BREAKING NEWS

Watsapp

Thursday, June 20, 2024

TERJEMAH NIHAYATUZZAEN MUQODIMAH PART 7

TERJEMAH NIHAYATUZZAEN 

MUQODIMAH 

PART 7



{ تَنْبِيه }  ينْدَرج فِي إِثْبَات الرسَالَة لسيدنا مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم مبَاحث علم الْفِقْه وَهِي الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة ومباحث علم التَّوْحِيد وَهِي ثَلَاثَة إلهيات ونبويات وسمعيات

{"Peringatan }

 Termasuk dalam pembuktian / ketetapan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ, Adalah yang mencakup

  ۞ pembahasan ilmu fikih.  pembahasan ilmu fikih  yaitu hukum-hukum syar'i, dan 

  ۞ pembahasan ilmu tauhid yang terbagi menjadi tiga bagian: 

  1⃣ Ilahiyat (tentang Tuhan), 

  2⃣ Nabawwiyat (tentang kenabian), dan

  3⃣ Sam'iyat (tentang hal-hal yang didasarkan pada wahyu seperti kehidupan setelah mati, surga, dan neraka)."

فالإلهيات هِيَ الْمسَائِل المبحوث فِيهَا عَمَّا يجب لله تَعَالَى وَمَا يَسْتَحِيل عَلَيْهِ وَمَا يجوز فِي حَقه

"Ilahiyat adalah pembahasan mengenai hal-hal yang wajib bagi Allah Ta'ala, hal-hal yang mustahil bagi-Nya, dan hal-hal yang mungkin /wenang dalam hak-Nya."

والنبويات هِيَ الْمسَائِل المبحوث فِيهَا عَمَّا يجب للرسل وَمَا يَسْتَحِيل عَلَيْهِم وَمَا يجوز فِي حَقهم

"Nabawiyat adalah pembahasan mengenai hal-hal yang wajib bagi para rasul, hal-hal yang mustahil bagi mereka, dan hal-hal yang mungkin /wenang dalam hak mereka."

والسمعيات هِيَ الْمسَائِل الَّتِي لَا تتلقى إِلَّا عَن السّمع وَلَا تعلم إِلَّا من الْوَحْي.  وَذَلِكَ كسؤال مُنكر وَنَكِير لنا فِي الْقَبْر,  وَعَذَاب الْقَبْر ونعيمه , والبعث للحشر ,  والشفاعة ,  وَكتب الْأَعْمَال ,  والحساب وَالْمِيزَان , والصراط , وَالْجنَّة وَالنَّار والإسراء والمعراج

"Sam'iyat adalah pembahasan mengenai hal-hal yang hanya dapat diterima melalui pendengaran (wahyu) dan tidak dapat diketahui kecuali dari wahyu. Hal ini mencakup pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur, azab kubur dan nikmatnya, kebangkitan untuk pengumpulan, syafaat, catatan amal, perhitungan (hisab), timbangan (mizan), jembatan (sirat), surga, neraka, dan peristiwa Isra dan Mi'raj."

وَبعد أَي بعد مَا تقدم,  من الْبَسْمَلَة , والحمدلة,  وَالصَّلَاة وَالسَّلَام على من ذكر (فَهَذَا) الْمُؤلف الْحَاضِر فِي الذِّهْن لَا فِي الْخَارِج (مُخْتَصر) أَي قَلِيل اللَّفْظ (فِي الْفِقْه) أَي لتَحْصِيل الْفِقْه.

Dan setelah apa yang telah disebutkan berupa basmalah, hamdalah, dan salawat serta salam kepada yang telah disebutkan, maka ini adalah (maksudnya kitab ini) yang hadir dalam pikiran, bukan di luar (yaitu) sebuah ringkasan, artinya sedikit lafaz (dalam ilmu fikih), yaitu untuk memperoleh ilmu fikih.

 وَهُوَ لُغَة الْفَهم وَاصْطِلَاحا ظن قوي بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّة العملية مكتسب من أدلتها التفصيلية بِأَن يُقَال اقيموا من قَوْله تَعَالَى {أقِيمُوا الصَّلَاة} أَمر وَالْأَمر للْوُجُوب فَقَوله أقِيمُوا للْوُجُوب

 Fikih secara bahasa berarti pemahaman, dan secara terminologi /istilah adalah dugaan kuat tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci, dengan contoh, dikatakan "dirikanlah" dari firman Allah Ta'ala {dirikanlah shalat}, adalah perintah, dan perintah menunjukkan kewajiban, maka kata "dirikanlah" menunjukkan kewajiban.

وموضوعه أَفعَال الْمُكَلّفين من حَيْثُ عرُوض الْأَحْكَام التكليفية والوضعية لَهَا

Dan pokok bahasannya fiqih adalah perbuatan-perbuatan mukallaf (orang yang sudah dikenai kewajiban syariat) dari segi berlakunya hukum-hukum taklifi (hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan) dan wad'i (hukum yang berkaitan dengan syarat, sebab, dan penghalang) atasnya.

ومأخذه من الْكتاب وَالسّنة وَالْإِجْمَاع وَالْقِيَاس والاستصحاب وَالِاسْتِحْسَان والاستقراء والاقتران فَإِن هَذِه أَدِلَّة ثمَّ الِاسْتِحْسَان دَلِيل ينقدح فِي نفس الْمُجْتَهد كَمَا اسْتحْسنَ إمامنا الشَّافِعِي التَّحْلِيف على الْمُصحف فَإِنَّهُ أبلغ فِي الزّجر

Dan sumbernya fiqih adalah dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma'📝 Qiyas 📚, Istishab✅, Istihsan, Istiqra', dan Iqtiran. Karena ini adalah dalil-dalilnya. Kemudian, Istihsan adalah dalil yang terlintas dalam benak seorang mujtahid, sebagaimana Imam kita, Asy-Syafi'i, menganggap baik bersumpah atas Al-Qur'an karena hal itu lebih kuat dalam mencegah.

------------------------

📝

 Dalam satu sisi ITTIFAQ dan IJMA' adalah murodif. Namun dalam bahasan dan cakupannya, IJMA' mencakup ITTIFAQ, namun ITTIFAQ tidak mencakup IJMA', karena Ijma' memiliki dalil yang sifatnya lebih umum daripada ittifaq. Wallohu a'lam

والجواب على سؤالك أن الظاهر كون وجود الفرق بين المصطلحين، فاختلاف المبنى يدل على اختلاف المعنى، ومما درست أن الاجماع يشمل الاتفاق والاتفاق لا يشمل الاجماع، لأن الاجماع دلالته أعم، فنقول اتفق أهل العلم في مسألة من المسائل رغم عدم وجود الاجماع فيها مثل حكم غسل الجمعة فهناك في المسألة اتفاق بين البعض على الوجوب وهو الأظهر وهناك اتفاق البعض على الاستحباب والأمر فيه سعة ولم يرد في حكمه اجماع.


Ittifaq adalah kesepakatan ulama. Sedangkan ijma’ menurut istilah adalah :

اتّفاق كلّ مجتهدي علماء الفقه أهل العصر من أمّة سيّدنا محمّد ص م بعد وفاة نبيّها ص م على حكم الحادثة

(Kesepakatan para mujtahid yang terdiri dari para ulama’ fiqih, dari ummat Muhammad saw, yang hidup atas hukumnya suatu perkara yang baru datang dalam satu periode, setelah wafatnya nabi kita saw atas hukumnya perkara yang baru datang.)


> Dik Ibnu Al-Ihsany Kasihku

ﺃﻣﺎ ﻧﻔﻲ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﻓﻼ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻨﻪ ﺍﻻﺳﺘﻘﺮﺍﺀ ﻭﺍﻻﺳﺘﻘﺼﺎﺀ ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﺃﺿﺎﻑ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ علمه , ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻳﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻻﺗﻔﺎﻕ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﺍﺻﻄﻼﺡ ﺍﻟﻮﺯﻳﺮ ﺍﺑﻦ ﻫﺒﻴﺮﺓ ﻓﻲ الإفصاح , ﻳﻨﻘﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻗﻮﻝ العلماء ، ﻭﺍﻻﺗﻔﺎﻕ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺍﺗﻔﺎﻕ ﺍﻷﺋﻤﺔ الأربعة . 


Sebagian lagi membedakan antara ijma' dan ittifaq sebagaimana istilah al-wazir bin hubairoh dalam al-ifshoh, yang mengutip ijma' itu berdasar atas perkataan ulama', dan ittifaq itu kesepakatan 4 madzhab. 

Bermacam-macam tapi maksudnya satu.


[ ص : 5 ] ﺍﻹﺟﻤﺎﻉلغة : ﺍﻟﻌﺰﻡ ﻭﺍﻻﺗﻔﺎﻕ .

ﻭﺍﺻﻄﻼﺣﺎ ﺍﺗﻔﺎﻕ ﻣﺠﺘﻬﺪﻱ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﺮ ﺩﻳﻨﻲ ، ﻭﺃﻧﻜﺮ ﻗﻮﻡ ﺟﻮﺍﺯﻩ ﻋﻘﻼ ، ﻭﻫﻮ ﺿﺮﻭﺭﻱ ﻓﺈﻧﻜﺎﺭﻩ ﻋﻨﺎﺩ ، ﺛﻢ ﺍﻟﻮﻗﻮﻉ ﻳﺴﺘﻠﺰﻣﻪ ﻛﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﺨﻤﺲ ، ﻭﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻹﺳﻼﻡ ، ﺛﻢ ﻣﻊ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﻟﻌﻘﻞ ، ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻷﺩﻟﺔ ، ﻭﻭﻋﻴﺪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺍﻟﺒﺎﻋﺚ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻭﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ، ﻭﻗﻠﺔ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻣﺔ ﻛﻴﻒ ﻳﻤﺘﻨﻊ ! ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻘﺮﺍﺋﺢ ﻋﻘﻠﻲ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺪﻭﺍﻋﻲ ﺍﻟﺸﻬﻮﺍﻧﻴﺔ ، ﺇﺫ ﻫﻮ ﻃﺒﻌﻲ ، ﻭﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺟﻠﻲ.ﻭﻗﻴﻞ : ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﺘﺼﻮﺭ ﻭﺟﻮﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻋﻨﺪ ﻗﻠﺔ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳن

📚

Pengertian qiyas

Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu


Dasar hukum qiyas

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.


Rukun qiyas


Ada empat rukun giyas, yaitu

1.Ashal, yang berarti pokok,

2. Fara' yang berarti cabang

3. Hukum ashal,

4. 'IIIat,


'Illat

'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.

Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.


1. Syarat-syarat 'illat

Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:

1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata.

2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti,

3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum,

4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja,


2. Pembagian 'Illat

Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:

a. Munasib mu'tsir

b. Munasib mulaim

c. Munasib mursal

d. Munasib mulghaa


kitab Mabadi Al-Awaliyah (ushul fiqh)


 ﴾المبحث الثانى عشر﴿

فى القياس

القياس حجج. قال الله تعالى " فاعتبروا يا أولى الابصار"

القياس لغة : تقدير الشيء بأخر ليعلم المساواة بينهما.

تقول قست الثوب بالذراع اي قدرته به

واصطلاحا : رد الفرع الى الاصل بعلة تجمعهما فى الحكم.

كقياس الارز على البر فى الربا بجامع الطعام.

واركانه اربعة : الفرع , الاصل , حكم الاصل , علة حكم الاصل.

وهو ثلاثة اقسام :

١.قياس العلة وهو ما كان العلة فيه موجبة للحكم. كقياس الضرب على التأفيف للوالدين فى التحريم بعلة الاءيذاء. قال الله تعالى " ولا تقل لهما اف "

٢.قياس الدلالة وهو ما كان العلة فيه دلالة على الحكم ولا تكن موجبة للحكم.

كقياس مال الصبى على مال البالغ فى وجوب الزكاة فيه بجامع انه مال تام. وجوز ان يقال : لايجب فى مال الصبي كما قال به ابو حنيفة فيه قياسا على الحج فانه يجب على البالغ ولايجب على الصبي

٣.قياس الشبه وهو الحاق الفرع المردد بين الاصلين باكثرهما شبها. كما في العبد اذا اتلف فانه مردد فى الضمان بين الانسان الحر من انه ادمي فيجب على من اتلفه القصاص وبين البهيمة انه مال فيجب عليه قيمته وهو بالمال اكثر شبها من الحر بدليل انه يباع ويورث ويوقف ويضمن وأجزاؤه بما نقص من قيمته.


Pembahasan Ke - 12 QIYAS

Qiyas adalah hujjah. Allah SWT berfirman QS. al-Hasyr (59):2.

فاعتبروا يا أولى الابصار ...الاية

Artinya: “…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”

Al-Qiyas (القياس) menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu atas sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan diantara keduanya, seperti mengukur pakaian dengan lengan.

Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum asal karena adanya ‘illat (alasan) yang mempertemukan keduanya dalam hukum.

Seperti menqiaskan beras terhadap gandum dalam harta ribawiy dengan titik temu berupa keduanya sama-sama makanan pokok.

Rukun Qiyas ada empat yaitu:

1) far',

2) asal,

3) hukum asal, dan

4) illat hukum asal.


Macam-macam qiyas, di bagi menjadi tiga:

a. Qiyas al-illat

Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menetapkan hukum.

Seperti menqiyaskan memukul dengan ucapan yang tercela kepada kedua orang tua dalam keharamannya dengan alasan menyakitkan hati orang tua.

Allah berfirman QS. Al-Isra' (17):23.

ولا تقل لهما اف... الاية

Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah".”


b. Qiyas al-dilalah

Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menunjukkan pada hukum akan tetapi illat tersebut tidak menetapkan pada hukum.

Seperti menqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang dewasa dalam kewajiban zakat dengan adanya titik temu bahwa harta anak kecil termasuk harta yang sempurna (al-mãl al-tãmm).

Boleh juga mengatakan tidak wajib zakat -seperti yang dikatakan Abu Hanifah- dengan menqiyaskan pada haji yang mana, haji wajib bagi orang dewasa adapun anak kecil tidak wajib untuk haji.


c. Qiyas al-syibh

Yaitu mempersamakan hukum cabang (far') yang masih diragukan antara dua asal dengan mengambil keserupaan yang lebih banyak dari asal tersebut.

Contohnya dalam pembahasan budak yang dibunuh, apakah sipembunuh wajib dikenai hukum qishas karena budak juga termasuk manusia, ataukah cukup hanya dengan membayar ganti rugi dengan alasan adanya keserupaan budak dengan binatang, bahwa budak adalah harta.

Dalam hal ini budak lebih banyak keserupaannya dengan binatang (harta) sebab, budak bisa diperjual-belikan, diwariskan, dan di wakafkan.


Wallohu a'lam. (Rz)


✅ Salah satu instrumen dalam berijtihad adalah istishab. 

Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna: menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:

ثُبُوْتُ أَمْرٍ فِي الثَّانِي لِثُبُوْتِهِ فِي الأَوَّلِ لِفُقْدَانِ مَا يَصْلُحُ لِلتَّغْيِيْرِ

“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.” (Lihat Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, halaman 173)

Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal. 

Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu: Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ

“Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”

Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.

Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:

الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ 

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan jerapah.

Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ 

“Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”

Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur. 

Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t, halaman 297-299). Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi:

اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”

Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). 

Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sementara, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali. 

Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan istishab dalam ijtihad ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam, seperti dalam masalah hukum waris orang hilang

Ulama berbeda pendapat tentang orang hilang yang tidak jelas status hidup atau matinya; apakah dia dihukumi mati sehingga hartanya dibagi ke ahli warisnya, dan dia tidak berhak atas warisan dari keluarganya yang meninggal, ataukah dia dihukumi hidup sehingga hartanya tidak dibagi dan dia berhak atas bagian warisan dari keluarganya yang meninggal?

Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi hidup sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa pada dasarnya (hukum asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup ini masih berlaku sampai ada dalil yang menegaskan kematiannya.

Sedangkan, Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa istishab hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, bukan menetapkan hak yang baru.

Di sisi lain, imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, orang tersebut dianggap hidup selama empat tahun dari waktu hilangnya. Jika melebihi empat tahun maka dianggap mati, karenanya hartanya diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. (Lihat Musthafa Dib al-Bugha, Atsarul Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t, halaman 221-222).

Dalam konteks kehidupan modern ini, penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum Islam kontemporer sangatlah diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas praduga tak bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Asas praduga tak bersalah ini relevan dengan konsep “Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah”, yaitu Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Wallahu A’lam.

Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang.


------------------------

MOHON DIKOREKSI DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

Share this:

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes