🛑NGAJI KITAB (PART 11)
SAFINAH AN NAJAH
🛑LARANGAN BAGI ORANG YANG BATAL WUDHU ,JUNUB ,DAN HAID
(فصل ) من انتقض وضوؤه حرم عليه أربعه أشياء : الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله.
Larangan Bagi Orang yang Batal Wudhu, Junub, Haid.
Man Intaqodho wudhuu-uhu Haruma ‘Alaihi ‘Arba’atu Asyyaaa
: Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu .
Orang yang batal wudhunya haram atasnya 4 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya .
ويحرم على الجنب ستة أشياء: الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن.
Wayahrumu ‘Alal Junubi Sittatu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani .
Dan haram atas orang yang junub 6 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh Al-Quran , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca Al Qur-an dengan maksud baca Al Qur-an
ويحرم بالحيض عشرة أشياء : الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن والصوم والطلاق والمرور في المسجد إن خافت تلويثه والاستمتاع بما بين السرة والركبة.
Wayahrumu Bilhaidhi ‘Asyarotu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani , Wash-Shoumu , Wath-Tholaaqu , Walmuruuru Fil Masjidi In Khoofat Talwiitsahu , Wal Istimnaa’u Bimaa Bainassurroti Warrukbati.
Dan haram dengan sebab haid 10 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca AlQur-an dengan qoshod Qur-an , dan puasa , dan talak , dan berjalan di dalam Masjid jika ia takut menyamarkannya , dan bersedap-sedap dengan sesuatu yang antara pusat dan lutut
🛑 PENJELASAN
🔲 LARANGAN BAGI ORANG YANG TIDAK ADA WUDHU
kajian kitab safinatun najah:
✍️Larangan Bagi Yang Tidak Berwudhu
Dilarang bagi yang tidak ada wudhu melakukan empat perkara:
1. Shalat
Semua yang dinamakan shalat tidak boleh dilakukan tanpa wudhu walaupun sujud tilawah atau shalat janazah, sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)
2. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni).
3. Menyentuh Al-Qur’an dan
4. membawa Al-Qur'an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77).
Dibolehkan membawa atau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu berupa barang atau tafsir/terjemahan yang kalimatnya lebih banyak dari isi al-Qur’an.
Barang siapa yang ragu apakah ia masih menyimpan wudhu atau tidak maka hendaknya ia bepegang kepada keyakinnya, sesuai dengan hadist Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw., “Apabila seseorang dari kalian merasa sesuatu di dalam perutnya, yaitu ragu-ragu apakah keluar darinya sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudhu) hingga ia dengar suara atau ia merasakan angin (bau).” (HR Muslim)
🔲LARANGAN BAGI ORANG YANG JUNUB
✍️Larangan Bagi Orang Junub
1. Shalat
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)
2. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni).
3. Menyentuh Al-Qur’an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77).
4. Membawa Al-Qur’an. Hal ini dikiyaskan dari menyentuh al-Qur’an
5. Membaca Al-Qur’an
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulallah saw bersabda “Janganlah orang junub dan wanita haid membaca sesuatu pun dari Al Qur’an (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi).
Hadist lainya yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib ra sesungguhnya Rasulallah saw membuang hajatnya kemudian membaca al-Qur’an dan tidak menghalanginya dari pembacaan al-Quran, kemungkinan ia berkata: Bahwasanya menghalangi suatu dari membaca al-Qur’an selain junub (HR Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasai’, hadist hasan shahih).
6. Duduk di Masjid
Allah berfirfman “janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” an-Nisa’ 43
🔲LARANGAN BAGI HAID DAN NIFAS
kajian kitab safinatun najah:
Larangan Bagi Haid Dan Nifas.
✍️Diharam Bagi Wanita Haidh Dan Nifas melakukan:
1. Shalat.
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Jika datang haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah pergi maka mandilah dan lakukanlah shalat” (HR Bukhari Muslim).
2. Puasa.
Rasulallah saw bersabda: “Aku tidak melihat kurangnya akal dan agama yang lebih menguasai manusia dari wanita.”. Beliau bersabda “Wanita bangun malam tanpa mengerjakan shalat dan tidak puasa di bulan Ramadan (karena haid), ini adalah kekurangan pada agama” (HR Bukhari Muslim).
3. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Aisyah ra (Ketika haji wada’ dan ia mendapatkan haid): “Lakukanlah semua amalan yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, hanya saja engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah” (HR Bukhari Muslim).
4. Membaca Al-Quran, berkiyas kepada orang yang sedang junub diharamkan membaca al-Qur’an.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Al-Waqiah 79.
Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.
5. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci, “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” alWaqi’ah:77
6. Berdiam (I’tikaf) di masjid.
Rasulallah saw bersabda “Tidak halal masjid bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haid” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Qathan)
7. Masuk ke dalam masjid sekalipun hanya untuk sekedar lewat jika ia takut akan mengotori masjid tersebut.
adanya keharaman itu sebagaimana pendapat menurut jumhur ulama. Mereka umumnya menggunakan dalil qiyas. Yaitu menyamakan orang yang sedang haidh dengan orang yang sedang junub. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang sedang junub dilarang masuk masjid kecuali sekedar lewat saja. Hal itu telah ditetapkan Allah SWT di dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.... (QS An-Nisa: 43)
Para ulama mengatakan bahwa makna jangan mendekati shalat adalah mendekati tempat shalat, yaitu masjid. Ayat ini bukan hanya melarang orang yang junub untuk shalat, tetapi menjadi dalil haramnya orang junub masuk ke masjid. Lalu wanita yang haidh diqiyas seperti orang yang junub, sehingga wanita haidh tidak boleh masuk masjid juga.
Di samping itu ada sabda Rasulullah SAW berikut ini.
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh." (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah)
8. Cerai, karena itu, dilarang suami menceraikan isterinya dalam keadaan haidh.
Diharamkan bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya dalam keadaan haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya… .” (At Thalaq : 1)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya membawakan ucapan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala : “Fathalliquuhunna li ‘iddatihinna”.
“Ibnu Abbas menafsirkan : ((Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya)).” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Ibnu Katsir rahimahullah selanjutnya mengata
kan : “Dari sini fuqaha (para ahli fikih) mengambil hukum-hukum talak. Mereka membagi talak itu kepada talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adalah seseorang mentalak istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi (ketika suci tersebut) atau dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil. Sedangkan talak bid’ah adalah seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika suci namun telah disetubuhi, sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil dengan sebab hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Apabila si istri dicerai dalam hari haidnya maka ia tidak dapat segera menghitung masa ‘iddah-nya karena haid yang sedang ia alami tidak terhitung sebagai ‘iddah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci).
Allah SWT berfirman :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’… .” (Al Baqarah : 228)
Demikian pula apabila ia dicerai dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi, maka ia juga tidak dapat menghitung ‘iddah-nya secara pasti karena belum diketahui apakah ia hamil dari hubungan itu hingga ia harus ber-’iddah dengan kehamilannya ataukah ia tidak hamil hingga ia dapat ber-’iddah dengan hitungan masa haidnya. Karena ada perbedaan antara ‘iddah-nya wanita yang hamil dengan wanita yang tidak hamil. ‘Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan wanita-wanita yang hamil masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath Thalaq : 4).
Dengan demikian apabila tidak terdapat keyakinan kapan masa ‘iddah dapat dihitung maka diharamkan menjatuhkan talak kecuali setelah jelas perkaranya.
Apabila seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid, maka si suami berdosa. Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam perlindungannya (rujuk) untuk ia ceraikan dengan cerai yang syar’i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia rujuk, ia biarkan istrinya sampai bersih dari haid tersebut (suci), kemudian ia tahan lagi (jangan dijatuhkan talak) sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu, ia bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan, maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu (yakni dicerai sebelum digauli).
Dalil dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya dengan sanad yang beliau bawakan sampai kepada Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda :
“Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).” (HR. Bukhari nomor 5251 dan Muslim nomor 1, 2 Kitab Ath Thalaq)
Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Perintahkanlah dia agar merujuk istrinya, kemudian hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau (dipastikan) hamil.”
9. Bersetubuh
Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” al-Baqarah 222.
10. Menikmati dengan membuka antara lutut dan pusar (tanpa busana).
Sesuai dengan firman Allah tersebut diatas, dan hadist Rasulallah saw, beliau bersabda: “Halal bagi laki-laki atas perempuan yang sedang haid, menyentuh apa-apa yang diatas kain (di atas pusar)” (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi)
🛑Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid
Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Nabi Saw yang mengharamkannya.[i] Imam Dawud Azh-Zhahirimembolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid.[ii] Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” [HR. Abu Dawud].[iii]
Yang dimaksud berdiam (al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.[iv]