakan batu bata dan semen seperti yang lain sehingga kuburan yang demikian mudah menjadi rata kembali dengan tanah dan nisannya pun hilang. Sementara di area makam sudah tampak banyak bangunan baru secara permanen. Akhirnya Karim pun melangsungkan Tahlilan di pinggiran area makam. Ketika pulang ke rumahnya, ia prihatin dan berpesan kepada anak – anaknya agar kelak jika ia meninggal agar kuburannya dibangun permanen menggunakan batu bata dan semen supaya kuburannya tidak hilang dan menjadi rata dengan tanah, serta mudah untuk menziarahinya.

Pertanyaan;

a. Bagaimanakah hukumnya membangun kuburan (mengkijing) secara permanen?

Jawaban

Tafsil:

– Jika ditanah pemakaman umum baik wakafan atau musabbal maka memasang kijing di atas kuburan tersebut hukumnya haram karena :

a. Masih tetap ada setelah rusaknya mayit.

b. Memyempitkan lahan bagi muslim lain tanpa ada tujuan yang di benarkan.

– Jika tanah pribadi /milik orang lain dan dengan ada idzin maka hukumnya makruh. Kecuali jika bertujuan untuk berhias dan bermegah-megahan maka harom.

Catatan

– Apabila sudah terjadi kasus membangun kuburan (Mengkijing) di tanah pemakaman umum baik musabal atau wakafan, maka ulama sepakat wajib untuk menghancurkannya karena hal tersebut termasuk keharoman. Dan menurut “imam ibnu hajar” hal ini tidak boleh dilakukan perorangan melainkan pihak yang berwenang guna untuk meredam konflik yang mungkin terjadi. (pihak yang berwenang bisa terlebih dahulu bermusyawarah terhadap ahli waris agar tidak timbul gesekan).

– Menurut sebagian ulama, diantaranya seperti “Imam Al-Bujairimi dan Imam Ar-Rohmani, Imam Al-Halabi dan Imam Az-Zayadi” , bahwa Untuk kuburan para nabi, syuhada dan orang-orang sholeh (Yaitu orang yang menghabiskan hidupnya untuk menjalankan keta’atan kepada Allah ) di perbolehkan membangun meski di atas tanah kuburan umum. Sebab untuk keperluan ziyaroh dan tabarruk (Mengambil keberkahan). 

-Tujuan yang di benarkan itu seperti menjaga dari pencurian, hewan buas dan banjir maka boleh membangun di atas kuburan bila terdapat salah satu alasan ini.

– Makam musabbal adalah makam yang tidak didahului dengan kepemilikan oleh seseorang dan juga bukan berupa wakafan namun masyarakat sudah mengadatkan untuk menguburkan jenazah disitu.

NB.

Keinginan  penulis mudahan – mudahan di setiap daerah menerapkan hal ini sebagai perdes (peraturan desa) menyoal menanggulangi habis nya lahan pemakaman seiring berjalannya waktu dan terlebih menerapkan perkara hak menurut hukum agama . 

b. Bolehkah berpesan atau berwasiat seperti dalam deskripsi masalah?

Jawaban

Wasiat seperti itu hukumnya tidak sah. Dan tidak dianjurkan untuk  dilaksanakan, bahkan haram jika ditanah musabbal/mauquf.

Refrensi

النووي ,شرح النووي على مسلم ,7/27

(نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ) وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى نَهَى عن تقصيص القبور التقصيص بالقاف وصادين مهملتين هُوَ التَّجْصِيصُ وَالْقَصَّةُ بِفَتْحِ الْقَافِ وَتَشْدِيدِ الصَّادِ هِيَ الْجِصُّ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ كَرَاهَةُ تَجْصِيصِ القبر والبناء عيه وَتَحْرِيمُ الْقُعُودُ وَالْمُرَادُ بِالْقُعُودِ الْجُلُوسُ عَلَيْهِ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّأِ الْمُرَادُ بِالْقُعُودِ الْجُلُوسُ وَمِمَّا يُوَضِّحُهُ الرِّوَايَةُ الْمَذْكُورَةُ بَعْدَ هَذَا لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى (لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتَحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ) قَالَ أَصْحَابُنَا تَجْصِيصُ الْقَبْرِ مَكْرُوهٌ وَالْقُعُودُ عَلَيْهِ حَرَامٌ وَكَذَا الِاسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالِاتِّكَاءُ عَلَيْهِ وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ فِي مِلْكِ الْبَانِي فَمَكْرُوهٌ وَإِنْ كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ فَحَرَامٌ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ

تحفة المحتاج ج٣ / ١٩٨

وَهَلْ مِنْ الْبِنَاءِ مَا اُعْتِيدَ مِنْ جَعْلِ أَرْبَعَةِ أَحْجَارٍ مُرَبَّعَةٍ مُحِيطَةٍ بِالْقَبْرِ مَعَ لَصْقِ رَأْسِ كُلٍّ مِنْهَا بِرَأْسِ الْآخَرِ بِجِصٍّ مُحْكَمٍ أَوْ لَا لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى بِنَاءً عُرْفًا وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ الْأَوَّلُ لِأَنَّ الْعِلَّةَ السَّابِقَةَ مِنْ التَّأْبِيدِ مَوْجُودَةٌ هُنَا

اعانة الطالبين ج ٢ ص ١٣٦

( وكره بناء له ) أي للقبر ( أو عليه ) لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل ا…لبلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه (قوله: لصحة النهي عنه) أي عن البناء. وهو ما رواه مسلم، قال: نهى رسول الله (ص) أن يجصص القبر وأن يبنى عليه. زاد وأن يقعد عليه الترمذي: وأن يكتب عليه، وأن يوطأ عليه. وقال: حديث حسن صحيح. وقال البجيرمي: واستثنى بعضهم قبور الانبياء والشهداء والصالحين ونحوهم. برماوي. وعبارة الرحماني. نعم، قبور الصالحين يجوز بناؤها ولو بقية لاحياء الزيارة والتبرك.

نهاية الزين ج ١ ص ١٥٥

ولو وجد بناء في أرض مسبلة ولم يعلم أصل وضعه هل هو بحق أو لا ترك لاحتمال أنه وضع بحق نعم لو كان البناء في المسبلة لخوف نبش سارق أو سبع أو تخرق سيل جاز ولا يهدم

حاشية الباجوري ١/ ٥٦٥

قوله (ولا يبنى عليه) فيكره البناء عليه إن كان في غير نحو المقبرة المسبلة للدفن فيهاوإلا حرم سواء كان فوق الارض أو في باطنها، فيجب على الحاكم هدم جميع الأبنية التي في القرافة المسبلة للدفن فيها، وهي التي جرت عادة اهل البلد بالدفن فيها لأنه يضيق على الناس ولا فرق بين أن يكون البناء قبة أو بيتا أو مسجدا أو غير ذلك، ومنه الأحجار المعروفة بالتركيبة.

تقي الدين الحصني، كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار، صفحة ١٦٤

وَيكرهُ تجصيصه وَالْكِتَابَة عَلَيْهِ وَكَذَا الْبناء عَلَيْهِ فَلَو بنى عَلَيْهِ إِمَّا قبَّة أَو محوطاً وَنَحْوه نظر إِن كَانَ فِي مَقْبرَة مسْلبَةٌ هدم لِأَن الْبناء وَالْحَالة هَذِه حرَام قَالَ النَّوَوِيّ هَذَا بِلَا خلاف وَهل يطين الْقَبْر قَالَ إِمَام الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزالِيّ لَا وَلم يذكر جُمْهُور الْأَصْحَاب وَنقل التِّرْمِذِيّ عَن الشَّافِعِي أَنه قَالَ لَا بَأْس بالتطيين

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٤١١/١]

 قَوْلُهُ: (بِحُرْمَةِ الْبِنَاءِ) وَلَوْ نَحْوَ بَيْتٍ لِيَأْوِيَ فِيهِ الزَّائِرُونَ، وَسَوَاءٌ بَاطِنُ الْأَرْضِ وَظَاهِرُهَا، وَمِنْهُ الْأَحْجَارُ الْمَشْهُورَةُ الْآنَ.

المجموع شرح مهذب ج 5 ص 260

قال الشافعي والأصحاب: يكره أن يجصص القبر، وأن يكتب عليه اسم صاحبه أو غير ذلك، وأن يبنى عليه، وهذا خلاف فيه عندنا، وبه قال مالك وأحمد وداود وجماهير العلماء، وقال أبو حنيفة: لا يكره، دليلنا الحديث السابق، قال أصحابنا رحمهم الله: ولا فرق في البناء بين أن يبنى قبة أو بيتاً أو غيرهما، ثم ينظر فإن كان مقبرة مسبلة حرم عليه ذلك؛ قال أصحابنا ويهدم هذا البناء بلا خلاف. قال الشافعي في «الأم»: ورأيت من الولاة من يهدم ما بنى فيها، ولم أر الفقهاء يعيبون عليه ذلك، ولأن في ذلك تضييقاً على الناس، قال أصحابنا: وإن كان القبر في ملكه جاز بناء ما شاء مع الكراهة، ولا يهدم عليه، قال أصحابنا: وسواء كان المكتوب على القبر في لوح عند رأسه كما جرت عادة بعض الناس أم في غيره، فكله مكروه لعموم الحديث، قال أصحابنا وسواء في كراهة التجصيص للقبر في ملكه أو المقبرة المسبلة، وأما تطيين القبر، فقال إمام الحرمين والغزالي يكره ونقل أبو عيسى الترمذي في جامعه المشهور أن الشافعي قال: لا بأس بتطيين القبر، ولم يتعرض جمهور الأصحاب له؛ فالصحيح أنه لا كراهة فيه، كما نص عليه. ولم يرد فيه نهي.

إعانة الطالبين – البكري الدمياطي – ج ٢ – الصفحة ١٣٧

وقال سم: لا يبعد أن يستثنى عليه ما لو كان جعل الأحجار المذكورة لحفظه من النبش والدفن. اه‍. وقال البجيرمي: واستثنى بعضهم قبور الأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم. برماوي. وعبارة الرحماني. نعم، قبور الصالحين يجوز بناؤها ولو بقية لاحياء الزيارة والتبرك. قال الحلبي: ولو في مسبلة، وأفتى به، وقد أمر به الشيخ الزيادي مع ولايته، وكل ذلك لم يرتضه شيخنا الشوبري، وقال: الحق خلافه. وقد أفتى العز بن عبد السلام بهدم ما في القرافة.

حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب ج 2 ص 297

(وَلَا يُبْنَى) عَلَى الْقَبْرِ نَحْوُ قُبَّةٍ كَبَيْتٍ (وَلَا يُجَصَّصُ) أَيْ يُبَيَّضُ بِالْجِصِّ وَهُوَ الْجِبْسُ وَقِيلَ: الْجِيرُ وَالْمُرَادُ هُنَا هُمَا أَوْ أَحَدُهُمَا، أَيْ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ وَالتَّجْصِيصُ لِلنَّهْيِ عَنْهُمَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ. وَخَرَجَ بِتَجْصِيصِهِ تَطْيِينُهُ فَإِنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ. وَقَالَ فِي الْمَجْمُوعِ: إنَّهُ الصَّحِيحُ، وَتُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كُتِبَ عَلَيْهِ اسْمُ صَاحِبِهِ أَمْ غَيْرِهِ، وَيُكْرَهُ أَنْ يُجْعَلَ عَلَى الْقَبْرِ مِظَلَّةٌ لِأَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – رَأَى قُبَّةً فَنَحَّاهَا وَقَالَ: دَعُوهُ يُظِلُّهُ عَمَلُهُ. وَلَوْ بُنِيَ عَلَيْهِ فِي مَقْبَرَةٍ مُسْبَلَةٌ وَهِيَ الَّتِي جَرَتْ عَادَةُ أَهْلِ الْبَلَدِ بِالدَّفْنِ فِيهَا حُرِّمَ وَهُدِمَ لِأَنَّهُ يُضَيِّقُ عَلَى النَّاسِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَبْنِي قُبَّةً أَوْ بَيْتًا أَوْ مَسْجِدًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ ،قَوْلُهُ: (وَلَا يُبْنَى) أَيْ يُكْرَهُ فِي غَيْرِ الْمُسْبَلَةِ وَالْمَوْقُوفَةِ وَيَحْرُمُ فِيهِمَا كَمَا أَشَارَ لِذَلِكَ الشَّارِحُ، إلَّا إنْ خِيفَ نَبْشُهُ أَوْ تَخْرِقَةُ سَيْلٍ لَهُ فَلَا يُكْرَهُ حِينَئِذٍ وَلَا فَرْقَ فِي عَدَمِ الْكَرَاهَةِ لِأَجْلِ ذَلِكَ بَيْنَ الْمُسْبَلَةِ وَغَيْرِهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ الزَّرْكَشِيّ. اهـ. حَجّ وَلَوْ وُجِدَ بِنَاءٌ فِي أَرْضٍ مُسْبَلَةٍ وَلَمْ يُعْلَمْ أَصْلُهُ تُرِكَ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ وُضِعَ بِحَقٍّ قِيَاسًا عَلَى مَا حَرَّرُوهُ فِي الْكَنَائِسِ وَمِنْ الْبِنَاءِ الْأَحْجَارُ الَّتِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِتَرْكِيبِهَا نَعَمْ اسْتَثْنَى بَعْضُهُمْ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَنَحْوَهُمْ، بِرْمَاوِيٌّ وَعِبَارَةُ الرَّحْمَانِيِّ: نَعَمْ قُبُورُ الصَّالِحِينَ يَجُوزُ بِنَاؤُهَا وَلَوْ بِقُبَّةٍ الْأَحْيَاءِ لِلزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ، قَالَ الْحَلَبِيُّ: وَلَوْ فِي مُسْبَلَةٍ، وَأَفْتَى بِهِ، وَقَالَ: أَمَرَ بِهِ الشَّيْخُ الزِّيَادِيُّ مَعَ وِلَايَتِهِ وَكُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَرْتَضِهِ شَيْخُنَا الشَّوْبَرِيُّ، وَقَالَ: الْحَقُّ خِلَافُهُ وَقَدْ أَفْتَى الْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ بِهَدْمِ مَا فِي الْقَرَافَةِ، وَيُسْتَثْنَى قُبَّةُ الْإِمَامِ لِكَوْنِهَا فِي دَارِ ابْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ اهـ وَيَظْهَرُ حَمْلُ مَا أَفْتَى بِهِ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ عَلَى مَا إذَا عَرَفَ حَالَ الْبِنَاءِ فِي الْوَضْعِ، فَإِنْ جُهِلَ تُرِكَ حَمْلًا عَلَى وَضْعِهِ بِحَقٍّ كَمَا فِي الْكَنَائِسِ الَّتِي نُقِرُّ أَهْلَ الْكَنَائِسِ عَلَيْهَا فِي بِلَادِنَا وَجَهِلْنَا حَالَهَا، وَكَمَا فِي الْبِنَاءِ الْمَوْجُودِ عَلَى حَافَّاتِ الْأَنْهَارِ وَالشَّوَارِعِ اهـ وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر: وَصَرَّحَ فِي الْمَجْمُوعِ بِحُرْمَةِ الْبِنَاءِ فِي الْمُسْبَلَةِ، قَالَ الْأَذْرَعِيُّ: وَيَقْرُبُ إلْحَاقُ الْمَوَاتِ بِهَا لِأَنَّ فِيهِ تَضْيِيقًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ بِمَا لَا مَصْلَحَةَ وَلَا غَرَضَ شَرْعِيٌّ فِيهِ بِخِلَافِ الْأَحْيَاءِ. اهـ

سراج الطالبين ص ١/٧

الصالح) اسم فاعل من صلح : إذا استقامت أفعاله وأحواله فيما بينه وبين الله تعالى ، أو القائم بحقوق الله وحقوق عباده . وفال البيضاوي : هو الذي صرف عمره في طاعة الله ، وماله في مرضاته ، وهو ناظر للصالح الكامل فلا ينافي أن من صرف مدة عمره عمل المعاصي ثم تاب توبة صحيحة ، . وسلك طريق السلوك وقام بخدمة ملاك الملوك يسمى صالحا

[ابن حجر الهيتمي ,الفتاوى الفقهية الكبرى ,2/18]

وَسُئِلَ) – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مَا حُكْمُ بِنَاءِ الْقُبُورِ قَدْرَ مِدْمَاكَيْنِ فَقَطْ وَهَلْ يَجُوزُ أَخْذُ حِجَارَةِ الْقُبُورِ لِسَدِّ فَتْحِ لَحْدٍ أَوْ لِبِنَاءِ قَبْرٍ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ لَا يَجُوزُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ بِنَاءُ الْقَبْرِ فِي الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ سَوَاءٌ أَظْهَرَ بِبُنْيَانِهِ تَضْيِيقٌ فِي الْحَالِ أَمْ لَا وَهِيَ الَّتِي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فِيهَا وَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ لَهَا مُسَبِّلٌ وَأَلْحَقَ بِهَا الْأَذْرَعِيُّ الْمَوَاتَ لِأَنَّ فِيهِ تَضْيِيقًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ بِمَا لَا مَصْلَحَةَ وَلَا غَرَضٌ شَرْعِيٌّ فِيهِ بِخِلَافِ الْإِحْيَاءِ وَهُوَ أَوْجَهُ مِنْ قَوْلِ غَيْرِهِ يَجُوزُ وَيُهْدَمُ بِلَا خِلَافٍ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ وَإِنْ قُلْنَا الْكَرَاهَةُ لِلتَّنْزِيهِ وَيَظْهَرُ أَنَّ الَّذِي يَهْدِمُهُ هُوَ الْحَاكِمُ لَا الْآحَادُ أَخْذًا مِنْ كَلَامِهِمْ فِي بَابِ الصُّلْحِ لِمَا يُخْشَى فِيهِ مِنْ الْفِتْنَةِ وَسَوَاءٌ فِيمَا ذُكِرَ الْبِنَاءُ فِي حَرِيمِ الْقَبْرِ وَخَارِجِهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ وَمِنْ الْمُسَبَّلَةِ الْمَوْقُوفَةِ بَلْ أَوْلَى.قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْبِنَاءُ فِي الْمَقَابِرِ أَمْرٌ قَدْ عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى وَطَمَّ وَلَقَدْ تَضَاعَفَ الْبِنَاءُ حَتَّى انْتَقَلَ لِلْمُبَاهَاةِ وَالشُّهْرَةِ وَسُلِّطَتْ الْمَرَاحِيضُ عَلَى أَمْوَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَالْأَشْرَافِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَغَيْرِهِمْ فَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ اهـ وَلَيْسَ هَذَا خَاصًّا بِتُرَبِ مِصْرَ بَلْ انْتَقَلَ نَظِيرُ ذَلِكَ وَأَفْحَشُ مِنْهُ إلَى تُرْبَتَيْ الْمَعْلَاةِ وَالْبَقِيعِ حَتَّى صَارَ يَقَعُ فِيهِمَا مِنْ الْمَفَاسِدِ مَا لَا يَقَعُ فِي غَيْرِهِمَا وَسَبَبُهُ وُلَاةُ السُّوءِ وَقُضَاةُ الْجَوْرِ ثُمَّ ظَاهِرُ إطْلَاقِهِمْ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْبِنَاءِ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِأَنَّ عِلَّةَ الْحُرْمَةِ أَنَّهُ يَتَأَبَّدُ بِالْجَصِّ وَإِحْكَامِ الْبِنَاءِ فَيُمْنَعُ عَنْ الدَّفْنِ هُنَاكَ بَعْدَ الْبِلَى وَالِانْمِحَاقِ وَهَذَا يَجْرِي فِي الْبِنَاءِ الْقَلِيلِ فَهُوَ حَرَامٌ كَالْكَثِيرِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

[عبد الرحمن الجزيري، الفقه على المذاهب الأربعة، ٤٨٧/١]

يكره أن يبنى على القبر بيت أو قبة أو مدرسة أو مسجد أو حيطان تحدق به – كالحيشان – إذا لم يقصد بها الزينة والتفاخر، وإلا كان ذلك حراماً، وهذا إذا كانت الأرض غير مسبلة ولا موقوفة؛ والمسبلة هي التي اعتاد الناس الدفن فيها، ولم يسبق لأحد ملكها؛ والموقوفة: هي ما وقفها مالك بصيغة الوقف، كقرافة مصر التي وقفها سيدنا عمر رضي الله عنه أما المسبلة والموقوفة فيحرم فيهما البناء مطلقاً، لما في ذلك من الضيق والتحجير على الناس، وهذا الحكم متفق عليه بين الأئمة، إلا أن الحنابلة قالوا: إن البناء مكروه مطلقاً، سواء كانت الأرض مسبلة أو لا، والكراهة في المسبلة أشد؛ وبذلك تعلم حكم ما ابتدعه الناس من التفاخر في البنيان على القبور، وجعلها قصوراً ومساكن قد لا يوجد مثلها في مساكن كثير من الأحياء، ومن الأسف أنه لا فرق في هذه الحالة بين عالم وغيره.

الرافعي، عبد الكريم، العزيز شرح الوجيز المعروف بالشرح الكبير  452/2

(1) حاصله أن البناء على القبر مكروه مطلقاً سواء كان في مسبلة أم لا؟، وأمَّا الهدم فيفصل بين المسبلة وغيرها لكن قول المصنف، فإن كان في مسبلة هدم يقتضي أن الكراهة كراهة تحريم، وصرح به في شرح المهذب فجزم بالتحريم، وقال: قال أصحابنا: وبهدم البناء، قال في الأم: ورأيت من الولاة من يهدم ما يبنى فيها لم أر الفقهاء يعيبون عليه في ذلك، ولأن في ذلك تضييقاً على الناس، وذكر في شرح مسلم قبل كتاب الزكاة نحوه أيضاً، وجزم به أيضاً في الفتاوى، *وعبارة الحاوي أن التجصيص ممنوع في ملكه وغيره. وعبارة ابن كج وسليم لا يجوز تجصيص القبور، ولا أن يبنى عليها قباب ولا غيرها، والوصية به باطلة.


نهاية الزين ص ٢٧٨

وأركان الْوَصِيَّة أَرْبَعَة موص وموصى لَهُ وموصى بِهِ وَصِيغَة وَشرط فِي الْمُوصي تَكْلِيف وحرية وَاخْتِيَار وَلَو كَانَ كَافِرًا حَرْبِيّا أَو غَيره وَإِن اسْترق بعد الْوَصِيَّة حَيْثُ عتق قبل مَوته أَو مَحْجُور سفه كَمَا يَقع من الْوَصِيَّة من الْمَرْأَة للغاسلة بِخَاتم أَو نَحوه أَو فلس كَمَا قَالَ (تصح وَصِيَّة مُكَلّف حر) مُخْتَار وَلَا بُد من وجود هَذِه الْأَوْصَاف عِنْد الْوَصِيَّة وَذَلِكَ لصِحَّة عبارتهم واحتياجهم للثَّواب الشَّامِل للتَّخْفِيف من عَذَاب غير الْكفْر فِي حق الْكَافِر والسكران كالمكلف وَإِن لم يكن تَمْيِيز فَلَا تصح الْوَصِيَّة من صبي وَمَجْنُون ومغمى عَلَيْهِ ورقيق وَلَو مكَاتبا ومكره كَسَائِر الْعُقُود لعدم ملك الرَّقِيق أَو ضعفه وَشرط فِي الْمُوصى لَهُ عدم الْمعْصِيَة وَعدم الْكَرَاهَة فِي الْوَصِيَّة لَهُ بِأَن تكون الْوَصِيَّة (لجِهَة حل) سَوَاء كَانَ الْمُوصى لَهُ جِهَة عَامَّة أَو غَيرهَا فَلَا تصح الْوَصِيَّة لكَافِر بِعَبْد مُسلم ومرتد ومصحف وَكتب علم فِيهَا آثَار السّلف لكَونهَا مَعْصِيّة إِذا بَقِي الْمُوصى لَهُ على الْكفْر إِلَى موت الْمُوصيثمَّ إِن كَانَت الْوَصِيَّة على غير جِهَة اشْترط فِي الْمُوصى لَهُ أَيْضا كَونه مَوْجُودا مَعْلُوما أَهلا للْملك فَلَا تصح الْوَصِيَّة لحمل سيحدث وَإِن حدث قبل موت الْمُوصي لِأَنَّهَا تمْلِيك وتمليك الْمَعْدُوم مُمْتَنع وَلَا تصح لأحد هذَيْن الرجلَيْن لِأَن الْملك لَا يتَصَوَّر للمبهم مَا دَامَ على إبهامه وَلذَلِك صَحَّ أَن يَقُول أعْطوا هَذَا لأحد هذَيْن لِأَنَّهُ تَفْوِيض لغيره وَهُوَ إِنَّمَا يعْطى معينا كَمَا صَحَّ قَوْله لوَكِيله بِعْهُ لأَحَدهمَا وَلَا تصح لمَيت لِأَنَّهُ لَيْسَ أَهلا للْملك وَلَا لدابة غير مَوْقُوفَة لذَلِك إِلَّا إِن فسر الْوَصِيَّة لَهَا بِالصرْفِ فِي عَلفهَا فَتَصِح لِأَن عَلفهَا على مَالِكهَا فَهُوَ الْمَقْصُود بِالْوَصِيَّةِ فَيشْتَرط قبُوله وَيتَعَيَّن الصّرْف إِلَى جِهَة الدَّابَّة رِعَايَة لغَرَض الْمُوصي وَلَا يسلم عَلفهَا للْمَالِك بل يصرفهُ الْوَصِيّ الَّذِي أَقَامَهُ الْمُوصي فَإِن لم يكن فَالْقَاضِي وَلَو بنائبه وَشَمل قَوْله لجِهَة حل الْقرْبَة كعمارة الْمَسَاجِد وَلَو من كَافِر وَعمارَة نَحْو قبَّة على قُبُور الْأَنْبِيَاء وَالْعُلَمَاء وَالصَّالِحِينَ لما فِي ذَلِك من إحْيَاء الزِّيَارَة والتبرك بهَا وَذَلِكَ إِذا كَانَ الدّفن فِي مَوَاضِع مَمْلُوكَة لَهُم أَو لمن دفنهم فِيهَا لأبناء الْقُبُور نَفسهَا للنَّهْي عَنهُ وَلَا فعل ذَلِك فِي الْمَقَابِر المسبلة فَإِن فِيهِ تضييقا على الْمُسلمين والمباحة كفك أُسَارَى كفار منا وَإِن كَانَ الْمُوصي ذِمِّيا وَأَعْطَاهُ غَنِي وَكَافِر وَلَو حَرْبِيّا ومرتدا إِذا لم يمت على ردته وَبِنَاء رِبَاط لنزول أهل الذِّمَّة أَو سكناهم بِهِ مَا لم يَأْتِ بِمَا يدل على أَنه للتعبد وَحده أَو مَعَ نزُول الْمَارَّة فَلَا تصح الْوَصِيَّة حِينَئِذٍ وكما لَو أوصى بِأَن يدْفن فِي بَيته فَتَصِح لِأَن الدّفن فِيهِ مُبَاح لَيْسَ بمكروه وَتَصِح الْوَصِيَّة

