Dalam istilah kontemporer, oral seks dibahasakan dengan.
الجنس الفموي/الجنس الشفوي/الجماع الفموي
( تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
قال القاضي يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع
وقد روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه بلسانه
وقد قال أصبغ من علمائنا : يجوز له أن يلحسه بلسانه
- Dalam Fathul Mu'in tentang dhabith umum tamaththu':
( تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
Mahallu syahid: 'menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya.'
- Dalam Tafsir ath-Thabari tentang obyek umum tamaththtu' dzakar:
Mahallu syahid: 'Tusukkan alat kelaminmu di manapun yang engkau kehendaki.'
- Dalam al-Inshaf tentang mencium dzakar:
الثانية: ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم بلا إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة
- Dalam al-Mughni li Ibni Qudamah tentang kesunahan foreplay:
- Said Ramadhan al-Buthi, Mufti Suriah:
ما المحرَّمات في الاستمتاع الجنسي بين الزوجين؟
2ـ الجماع في الدبر، أي الإيلاج في الشرج..
3ـ المداعبات التي ثبت أنها تضرُّ أحد الزوجين أو كليهما، بشهادة أصحاب الاختصاص أي الأطباء.
أما ما وراء هذه الأمور الثلاثة المحرَّمة، فباقٍ على أصل الإباحة الشرعية...
"Apakah yang diharamkan dari percumbuan seksual di antara suami-istri ?
2. Bersetubuh pada dubur, yakni penetrasi pada anus.
- Dalam al-Mughni li Ibni Qudamah:
- Dalam Hasyiyah asy-Syarqawi:
Jawaban: Klarifikasi atas wacana tersebut bisa diketahui dari telaah dalil yang dijadikan acuan.
Dalil yang dimaksud berasal dari QS. Al-Baqarah ayat 222:
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
1. Telaah pertama: lafazh fa-tuhunna.
2. Telaah kedua: lafazh min haitsu
قوله تعالى: مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ الله فيه اربعة أقوال.
والثالث: فأتوهن من قبل التزويج الحلال لا من قبل الفجور، قاله ابن الحنفية.
"Firman Allah: Min haitsu amarakumullah, terdapat empat pendapat mengenai ayat ini :
Wacana ketiga, oral seks tidak menghasilkan anak dan tidak sesuai dengan maksud penciptaan syahwat.
Jawaban : Koreksi atas wacana tersebut datang dari dua sisi.
Koreksi pertama, dalil-dalil tasyabbuh dengan hewan tersebut dijumpai dalam konteks shalat, tidak dijumpai qiyas ulama dalam kondisi lainnya.
Dalil-dalil yang dimaksud antara lain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
"Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seimbangkanlah kalian dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya." (H.R.Bukhari-Muslim).
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ
"Dari Jabir bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami dan bersabda: Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia adalah ekor kuda yang gelisah. Tenanglah kalian di dalam shalat." (HR. Muslim).
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لَا تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ
"Dari Ali berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Hai Ali, janganlah duduk seperti duduknya anjing (dalam shalat)." (HR. Ibnu Majah)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ.
Dari Abdurrahman bin Syibli berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang (sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika sujud) seperti binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil lokasi khusus di masjid (untuk ibadahnya) sebagaimana unta menempati tempat berderumnya (berlutut turun dengan kedua kaki depan atau keempat kakinya, pen)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasai, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah).
