Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, kepada-Nya kita meminta pertolongan atas urusan-urusan duniawi dan agama, teriring doa serta keselamatan semoga tercurah atas Rasul yang termulia, ialah Nabi kita – shallallahu ‘alaihi wa salam- dan keluarganya, para sahabat, para tabi’in, dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30).
Kalau Mau Bahagia, Bacalah Al Qur'an
Anak anaku semuanya siswa siswi SMPN 2 GARAWANGI yang berbahagia. Kalian semuanya adalah siswa siswi kelas 9 diangkatan 2023. Setiap tahun pelepasan kalian tentu setelah memenuhi kriteria ketuntasan seluruh materi pembelajaran yang telah kalian ikuti selama 3 tahun dilembaga sekolah ini yang kita cintai. Selanjutnya kami titipkan agamamu kepada kalian agar untuk terus dipelajari, dibaca, dipahami, kemuadian kalian tuliskan dalam hatimu untuk diperaktekan dan diamalkan. Terutama tugas praktek membaca Al-Qur'an ini agar kirimkan vidio kalian saat membaca Al-Qur'an dengan dilagukan atau dilantunkan dengan MTQ, sebagai ajang terus peningkatan kemampuan membaca Al-Qur'an. Al-Qur'an juga membawa kita kepada kebahagiaan. Allah berfirman:
29. Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur'an) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi, 30. agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri. (QS Fathiir: 29-30).
Mari perbanyak membaca Al-Qur’an, apalagi saat Ramadan, bulan yang penuh keagungan dan kelebihan. Ulama terdahulu, misalnya Imam Malik r.a, meliburkan majelis ilmu selama Ramadan, supaya bisa fokus untuk Al-Qur’an dan ibadah lainnya. Hal ini juga dilakukan di Universitas Al-Azhar, Kairo. Imam As Syafi'i Rahimahullah juga mengkhatamkan Al-Qur'an berkali-kali selama Ramadan.
Mari hiasi Ramadan dengan membaca Al-Qur’an. Peristiwa Nuzul Qur'an tidak sekedar dirayakan secara seremonial, tapi dijadikan upaya membudayakan untuk membaca Al-Qur'an baik di rumah, kantor, masjid/mushalla, sekolah dan tempat kita bekerja.
Rasulullah bersabda, “Amalan puasa dan membaca Al-Qur’an akan memberi syafa’at bagi seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata: Wahai Rabb, aku telah menahannya dari makan dan syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberi syafa’at kepadanya. Dan Al-Qur’an berkata: Aku menahannya dari tidur di waktu malam, maka izinkanlah aku memberi syafa’at kepadanya, maka keduanya pun diizinkan memberi syafa’at.” [HR. Ahmad, Shahih At-Targhib: 1429]
Insya Allah, semakin sering membaca dan mengamalkan Al-Qur’an, semakin besar harapan kita untuk mendapatkan syafa’at dan keberkahan dari Al-Qur’an di hari kiamat. Ke depan, semoga tidak ada lagi generasi umat muslim Indonesia yang tidak bisa membaca Al-Qur’an.
Mulailah dari sekarang membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an akan menenteramkan hati dan pikiran, sehingga kita menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup ini. Jangan biarkan Ramadan berganti hari tanpa ada bacaan Al-Qur'an. Sesibuk apapun targetkan pada Ramadan kali ini untuk mengkhatamkan membaca Al-Qur'an, minimal sekali.
Demikian ini untuk memotivasi kita semua, untuk terus berupaya berusaha meraih Ridho, Ganjaran serta mendapatkan perlindungan dari Allah SWT dengan mendekatkan diri kepadaNya. Aamiin....
*(Meraih Keberkahan Malam Nishfu Sya'ban Dengan Berdo'a Dan Memohon Ampunan )*
Malam Nishfu Sya'ban adalah malam tanggal 15 bulan Sya'ban. (Ihya 'Ulumuddin. Juz. I. hal 238)
Berdasarkan pengumuman hasil Rukyatul Hilal Lembaga Falakiyah PBNU, maka malam Nishfu Sya'ban tahun 1444 H. ini jatuh pada hari selasa malam Rabu ini (07- Maret 2023), setelah terbenamnya matahari. (NU Online. Senin, 6 Maret 2023.
Ada beberapa keutamaan (Fadhilah) yang terdapat dalam malam Nishfu Sya'ban yang jangan sampai kita abaikan, diantaranya :
*1). Turunnya Rahmat Allah Dan Ampunan-Nya*
Dalam sebuah hadits dijelaskan;
"Sesungguhnya (rahmat) Allah Ta'ala turun pada malam Nishfu Sya'ban ke langit dunia, maka Allah memberikan ampunan (terhadap makhluk-Nya) yang banyak nya melebihi jumlah bulu dombanya Bani Kalb." (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari sayyidah 'Aisyah)
*2). Dilaporkannya Amal Perbuatan.*
Di malam Nishfu Sya'ban ini dikumpulkannya buku catatan amal yang dilakukan oleh setiap orang dalam satu tahun. (Daqo'iqul Akhbar. hal. 31)
*3). Menurut Satu Pendapat, Pada Malam Ini Ditetapkannya Taqdir Untuk Satu Tahun Yang Akan Datang*
Didalam kitab tafsir Munir syeikh Nawawi Al-Bantani mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nabi. SAW. :
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menetapkan taqdir-taqdir pada malam Baro'ah, Ya'ni; yaitu malam Nishfu Sya'ban, maka apabila Lailatul Qodar tiba, Allah memasrahkan taqdir-taqdir itu kepada para Malaikat yang mengurusnya." (Tafsir Munir syeikh Nawawie Al-Bantani. Juz. II. hal. 457. Hadits diriwayatkan tanpa Sanad).
Pendapat ini juga diutarakan oleh Ahmad As-Showie. (Hasyiyah As-Showie 'ala Tafsir Jalalain. Juz. IV. hal. 337)
*4). Malam Penganugerahan Allah Kepada Rosulullah Akan Kesempurnaan Syafa'at Untuk Umatnya.*
Ahmad As-Showie menjelaskan;
"Bahwasanya Rosulullah memohon (Syafa'at) untuk umat nya pada malam ke 13 dari bulan Sya'ban. Maka Allam memberikan akan sepertiga dari umatnya. Kemudian Rosulullah memohon pada malam ke 14. Maka Allah memberikan dua pertiga dari umatnya. Kemudian Rosulullah memohon pada malam ke 15. Maka Allah memberikan semua umatnya kecuali orang yang melarikan diri dari Allah (tidak ta'at kepada Allah) seperti melarikan dirinya seekor onta." (Hasyiyah As-Showie. Juz. IV. hal. 60)
*5). Malam Di Kabulkannya Do'a*
Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
"(Ada) Lima malam yang tidak ditolak do'a pada malam-malam itu, yaitu : 1). Malam pertama bulan Rajab. 2). Malam Nishfu Sya'ban. 3). Malam Jum'at. 4). Malam 'Iedul Fitri. 5). Malam 'Iedul Adha." (HR. Ibnu 'Asyakir dari Abi Umamah)
Telah berkata imam Syafi'i ;
"Telah sampai kepada kami bahwa do'a dikabulkan pada lima malam, yaitu; Awal malam bulan Rajab, malam Nishfu Sya'ban, dua malam hari Raya dan malam Jum'at." (Faidhul Qodir syarah Al-Jami'ush Shogir. Juz. 6. hal. 50)(Maktabah Syamilah)
Di antara kalimat do'a yang biasa dibaca dalam malam Nishfu Sya'ban adalah kalimat do'a yang dibaca oleh sayidina 'Umar bin Khotob ketika beliau melakukan thowaf di Baitullah sambil beliau menangis:
"Ya Allah! Apabila Engkau telah tetapkan atasku sebagai orang yang celaka atau berdosa, maka hapuskanlah. Sesungguhnya Engkau akan menghapus apa-apa yang Engkau Kehendaki dan Engkau menetapkan (apa-apa yang Engkau kehendaki), di sisi-Mu lah induknya kitab (Ummul Kitab), maka jadikanlah atasku kebahagiaan dan ampunan."
Sahabat Ibnu Mas'ud pun juga berdo'a dengan do'a yang sama seperti ini. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz. II. hal. 989)
*6). Ada Sembilan Kelompok Orang Yang Tidak Mendapatkan Ampunan Allah Pada Malam Nishfu Sya'ban Kecuali Mereka Mau Bertobat.*
Ada sembilan kelompok orang yang tidak mendapatkan ampunan dari Allah pada malam Nishfu Sya'ban kecuali mereka mau bertobat dan meninggalkan perbuatan mereka, yaitu :
1). Orang yang menyekutukan Allah (musyrik.)
2). Orang yang suka membenci dan bermusuhan.
3) Orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi.
4). Penyihir.
5). Peramal.
6). Pemabuk.
7). Pemakan harta Riba.
8). Penzinah.
9). Anak yang durhaka kepada orang tua.
(Al-Guniyah. hal. 306 dan 308/ Hasyiyah As-Showie. Juz. IV. hal. 60 dan Hadits riwayat Ibnu Majah dari Abi Musa Al-Asy'ari)
Berkata Imam Ibnu Taimiyyah: "Malam Nishfu Sya'ban telah diriwayatkan tentang keutamaannya hadits-hadits dan atsar yang menunjukan bahwa malam Nishfu Sya'ban itu memiliki keutamaan..." (Faidhul Qodir. Juz. 2. hal. 402) (Maktabah Syamilah)
Didalam kitab Tuhfatul Ahwaji, setelah mengutip hadits-hadits tentang keutamaan Nishfu Sya'ban, dikatakan:
"Maka sekumpulan hadits-hadits ini menjadi Hujjah yang membantah anggapan sebagian orang yang beranggapan tidak ada satupun dalil yang kuat yang menjelaskan tentang keutamaan malam Nishfu Sya'ban." (Tuhfatul Ahwaji. Juz. II. hal. 277)
*Sahabat-Sahabat*
*رحمكم الله*
Dalam sebuah hadits telah diriwayatkan:
"Apabila telah datang malam Nishfu Sya'ban, maka beribadahlah kamu pada malamnya, dan berpuasalah kamu pada siang harinya. Maka sesungguhnya (rahmat) Allah turun padanya pada waktu terbenamnya matahari ke langit dunia. Maka Allah berfirman: "Ingatlah! Adakah orang yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang meminta rizqi, maka Aku akan memberinya rizqi. Adakah orang yang sedang dicoba/diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah orang yang begini, adakah orang yang begini, sehingga terbitnya fajar." (HR. Ibnu Majah dari sayyidina 'Aly")
*"Mari Kita Perbanyak Beribadah Dan Berdo'a Di Malam Nishfu Sya'ban Yang Istimewa Ini, Agar Kita Bisa Memperoleh Limpahan Rahmat Allah تعالى Dan Keberkahan Serta Ampunan-Nya. Dan Semoga Semua Do'a-Do'a Yang Kita Panjatkan Dikabulkan Oleh Allah سبحانه و تعالى . Dan Semoga Kita Semua Menjadi Ummat Nabi Yang Memperoleh Syafa'atnya Nanti Di Yaumil Qiamah."*
*امين يامجيب الساءلين*
*والله اعلم بالصواب*
*اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد*
*اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد*
*اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد*
Tulisan kali ini tentang *Shalat Tasbih* dari Kitab _Nihayatu Zain_ halaman 115.
Sebelum membahas _kaifiyah_ (tata cara) shalat tasbih, terlebih dahulu saya tambahkan lafal niatnya yang saya ambil dari sumber lain.
Memang ulama ada beda pendapat tentang pelaksanaan shalat tasbih. Sebagian ulama mengatakan shalat tasbih dilakukan empat rakaat dengan sekali salam. Ada juga ulama mengatakan bahwa shalat tasbih dilakukan empat rakaat dengan dua kali salam.
Tetapi ada pula ulama mengambil jalan tengah bahwa shalat tasbih empat rakaat dengan sekali salam dilakukan lebih utama pada siang hari, dan empat rakaat lebih utama dilakukan dengan dua kali salam pada malam hari.
Berdasar kepada uraian di atas di sini akan saya tulis dua lafal niat,
Ini lafal niat shalat tasbih dengan dua kali salam;
Ternyata perbedaan pendapat ulama ini memang berasal dari dua riwayat yang berbeda seperti yang dikutip dalam _Kitab Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in_ karya Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani di halam 115 ini;
*ومنه صلاة التسابيح وهي أربع ركعات بتسليمة واحدة وهو الأحسن نهارا أو بتسليمتين وهو الأحسن ليلا لحديث صلاة الليل مثنى مثنى*
*وصفتها أن تحرم بها وتقرأ دعاء الافتتاح والفاتحة وشيئا من القرآن إن أردت والأولى في ذلك أوائل سورة الحديد والحشر والصف والتغابن للمناسبة في ذلك فإن لم يكن فسورة الزلزلة والعاديات وألهاكم والإخلاص, ثم تقول بعد ذلك وقبل الركوع سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم خمس عشرة مرة وفي الركوع عشرا وفي الاعتدال عشرا وفي السجود الأول عشرا وفي الجلوس بين السجدتين عشرا وفي السجود الثاني عشرا وفي جلسة الاستراحة أو بعد التشهد عشرا فتلك خمسة وسبعون في كل ركعة منها فأربعة في خمسة وسبعين بثلاثمائة ويأتي قبل هذه التسبيحات بالذكر الوارد في هذه الأركان وهذه رواية ابن عباس وهي أرجح من رواية ابن مسعود وهي بعد التحرم وقبل القراءة خمس عشرة مرة وبعد القراءة وقبل الركوع عشرا وفي الركوع عشرا وفي الاعتدال عشرا وفي السجود الأول عشرا وفي الجلوس بين السجدتين عشرا وفي السجود الثاني عشرا ولا شيء في جلوس الاستراحة ولا بعد التشهد وفيما عدا الركعة الأولى يقول الخمسة عشر بعد القيام وقبل القراءة فإن استطعت أن تصليها في كل يوم فافعل فإن لم تستطع ففي كل شهر مرة فإن لم تستطع ففي كل سنة مرة فإن لم تستطع ففي عمرك مرة فإن لم يفعلها أصلا دل ذلك على تكاسله في الدين*
Terjemahnya kurang lebih begini; salah satu shalat (naflul muthlaq) adalah shalat tasbih. Shalat empat rakaat ini baiknya diakhiri sekali salam bila dikerjakan pada siang hari. Sementara pada malam hari, shalat ini baiknya diakhiri dengan dua salam karena hadits Rasulullah SAW, Shalat malam itu per dua raka’at.
Caranya, lakukan takbiratul ihram. Bacalah do'a iftitah dan surah Al-Fatihah. Bacalah surah lain jika berkenan, dalam hal ini utamanya adalah awal surah Al-Hadid, Al-Hasyr, As-Shaf, dan At-Taghabun yang relevan untuk konteks ini. Kalau tidak, boleh baca surah Az-Zalzalah, Al-‘Adiyat, At-Takatsur, dan Al-Ikhlash.
Sesudah baca surah, tetapi sebelum ruku‘, bacalah *Tasbih (subhanalah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar wala haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim)* sebanyak 15x.
Bacalah tasbih ini sebanyak 10x ketika ruku‘.
Bacalah tasbih ini 10x ketika i‘tidal, Pada sujud pertama, bacalah tasbih ini 10x.
Saat duduk di antara dua sujud, baca lagi tasbih ini 10x. Pada sujud kedua baca lagi 10x. Baca kembali rangkaian tasbih ini 10x ketika duduk istirahat (pada rakaat pertama dan ketiga) dan setelah tasyahud (pada rakaat kedua dan keempat). Dalam satu rakaat sudah berjumlah 75x tasbih. Kalau dikerjakan empat rakaat, berarti sudah membaca 300x tasbih.
Sebelum membaca rangkaian tasbih tadi, dianjurkan membaca dzikir sebagaimana lazimnya di setiap rukun shalat (seperti dzikir ketika ruku, ketika i‘tidal, ketika sujud, dan seterusnya).
Nah ini adalah cara shalat tasbih menurut riwayat Ibnu Abbas RA. Riwayat ini lebih kuat dari riwayat Ibnu Mas‘ud RA.
Sedangkan dalam riwayat Ibnu Mas‘ud RA, rangkaian tasbih itu dibaca 15x setelah takbiratul ihram, tepat sebelum baca surah Al-Fatihah. Baca lagi tasbih ini 10x sesudah membaca surah, sesaat sebelum ruku. Saat ruku, bacalah 10x. Baca kembali tasbih ini 10x ketika i‘tidal. Di sujud pertama 10x. Saat duduk di antara dua sujud, baca lagi 10x. Di sujud kedua, baca kembali 10x. Saat duduk istirahat (rakaat pertama dan ketiga), tepatnya sebelum bangun, tidak perlu membaca tasbih. Setelah baca tasyahud (rakaat kedua maupun keempat), juga tidak perlu membaca tasbih.
Menurut riwayat Ibnu Mas‘ud RA, selain pada rakaat pertama, tasbih dibaca 15 kali di saat berdiri, tepatnya sebelum membaca surah Al-Fatihah.
Kalau sanggup, engkau boleh melakukan shalat tasbih ini setiap hari. Kalau tidak sanggup, lakukan shalat ini sekali sebulan. Kalau juga tak sanggup, lakukan sekali setahun. Kalau tak sanggup juga, lakukan barang sekali dalam seumur hidupmu.
Kalau ada seseorang tidak pernah sekalipun melakukan sembahyang tasbih, itu menunjukkan kemalasannya dalam menjalankan perintah agama.
(Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, halaman.115).
Shalat tasbih merupakan shalat sunnah yang dapat dilakukan pada malam atau siang hari di luar waktu yang dimakruh tahrim untuk melakukan shalat sunnah. Shalat ini sangat dianjurkan, minimal seumur hidup sekali, begitu para ulama menyebutkan.
"Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seimbangkanlah kalian dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya." (H.R.Bukhari-Muslim).
"Dari Jabir bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami dan bersabda: Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia adalah ekor kuda yang gelisah. Tenanglah kalian di dalam shalat." (HR. Muslim).
Dari Abdurrahman bin Syibli berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang (sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika sujud) seperti binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil lokasi khusus di masjid (untuk ibadahnya) sebagaimana unta menempati tempat berderumnya (berlutut turun dengan kedua kaki depan atau keempat kakinya, pen)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasai, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah).
Komentar Ibnu Daqiq al-'Ied dan Ibnu Hajar al-'Asqalani tentang hadits tersebut:
وقال ابن دقيق العيد هو ذكر الحكم مقرونا بعلته لأن التشبيه بالأشياء الخسيسة يناسب تركه في الصلاة ذكره السيوطي قال ابن حجر فيكره ذلك لقبح الهيئة المنافية للخشوع والأدب إلا لمن أطال السجود حتى شق عليه اعتماد كفيه فله وضع ساعديه على ركبتيه
"Ibnu Daqiq al-'Ied berkata: hadits itu berisi tentang penuturan hukum beserta alasannya. Sebab penyerupaan dengan sesuatu yang rendah bersesuaian untuk ditinggalkan dalam shalat, diungkapkan juga oleh as-Suyuthi. Ibnu Hajar berkomentar bahwa hal itu dimakruhkan sebab merupakan tingkah yang buruk yang meniadakan sifat khusu' dan adab, kecuali pada orang yang panjang sujudnya sehingga kepayahan menyangga dengan kedua telapak tangannya, maka dia boleh meletakkan kedua lengannya pada kedua lututnya". (Mirqat al-Mafatih syarh Misykat al-Mashabih, 3/425).
Koreksi kedua, bersetubuh dengan gaya belakang (doggy style) diperbolehkan oleh syariat meski nyata tasyabbuh dengan banyak hewan.
"Dari Ibnu Abbas berkata, sesungguhnya Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya- dia telah khilaf, sesungguhnya terdapat sebuah pemukiman Anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama pemukiman Yahudi yang merupakan ahli kitab. Mereka memandang orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Maka mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Di antaranya adalah para ahli kitab tidak menggauli isterinya kecuali dengan cara miring berhadapan di mana hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang wanita.
Kaum Anshar mengambil tradisi tersebut sementara kaum Quraisy menggauli isteri mereka dengan cara yang ditentang (oleh kaum Anshar). Kaum Quraisy bersenang-senang dengan isterinya baik dengan model menghadap, membelakangi, serta terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang di antara mereka menikahi wanita anshar. Kemudian dia menggaulinya dengan cara Quraisy itu. Wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata: Sesungguhnya kami hanya didatangi dengan cara miring berhadapan, lakukan hal itu jika tidak jauhilah aku! Akhirnya tersebarlah permasalahan mereka berdua dan sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Yakni dalam keadaan menghadap, membelakangi, serta terlentang, pada tempat lahirnya anak (farji)." (HR. Abu Dawud).
"Dari Ibnu Abbas berkata, Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bertanya: Apa yang membinasakanmu? Umar menjawab: Aku membalik tungganganku (istriku) tadi malam. Ibnu Abbas berkata: Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Ibnu Abbas melanjutkan: Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Lalu beliau mengatakan): "Bagaimana saja kamu kehendaki, baik dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan wanita haidh." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Thabarani, dan Abu Ya'la).
Wacana kelima, oral seks adalah hal menjijikkan, menyalahi fitrah, tidak beradab, serta mulut yang dipakai untuk berdzikir dan membaca al-Qur'an tidak layak berinteraksi dengan kemaluan sehingga patut diharamkan.
Jawaban : Argumen tersebut adalah perasaan subyektif manusia yang tidak bisa semata-mata dijadikan dalil. Sifatnya relatif dan bisa berbeda-beda tiap manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam enggan menyantap dhab (sejenis reptil arab) sementara Khalid bin Walid memakannya. Gaya persetubuhan dari belakang tadinya dipandang hina oleh kaum wanita Anshar dan Umar namun syariat memperbolehkannya.
Alasan mulut sebagai tempat berdzikir sehingga tidak layak berinteraksi dengan farji juga tidak cukup dijadikan illat. Mata berguna untuk membaca al-Qur'an namun boleh untuk melihat farji. Tangan yang dipakai untuk bersedekah juga tidak dilarang untuk menyentuh farji.
Wacana keenam, oral seks menimbulkan resiko bermacam penyakit seperti kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada kelamin wanita, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, AIDS, dll. Dengan demikian oral seks berimbas pada madharat. Madharat berimbas pada hukum haram.
Jawaban : Resiko penyakit pada oral seks adalah informasi medis, bukan bukti medis.
Penjelasannya, informasi medis dan bukti medis diistilahkan oleh KH. Arwani Faishal ketika mengomentari madharat rokok. Diungkapkan olehnya bahwa hasil penelitian medis sekarang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun tentang kemudharatan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi.
Tangan yang tidak dicuci menurut informasi medis rentan resiko penyakit Flu Singapura, Hepatitis A, Shigellosis (bakteri diare), dan Giardiasis (parasit usus). Sementara dari bukti medis belum diketahui berita masyarakat yang jatuh sakit karena makan tidak cuci tangan.
Dalam bahasa fiqih, dharar yang belum tahaqquq (belum sampai pada taraf bukti medis) tidak akan berimbas pada hukum haram.
Ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami:
فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ
"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225).
Perlu diketahui bahwa analisa istinbath hukum dari bahan konsumsi yang madharat setidaknya diproses lewat lima tahapan. Metodologi ini disarikan dari fatwa Ibnu Hajar ketika menjelaskan golongan tumbuhan yang madharat.
1.Tahapan pertama, tahaqquq dharar. Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifat dhararnya tahaqquq. Bila tidak tahaqquq maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah ke tahap kedua.
2.Tahapan kedua, qath'i dharurat dharar. Yakni menelusuri apakah dharar itu bersifat qath'i darurat lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dijamin stabil dihukumi dharar dari masa ke masa. Hal ini mustahil mengingat hasil riset pernyataan madharat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari, sehingga melangkah ke tahap ketiga.
3.Tahapan ketiga, khabar mutawatir tentang dharar. Yakni menelusuri apakah ada khabar mutawatir tentang madharat tersebut dari golongan yang reputasi adil. Bila ada maka dijadikan pegangan, namun bila timbul dua khabar mutawatir saling bertentangan maka melangkah ke tahap keempat.
4.Tahapan keempat, memadukan khabar mutawatir dharar yang bertentangan. Yakni bila dua khabar itu bisa dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengarahkan khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada sebagian kondisi yang lain.
5.Tahapan kelima, tarjih khabar dharar. Yakni bila khabar mutawatir itu tidak bisa dipadukan maka kedua khabar berubah statusnya menjadi hukum zhanni. Dalam perspektif dalil zhanni maka boleh mentarjih satu dari dua khabar bertentangan yang dianggap lebih dipercaya, memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya (ketika tidak ada pertentangan khabar), atau lewat pembuktian pada diri sendiri atas madharat tersebut.
Berikut sejumlah kutipan ta'bir terpisah dari fatwa Ibnu Hajar untuk dijadikan acuan:
Ta'bir tahapan pertama:
فَوَرَاءَ ذلك نَظَرٌ آخَرُ وهو أَنَّ ما يَخْتَلِفُ كَذَلِكَ هل النَّظَرُ فيه إلَى عَوَارِضِهِ اللَّاحِقَةِ له فَيَحْرُمُ على من ضَرَّهُ دُونَ من لم يَضُرَّهُ أو إلَى ذَاتِهِ فَإِنْ كان مُضِرًّا لِذَاتِهِ حَرُمَ مُطْلَقًا وَإِلَّا لم يَحْرُمْ مُطْلَقًا
"Di balik semua pentafshilan itu ada sebuah pertimbangan, yakni pada dampak yang berlainan seperti itu, yang dijadikan pertimbangan nanti apakah karena faktor luar yang dijumpai pada benda itu sehingga diharamkan bagi yang terkena madharat saja dan bukan bagi lainnya, atau bisa karena faktor esensi benda itu, bila secara alamiah berbahaya maka diharamkan sedang bila tidak berbahaya maka tidak diharamkan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)
فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ
"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225)
Ta'bir tahapan kedua:
وَبِالضَّرُورَةِ الْقَطْعِيَّةِ الْعِلْمُ بِحَقِيقَةِ هذا النَّبَاتِ مُتَعَسِّرٌ لِأَنَّهُ لَا طَرِيقَ إلَى الْعِلْمِ بها إلَّا خَبَرُ الصَّادِقِ وهو ما يَئِسَ منه إلَى أَنْ يَنْزِلَ عِيسَى على نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَأَزْكَى السَّلَامِ أو التَّجْرِبَةُ وَهِيَ مُعْتَذِرَةٌ -إلى أن قال-
ثُمَّ قُلْت له لَا بُدَّ أَنْ تَسْتَنِدَ إلَى حُجَّةٍ لم يَقَعْ فيها تَعَارُضٌ وَلَا نِزَاعٌ وَهِيَ التَّجْرِبَةُ فقال لَا يُمْكِنُنِي لِأَنَّ التَّجْرِبَةَ تَسْتَدْعِي مِزَاجًا وَزَمَانًا وَمَكَانًا مُعْتَدِلَاتٍ وَعَدَالَةَ الْمُجَرِّبِ لِأَنَّهُ يُخْبِرُ عَمَّا يَجِدَهُ من ذلك النَّبَاتِ فَلَا بُدَّ من عَدَالَتِهِ حتى يُقْبَلَ إخْبَارُهُ وَذَلِكَ كُلُّهُ مُتَعَذِّرٌ في هذه الْأَقَالِيمِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدِلَةٍ
"Sulit mengetahui hakekat dari tumbuhan ini secara hukum dharurat qath'i. Sebab tidak ada jalan untuk sampai pada taraf tahu kecuali dengan khabar dari seorang yang shadiq, yaitu seseorang yang mampu hidup dari masa ia hidup sampai masa turunnya Nabi Isa kelak -'ala nabiyyina wa 'alaihi wa 'ala sairil anbiyai wal mursalin afdhalush shalat wa azkas salam- ataupun dengan percobaan (riset).
Aku katakan padanya: Hal itu wajib disandarkan pada hujjah yang tidak mengenal pertentangan dan perselisihan. Dia berkata: Itu mustahil bagiku, sebab riset percobaan selalu bergejolak seiring waktu dan tempat yang bersesuaian, juga dikarenakan syarat adilnya pelaku riset mengingat dia yang mengkhabarkan penemuan dari tumbuhan itu, sehingga wajib diketahui sifat adilnya agar khabarnya bisa diterima. Semua hal itu mustahil di masa sekarang sebab hasil riset tidaklah stabil" (Fatawa al-Kubra, 4/224).
Ta'bir tahapan ketiga:
فَنَتَجَ من هذا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا طَرِيقَ لنا إلَى الْعِلْمِ بِحَقِيقَتِهِ إلَّا مُجَرَّدُ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ من مُتَعَاطِيهِ بِمَا يَجِدُونَهُ منه
"Bisa disimpulkan dari semua hal tadi (kemustahilan khabar shadiq dan riset) bahwa tidak ada jalan lain mencapai taraf benar-benar tahu selain dengan khabar mutawatir semata dari penemuan orang-orang yang terlibat dengannya." (Fatawa al-Kubra, 4/224).
Ta'bir tahapan keempat:
ولم يَتِمَّ لِمَا عَلِمْت مِمَّا أَشَرْت إلَيْهِ من الْخِلَافِ فيه وَالِاخْتِلَافِ إذْ الْقَائِلُونَ بِالْحِلِّ نَاقِلُونَ عن عَدَدٍ مُتَوَاتِرٍ أَنَّهُ لَا ضَرَرَ فيه بِوَجْهٍ وَالْقَائِلُونَ بِالْحُرْمَةِ نَاقِلُونَ عن عَدَدِ التَّوَاتُرِ أَنَّ فيه آفَاتٍ وَمَفَاسِدَ
وَغَلَبَ على الظَّنِّ أَنَّ سَبَبَ ذلك الِاخْتِلَافِ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ تَأْثِيرُهُ وَعَدَمُ تَأْثِيرِهِ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ بِغَلَبَةِ أَحَدِ الْأَخْلَاطِ وَالطَّبَائِعِ الْأَرْبَعِ عليها وَأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ التَّوْفِيقُ بين هذه الْأَخْبَارِ الْمُتَنَاقِضَةِ مع عَدَالَةِ قَائِلِهَا وَبَعْدَ كَذِبِهِمْ إلَّا بِأَنْ يُفْرَضَ أَنَّهُ يُؤَثِّرُ في بَعْضِ الْأَبَدَانِ دُونَ بَعْض
"Hujjah dengan khabar mutawatir tidak sempurna diterima sebab dijumpainya khilaf yang telah aku isyaratkan. Kaum yang berkata halal mengutip khabar dari golongan mutawatir bahwa tumbuhan itu tidak madharat, sementara kaum lainnya berkata haram sembari mengutip juga khabar dari golongan mutawatir tentang bahaya dan dampak buruknya.
Timbul dugaan kuat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara dari bahwasanya berdampak atau tidaknya tergantung dari perbedaan watak seseorang yang dipengaruhi oleh dominasi salah satu dari empat elemen tubuh. Tidak dimungkinkan perpaduan pendapat di antara khabar yang bertentangan ini di mana pembawa kabar telah dianggap adil kemudian dianggap berdusta, kecuali dengan membuat ketentuan bahwa efek tumbuhan tersebut berdampak buruk bagi sebagian orang dan tidak bagi lainnya.
Telah dimungkinkan memadukan dua khabar tadi dengan metode yang kujelaskan, maka kembalilah berpegang pada metode tadi. Dampak buruk itu bisa berbeda tergantung tabiat orangnya, sebab memandang juga kaidah ushul ketika mungkin untuk dipadukan maka tidak boleh beralih pada pertentangan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)
Ta'bir tahapan kelima:
وَلَيْسَ هذا أَمْرًا قَطْعِيًّا كما عَلِمْت لِتَطَرُّقِ التُّهَمِ وَالْكَذِبِ إلَى بَعْضِ الْمُخْبِرِينَ عنه بِضَرَرٍ أو عَدَمِهِ وَتَوَاتُرِ الْخَبَرِ في جَانِبٍ مُعَارِضٍ بِتَوَاتُرِهِ في جَانِبٍ آخَرَ بِخِلَافِهِ فَسَقَطَ النَّظَرُ فيه إلَى الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ وَوَجَبَ النَّظَرُ فيه إلَى أَنَّهُ تَعَارَضَ فيه أَخْبَارٌ ظَنِّيَّةُ الصِّدْقِ وَالْكَذِبِ
وَعَلَى فَرْضِ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بِذَلِكَ لِمَا مَرَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُخْبِرِينَ سَلَبَ الضَّرَرَ عن هذا النَّبَاتِ سَلْبًا كُلِّيًّا وَبَعْضُهُمْ أَثْبَتَهُ له إثْبَاتًا كُلِّيًّا فَيَجِبُ الْإِمْعَانُ في تَرْجِيحِ أَحَدِ الْمُخْبِرِينَ بِدَلَائِلَ وَأَمَارَاتٍ بِحَسَبِ اسْتِعْدَادِ الْمُسْتَدِلِّ وَتَضَلُّعِهِ من الْعُلُومِ السَّمْعِيَّةِ وَالنَّظَرِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْإِلَهِيَّةِ وَهَذَا شَأْنُ كل حَادِثَةٍ لم يَسْبِقْ فيها كَلَامُ الْمُتَقَدِّمِينَ
"Hal ini bukan lagi hukum qath'i sebab ada dugaan sifat tercela dan dusta pada sebagian pembawa khabar dharar atau tidaknya tanaman itu, juga sebab munculnya khabar mutawatir di sisi yang berseberangan dengan khabar mutawatir lainnya. Maka tidak berlaku lagi pertimbangan akan khabar mutawatir, yang menjadi ketentuan sekarang adalah pertimbangan akan adanya pertentangan beberapa khabar zhanni yang mungkin benar dan salah.
Dengan berpijak pada ketentuan tidak dimungkinkannya memadukan khabar tersebut, sebab sebagian kalangan menolak dharar pada tanaman itu sepenuhnya dan sebagian lagi menetapkannya, maka wajib teliti dalam mentarjih salah satu khabar dengan mengacu pada sejumlah dalil dan pertanda tertentu, di mana hal itu tergantung pada kualitas gagasan pendapat orang dijadikan dalil serta kematangan dan analisis ilmu syariatnya. Ini adalah konteks yang berlaku pada setiap perkara kontemporer yang tidak dijumpai pendapat ulama mutaqaddimin mengenainya." (Fatawa al-Kubra, 4/225).
والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام ، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره ، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً ، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها
"Pendapat yang jelas, bahwasanya jika didapati padanya dampak yang diharamkan bagi orang yang terkena dampak buruk tersebut pada pikiran atau tubuhnya maka dihukumi haram. Sebagaimana haramnya madu bagi orang yang sakit demam dan haramnya lumpur bagi yang terkena dampak madharatnya. Kadang dijumpai hal yang membuatnya mubah bahkan sunah, sebagaimana ketika dipergunakan untuk berobat berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa itu bisa diminum untuk dijadikan obat." (Bughyatul Mustarsyidin: 552).
Lihat keterangan selengkapnya di Fatawa Kubra al-Fiqhiyyah bab al-asyribat wa al-mukhaddirat (minuman dan bahan konsumsi memabukkan) untuk mendapatkan gambaran lebih utuh.
Wacana ketujuh, oral seks bisa membuat madzi tertelan sementara madzi najis dan haram dimakan.
Jawaban : Analogi yang paling dekat dengan masalah ini adalah pada oral seks Cunnilingus. Sebagaimana dijelaskan di atas, telah disebutkan dalam Fathul Mu'in, Kasysyaful Qana', Mawahibul Jalil, dan beragam kitab lainnya bahwa oral seks kelamin wanita diperbolehkan meskipun sama-sama beresiko menelan madzi. Boleh jadi hal itu karena sifat keluarnya madzi tidak pasti, di samping bisa dimuntahkan. Antara lain mengambil i'tibar dari kesucian dzakar dari rembasan farji (ruthubah farji) dikarenakan sifat keluarnya ruthubah yang tidak bisa dipastikan kapan keluar dari kelamin wanita.
"Sedangkan rembasan yang keluar dari dalam farji maka mutlak najis, sedangkan mengenai pendapat kami tentang sucinya dzakar orang yang bersetubuh dan sebagainya maka hal itu dikarenakan kami tidak bisa memastikan keluarnya rembasan farji itu." (Syarhul Bahjah al-Wardiyyah, 1/149)
Wacana kedelapan, oral seks makruh ketika terjadi inzal (keluar mani) disamping faktor menjijikkannya.
Jawaban : Wacana ini cukup bagus. Posibilitas makruh dari sisi inzal, yakni dari tinjauan hukum 'azl, bisa dipahami. Namun tambahan 'illat jijik yang dikombinasi dengan tiadanya nash sharih bukan merupakan illat yang kuat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Pernyataan ini dilontarkan oleh salah seorang tokoh Mesir dengan kutipan ucapannya:
أما إذا كان القصد منه الإنزال فهذا الذي يمكن أن يكون فيه شيء من الكراهة، ولا أستطيع أن أقول الحرمة لأنه لا يوجد دليل على التحريم القاطع، فهذا ليس موضع قذر مثل الدبر، ولم يجئ فيه نص معين إنما هذا شيء يستقذره الإنسان
"Adapun ketika oral seks ditujukan sebagai inzal maka dimungkinkan hukum makruhnya. Aku tidak mampu mengatakan haram sebab tidak ada dalil yang menegaskan keharamannya, oral seks juga bukan pada tempat yang kotor seperti dubur, tidak ditemukan nash spesifik tentang oral seks hanya saja ini termasuk perkara yang dianggap jijik oleh manusia."
PENUTUP
Oral seks secara dzatiahnya dihukumi mubah, mengingat tidak ada ketentuan khusus nash tentang hal itu sehingga dikembalikan pada hukum mubahnya.
Namun oral seks dilihat dari amrun 'aridh (faktor eksternal) bisa menjadi makruh ketika :
- Dilakukan dengan mata terbuka, sebab ada pendapat yang masyhur tentang makruhnya melihat farji (kelamin lelaki dan wanita).
"[Boleh bagi suami] juga bagi majikan hamba sahaya di masa hidupnya [melihat setiap badan wanita] istrinya dan sahayanya yang mana dihalalkan serta diperbolehkan juga sebaliknya, meskipun suami/majikan itu tidak berkenan [auratnya dilihat oleh wanita, pen] sebagaimana penjelasan general para ulama, meskipun imam az-Zarkasyi membahas tentang larangannya ketika pihak lelaki tidak memperkenankan, meskipun melihat pada farji namun disertai hukum makruh meskpun saat bersetubuh." (Tuhfatul Muhtaj, 29/281).
- Dilakukan sampai inzal (keluar mani), sebab akan terhukumi sebagaimana 'azl yang juga masyhur hukum makruhnya.
ويكره بنحو يدها كتمكينها من العبث بذكره حتى ينزل لأنه في معنى العزل
"Dimakruhkan istimna dengan tangan istrinya, sebagaimana dimakruhkan memperkenankan istrinya bermain-main dengan dzakarnya sampai keluar mani, sebab hal disamakan konteksnya dengan 'azl." (Fathul Mu'in, 4/143).
Seyogyanyalah setiap aktivitas yang berkaitan dengan alat kelamin untuk dibasuh setelahnya ketika hal itu dilakukan sampai terjadinya orgasme (inzal), baik pada mulut ataupun alat kelamin itu sendiri, sebagai sikap kehati-hatian atas peluang keluarnya madzi yang mengiringi mani.
فَلْيَغْسِلْ ما أَصَابَهُ منه وَإِنْ لم نَحْكُمْ بِنَجَاسَتِهِ احْتِيَاطًا رِعَايَةً لِلْغَالِبِ الذي ذَكَرَهُ من سَبْقِ الْمَذْيِ النَّجِسِ لِلْمَنِيِّ الذي يَعْقُبُهُ
"Maka basuhlah apa yang bersentuhan dengan dzakar meskipun ketika kita tidak menghukuminya najis, sebagai sikap hati-hati dan bentuk antisipasi atas umumnya peristiwa yang telah dituturkan mengenai madzi yang keluar mendahului mani." (Fatawa Kubra, 1/42). Wallahu subhanahu wata'ala a'lam.
Azay Nipira itu saya sebuah nama untuk dalam bermedia saja. Adalah terlahir dari seorang ibu yang cantik, baik, sholehah berdarah Sunda. Tentu saya adalah seorang manusia makhluk biasa yang senantiasa berdoa dan berusaha untuk terus berupaya dan untuk terus berdaya sekemampuan berbuat kebaikan untuk ibu, saudara saudari, seggenap keluarga, masyarakat, bangsa, negara sebagai perintah agama Islam yang saya yakini kebenarannya. Dengan tetap saling menghormati, menghargai, serta menjungjung tinggi siapapun orang untuk tetap saling mengenal satu sama yang lainnya. Ucapan terimakasih kepada siapapun yang telah memberikan ilmu ilmu kepada sayadan menjadi guruku, namun mohon ma'af saya tidak bisa membalasnya hanya saya selalu berdo'a untuk semua yang menjadi guruku dengan mendo'akan agar menjadi nilai tambah baginya sehingga mendapatkan balasan yang setimpal sepadan dari Allah SWT sebaik baiknya Dzat pemberi balasan kebaikan. Aamii..n. yaa..Rabbal Aalamiin....