Basthul Masa'il fiqih
Assalamualaikum, maaf mau tanya jika misal imam setelah mengimami shalat lalu dia melihat di kakinya ada kotoran cicak, apakah makmum juga ikut batal shalatnya?
✍🏻 JAWABAN
1. Apabila makmum tidak tahu kalau imamnya batal wudhunya, maka shalatnya makmum sah.
2. Apabila makmum tahu bahwa imam batal wudhunya.
Inipun masih perlu diperinci lagi sebagai berikut
1. Jika diketahui batalnya imam setelah selesai shalat maka hukumnya diperinci.
▶️ Beberapa ulama membagi batalnya shalat imam ke dalam dua kategori
Pertama, batal dengan sebab yang samar [bathin atau hukmiyyah) atau imamnya berhadats , seperti ia tidak mempunyai wudhu atau ia junub. Maka shalat makmum tidaklah menjadi batal karena batalnya sholat sang imam. Akan tetapi menurut imam Nawawi tidak wajib di ulang shalatnya, baik berupa najis zhohir/ayniyah (najis) atau najis khofiy/hukmiyah (hadast)
Kedua, batal dengan sebab yang tampak kelihatan [dzohir], seperti tidak sempurna dalam menutupi aurat. Maka hal ini dapat membatalkan shalatnya makmum.
Bagaimana jika batalnya shalat imam terjadi di tengah-tengah shalat ? Apa yang harus dilakukan olehnya ?
1. jika imam tidak tau akan batalnya. namun, ma'mumnya mengetahuinya seperti najis yang menepel pada baju si imam, najis maka makmum wajib mufarroqoh atau melanjutkan shalat secara sendirian.
2. Bila imam mengetahuinya, lantas dia meninggalkan sholatnya,
Dalam peristiwa seperti ini, fikih kita telah menyediakan solusi istikhlaf [mengganti imam di tengah-tengah shalat]. Praktik ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. yang menggantikan Abu Bakar ra. namun tidak karena batalnya shalat, akan tetapi karena taadduban [etiket sopan santun], bahwa tidak pantas seorang Abu Bakar menjadi imam, sementara Rasul hadir bersama mereka.
Peristiwa ini terjadi ketika Rasul saw sakit cukup parah, sehingga beliau memerintahkan Abu Bakar menggantikan beliau berlaku sebagai imam. Suatu saat kemudian beliau merasakan kesehatannya membaik, maka beliau, dengan disertai dua sahabatnya, berangkat ke masjid, sementara Abu Bakar sedang berlaku sebagai imam. Maka kemudian Abu Bakar mundur dari barisan terdepan kemudian Rasul SAW menggatikannya sebagai imam. [HR. Muslim]
Jika demikian maka makmum mempunyai dua langkah pilihan
1. Apabila tidak ada satupun makmum yang maju, makmum dapat meneruskan shalatnya dengan niat mufaraqah (berpisah) dari imam. Artinya makmum meneruskan sholatnya secara sendirian (munfaridan) terpisah dari imam yang telah batal shalatnya.
2. Makmum menyempurnakan shalat sampai selesai secara berjama’ah. Kalau mengambil alternatif terakhir kedua yang dipilih, maka harus ada istikhlaf atau pengangkatan makmum menjadi imam.
Proses terjadinya istikhlaf mempunyai dua kemungkinan:
1. imam menunjuk pengganti atau para ma'mum menunjuk pengganti.
2. Dapat pula seseorang dengan inisiatif sendiri maju menjadi imam. Penunjukan khalifah oleh makmum dilakukan dengan isyarat, tanpa menimbulkan perbuatan yang membatalkan shalat. Dan harus dilakukan secepatnya, langsung setelah imam batal.
Istikhlaf ini sebaiknya dilakukan dari pihak makmum. Jika imam menunjuk pengganti dan makmum menunjuk pengganti yang lain, maka pilihan makmum lebih diutamakan. Pengganti imam boleh bukan orang yang jadi ma'mum.
✒️ CATATAN
Ketika kita menjadi imam dalam sholat berjamaah (di rumah/masjid) dan tiba-tiba batal, sementara dalam tempat tersebut tidak ada pintu keluar khusus buat imam yg biasanya tersedia di dekat tempat imam. Sementara malu mau melewati barisan sof jama'ah untuk memperbarui wudlu.
jika malu untuk berbuat demikian, ada satu metode yg diajarkan para fuqaha, yaitu memegang hidung seakan akan keluar darah (mimisan), lalu terburu buru meninggalkan shaf. orang akan menyangka ia mimisan saja dan memang membatalkan shalat, karena akan menetes kemana mana.
Namun perbuatan itu bukan dusta, karena hanya menutup hidung saja, bukan mengatakan bahwa ia mimisan dan itu bisa menjadi dusta, dan perbuatan itu tentunya makmum menganggapnya mimisan walaupun ia batal karena hal lain.
referensi :
والحاصل أنه لو بان إمامه كافراً ولو مخفياً كفره كزنديق أو خنثى أو مجنوناً أو أمّياً قادراً على التعلم أو تاركاً للفاتحة أو البسملة في الجهرية أو تجب عليه الإعادة أو ساجداً على كمه الذي يتحرك بحركته أو تاركاً تكبـيرة الإحرام، أو قادراً على القيام أو السترة وكان يصلي من قعود، أو عارياً وجبت الإعادة إن بان بعد الفراغ من الصلاة، فإن بان في أثنائها وجب استئنافها لكون الإمام ليس من أهل الإمامة في ذاته (لا) إن بان إمامه (ذا حدث) ولو أكبر (أو خبث) أي ذا نجاسة خفية وهي الحكمية التي لا يدرك لها طعم ولا لون ولا ريح، ومثل ذلك كل ما يخفى على المأموم عادة كعدم النية، وكتيممه بمحل يغلب فيه وجود الماء وكونه تاركاً للفاتحة أو للبسملة في السرية أو للتشهد مطلقاً، ولو أحرم المأموم بإحرام الإمام ثم كبر الإمام ثانياً بنية سراً لكونه شك في التكبـير الأوّل لا يضر في صحة صلاة المأموم لأن هذا مما يخفى ولا أمارة عليه، أما لو بان إمامه ذا نجاسة ظاهرة وهي العينية فإنه تلزمه الإعادة، ولا فرق في ذلك بـين القريب والبعيد، ولا بـين القائم والقاعد ولا بـين الأعمى والبصير، ولا بـين باطن الثوب وظاهره نظراً للشأن
[i'anatut tholibin juz 2/46] :
.لا إن اقتدى بمن ظن متطهرا فبان ذا حدث ولو حدثا أكبر أو ذا خبث خفي ولو في جمعة إن زاد على الأربعين فلا يجب الإعادة وإن كان الإمام عالما لانتفاء تقصير المأموم اذ لا إمارة عليهما ومن ثم حصل له فضل الجماعة أما اذا بان ذا خبث ظاهر فيلزمه الإعادة على الأعمى لتقصيره وهو ما بظاهر الثوب وان حال بين الإمام والمأموم حائل والأوجه في ضبطه أن يكون بحيث لو تأمله المأموم رآه والخفي بخلافه وصحح النووي في التحقيق عدم وجوب الإعادة مطلقا
[i'anatut tholibin juz 2/97] :
والثانـي: وهو ما إذا وقع الاستـخلاف فـي غير الـجمعة، يجوز مطلقاً؛ سواء كان الـخـلـيفة مقتدياً بـالإِمام قبل أن تبطل صلاته أم لا، لكنهم يحتاجون لنـية الاقتداء به فـي الثانـية إن خالف الإِمام فـي ترتـيب صلاته، بأن استـخـلف فـي الثانـية أو فـي الأخيرة، فإن لـم يخالفه فـي ذلك، بأن استـخـلف فـي الأولى أو فـي ثالثة الربـاعية، فلا يحتاجون لنـية الاقتداء،
Wallohu a'lam bishowab
Post a Comment