Komentar Ibnu Daqiq al-'Ied dan Ibnu Hajar al-'Asqalani tentang hadits tersebut:
وقال ابن دقيق العيد هو ذكر الحكم مقرونا بعلته لأن التشبيه بالأشياء الخسيسة يناسب تركه في الصلاة ذكره السيوطي قال ابن حجر فيكره ذلك لقبح الهيئة المنافية للخشوع والأدب إلا لمن أطال السجود حتى شق عليه اعتماد كفيه فله وضع ساعديه على ركبتيه
"Ibnu Daqiq al-'Ied berkata: hadits itu berisi tentang penuturan hukum beserta alasannya. Sebab penyerupaan dengan sesuatu yang rendah bersesuaian untuk ditinggalkan dalam shalat, diungkapkan juga oleh as-Suyuthi. Ibnu Hajar berkomentar bahwa hal itu dimakruhkan sebab merupakan tingkah yang buruk yang meniadakan sifat khusu' dan adab, kecuali pada orang yang panjang sujudnya sehingga kepayahan menyangga dengan kedua telapak tangannya, maka dia boleh meletakkan kedua lengannya pada kedua lututnya". (Mirqat al-Mafatih syarh Misykat al-Mashabih, 3/425).
Koreksi kedua, bersetubuh dengan gaya belakang (doggy style) diperbolehkan oleh syariat meski nyata tasyabbuh dengan banyak hewan.
- Dalam tradisi kaum Anshar
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَال إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ
"Dari Ibnu Abbas berkata, sesungguhnya Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya- dia telah khilaf, sesungguhnya terdapat sebuah pemukiman Anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama pemukiman Yahudi yang merupakan ahli kitab. Mereka memandang orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Maka mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Di antaranya adalah para ahli kitab tidak menggauli isterinya kecuali dengan cara miring berhadapan di mana hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang wanita.
Kaum Anshar mengambil tradisi tersebut sementara kaum Quraisy menggauli isteri mereka dengan cara yang ditentang (oleh kaum Anshar). Kaum Quraisy bersenang-senang dengan isterinya baik dengan model menghadap, membelakangi, serta terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang di antara mereka menikahi wanita anshar. Kemudian dia menggaulinya dengan cara Quraisy itu. Wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata: Sesungguhnya kami hanya didatangi dengan cara miring berhadapan, lakukan hal itu jika tidak jauhilah aku! Akhirnya tersebarlah permasalahan mereka berdua dan sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Yakni dalam keadaan menghadap, membelakangi, serta terlentang, pada tempat lahirnya anak (farji)." (HR. Abu Dawud).
- Dalam perilaku Umar
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ
"Dari Ibnu Abbas berkata, Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bertanya: Apa yang membinasakanmu? Umar menjawab: Aku membalik tungganganku (istriku) tadi malam. Ibnu Abbas berkata: Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Ibnu Abbas melanjutkan: Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Lalu beliau mengatakan): "Bagaimana saja kamu kehendaki, baik dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan wanita haidh." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Thabarani, dan Abu Ya'la).
Wacana kelima, oral seks adalah hal menjijikkan, menyalahi fitrah, tidak beradab, serta mulut yang dipakai untuk berdzikir dan membaca al-Qur'an tidak layak berinteraksi dengan kemaluan sehingga patut diharamkan.
Jawaban : Argumen tersebut adalah perasaan subyektif manusia yang tidak bisa semata-mata dijadikan dalil. Sifatnya relatif dan bisa berbeda-beda tiap manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam enggan menyantap dhab (sejenis reptil arab) sementara Khalid bin Walid memakannya. Gaya persetubuhan dari belakang tadinya dipandang hina oleh kaum wanita Anshar dan Umar namun syariat memperbolehkannya.
Alasan mulut sebagai tempat berdzikir sehingga tidak layak berinteraksi dengan farji juga tidak cukup dijadikan illat. Mata berguna untuk membaca al-Qur'an namun boleh untuk melihat farji. Tangan yang dipakai untuk bersedekah juga tidak dilarang untuk menyentuh farji.
Wacana keenam, oral seks menimbulkan resiko bermacam penyakit seperti kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada kelamin wanita, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, AIDS, dll. Dengan demikian oral seks berimbas pada madharat. Madharat berimbas pada hukum haram.
Jawaban : Resiko penyakit pada oral seks adalah informasi medis, bukan bukti medis.
Penjelasannya, informasi medis dan bukti medis diistilahkan oleh KH. Arwani Faishal ketika mengomentari madharat rokok. Diungkapkan olehnya bahwa hasil penelitian medis sekarang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun tentang kemudharatan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi.