© 2023 Ngaji Fiqih. All right reserved.

[31/1 05.06] +62 831-5361-0998: Terimakasih, jadi inget 2 hari yang lalu pas ditv lihat pemakaman di tanah Arab, yang selalu dibongkar setelah beberapa th meninggal dan tulang belulang dijadikan 1 tempat agar pemakaman yang digunakan itu bisa digunakan kembali... dan yang dibongkar itu ulama Indonesia imam an Nawawi Al Bantani (klo tdk salah)...dan jasadnya masih tetap utuh meski sudah puluhan tahun atau ratus an th lupa...owh ternyata seperti itu klo di Arab ... 😆(Sumber acara tv di nettv😂)

[31/1 05.07] +62 831-5361-0998: Sebenernya boleh g sih tulang belulang manusia yg sudah meninggal itu disatukan jadi 1 tempat.  setelah lamaaaaaa meninggal guna tidak  menambah lahan kuburan LG?

[30/1 23.02] Hasanul Admin 4 Anwar: Dalam membangun kuburan itu haram, apa bila tanah nya itu bukan milik nya sendiri.

Dan letak keharamannya itu jika mayatnya bukan orang Sholeh, kalau orang Sholeh bleh di bangun walaupun bukan tanahnya sendiri, dengan catatan di pemakaman itu sudah ada wasiat bahwasanya di perbolehkan di bagun kuburan orang Sholeh, karena untuk mempermudah pesiyarah, atau untuk tabarrukan.

قَوْلُهُ: وَحَرُمَ أَيْ الْبِنَاءُ)  ظَاهِرًا وَبَاطِنًا إنْ لَمْ يَتَحَقَّقْ وَقْفُهَا وَمُحَلُّ ذَلِكَ مَا لَمْ يَكُنْ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاحِ وَمِنْ ثَمَّ جَازَتْ الْوَصِيَّةُ بِعِمَارَةِ قُبُورِ الصَّالِحِينَ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ إحْيَاءِ الزِّيَارَةِ أَوْ التَّبَرُّكِ ح ل

خاشية البجيرمي على شرح المنهج ج ١ ص ٤٩٦

Demikian berbagai tanggapan untuk bisa dicermati dan dipahami permasalahannya.

Terimakasih jazakumullah atas kebaikan semuanya telah memberikan kontribusi masukan pemikiran2nya sehingga dapat terwujud kumpulan kajian dan berbagai referensi.

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes