BREAKING NEWS

Watsapp

Saturday, January 21, 2023

HUKUM KERAMAS PADA WAKTU HAID

PAS TUNTAS MASALAH RAMBUT WANITA HAID

Oleh : M Syihabuddin Dimyathi 

Tulisan ini agak panjang karena kami ambil dari karya ilmiah. Bagi yang tidak kuat, bisa langsung baca kesimpulan akhir.

Telah lumrah beredar sebuah keyakinan di masyarakat kita bahwa rambut dan kuku wanita saat haid tidak boleh ada yang lepas, atau kalau ada yang lepas maka 'wajib' di kumpulkan dan nantinya setelah haid selesai, ikut dimandikan. Di sebagian masyarakat kita bahkan ada yang meyakini kalau rambut yang rontok tersebut jika tidak dimandikan maka kelak di akhirat akan menjadi api, ada juga yang mengatakan akan menjadi ulat.

Dari itu, banyak dari mereka yang mempunyai ihtiyath atau kehati-hatian untuk tidak bersisir maupun keramas sampai seminggu, bahkan lebih, tergantung hari haid yang dialami. 

Hal ini tentunya bisa menimbulkan beberapa problem turunan, seperti suami yang bisa saja tidak suka dengan bau rambut istri karena berhari-hari tidak keramas, nantinya bisa bikin retak hubungan rumah tangga, dan problem lainnya. 

Yang menjadi pertanyaan sekarang, "Apakah benar ketentuannya demikian dalam syariat Islam?" 

Dalam tulisan pendek ini, kami berusaha menyajikan hasil penelitian kami terhadap permasalahan ini, yang mana kami klasifikasikan hasil penelitian ini menjadi tiga bagian :

Pertama, pembahasan dalil landasan.

Kedua, komentar berbagai ulama' menanggapi dalil tersebut.

Ketiga, kesimpulan.


Sebelum ke pembahasan utama, kami akan mengulas sedikit tentang judul yang kami tampilkan. Dalam judul tersebut kami hanya menyebutkan rambut wanita haid. Judul tersebut hanya memandang kebanyakan pembahasan yang terjadi. Secara aslinya pembahasan ini juga mencakup kuku, darah dan segala hal yang ada di tubuh, bukan hanya rambut. Objek kajian ini juga bukan sebatas wanita haid, karena yang jadi titik poin disini adalah 'hadats besar', maka juga mencakup wanita nifas dan orang junub.

1- Dalil Landasan 

Imam Ghazali, dalam Ihya'nya menyatakan :

ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها. 1

"Tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah atau membuang sesuatu dari badannya disaat dia sedang berjunub, karena seluruh bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali berjunub. Dan dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab junub yang ada pada rambut tersebut.”

Keterangan ini ada dalam kitab Ihya' Ulumuddin pada pembahasan Kitab Adab al-Nikah. Keterangan tersebut juga dikutip oleh banyak ulama', baik ulama' turats maupun kontemporer, seperti tiga serangkai Syarh Minhaj, yaitu Tuhfah Ibnu Hajar, Nihayah Imam Ramli, dan Mughni Khatib Syarbini. Ulama' kontemporer yang menukil keterangan tersebut diantaranya adalah ulama' besar Suriah yang bergelar Al-Suyuthi al-Tsani, Dr. Wahbah ibn Musthofa al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuh dan Syekh 'Athiyyah Shaqr -ulama besar al-Azhar- dalam Mawsu'ah Ahsan al-Kalam Fi al-Fatawa Wa al-Ahkam.

Dalam Ihya'nya Imam Ghazali tidak menyebutkan dalil rujukan atas statement tersebut. Dari penelusuran yang kami lakukan, ternyata Imam Ghazali bertendensi dengan sebuah hadits cukup panjang tentang hilir-mudiknya malaikat siang malam untuk mencatat orang-orang shalat, sebagaimana yang di jelaskan al-Hafidz Ibn Hajar al-'Asqolani dalam Fath al-Barinya: 

تَنْبِيهٌ اسْتَنْبَطَ مِنْهُ بَعْضُ الصُّوفِيَّةِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُفَارِقَ الشَّخْصُ شَيْئًا مِنْ أُمُورِهِ إِلَّا وَهُوَ عَلَى طَهَارَةٍ كَشَعْرِهِ إِذَا حَلَقَهُ وَظُفْرِهِ إِذَا قَلَّمَهُ وَثَوْبِهِ إِذَا أَبْدَلَهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ. 2

"Sebagian ulama sufi (yakni Abu Thalib al-Makki dan Imam Ghazali -pen*) mengambil dalil dari hadits ini bahwa seseorang disunnahkan untuk tidak memisahkan sesuatu dari badannya kecuali ia dalam keadaan suci, seperti memangkas rambut, memotong kuku, mengganti baju dan semisalnya."

2- Komentar-komentar Ulama' Menanggapi Dalil Landasan Tersebut

Ihya' Imam Ghazali dengan segala kepopuleran yang dimilikinya tentu memantik banyak respon dan tanggapan dari para ulama', baik dari sisi hadits maupun lainnya, tak terkecuali satu statement yang kami kutip dalam makalah ini. 

Statement itu memberi banyak respon dari para ulama', yang mana sekian statement tanggapan itu kembali kepada dua kelompok utama, yaitu pihak yang sepakat dan yang tidak.

Kami tampilkan beberapa diantaranya :

[1] Komentar ulama' yang sepakat 

1- Syekh Sa'id Ba'asyin:

وندب لنحو جنب: أن لا يزيل شيئا من بدنه إلا بعد الغسل؛ لأن الأجزاء تعود إليه في الآخرة، فيعود جنباً؛ تبكيتاً له، ثم تزول عنه ما عدا الأجزاء الأصلية، ويقال: إن كل شعرة تطالب بجنابتها. 3

"Disunahkan pada semisal orang junub untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya kecuali setelah mandi, karena seluruh anggota badan akan kembali kepadanya di akhirat kelak, maka hal itu akan menjadi sebab dia junub, sebagai pencelaan terhadapnya, kemudian anggota-anggota badan tadi akan hilang darinya kecuali anggota tubuh yang pokok, dan dikatakan bahwa setiap rambut kelak akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut."


2- Ibnu Hajar al-Haitami : 

وَأَنْ لَا يُزِيلَ ذُو حَدَثٍ أَكْبَرَ قَبْلَهُ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ نَحْوَ دَمٍ قَالَ الْغَزَالِيُّ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ بِوَصْفِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا. 4

"Dan orang yang memiliki hadats besar, sebelum mandi, untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya, walaupun semisal darah. Al-Ghazali berkata…"karena anggota tubuhnya tersebut akan kembali padanya di akhirat kelak dalam keadaan junub, dan di katakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut."

Dari sekian ulama' yang sepakat dengan statement Imam Ghazali, kami belum menemukan mereka menampilkan dalil landasan (al-Qur'an ataupun Hadits) dari apa yang telah diungkapkan Imam Ghazali, hanya menukil keterangan tersebut atau menyampaikannya dengan ungkapan lain yang senada, yang tidak keluar dari maksud Imam Ghazali. Seperti juga ibarot Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu'in:

وينبغي أن لا يزيلوا قبل الغسل شعرا أو ظفرا، وكذا دما، لان ذلك يرد في الآخرة جنبا. 5

"Dan seyogyanya sebelum mandi mereka tidak menanggalkan rambut atau kuku, begitu juga darah. Karena itu akan di kembalikan diakhirat dalam keadaan junub."

[2] Komentar ulama' yang tidak sepakat

1. Hasyiyah Syarwani dan juga mengutip dari Imam Sa'd dalam Syarh 'Aqa`id al-Nasafiyyah menyatakan :

 (قَوْلُهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَوْدَ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيهِ خِلَافٌ، وَقَالَ السَّعْدُ فِي شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ الْمُعَادُ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى آخِرِهِ ع ش. 6

"Pernyataan Mushonnif "anggota yang terlepas kelak di akhirat akan kembali", ini didasari penilaian bahwa anggota yang kelak kembali di akhirat bukan terkhusus anggota-anggota asli (pokok), dan dalam permasalahan ini ada khilaf. Al-Sa'd di dalam Syarh 'Aqa`id al-Nasafiyyah berkata "anggota yang kelak dikembalikan hanyalah anggota asli yang masih tersisa dari awal umur hingga akhir hayat."

2. Imam Bujairami mengatakan :

عِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ قَلْيُوبِيٌّ. 7

"Perlu dipertimbangkan kembali pendapat tersebut, karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal, bukan seluruh kuku yang dia potong selama hayatnya begitu juga bukan seluruh rambutnya." Keterangan ini mirip dengan yang diutarakan al-Qulyubi.

3. Al-Madaabighi : 

وَعِبَارَةُ الْمَدَابِغِيِّ قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلَخْ أَيْ الْأَصْلِيَّةَ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ.8

"Ucapan Mushannif “Karena anggota-anggota tubuhnya…dst”. Maksudnya hanya anggota tubuh yang asli seperti tangan yang terpotong. Berbeda semisal rambut dan kuku."

4. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqolani :

وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ: إنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكُونُ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ ثُمَّ عِنْدَ دُخُولِ الْجَنَّةِ يَصِيرُونَ طِوَالًا. 9

"Sesungguhnya setiap orang nantinya akan sesuai dengan anggota tubuh saat ia meninggal. Kemudian ketika masuk surga maka mereka menjadi tinggi-tinggi."

5. Fatwa Daar Al-Ifta' Al-Mishriyah : 

لكن هذا الكلام لا دليل فيه على منع ذلك أثناء الجنابة، ولا فى مطالبة الجز المفصول بجنابته يوم القيامة، وقد وُجِّه مثل هذا السؤال لابن تيمية كما قال السفارينى فى كتابة " غذاء الألباب ج 1 ص 382 " فأجاب: قد ثبت عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه لما ذكر الجنب قال " إن المؤمن لا ينجس حيا ولا ميتا " قال: وما أعلم لكراهة إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا، بل قد قال النبى صلى الله عليه وسلم للذى أسلم " ألق عنك شعر الكفر واختتن " فأمر الذى أسلم بذلك ولم بأمره بتأخير الاختتان وإزالة الشعر حتى يغتسل، فإطلاق كلامه يقتضى جواز الأمرين، وكذلك تؤمر الحائض بالامتشاط فى غسلها مع أن الامتشاط يذهب ببعض الشعر، فعلمنا عدم كراهة ذلك. وأن ما يقال فيه مما ذكر لا أصل له. قال عطاء: يحتجم الجنب ويقلم أظفاره ويحلق رأسه وإن لم يتوضأ، رواه البخارى.

وعلى هنا فلا كراهة فى قص الشعر والظفر أثناء الجنابة.   10

"Tidak ada dalil atas pelarangan melakukan hal-hal tersebut (baik memotong kuku, rambut, keluar darah dan lainnya) di waktu Junub (ataupun haid, dan hadats besar lainnya).

(Kemudian) tidak ada dalil juga tentang penjelasan pada hari kiamat kelak anggota-anggota tubuh yang terlepas sebab Junub akan menuntut seseorang.

Dan dalam penutupan akhir dari jawaban di perjelas "dari keterangan ini, maka tidak ada kemakruhan (apalagi pengharaman) dalam memotong rambut dan kuku ketika Junub (dan hadats besar lainnya)."

3- Kesimpulan

Masih terjadi selisih pendapat diantara ulama' akan hukum menanggalkan sesuatu dari tubuh ketika hadats besar. Statement Imam Ghazali dan dalil yang digunakan dipandang banyak ulama' tidak kuat untuk menyatakan pelarangan melakukan hal itu. Apalagi sampai taraf pengharaman seperti yang menjadi keyakinan sebagian masyarakat.

Kemudian, untuk kuku atau rambut yang sudah terlanjur di potong atau rontok saat hadats besar, kami belum menemukan referensi yang menyatakan itu wajib di mandikan. Bahkan dalam Nihayah al-Muhtaj Imam Ramli dan juga Hawasyi al-Syarwani dengan tegas dikatakan bahwa bagian yang terlepas sebelum mandi, junubnya tidak bisa hilang dengan memandikannya.

الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ اهـ. 11

"Bagian-bagian tubuh yang terlepas sebelum mandi wajib maka janabahnya tidak bisa hilang dengan memandikannya."

Adapun keterangan NU Online yang menyatakan ada pendapat wajib memandikan anggota yang terlepas saat haid yang berangkat dari ibarot Imam Nawawi dalam Raudhoh yang mengutip keterangan Al-Bayan karya Al-Umroni, hemat kami mereka salah paham.

Kami kutipkan keterangan NU online tersebut:

~~~~~~~~~~~~~~~~

Adapun sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok, kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh? Apakah bagian yang terlepas wajib dibasuh? Para ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin mengatakan sebagai berikut.

 ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه  وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح  وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم 

Artinya, “Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, 'Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.' Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, 'Wajib membasuh bagian yang tampak saja.' Pendapat ini lebih sahih. 

Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz 1, halaman 125).

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Keterangan terjemahan dalam kurung di paragraf terakhir baris kedua merupakan hasil pemahaman yang di tangkap penulis, bukan menerjemahkan teks asli dari ibarot Roudhoh, dan itu salah. Bukti kesalahannya kami tampilkan dari Al-Bayan karya Al-Umroni yang menjadi rujukan Roudhoh.

ٍإذا غسل الجنب جميع بدنه إلا طرف شعره، فقطع ما بقي من الشعر ممّا لم يغسله.. فقد اختلف أصحابنا المتأخرون فيها:

فمنهم من قال: يجب عليه غسل ما ظهر من الشعر بالقطع؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا} [النساء: 43] والقطع لا يسمى غسلا.

ومنهم من قال: لا يجب عليه شيء؛ لأنه زال ما وجب غسله، فهو كما لو توضأ وترك رجله، ثم قطعت من فوق الكعب.. فإنه لا يجب عليه غسل ما ظهر بالقطع عن الحدث. 12

Disana dengan jelas disebutkan bahwa yang wajib dibasuh bukanlah anggota yang terlepas tersebut, melainkan "ma dzoharo minas-sya'ri bil qoth'i", yakni pegasan alias bagian rambut yang nampak sebab adanya pemotongan.

Kemudian, statement Imam Ghazali sendiri seperti yang diutarakan al-Syarwani berangkat dari penilaian bahwa yang dikembalikan kelak adalah semua anggota tubuh selama hidupnya, baik rambut yang di potong, kuku ataupun lainnya. Dan ini merupakan pendapat lemah. 

Shighot لا ينبغي sendiri seperti tertera dalam statement Imam Ghazali bisa mengarah pada dua hukum, bisa makruh bisa haram seperti keterangan dalam al-Tahdzib karya Imam al-Baghowy. (13) Tapi dengan memandang berbagai komentar ulama', baik yang sepakat atau tidak, bisa disimpulkan bahwa alur hukum yang paling tinggi hanya bertaraf makruh.

Untuk masyarakat yang meyakini bahwa rambut yang terlepas dan kuku yang terlepas jika tidak di mandikan sewaktu bersuci nantinya akan menjadi api atau ulat kami rasa tidak ada dalilnya. Yang mengatakan nantinya akan kembali dalam keadaan hadats besar juga telah dijawab oleh para ulama.

KESIMPULAN AKHIR,

1- Hukum memotong rambut, kuku, dan semisalnya ketika junub, haid, dan hadats besar lainnya adalah antara makruh dan mubah. Tidak sampai ke taraf haram. Salah satu yang menyatakan mubah adalah Darul Ifta' Mesir yang menyatakan jawazul amroin (kebolehan melakukan dua perkara, yakni boleh memotong ataupun tidak).

2- Untuk hukum memandikan rambut dan kuku yang terlepas sebelum mandi wajib, maka tidak ada kewajiban atau kesunahan sama sekali. Kesunahannya adalah dengan memendam.

Wallahu ta'ala a'lam.


~~~~~~~~~~~~~

Catatan:

*Kami menafsiri "sebagian ulama' sufi" dalam ibarot Fath al-Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar dengan Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H) dan Imam Ghazali (450-505 H) karena setau kami pertama kali yang istinbath demikian adalah Abu Thalib Al Makki dalam kitab Quut al-Quluub, kemudian Imam Ghazali mengadopsi pemikiran tersebut dan beliau cantumkan dalam karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin. 

Kemudian kenapa kami memilih ibarot Imam Ghazali untuk di tampilkan dalam dalil landasan, karena memang umumnya pembahasan masalah ini merujuk pada Ihya' Imam Ghazali, dan yang dikutip oleh banyak ulama' dalam kitab-kitabnya juga dari Ihya', bukan dari Quut al-Quluub Abu Thalib Al Makki.

~~~~~~~~~~~~~

Referensi:

[1] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya` 'Ulum al-Diin, (Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/51.

[2] Ibn Hajar al-'Asqolani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/37.

[3]  Sa'id Ba'asyin, Busyro al-Karim bi Syarh Masa'il al-Ta'lim, (Jeddah: Daar al-Minhaj) 135.

[4] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbadi (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[5] Zain al-Diin al-Malibari, Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrah al-'Ain, (Beirut: Daar ibn Hazm) 69.

[6]'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[7] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[8] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[9] Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami 'ala al-Khatib, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/247.

[10] Majmu'ah min al-Mu`allifin, Fatawa Daar al-Ifta' al-Mishriyyah, 8/418.

[11] Syams al-Diin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/229.

[12] Al-Umroni, Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, (Jeddah: Dar Al-Minhaj), 1/263.

[13] al-Baghowy al-Syafi'i, al-Tahdzib fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, (Beirut: Daar al-Kutub al-'Ilmiyyah) 1/65.

و"ينبغي" الأغلب فيها استعمالها في المندوب تارة والوجوب أخرى، ويحمل على أحدهما بالقرينة، وقد تستعمل للجواز والترجيح، و"لا ينبغي" قد تكون للتحريم أو الكراهة أهـ تحفة بزيادة من النهاية.

والله أعلم بالصواب...