Tangan yang tidak dicuci menurut informasi medis rentan resiko penyakit Flu Singapura, Hepatitis A, Shigellosis (bakteri diare), dan Giardiasis (parasit usus). Sementara dari bukti medis belum diketahui berita masyarakat yang jatuh sakit karena makan tidak cuci tangan.
Dalam bahasa fiqih, dharar yang belum tahaqquq (belum sampai pada taraf bukti medis) tidak akan berimbas pada hukum haram.
Ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami:
فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ
"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225).
Perlu diketahui bahwa analisa istinbath hukum dari bahan konsumsi yang madharat setidaknya diproses lewat lima tahapan. Metodologi ini disarikan dari fatwa Ibnu Hajar ketika menjelaskan golongan tumbuhan yang madharat.
1.Tahapan pertama, tahaqquq dharar. Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifat dhararnya tahaqquq. Bila tidak tahaqquq maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah ke tahap kedua.
2.Tahapan kedua, qath'i dharurat dharar. Yakni menelusuri apakah dharar itu bersifat qath'i darurat lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dijamin stabil dihukumi dharar dari masa ke masa. Hal ini mustahil mengingat hasil riset pernyataan madharat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari, sehingga melangkah ke tahap ketiga.
3.Tahapan ketiga, khabar mutawatir tentang dharar. Yakni menelusuri apakah ada khabar mutawatir tentang madharat tersebut dari golongan yang reputasi adil. Bila ada maka dijadikan pegangan, namun bila timbul dua khabar mutawatir saling bertentangan maka melangkah ke tahap keempat.
4.Tahapan keempat, memadukan khabar mutawatir dharar yang bertentangan. Yakni bila dua khabar itu bisa dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengarahkan khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada sebagian kondisi yang lain.
5.Tahapan kelima, tarjih khabar dharar. Yakni bila khabar mutawatir itu tidak bisa dipadukan maka kedua khabar berubah statusnya menjadi hukum zhanni. Dalam perspektif dalil zhanni maka boleh mentarjih satu dari dua khabar bertentangan yang dianggap lebih dipercaya, memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya (ketika tidak ada pertentangan khabar), atau lewat pembuktian pada diri sendiri atas madharat tersebut.
Berikut sejumlah kutipan ta'bir terpisah dari fatwa Ibnu Hajar untuk dijadikan acuan:
Ta'bir tahapan pertama:
فَوَرَاءَ ذلك نَظَرٌ آخَرُ وهو أَنَّ ما يَخْتَلِفُ كَذَلِكَ هل النَّظَرُ فيه إلَى عَوَارِضِهِ اللَّاحِقَةِ له فَيَحْرُمُ على من ضَرَّهُ دُونَ من لم يَضُرَّهُ أو إلَى ذَاتِهِ فَإِنْ كان مُضِرًّا لِذَاتِهِ حَرُمَ مُطْلَقًا وَإِلَّا لم يَحْرُمْ مُطْلَقًا
"Di balik semua pentafshilan itu ada sebuah pertimbangan, yakni pada dampak yang berlainan seperti itu, yang dijadikan pertimbangan nanti apakah karena faktor luar yang dijumpai pada benda itu sehingga diharamkan bagi yang terkena madharat saja dan bukan bagi lainnya, atau bisa karena faktor esensi benda itu, bila secara alamiah berbahaya maka diharamkan sedang bila tidak berbahaya maka tidak diharamkan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)
فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ
"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225)
Ta'bir tahapan kedua:
وَبِالضَّرُورَةِ الْقَطْعِيَّةِ الْعِلْمُ بِحَقِيقَةِ هذا النَّبَاتِ مُتَعَسِّرٌ لِأَنَّهُ لَا طَرِيقَ إلَى الْعِلْمِ بها إلَّا خَبَرُ الصَّادِقِ وهو ما يَئِسَ منه إلَى أَنْ يَنْزِلَ عِيسَى على نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَأَزْكَى السَّلَامِ أو التَّجْرِبَةُ وَهِيَ مُعْتَذِرَةٌ -إلى أن قال-
ثُمَّ قُلْت له لَا بُدَّ أَنْ تَسْتَنِدَ إلَى حُجَّةٍ لم يَقَعْ فيها تَعَارُضٌ وَلَا نِزَاعٌ وَهِيَ التَّجْرِبَةُ فقال لَا يُمْكِنُنِي لِأَنَّ التَّجْرِبَةَ تَسْتَدْعِي مِزَاجًا وَزَمَانًا وَمَكَانًا مُعْتَدِلَاتٍ وَعَدَالَةَ الْمُجَرِّبِ لِأَنَّهُ يُخْبِرُ عَمَّا يَجِدَهُ من ذلك النَّبَاتِ فَلَا بُدَّ من عَدَالَتِهِ حتى يُقْبَلَ إخْبَارُهُ وَذَلِكَ كُلُّهُ مُتَعَذِّرٌ في هذه الْأَقَالِيمِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدِلَةٍ
"Sulit mengetahui hakekat dari tumbuhan ini secara hukum dharurat qath'i. Sebab tidak ada jalan untuk sampai pada taraf tahu kecuali dengan khabar dari seorang yang shadiq, yaitu seseorang yang mampu hidup dari masa ia hidup sampai masa turunnya Nabi Isa kelak -'ala nabiyyina wa 'alaihi wa 'ala sairil anbiyai wal mursalin afdhalush shalat wa azkas salam- ataupun dengan percobaan (riset).
Aku katakan padanya: Hal itu wajib disandarkan pada hujjah yang tidak mengenal pertentangan dan perselisihan. Dia berkata: Itu mustahil bagiku, sebab riset percobaan selalu bergejolak seiring waktu dan tempat yang bersesuaian, juga dikarenakan syarat adilnya pelaku riset mengingat dia yang mengkhabarkan penemuan dari tumbuhan itu, sehingga wajib diketahui sifat adilnya agar khabarnya bisa diterima. Semua hal itu mustahil di masa sekarang sebab hasil riset tidaklah stabil" (Fatawa al-Kubra, 4/224).
Ta'bir tahapan ketiga:
فَنَتَجَ من هذا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا طَرِيقَ لنا إلَى الْعِلْمِ بِحَقِيقَتِهِ إلَّا مُجَرَّدُ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ من مُتَعَاطِيهِ بِمَا يَجِدُونَهُ منه
"Bisa disimpulkan dari semua hal tadi (kemustahilan khabar shadiq dan riset) bahwa tidak ada jalan lain mencapai taraf benar-benar tahu selain dengan khabar mutawatir semata dari penemuan orang-orang yang terlibat dengannya." (Fatawa al-Kubra, 4/224).
Ta'bir tahapan keempat:
ولم يَتِمَّ لِمَا عَلِمْت مِمَّا أَشَرْت إلَيْهِ من الْخِلَافِ فيه وَالِاخْتِلَافِ إذْ الْقَائِلُونَ بِالْحِلِّ نَاقِلُونَ عن عَدَدٍ مُتَوَاتِرٍ أَنَّهُ لَا ضَرَرَ فيه بِوَجْهٍ وَالْقَائِلُونَ بِالْحُرْمَةِ نَاقِلُونَ عن عَدَدِ التَّوَاتُرِ أَنَّ فيه آفَاتٍ وَمَفَاسِدَ
وَغَلَبَ على الظَّنِّ أَنَّ سَبَبَ ذلك الِاخْتِلَافِ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ تَأْثِيرُهُ وَعَدَمُ تَأْثِيرِهِ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ بِغَلَبَةِ أَحَدِ الْأَخْلَاطِ وَالطَّبَائِعِ الْأَرْبَعِ عليها وَأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ التَّوْفِيقُ بين هذه الْأَخْبَارِ الْمُتَنَاقِضَةِ مع عَدَالَةِ قَائِلِهَا وَبَعْدَ كَذِبِهِمْ إلَّا بِأَنْ يُفْرَضَ أَنَّهُ يُؤَثِّرُ في بَعْضِ الْأَبَدَانِ دُونَ بَعْض
وقد أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِمَا قَدَّمْتُهُ فَتَعَيَّنَ الْمَصِيرُ إلَيْهِ وَأَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ إذْ الْقَاعِدَةُ الْأُصُولِيَّةُ أَنَّهُ مَتَى أَمْكَنَ الْجَمْعُ لَا يُعْدَلُ إلَى التَّعَارُضِ
"Hujjah dengan khabar mutawatir tidak sempurna diterima sebab dijumpainya khilaf yang telah aku isyaratkan. Kaum yang berkata halal mengutip khabar dari golongan mutawatir bahwa tumbuhan itu tidak madharat, sementara kaum lainnya berkata haram sembari mengutip juga khabar dari golongan mutawatir tentang bahaya dan dampak buruknya.
Timbul dugaan kuat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara dari bahwasanya berdampak atau tidaknya tergantung dari perbedaan watak seseorang yang dipengaruhi oleh dominasi salah satu dari empat elemen tubuh. Tidak dimungkinkan perpaduan pendapat di antara khabar yang bertentangan ini di mana pembawa kabar telah dianggap adil kemudian dianggap berdusta, kecuali dengan membuat ketentuan bahwa efek tumbuhan tersebut berdampak buruk bagi sebagian orang dan tidak bagi lainnya.
Telah dimungkinkan memadukan dua khabar tadi dengan metode yang kujelaskan, maka kembalilah berpegang pada metode tadi. Dampak buruk itu bisa berbeda tergantung tabiat orangnya, sebab memandang juga kaidah ushul ketika mungkin untuk dipadukan maka tidak boleh beralih pada pertentangan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)
Ta'bir tahapan kelima:
وَلَيْسَ هذا أَمْرًا قَطْعِيًّا كما عَلِمْت لِتَطَرُّقِ التُّهَمِ وَالْكَذِبِ إلَى بَعْضِ الْمُخْبِرِينَ عنه بِضَرَرٍ أو عَدَمِهِ وَتَوَاتُرِ الْخَبَرِ في جَانِبٍ مُعَارِضٍ بِتَوَاتُرِهِ في جَانِبٍ آخَرَ بِخِلَافِهِ فَسَقَطَ النَّظَرُ فيه إلَى الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ وَوَجَبَ النَّظَرُ فيه إلَى أَنَّهُ تَعَارَضَ فيه أَخْبَارٌ ظَنِّيَّةُ الصِّدْقِ وَالْكَذِبِ
وَعَلَى فَرْضِ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بِذَلِكَ لِمَا مَرَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُخْبِرِينَ سَلَبَ الضَّرَرَ عن هذا النَّبَاتِ سَلْبًا كُلِّيًّا وَبَعْضُهُمْ أَثْبَتَهُ له إثْبَاتًا كُلِّيًّا فَيَجِبُ الْإِمْعَانُ في تَرْجِيحِ أَحَدِ الْمُخْبِرِينَ بِدَلَائِلَ وَأَمَارَاتٍ بِحَسَبِ اسْتِعْدَادِ الْمُسْتَدِلِّ وَتَضَلُّعِهِ من الْعُلُومِ السَّمْعِيَّةِ وَالنَّظَرِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْإِلَهِيَّةِ وَهَذَا شَأْنُ كل حَادِثَةٍ لم يَسْبِقْ فيها كَلَامُ الْمُتَقَدِّمِينَ
"Hal ini bukan lagi hukum qath'i sebab ada dugaan sifat tercela dan dusta pada sebagian pembawa khabar dharar atau tidaknya tanaman itu, juga sebab munculnya khabar mutawatir di sisi yang berseberangan dengan khabar mutawatir lainnya. Maka tidak berlaku lagi pertimbangan akan khabar mutawatir, yang menjadi ketentuan sekarang adalah pertimbangan akan adanya pertentangan beberapa khabar zhanni yang mungkin benar dan salah.
Dengan berpijak pada ketentuan tidak dimungkinkannya memadukan khabar tersebut, sebab sebagian kalangan menolak dharar pada tanaman itu sepenuhnya dan sebagian lagi menetapkannya, maka wajib teliti dalam mentarjih salah satu khabar dengan mengacu pada sejumlah dalil dan pertanda tertentu, di mana hal itu tergantung pada kualitas gagasan pendapat orang dijadikan dalil serta kematangan dan analisis ilmu syariatnya. Ini adalah konteks yang berlaku pada setiap perkara kontemporer yang tidak dijumpai pendapat ulama mutaqaddimin mengenainya." (Fatawa al-Kubra, 4/225).
والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام ، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره ، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً ، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها
"Pendapat yang jelas, bahwasanya jika didapati padanya dampak yang diharamkan bagi orang yang terkena dampak buruk tersebut pada pikiran atau tubuhnya maka dihukumi haram. Sebagaimana haramnya madu bagi orang yang sakit demam dan haramnya lumpur bagi yang terkena dampak madharatnya. Kadang dijumpai hal yang membuatnya mubah bahkan sunah, sebagaimana ketika dipergunakan untuk berobat berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa itu bisa diminum untuk dijadikan obat." (Bughyatul Mustarsyidin: 552).
Lihat keterangan selengkapnya di Fatawa Kubra al-Fiqhiyyah bab al-asyribat wa al-mukhaddirat (minuman dan bahan konsumsi memabukkan) untuk mendapatkan gambaran lebih utuh.
Wacana ketujuh, oral seks bisa membuat madzi tertelan sementara madzi najis dan haram dimakan.
Jawaban : Analogi yang paling dekat dengan masalah ini adalah pada oral seks Cunnilingus. Sebagaimana dijelaskan di atas, telah disebutkan dalam Fathul Mu'in, Kasysyaful Qana', Mawahibul Jalil, dan beragam kitab lainnya bahwa oral seks kelamin wanita diperbolehkan meskipun sama-sama beresiko menelan madzi. Boleh jadi hal itu karena sifat keluarnya madzi tidak pasti, di samping bisa dimuntahkan. Antara lain mengambil i'tibar dari kesucian dzakar dari rembasan farji (ruthubah farji) dikarenakan sifat keluarnya ruthubah yang tidak bisa dipastikan kapan keluar dari kelamin wanita.
أَمَّا الرُّطُوبَةُ الْخَارِجَةُ مِنْ الْبَاطِنِ فَنَجِسَةٌ مُطْلَقًا وَإِنَّمَا قُلْنَا بِطَهَارَةِ ذَكَرِ الْمُجَامِعِ وَنَحْوِهِ ؛ لِأَنَّا لَا نَقْطَعُ بِخُرُوجِهَا
"Sedangkan rembasan yang keluar dari dalam farji maka mutlak najis, sedangkan mengenai pendapat kami tentang sucinya dzakar orang yang bersetubuh dan sebagainya maka hal itu dikarenakan kami tidak bisa memastikan keluarnya rembasan farji itu." (Syarhul Bahjah al-Wardiyyah, 1/149)
Wacana kedelapan, oral seks makruh ketika terjadi inzal (keluar mani) disamping faktor menjijikkannya.
Jawaban : Wacana ini cukup bagus. Posibilitas makruh dari sisi inzal, yakni dari tinjauan hukum 'azl, bisa dipahami. Namun tambahan 'illat jijik yang dikombinasi dengan tiadanya nash sharih bukan merupakan illat yang kuat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Pernyataan ini dilontarkan oleh salah seorang tokoh Mesir dengan kutipan ucapannya:
أما إذا كان القصد منه الإنزال فهذا الذي يمكن أن يكون فيه شيء من الكراهة، ولا أستطيع أن أقول الحرمة لأنه لا يوجد دليل على التحريم القاطع، فهذا ليس موضع قذر مثل الدبر، ولم يجئ فيه نص معين إنما هذا شيء يستقذره الإنسان
"Adapun ketika oral seks ditujukan sebagai inzal maka dimungkinkan hukum makruhnya. Aku tidak mampu mengatakan haram sebab tidak ada dalil yang menegaskan keharamannya, oral seks juga bukan pada tempat yang kotor seperti dubur, tidak ditemukan nash spesifik tentang oral seks hanya saja ini termasuk perkara yang dianggap jijik oleh manusia."
PENUTUP
Oral seks secara dzatiahnya dihukumi mubah, mengingat tidak ada ketentuan khusus nash tentang hal itu sehingga dikembalikan pada hukum mubahnya.
Namun oral seks dilihat dari amrun 'aridh (faktor eksternal) bisa menjadi makruh ketika :
- Dilakukan dengan mata terbuka, sebab ada pendapat yang masyhur tentang makruhnya melihat farji (kelamin lelaki dan wanita).
( وَلِلزَّوْجِ ) وَالسَّيِّدِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ ( النَّظَرُ إلَى كُلِّ بَدَنِهَا ) أَيْ الزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوكَةِ الَّتِي تَحِلُّ وَعَكْسُهُ ، وَإِنْ مَنَعَهَا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ ، وَإِنْ بَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ مَنْعَهَا إذَا مَنَعَهَا وَلَوْ الْفَرْجَ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَوْ حَالَةَ الْجِمَاعِ
"[Boleh bagi suami] juga bagi majikan hamba sahaya di masa hidupnya [melihat setiap badan wanita] istrinya dan sahayanya yang mana dihalalkan serta diperbolehkan juga sebaliknya, meskipun suami/majikan itu tidak berkenan [auratnya dilihat oleh wanita, pen] sebagaimana penjelasan general para ulama, meskipun imam az-Zarkasyi membahas tentang larangannya ketika pihak lelaki tidak memperkenankan, meskipun melihat pada farji namun disertai hukum makruh meskpun saat bersetubuh." (Tuhfatul Muhtaj, 29/281).
- Dilakukan sampai inzal (keluar mani), sebab akan terhukumi sebagaimana 'azl yang juga masyhur hukum makruhnya.
ويكره بنحو يدها كتمكينها من العبث بذكره حتى ينزل لأنه في معنى العزل
"Dimakruhkan istimna dengan tangan istrinya, sebagaimana dimakruhkan memperkenankan istrinya bermain-main dengan dzakarnya sampai keluar mani, sebab hal disamakan konteksnya dengan 'azl." (Fathul Mu'in, 4/143).
Seyogyanyalah setiap aktivitas yang berkaitan dengan alat kelamin untuk dibasuh setelahnya ketika hal itu dilakukan sampai terjadinya orgasme (inzal), baik pada mulut ataupun alat kelamin itu sendiri, sebagai sikap kehati-hatian atas peluang keluarnya madzi yang mengiringi mani.
فَلْيَغْسِلْ ما أَصَابَهُ منه وَإِنْ لم نَحْكُمْ بِنَجَاسَتِهِ احْتِيَاطًا رِعَايَةً لِلْغَالِبِ الذي ذَكَرَهُ من سَبْقِ الْمَذْيِ النَّجِسِ لِلْمَنِيِّ الذي يَعْقُبُهُ
"Maka basuhlah apa yang bersentuhan dengan dzakar meskipun ketika kita tidak menghukuminya najis, sebagai sikap hati-hati dan bentuk antisipasi atas umumnya peristiwa yang telah dituturkan mengenai madzi yang keluar mendahului mani." (Fatawa Kubra, 1/42). Wallahu subhanahu wata'ala a'lam.
Post a Comment