~~~~~~~~~~~~~

Tuesday, January 17, 2023

MENCUCI PAKAIAN DENGAN MESIN CUCI, BAGAIMANAKAH HUKUMNYA /ATURANNYA....



KAJIAN MASALAH MENCUCI PAKAIAN DENGAN MESIN CUCI 

Ketentuan yang masyhur dalam mazhab Syafi’i tentang air yang terkena najis adalah: jika volume air sudah sampai dua qullah (216 liter atau kubus dengan panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 60 cm) maka air tidak dihukumi najis kecuali warna air berubah (taghayyur); sedangkan jika volume air tidak sampai dua qullah maka seluruh air secara langsung menjadi najis ketika bersentuhan dengan benda yang najis. Namun menurut pendapat lain—seperti dalam mazhab Maliki misalnya—air tidak dihukumi najis kecuali dengan berubahnya warna air, baik volume air sampai dua qullah ataupun kurang dari dua qullah.  Sedangkan cara menyucikan benda yang terkena najis (mutanajjis) dengan air yang kurang dari dua qullah adalah dengan cara menghilangkan wujud najis yang ada dalam benda tersebut terlebih dahulu, lalu mengalirkan air (warid) pada benda yang terkena najis yang telah dihilangkan najisnya. Mengalirkan air pada benda yang terkena najis merupakan syarat agar suatu benda dapat menjadi suci, sebab jika air tidak dialirkan, tapi benda yang terkena najis ditaruh pada air yang kurang dari dua qullah, maka air tersebut justru akan ikut menjadi najis.  Pendapat demikian merupakan pendapat mayoritas ulama Syaf’iyyah. Kewajiban mengalirkan air itu dikarenakan mengalirkan air adalah cara yang paling kuat dalam menyucikan benda yang terkena najis.  Namun dalam hal ini, Imam al-Ghazali berbeda pandangan. Beliau berpendapat bahwa mengalirkan air bukanlah syarat dalam menyucikan benda yang terkena najis. Sebab, menurut beliau, tidak ada bedanya antara mengalirkan air pada benda yang terkena najis (warid) dan menaruh benda tersebut pada air (maurud). Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Suraij. Ketika  ketentuan-ketentuan di atas kita terapkan dalam konteks menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, maka cara yang paling baik dan disepakati oleh para ulama adalah dengan cara menghilangkan wujud najis (‘ain an-najasah) terlebih dahulu sebelum memasukkan pakaian ke dalam mesin. Menghilangkan najis ini bisa dengan cara menggosok-gosok pakaian agar wujud najis hilang, atau langsung dengan cara menyiram pakaian (baik itu secara manual, atau langsung dengan cara dimasukkan pada mesin cuci) ketika memang diyakini najis yang melekat akan hilang dengan siraman air tersebut. Sehingga ketika wujud najis telah hilang, maka status pakaian menjadi najis hukmiyyah (najis secara hukum, meski wujud tak terlihat) yang dapat suci cukup dengan disiram air.  Berbeda halnya pada pakaian yang tidak terdapat bekas najis, atau tidak tampak warna, bau dan ciri khas lain dari najis, maka tidak perlu dilakukan hal di atas, sebab pakaian tersebut sudah dapat suci cukup dengan disiram.



Dalam penjelasan lainnya
*Cara mensucikan pakaian najis lewat mesin cuci*

والغسالات نوعان: نوع يسمونه أوتوماتيكي يرد إليها الماء ثم ينصرف فيرد ماء جديد ثم يتكرر إيراد الماء عدة مرات فهذا لاخلاف فيه في طهارة الملابس. والنوع الثاني من الغسالات عادي وتلك يوضع الماء فيها وهو دون القلتين وتغسل به الملابس الطاهرة والنجسة ثم يصرفونه فيبقى شيء منه في الغسالة والثياب مبللة منه فيصبّون عليه ماء آخر فوق الباقي المتنجس ثم يكتفون بالغسلتين 

“Mesin cuci terbagi menjadi dua. Pertama, mesin cuci yang otomatis, yaitu air dialirkan pada mesin cuci lalu di alirkan keluar dari mesin cuci, setelah itu dialirkan kembali air baru dan dialirkan keluar, begitu juga seterusnya. Maka dalam mesin cuci jenis demikian tidak ada perbedaan pendapat antar ulama dalam sucinya pakaian yang di cuci pada mesin cuci jenis ini.

Kedua, mesin cuci biasa, yaitu air yang kurang dari dua qullah ditaruh di dalam mesin cuci, yang nantinya air tersebut digunakan untuk membasuh pakaian yang suci dan najis, lalu air tersebut dialirkan keluar, meski masih terdapat sebagian air yang menetap pada mesin cuci, sedangkan pakaian yang terdapat dalam cucian berada dalam keadaan basah, kemudian dialirkan air lain di atas sisa air yang terkena najis (di pakaian) tadi dan basuhan air dalam mesin cuci ini dicukupkan dengan dua kali basuhan oleh sebagian ulama.”

فهؤلاء يحملهم قول الذين لايشترطون ورودالماء مع القول في مذهب مالك. وهناك قول آخر نقله ابن حجر في التحفة يحملهم وإن قرر على أن الماء القليل ينجس بمجرد وقوع النجاسة فيه لكن نقل القول الآخر وهو أنه لاينجس إلا بالتغير وهو مذهب مالك وعندنا أنه ينجس بملاقته النجاسة والقول الذي يقول لاينجس الماء إلا بالتغير

“Para ulama ini mengarahkan kasus demikian pada pendapat para ulama yang tidak mensyaratkan mengalirnya air pada pakaian serta berpijak pada pendapat mazhab imam malik. Sebab dalam permasalahan membasuh benda yang terkena najis ini terdapat pendapat lain yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, meskipun Imam Ibnu Hajar menetapkan bahwa air yang sedikit (kurang dari dua qullah) akan menjadi najis dengan hanya jatuhnya najis pada air tersebut, tetapi ia menukil pendapat lain yaitu Air tidak menjadi najis kecuali dengan berubahnya (warna) air.” (Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, Hal. 98-99)

Namun patut dipahami bahwa ketentuan yang dijelaskan tentang menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, seperti yang dijelaskan di muka, adalah ketika pakaian yang dimasukkan dalam mesin cuci belum dicampuri dengan detergen. Sedangkan ketika pakaian sudah dicampuri dengan detergen sebelum dialiri air dalam mesin cuci, maka air yang bercampur dengan detergen ini tidak dapat menyucikan pakaian yang terkena najis secara mutlak, sebab air ini tergolong air yang mukhalith (bercampur dengan sesuatu lain) yang tidak dapat menyucikan benda yang terkena najis, sebab hanya air murni (ma’ al-muthlaq) yang dapat menyucikan sesuatu yang terkena najis. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci biasa (‘adi) adalah hal yang dapat dilakukan menurut para ulama yang berpandangan bahwa air yang kurang dari dua qullah dapat menyucikan benda yang najis tanpa perlu dialiri air dari atas (warid). Namun dengan batasan selama pakaian dalam mesin cuci tidak terlebih dahulu dicampur dengan detergen. Barulah setelah pakaian dialiri air maka tempat penampungan pakaian dalam mesin cuci diganti air yang baru dan diberi detergen. 

Meski cara yang umum dilakukan masyarakat dapat dibenarkan dengan cara di atas, *namun alangkah baiknya dalam rangka mengambil jalan kehati-hatian dalam  mengamalkan syariat, seseorang hendaknya membasuh secara manual terlebih dahulu pada pakaian yang terkena najis dengan air murni, lalu setelah itu pakaian yang telah dibasuh dicuci dalam mesin cuci, sebab cara demikianlah yang dibenarkan oleh mayoritas ulama.* Wallahu a’lam.

HUKUM MEMANJANGKAN RAMBUT BAGI LALI LAKI

Kajian Gus Baha

Pertanyaan masalah Hukum memelihara janggut 

Benarkah Pria Memanjangkan Rambut Termasuk Mengikuti Sunnah Rasul?

Senin, 15 Agustus 2022 | 08:30 WIB

Jawaban 

Pria berambut gondrong yang sedang berkendara motor (Foto:NOJ/istimewa)

Rambut panjang atau gondrong di kalangan pria kerap menjadi trend, sebab mereka berdalih bahwa gondrong mencerminkan keberanian, jagoan, kesaktian dan lain-lain. Bahkan ada pula yang beralasan bahwa  rambut gondrong mengikuti penampilan Nabi Muhammad.

Pertanyaannya adalah, apakah pria memanjangkan rambut termasuk sunnah?

Menyikapi persoalan ini, Syekh Ali Jumah menyatakan bahwa pria yang memanjangkan rambut bukanlah termasuk sunnah yang berpahala bagi seorang Muslim. Sebab Nabi Muhammad pernah memendekkan dan memanjangkan rambutnya.

Baca Juga:

Ingin Rambut Terlihat Keren? Ingat Pesan Rasulullah, Bro

Dalam Hasyiyah Jamal juz 1/475:


وإذا قلنا إنها للإباحة وكان شُهْرَة في زمان أو مكان فإنه لا يجوز، فتجد أن بعض الناس يطيل الشعر، ويعقد شعره، ويجعل له ضفائر، وربما جعله على كتفيه ثم يقول: هذه سنة النبي صلى الله عليه وسلم


Artinya: Jika dikatakan bahwa rambut gondrong bagi laki-laki itu mubah dan perkara mubah itu menyebabkan seseorang itu terkenal di suatu tempat atau masa, maka hukum mubah ini berubah menjadi terlarang. Sebab terdapat sejumlah kasus sebagian laki-laki memanjangkan rambutnya dan mengucirnya lalu beralasan “Ini adalah sunnah Nabi”.


والجواب أن هذه ليست سنة بالمعنى الأصولي والمصطلح الفقهي عند الفقهاء، فهي سنة أي طريقة صحيحة

Baca Juga:

Belasan Santri di Nganjuk Ikuti Pelatihan Potong Rambut, Ini Harapannya

Untuk merespon hal tersebut jawabannya adalah: lelaki berambut gondrong bukanlah sunnah Nabi dalam pengertian fikih (sesuatu yang berpahala jika dilakukan), tapi sunnah yang dimaksud adalah Nabi pernah melakukannya.

 ولكن قال العلماء: الفعل المحض الذي لم يقترن به أمر منه صلى الله عليه وسلم فإنه لا يُعتبر له حكم الاستحباب فضلاً عن الوجوب، ولهذا نقول: إنه مباح

Namun para ulama mengatakan, perbuatan Nabi yang mahdhoh (bukan ibadah) yang tidak diiringi perintah dari Nabi, maka perbuatan Nabi tersebut tidak menghasilkan hukum anjuran (sunnah), apalagi hukum wajib. Oleh karena itu kami katakan bahwa hukum gondrong untuk laki-laki adalah mubah.

Tentu semua itu harus dilandaskan pada aturan umum seperti kewajiban untuk menutupi aurat, larangan meniru orang fasik, larangan laki-laki meniru perempuan dan sebaliknya, larangan sombong, dan pemborosan. Boros karena memang perawatan rambut memerlukan biaya.

Walhasil, memanjangkan rambut bagi pria bukanlah kesunnahan yang kemudian mendapatkan pahala, sebab Nabi Muhammad tidak selalu berambut panjang. Terlebih bila pria berambut panjang ingin mencari popularitas, sombong, menyerupai wanita, maka itu dilarang. 

Semoga bermanfaat 

Monday, January 16, 2023

BATASAN KATEGORI AL-QUR'AN DAN KELUPAAN

 


Assalamualaikum,punten disuhunkeun pencerahan na:.sebatas manakah lupa terhadap Al Qur'an yang di haramkan? 

Jawaban 

Yang harom dan termasuk dosa besar kalo melupakannya atas dasar meremehkan dan malas


 ( وَنِسْيَانُهُ كَبِيرَةٌ ) ، وَكَذَا نِسْيَانُ شَيْءٍ مِنْهُ لِخَبَرِ { عُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيَهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا } وَخَبَرُ { مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ لَقِيَ اللَّهَ - عَزَّ وَجَلَّ - يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَجْذَمَ } رَوَاهُمَا أَبُو دَاوُدالشَّرْحُ( قَوْلُهُ : وَنِسْيَانُهُ كَبِيرَةٌ ) مَوْضِعُهُ إذَا كَانَ نِسْيَانُهُ تَهَاوُنًا وَتَكَاسُلًا


[10/7 21.35] Hasanul Admin 4 Anwar: 

وَأَن يكون مَا أَتَى بِهِ يُسمى قُرْآنًا إِلَّا إِذا نوى الْقِرَاءَة وَشرع فِيهَا فَإِنَّهُ يَأْثَم بالحرف الْوَاحِد كَمَا تقدم

نهاية الزين

[10/7 21.47] +62 858-7500-5185: 

Potongan kata-kata itu adalah bahasa Arab dan bukan bagian dari ayat al-Quran. Meskipun ia diambil dari ayat al-Quran. baru dikatakan ayat al-Quran manakala potongannya sempurna. oleh karena ia sekadar bahasa arab biasa, maka tidak ada larangan sama sekali bagi orang yang sedang haid untuk membacanya.

Jika potongan ayatnya lengkap, maka ia dianggap ayat al-Quran. Menurut madzhab Syafii dilarang. Hanya saja, jika sedang dalam proses belajar untuk mengaji, menurut madzhab Maliki dibolehkan. 


Wallahu a’lam

[10/7 21.48] +62 813-2111-7052: Kalau tafsir nya lebih banyak daripada kalimat alqur,an nya boleh 

kalau tidak, tidak


Kalau tetjamah kaya nya tidak lebih banyak daripada alqur,an nya kaya nya

[10/7 21.55] Hasanul Admin 4 Anwar: Kalau terjemahan yg ada di pinggir Al-Quran seperti yg ada sekarang itu tidak di hitung tafsir, itu tetap dinamakan Al-Qur'an, 

أما تَرْجَمَة الْمُصحف الْمَكْتُوبَة تَحت سطوره فَلَا تُعْطِي حكم التَّفْسِير بل تبقى للمصحف حُرْمَة مَسّه وَحمله كَمَا أفتى بِهِ السَّيِّد أَحْمد دحلان حَتَّى قَالَ بَعضهم إِن كِتَابَة تَرْجَمَة الْمُصحف حرَام مُطلقًا سَوَاء كَانَت تَحْتَهُ أم لَا فَحِينَئِذٍ يَنْبَغِي أَن يكْتب بعد الْمُصحف تَفْسِيره بِالْعَرَبِيَّةِ ثمَّ يكْتب تَرْجَمَة ذَلِك التَّفْسِير

IMAM IDHUL FITRI/IDHUL ADHA LUPA LANGSUNG BACA BASMALAH MESTINYA TAKBIR DIROKAAT KEDUANYA

 


RUMUSAN Grup NGAJI NYANTAI

٠٠٩

*Deskripsi* 


NAMA   :Yeti

NO. HP:081312557475

 

Ketika sholat Ied(Idul Fitri/Idul Adha)ketika kita sedang melaksanakan sholat Idul fitri/idul adha. Nah ketika rokaat kedua imam lupa harusnya masih takbir tapi dia baca basmalah. Ketika dia  sadar langsung takbir lagi smpai slasai 5x.


*Pertanyaan*

Apakah sholat ny sah atau tidak


*Jawaban*

Sah dan tidak sampai membatalkan, namun wajib mengulangi bacaan surat Al Fatihah nya dari awal.

*Referensi*

📑 [الأنصاري، زكريا ,أسنى المطالب في شرح روض الطالب ,1/280]

(فَرْعٌ إذَا نَسِيَ) الْمُصَلِّي يَعْنِي تَرَكَ (التَّكْبِيرَ) الْمَذْكُورَ وَلَوْ عَمْدًا أَوْ جَهْلًا مَحَلُّهُ (فَقَرَأَ) الْفَاتِحَةَ أَوْ شَيْئًا مِنْهَا (أَوْ قَرَأَ الْإِمَامُ) ذَلِكَ (قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ) هُوَ أَوْ الْمَأْمُومُ التَّكْبِيرَ (لَمْ يَعُدْ إلَيْهِ) التَّارِكُ فِي الْأُولَى (وَلَمْ يُتِمَّ) هـ الْإِمَامُ أَوْ الْمَأْمُومُ فِي الثَّانِيَةِ لِلتَّلَبُّسِ بِفَرْضٍ وَلِفَوَاتِ مَحَلِّهِ بِخِلَافِ مَا لَوْ تَرَكَهُ وَتَعَوَّذَ وَلَمْ يَقْرَأْ فَلَوْ تَدَارَكَ ذَلِكَ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ سُنَّ لَهُ إعَادَتُهَا أَوْ بَعْدَ الرُّكُوعِ بِأَنْ ارْتَفَعَ لِيَأْتِيَ بِهِ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إنْ كَانَ عَالِمًا كَمَا عُلِمَ مِنْ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَصَرَّحَ بِهِ الْأَصْلُ هُنَا (وَإِذَا أَدْرَكَهُ) الْمَأْمُومُ (فِي) الرَّكْعَةِ (الثَّانِيَةِ كَبَّرَ مَعَهُ خَمْسًا وَأَتَى فِي الثَّانِيَةِ) أَيْ ثَانِيَتِهِ (بِخَمْسٍ) فَقَطْ؛ لِأَنَّ فِي قَضَاءِ ذَلِكَ تَرْكَ سُنَّةٍ أُخْرَى وَبِهَذَا فَارَقَ نَدْبَ قِرَاءَةِ الْجُمُعَةِ مَعَ الْمُنَافِقِينَ فِي الثَّانِيَةِ إذَا تَرَكَهَا فِي الْأُولَى كَمَا مَرَّ فِي بَابِهَا مَعَ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ وَزَادَ عَلَى الْأَصْلِ قَوْلُهُ (وَلَا يُكَبِّرُ فِي قَضَاءِ صَلَاةِ الْعِيدِ) ؛ لِأَنَّ التَّكْبِيرَ شِعَارٌ لِلْوَقْتِ وَقَدْ فَاتَ ذَكَرَهُ فِي الْكِفَايَةِ عَنْ الْعِجْلِيّ وَيُؤْخَذُ مِنْ تَعْلِيلِهِ أَنَّهُ يُكَبِّرُ فِي الْمَقْضِيَّةِ فِي الْوَقْتِ بَلْ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ يَقْتَضِي أَنَّهُ يُكَبِّرُ مُطْلَقًا فَيُخَالِفُ مَا ذُكِرَ


📑 [النووي، المجموع شرح المهذب، ١٨/٥]

(فَرْعٌ)

لَوْ نَسِيَ التَّكْبِيرَاتِ الزَّائِدَةَ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ فِي رَكْعَةٍ فَتَذَكَّرَهُنَّ فِي الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ مَضَى فِي صَلَاتِهِ وَلَا يُكَبِّرُهُنَّ وَلَا يَقْضِيهِنَّ فَإِنْ عَادَ إلَى الْقِيَامِ لِيُكَبِّرَهُنَّ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إنْ كَانَ عَالِمًا بِتَحْرِيمِهِ وَإِلَّا فَلَا وَلَوْ تَذَكَّرَهُنَّ قَبْلَ الرُّكُوعِ إمَّا فِي الْقِرَاءَةِ وَإِمَّا بَعْدَهَا فَقَوْلَانِ (الصَّحِيحُ) الْجَدِيدُ أَنَّهُ لَا يَأْتِي بِهِنَّ لِفَوَاتِ مَحَلِّهِنَّ وَهُوَ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَالْقَدِيمُ يَأْتِي بِهِنَّ سَوَاءٌ ذَكَرَهُنَّ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ بَعْدَهَا مَا لَمْ يَرْكَعْ وَعِنْدَهُ أَنَّ مَحَلَّهُنَّ الْقِيَامُ وَهُوَ بَاقٍ فَعَلَى الْقَدِيمِ لَوْ تَذَكَّرَ فِي أَثْنَاءِ الْفَاتِحَةِ قَطَعَهَا وَكَبَّرَهُنَّ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الْفَاتِحَةَ وَلَوْ تَذَكَّرَهُنَّ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ كَبَّرَهُنَّ وَيُسْتَحَبُّ اسْتِئْنَافُ الْفَاتِحَةِ وَفِيهِ وَجْهٌ شَاذٌّ حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ يَجِبُ اسْتِئْنَافُ الْفَاتِحَةِ


📑 [النووي، المجموع شرح المهذب، ٢١/٥]

(فَرْعٌ)

فِي مَذَاهِبِهِمْ فِيمَنْ نَسِيَ التَّكْبِيرَاتِ الزَّائِدَةَ حَتَّى شَرَعَ فِي الْقِرَاءَةِ

* قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الْجَدِيدَ الصَّحِيحَ أَنَّهَا تَفُوتُ وَلَا يَعُودُ يَأْتِي بِهَا وَبِهَذَا قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالْحَسَنُ بْنُ زِيَادٍ اللُّؤْلُؤِيُّ صَاحِبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْقَدِيم أَنَّهُ يَأْتِي بِهَا مَا لَمْ يَرْكَعْ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ ومالك


📑 « كاشفة الشجا » لمحمد نووي الجاوي الشافعي ص٢٤٣

شروط الفاتحة عشرة ، بل أكثر : الأول : الترتيب ، بأن يأتي بها على نظمها المعروف . والثاني : الموالاة ، بأن لا يأتي بفاصل ، فإن تخلل ذكر أجنبي غير متعلق بالصلاة ، ولو قليلا ، كحمد عاطس ، وإن من خارجها ، وكإجابة المؤذن قطع الموالاة ، فيعيد القراءة ، ولا تبطل صلاته ؛ 


📑 [البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,1/302]

وإن كانت الفاتحة فاتت لفوات محلها فلا يسن العود إليها، فإن عاد إليها قبل الركوع عامدا عالما لا تبطل صلاته، أو بعد الركوع بأن ارتفع ليأتي بها بطلت صلاته.

(قوله: ولا يتدارك في الثانية) الفعل مبني للمجهول، ونائب فاعله ضمير يعود على التكبير، أي لا يؤتي به مع تكبيرات الركعة الثانية.

وهذا معتمد ابن حجر.

Saturday, January 14, 2023

KEUTAMAAN HARI JU'MAT

RUMPUT DI KUBURAN


MATERI BAHTSUL MASAIL NU CABANG KENCONG

Tanggal 26 Rojab 1438 H/ 23 April 2017

Di Masjid Al Mujahidi Tembokrejo


RUMPUT DI KUBURAN


Deskripsi

Sudah maklum bahwasannya rumput dan semak-semak yang ada dikuburan tidak boleh / haram dicabut selama belum kering sebagaimana keterangan yang ada di dalam kitab-kitab kuning, namun ironisnya ketika rumput dan semak-semak dibiarkan maka akan tumbuh liar dan tinggi sehingga menyebabkan kuburan terlihat kotor dan jadi menyeramkan serta menakutkan dikarenakan banyak ular yang bersarang di sana, di salah satu desa ada juru kunci yang berinisiatif membersihkan makam dengan menyemprotkan obat rumput agar makam tersebut tidak banyak ularnya, mengingat dia sudah kewalahan memotong rumput secara manual karena luasnya makam.

Pertanyaan

Bagaimana hukumnya memotong rumput dan semak-semak di kuburan secara manual (ngarit dll) atau menyemprotnya dengan obat rumput ?

 ( Ranting Tembokrejo )



Jawaban:

Di tafsil, 

a. Jika memotongnya dengan alat, artinya tidak menghilangkan rumput itu, maka hukumnya BOLEH.

b. Jika memotongnya itu bisa menghabiskan atau menghilangkan rumput tersebut, maka hukumnya harom.

إعانة الطالبين - (ج 2 / ص 135)

(مهمة) يسن وضع جريدة خضراء على القبر، للاتباع، ولانه يخفف عنه ببركة تسبيحها . وقيس بها ما اعتيد من طرح نحو الريحان الرطب . ويحرم أخذ شئ منهما ما لم ييبسا لما في أخذ الاولى من تفويت حظ الميت المأثور عنه (ص)، وفي الثانية من تفويت حق الميت بارتياح الملائكة النازلين لذلك . قاله شيخانا ابن حجر وزياد . إهـ

(وقوله: ببركة تسبيحها) أي الجريدة الخضراء، وفيه أن اليابسة لها تسبيح أيضا، بنص: * (وإن من شئ إلا يسبح بحمده) * فلا معنى لتخصيص ذلك بالخضراء، إلا أن يقال إن تسبيح الخضراء أكمل من تسبيح اليابسة، لما في تلك من نوع حياة. (قوله: وقيس بها) أي بالجريدة الخضراء. (وقوله: ما اعتيد من طرح نحو الريحان الرطب) اندرج تحت نحو كل شئ رطب، كعروق الجزر، وورق الخس واللفت. وفي فتاوى ابن حجر ما نصه: استنبط العلماء من غرس الجريدتين على القبر: غرس الاشجار والرياحين، ولم يبينوا كيفيته. لكن في الصحيح أنه غرس في كل قبر واحدة، فشمل القبر كله، فيحصل المقصود بأي محل منه. نعم، أخرج عبد بن حميد في مسنده أنه (ص) وضع الجريدة على القبر عند رأس الميت. اه. وينبغي إبدال ما ذكر - من الجريدة الخضراء، ومن الرياحين - كلما يبس: لتحصل له بركة مزيد تسبيحه، وذكره كما في الحديث. (قوله: ويحرم أخذ شئ منهما) أي من الجريدة الخضراء، ومن نحو الريحان الرطب. وظاهره أنه يحرم ذلك مطلقا، أي على مالكه وغيره. وفي النهاية: ويمتنع على غير مالكه أخذه من على القبر قبل يبسه، فقيد ذلك بغير مالكه. وفصل ابن قاسم بين أن يكون قليلا كخوصة أو خوصتين، فلا يجوز لمالكه أخذه، لتعلق حق الميت به، وأن يكون كثيرا فيجوز له أخذه. (قوله: لما في أخذ الاولى) وهي الجريدة الخضراء. (وقوله: من تفويت حظ الميت) أي منفعته، وهو التخفيف عنه ببركة تسبيحها. (قوله: وفي الثانية) أي ولما في أخذ الثانية. والاولى حذف لفظ في، أو زيادة لفظ أخذ، بعدها، ومراده بالثانية: خصوص الريحان، لان الملائكة إنما ترتاح به فقط، لا الريحان ونحوه: وإن كان ظاهر صنيعه - لما علمت - أن نحو الريحان الرطب صادق بكل شئ رطب . إهـ


بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية ج : 5 ص : 411

( و ) منها ( قلع الشوك والحشيش الرطبين على القبر فإنه مكروه ) فإن النباتات ما دامت رطبة تسبح الله فحينئذ ينتفع الميت ويستأنس بتسبيحها عن الخانية ويكره قطع الحطب والحشيش من المقبرة فإن كان يابسا فلا بأس به لأنه ما دام رطبا يسبح فيؤنس الميت

الموسوعة الفقهية الكويتية (9/ 145)

وَإِذَا كَانَ الْحَنَفِيَّةُ قَدْ صَرَّحُوا بِأَنَّ لَفْظَ الْمَكْرُوهِ إِذَا أُطْلِقَ فِي كَلاَمِهِمْ فَالْمُرَادُ مِنْهُ التَّحْرِيمُ ، مَا لَمْ يَنُصَّ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ (2) . فَإِنَّ الْمَالِكِيَّةَ نَصُّوا عَلَى الْعَكْسِ ، فَإِنَّ الْكَرَاهَةَ مَتَى أُطْلِقَتْ لاَ تَنْصَرِفُ إِلاَّ لِلتَّنْزِيهِ (3) .

وَأَمَّا الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فَإِنَّهُمْ يُطْلِقُونَ ( الْكَرَاهَةَ ) عَلَى مَا يُرَادُ بِالْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ عِنْدَ غَيْرِهِمْ


Dalam kajian lainnya sebagai berikut 

Hukum Membersihkan Rumput atau Pohon di Kuburan

Sabtu, 6 April 2019 | 20:34 WIB

Hukum Membersihkan Rumput atau Pohon di Kuburan. (Foto: Istimewa)

Kebiasaan kita warga Nahdliyin adalah memiliki tradisi “nyekar (Jawa)” alias ziarah sekaligus bersih — bersih kuburan leluhur yang telah meninggal. Dan memang, biasanya terdapat banya rumput atau durian yang tumbuh di atas kuburan tersebut.

Sehingga, banyak di antara kita membersihkan secara keseluruhan rerumputan tersebut, bahkan sampai ke akar akarnya.

Dalam berbagai kitab klasik (kuning) banyak menjelaskan bahwa setiap tetumbuhan sedang bertasbih kepada Allah SWT.

Para ulama juga sepakat khususnya Ulama Ahlus Sunnah  bahwa tetumbuhan mendoakan Si Mayyit. Sehingga, aktivitas membersihkan rerumputan yang basah sampai ke akar akarnya dapat menghilangkan hak si mayyit mendapat doa dari tumbuhan. Oleh karenanya, makruh hukumnya memebrsihkan rerumputan di atas kuburan selama masih basah.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bariqotul Mahmudiyah Juz IV hal 84, artinya kurang lebih sebagai berikut, “sebagian dari kekeliruan tangan (aafaat al — yad) ialah mencabut tumbuhan berduri dan rerumputan yang tumbuh di atas kuburan yang masih basah keduanya, maka sungguh kegiatan itu makruh terkecuali telah kering”. wallahu alamu bis showab. (Ali Makhrus)

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes