BREAKING NEWS

Watsapp

Monday, January 23, 2023

BEDANYA MESJID DAN MUSHOLA

👉MESJID PERCONTOHAN 

Ari bedana masjid sareng musholla kumaha?

: قَوْلُهُ وَوَقَفْتُهُ لِلصَّلاَةِ إِلَخ) أَيْ وَإِذَا قَالَ الْوَاقِفُ وَقَفْتُ هَذَا الْمَكَانَ لِلصَّلاَةِ فَهُوَ صَرِيْحٌ فِيْ مُطْلَقِ الْوَقْفِيَّةِ (قَوْلُهُ وَكِنَايَةٌ فِيْ خُصُوْصِ الْمَسْجِدِيَّةِ فَلاَ بُدَّ مِنْ نِيَّتِهَا) فَإِنْ نَوَى الْمَسْجِدِيَّةَ صَارَ مَسْجِدًا وَإِلاَّ صَارَ وَقْفًا عَلَى الصَّلاَةِ فَقَطْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَسْجِدًا كَالْمَدْرَسَةِ.

"(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Saya mewakafkannya untuk shalat.”), yakni jika si pewakaf  berkata: “Saya wakafkan tempat ini untuk shalat.” Maka ucapan itu termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan beliau: “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai mesjid, maka harus ada niat menjadikannya mesjid.”) Jika ia berniat menjadikan mesjid, maka tempat tersebut menjadi mesjid. Jika tidak, maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja, dan tidak menjadi mesjid seperti madrasah atau sekolahan". (I'anatut Tholibin).

Perwakafan itu tidak bisa dicabut kembali. Maka dari itu tanah yang sejak awal sudah diwakafkan untuk masjid, sampai kapan pun statusnya tetap berlaku wakaf, meski bangunan masjidnya sudah dibongkar atau dipindah. Karena status tanah itu masih dihukumi masjid, maka orang yang menanggung hadats besar diharamkan berada di tempat tersebut. (Nihayatuz Zain; 272).

#Meluruskan istilah masjid dan mushola#

Secara bahasa, masjid [arab: مسجد] diambil dari kata sajada [arab: سجد], yang artinya bersujud. Disebut masjid, karena dia menjadi tempat untuk bersujud. Kemudian makna ini meluas, sehingga masjid diartikan sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk melaksanakan shalat.

Imam Az-Zarkasyi mengatakan,

ولَمّا كان السجود أشرف أفعال الصلاة، لقرب العبد من ربه، اشتق اسم المكان منه فقيل: مسجد، ولم يقولوا: مركع

”Mengingat sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya (ketika sujud), maka nama tempat shalat diturunkan dari kata ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’ (tempat rukuk). (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).

Kemudian Imam az-Zarkasyi, beliau menyebutkan makna masjid menurut istilah yang dipahami kaum muslimin (urf),

ثم إن العُرف خصص المسجد بالمكان المهيّأ للصلوات الخمس، حتى يخرج المُصلّى المجتمع فيه للأعياد ونحوها، فلا يُعطى حكمه

Kemudian, masyarakat muslim memahami bahwa kata masjid hanya khusus untuk tempat yang disiapkan untuk shalat 5 waktu. Sehingga tanah lapang tempat berkumpul untuk shalat id atau semacamnya, tidak dihukumi sebagai masjid. (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).

Berdasarkan keterangan di atas, secara istilah syariah, mushola termasuk masjid. Karena musholah merupakan tempat yang disediakan khusus untuk shalat jamaah.

Untuk itu, sebagai catatan, bahwa kata masjid dalam istilah fikih ada dua,

Masjid jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu dan shalat jumat

Masjid ghairu Jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu saja, dan tidak digunakan untuk jumatan.

Masjid jenis kedua ini, di tempat kita disebut mushola.

Ketiga, batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf

Ibnu Rusyd menyebutkan, ada 3 pendapat ulama tentang batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf.

I’tikaf hanya bisa dilakukan di 3 masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini merupakan pendapat sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dan seorang tabiin Said bin al-Musayib. Dan ini pendapat yang lemah. Karena tidak ada batasan bahwa i’tikaf harus di 3 masjid tersebut.

I’tikaf hanya bisa dilakukan di masjid jami’, masjid yang digunakan untuk jumatan.

I’tikaf bisa dilakukan di semua masjid, baik jami’ maupun bukan jami’. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, diantaranya as-Syafii, Abu Hanifah, at-Tsauri, dan pendapat masyhur dari Imam Malik.

(Bidayah al-Mujtahid, hlm. 261).

InsyaaAllah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa tempat yang bisa digunakan untuk i’tikaf tidak harus masjid jami’, namun bisa semua masjid, meskipun tidak digunakan untuk jumatan.

Karena Allah hanya menyebutkan yang bersifat umum, ”ketika kalian sedang i’tikaf di masjid.” tanpa ada batasan, baik masjid jami’ maupun yang bukan jami’. *Sehingga i’tikaf di mushola (tempat dilaksannya shalat lima waktu) hukumnya boleh dan sah.* والله اعلم 

 وَخَصَّصَهُ الْعُرْفُ بِالْمَكَانِ الْمُهَيَّأِ لِلصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، لِيَخْرُجَ الْمُصَلَّى الْمُجْتَمَعِ فِيهِ لِلأَعْيَادِ وَنَحْوِهَا، فَلاَ يُعْطَى حُكْمَهُ، وَكَذَلِكَ الرُّبُطُ وَالْمَدَارِسُ فَإِنَّهَا هُيِّئَتْ لِغَيْرِ ذَلِكَ

‘Urf (kebiasaan masyarakat) membuat arti masjid secara spesifik sebagai tempat yang dipersiapkan dan disediakan untuk pelaksanaan shalat lima waktu, hal ini agar menganulir definisi mushalla yang sering dipakai saat hari raya dan momentum lainnya.

Dengan demikian, hukum mushalla tidak dapat disamakan dengan masjid. Demikian halnya ribath serta madrasah-madrasah yang dialokasikan untuk kegiatan selain shalat.

MOTIVASI UNTUK MENJADI ORANG YANG BERILMU


*MOTIVASI  UNTUK MENJADI ORANG YANG BERIlMU*

قال عمر بن الخطاب تفقهوا قبل أن تسودوا فتمتنعوا من التعلم 

"Umar bin Khathab berkata: "Belajarlah ilmu agama sebelum kalian menjadi tokoh, sehingga kalian terhalang untuk belajar."

Ini selaras dengan perkatan imam syafi'i :

تفقه قبل أن ترأس فإنك إذا رأست فلا سبيل إلى التعلم 

"Belajarlah ilmu agama  sebelum kamu menjadi pemimpin, karena kalau kamu sudah menjadi pemimpin akan sedikit jalan untuk belajar ilmu agama."

Dan perlu diketahui, saudaraku penuntut ilmu, ilmu bisa didapat dengan disertai sifat tawadhu' yakni tidak sombong.

Sebagian ulama berkata dengan bentuk sya'ir dengan menggunakan bahar kamil.

 (بحر الكامل )

العلم حرب للفتى المتعالي # كالسيل حرب للمكان العالي 

"Ilmu itu akan menjadi perang (musuh) bagi pemuda yang sombong # sebagaimana banjir tidak akan masuk pada tempat yang tinggi."

Artinya seseorang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.

Coba kita amati kata " علم ", a'innya dibaca kasroh. Ini menunjukan harus disertai sifat yang tawadhu' sebagaimana harakat kasrah berada di bawah. Berbeda dengan kata " جهل " yang huruf jimnya dibaca fathah, yang menunjukkan sifat sombong seperti harakat fathah yang berada di atas.

Sebagian ulama berkata:

الظهور يقصم الظهور 

أي أن ظهور النفس يكسر الظهور

"Menampakkan diri supaya terkenal akan mematahkan ketenarannya sendiri."

Janganlah sombong, karena itu bisa menjatuhkan diri sendiri sehingga menjadi hina pada pandangan orang. Sifat tersebut juga dilarang dalam syariat.

✔️Jadilah santri yang tawadhu'

Belajar & Muroja'ah ikhlas karena Allaah

Sunday, January 22, 2023

HUKUM NIAT PUASA QODHO DINIATI JUGA PUASA SYAWAL

Bolehkah niat puasa qodho sekaligus diniati puasa syawwal.? 


🌨️ *Jawaban*🌨️


Hukum menggabungkan niat qodho Romadlon dan syawwal adalah :

✅ Boleh dan sah

📋 Masalah pahala puasanya ada khilaf antara Ulama :

🔹 Dalam kitab Muktamad, Ghurorul Bahiyyah dll mendapat asal sunnah namun tidak mendapatkan pahala puasa setahun karena di saratkan berurutan dalam hadis

🔹 Menurut Imam Ibnu Hajar mendapatkan pahala ashis tsawab apabila di niatkan dan tidak mendapatkan pahala puasa setahun (tuhafatul muhtaj) 

🔹 Menurut Imam Romly tetap mendapatkan asal pahala puasa sunnah meski tidak di niatkan

⛔ Tidak sah dan tidak mendapatkan pahala keduanya Menurut Abu Makhromah 


*🌐⚜️➖Referensi➖⚜️🌐*

*📚اعانة الطالبين. ج2 ص271*

قال شيخنا كشيخه والذي يتجه أن القصد وجود صوم فيها فهي كالتحية فإن نوى التطوع أيضا حصلا وإلا سقط عنه الطلب


( وقوله كالتحية ) أي فإنها تحصل بفرض أو نفل غيرها لأن القصد شغل البقعة بالطاعة وقد وجدت ( قوله فإن نوى التطوع أيضا ) أي كما أنه نوى الفرض ( وقوله حصلا ) أي التطوع والفرض أي ثوابهما ( قوله وإلا ) أي وإن لم ينو التطوع بل نوى الفرض فقط ( وقوله سقط عنه الطلب ) أي بالتطوع لاندراجه في الفرض


 *📚[البجيرمي، حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد، ٨٩/٢]*  

(قَوْلُهُ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ) قَالَ السُّبْكِيُّ: الْمَعْنَى مَنْ صَامَ كُلَّ عَامٍ رَمَضَانَ فَرَمَضَانُ مَفْعُولٌ عَلَى التَّوَسُّعِ وَلَيْسَ ظَرْفًا هُنَا فَالْمُرَادُ جَمِيعُهُ كَمَا قَالَهُ الْبِرْمَاوِيُّ قَالَ الْعَلَّامَةُ ح ل ظَاهِرُ الْخَبَرِ أَنَّ الثَّوَابَ الْمَذْكُورَ خَاصٌّ بِمَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَلَا يَقْتَضِي عَدَمَ اسْتِحْبَابِهَا لِمَنْ لَمْ يَصُمْهُ بِعُذْرٍ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ فَإِنْ لَمْ يَصُمْهُ تَعَدِّيًا حَرُمَ عَلَيْهِ صَوْمُهَا عَنْ غَيْرِ رَمَضَانَ لِوُجُوبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ فَوْرًا اهـ. (قَوْلُهُ: ثُمَّ أَتْبَعَهُ) أَيْ حَقِيقَةً إنْ صَامَهُ وَحُكْمًا إنْ أَفْطَرَهُ؛ لِأَنَّ قَضَاءَهُ يَقَعُ عَنْهُ فَكَأَنَّهُ مُقَدَّمٌ وَمِنْ هُنَا يُعْلَمُ *أَنَّ مَنْ عَجَزَ عَنْ صَوْمِ رَمَضَانَ وَأَطْعَمَ عَنْهُ، ثُمَّ شُفِيَ يَوْمَ الْعِيدِ، ثُمَّ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ حَصَلَ لَهُ الثَّوَابُ الْمَذْكُورُ كَمَا حَقَّقَهُ الْبِرْمَاوِيُّ*. 


*📚المعتمد في الفقه الشافعي ص ٢٠٩*

ولو صام في شوال قضاء او نذرا او غير ذلك حصلت له السنة ولكن لا يحصل له هذا الثواب المذكور خصوصاً من فاته رمضان وصام عنه شوالا لانه لم يصدق عليه صيام الدهر


*📚بغية المسترشدين ص 113-114*

 (مسألة: ك): 

ظاهر حديث: «وأتبعه ستاً من شوّال» وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان،

 *لكن صرح ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء*، 

*بل رجح (م ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها، ما لم يصرفه عنها صارف، كأن قضى رمضان في شوّال*، 

وقصد قضاء الست من ذي القعدة، ويسنّ صوم الست وإن أفطر رمضان اهـ. 

*قلت: واعتمد أبو مخرمة تبعاً للسمهودي عدم حصول واحد منهما إذا نواهما معاً، كما لو نوى الظهر وسنتها، بل رجح أبو مخرمة عدم صحة صوم الست لمن عليه قضاء رمضان مطلقاً*

📚اسنى المطالب ج ١ ص ٢٠٧

ﺳﺌﻠﺖ) ﻋﻦ ﻗﻮﻝ اﻟﺪﻣﻴﺮﻱ ﺑﻌﺪ ﻗﻮﻝ اﻟﻨﻮﻭﻱ (ﻭﺳﺘﺔ ﻣﻦ ﺷﻮاﻝ) ﻳﺒﻘﻰ اﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲﻣﻦ ﺃﻓﻄﺮ ﺟﻤﻴﻊ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﺃﻭ ﺑﻌﻀﻪ ﻭﻗﻀﺎﻩ ﻫﻞ ﻳﺘﺄﺗﻰ ﻟﻪ ﺗﺪاﺭﻙ ﺫﻟﻚ ﺃﻡ ﻻ ﻣﺎ اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ؟ ﻓﺄﺟﺒﺖ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﻗﻀﺎﺋﻪ ﻣﺎ ﻓﺎﺗﻪ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﺳﺘﺔ ﺃﻳﺎﻡ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻗﻀﺎء اﻟﺼﻮﻡ اﻟﺮاﺗﺐ


*📚الغرر البهية ج ٢ ص ٢٣٦

ﻓﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺼﻢ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻟﻮ ﻟﻌﺬﺭ، ﺛﻢ ﺻﺎﻡ ﺳﺘﺔ ﺷﻮاﻝ، ﻭﻗﻀﺎء ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺛﻮاﺏ ﺻﻴﺎﻡ اﻟﺪﻫﺮ ﻓﺮﺿﺎ 

*ﻭﻛﺘﺐ ﺃﻳﻀﺎ ﻗﻀﻴﺔ ﻛﻼﻡ اﻟﺘﻨﺒﻴﻪ ﻭﻛﺜﻴﺮﻳﻦ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺼﻢ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻟﻌﺬﺭ ﻛﻤﺮﺽ، ﺃﻭ ﺳﻔﺮ، ﺃﻭ ﺻﺒﺎ، ﺃﻭ ﺟﻨﻮﻥ، ﺃﻭ ﻛﻔﺮ ﻻ ﻳﺴﻦ ﻟﻪ ﺻﻮﻡ ﺳﺘﺔ ﺷﻮاﻝ*

*ﻗﺎﻝ: ﺃﺑﻮ ﺯﺭﻋﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﺑﻞ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺃﺻﻞ ﺳﻨﺔ اﻟﺼﻮﻡ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ اﻟﺜﻮاﺏ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻟﺘﺮﺗﺒﻪ ﻓﻲ اﻟﺨﺒﺮ ﻋﻠﻰ ﺻﻴﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ*

*📚الخطيب الشربيني. =مغني المحتاج. ج1 ص654*

ولو صام في شوال قضاء أو نذرا أو غير ذلك ، هل تحصل له السنة أو لا ؟ لم أر من ذكره ، 

*والظاهر الحصول. لكن لا يحصل له هذا الثواب المذكور خصوصا من فاته رمضان وصام عنه شوالا ؛ لأنه لم يصدق عليه المعنى المتقدم*

ولذلك قال بعضهم : يستحب له في هذه الحالة أن يصوم ستا من ذي القعدة لأنه يستحب قضاء الصوم الراتب ا هـ

*📚شمس الدين الرملي= نهاية المحتاج. ج3 ص208*

وَقَضِيَّةُ كَلَامِ التَّنْبِيهِ وَكَثِيرِينَ أَنَّ مَنْ لَمْ يَصُمْ رَمَضَانَ لِعُذْرٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ صِبًا أَوْ جُنُونٍ أَوْ كُفْرٍ لَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ . 

*قَالَ أَبُو زُرْعَةَ : وَلَيْسَ كَذَلِكَ : أَيْ بَلْ يُحَصِّلُ أَصْلَ سُنَّةِ الصَّوْمِ وَإِنْ لَمْ يُحَصِّلْ الثَّوَابَ الْمَذْكُورَ لِتَرَتُّبِهِ فِي الْخَبَرِ عَلَى صِيَامِ رَمَضَانَ* 

وَإِنْ أَفْطَرَ رَمَضَانَ تَعَدِّيًا حَرُمَ عَلَيْهِ صَوْمُهَا. 

*وَقَضِيَّةُ قَوْلِ الْمَحَامِلِيِّ تَبَعًا لِشَيْخِهِ الْجُرْجَانِيِّ ( يُكْرَهُ لِمَنْ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِالصَّوْمِ كَرَاهَةُ صَوْمِهَا لِمَنْ أَفْطَرَهُ بِعُذْرٍ*

*📚فتاوي الرملي. ج2 ص66*

(ﺳﺌﻞ) ﻋﻦ ﺷﺨﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻗﻀﺎه ﻓﻲ ﺷﻮاﻝ ﻫﻞ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﻗﻀﺎء ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺛﻮاﺏ ﺳﺘﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﻦ ﺷﻮاﻝ ﻭﻫﻞ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻧﻘﻞ؟

(ﻓﺄﺟﺎﺏ) ﺑﺄﻧﻪ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﺼﻮﻣﻪ ﻗﻀﺎء ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺇﻥ ﻧﻮﻯ ﺑﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺛﻮاﺏ ﺳﺘﺔ ﻣﻦ ﺷﻮاﻝ ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ.

*📚الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج. ج3 ص208*

(وَ) صَوْمُ (سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ) لِمَا صَحَّ مِنْ قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ» وَقَوْلُهُ «صِيَامُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ» أَيْ كَصِيَامِهَا فَرْضًا وَإِلَّا فَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِصَوْمِ رَمَضَانَ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشَرَةِ أَمْثَالِهَا، وَقَضِيَّةُ كَلَامِ التَّنْبِيهِ وَكَثِيرِينَ أَنَّ مَنْ لَمْ يَصُمْ رَمَضَانَ لِعُذْرٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ صِبًا أَوْ جُنُونٍ أَوْ كُفْرٍ لَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ. قَالَ أَبُو زُرْعَةَ: وَلَيْسَ كَذَلِكَ: أَيْ بَلْ يُحَصِّلُ أَصْلَ سُنَّةِ الصَّوْمِ *وَإِنْ لَمْ يُحَصِّلْ الثَّوَابَ الْمَذْكُورَ* لِتَرَتُّبِهِ فِي الْخَبَرِ عَلَى صِيَامِ رَمَضَانَ. وَإِنْ أَفْطَرَ رَمَضَانَ تَعَدِّيًا حَرُمَ عَلَيْهِ صَوْمُهَا. وَقَضِيَّةُ قَوْلِ الْمَحَامِلِيِّ تَبَعًا لِشَيْخِهِ الْجُرْجَانِيِّ (يُكْرَهُ لِمَنْ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِالصَّوْمِ كَرَاهَةُ صَوْمِهَا لِمَنْ أَفْطَرَهُ بِعُذْرٍ) فَيُنَافِي مَا مَرَّ، إلَّا أَنْ يُجْمَعَ بِأَنَّهُ ذُو وَجْهَيْنِ، أَوْ يُحْمَلُ ذَاكَ عَلَى مَنْ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ كَصَبِيٍّ بَلَغَ وَكَافِرٍ أَسْلَمَ وَهَذَا عَلَى مَنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِذَا تَرَكَهَا فِي شَوَّالٍ لِذَلِكَ أَوْ غَيْرِهِ سُنَّ قَضَاؤُهَا مِمَّا بَعْدَهُ وَتَحْصُلُ السُّنَّةُ بِصَوْمِهَا مُتَفَرِّقَةً

*📚ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي. ج 3 ص456*

(وَسِتَّةٍ) فِي نُسْخَةٍ سِتٍّ بِلَا تَاءٍ كَمَا فِي الْحَدِيثِ وَعَلَيْهَا فَسَوَّغَ حَذْفُهَا حَذْفَ الْمَعْدُودِ (مِنْ شَوَّالٍ) ؛ لِأَنَّهَا مَعَ صِيَامِ رَمَضَانَ أَيْ: جَمِيعِهِ *وَإِلَّا لَمْ يَحْصُلْ الْفَضْلُ الْآتِي وَإِنْ أَفْطَرَ لِعُذْرٍ* كَصِيَامِ الدَّهْرِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ أَيْ: لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا كَمَا جَاءَ مُفَسَّرًا فِي رِوَايَةٍ الرَّمْلِيِّ سَنَدُهَا حَسَنٌ وَلَفْظُهَا صِيَامُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ أَيْ: مِنْ شَوَّالٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ أَيْ: مِثْلُ صِيَامِهَا بِلَا مُضَاعَفَةٍ نَظِيرُ مَا قَالُوهُ فِي خَبَرِ « {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} [الإخلاص: 1] تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ» وَأَشْبَاهِهِ.

*📚الخطيب الشربيني، مغني المحتاج الي معرفة معاني ألفاظ المنهاج. ج2 ص184*

(وَ) صَوْمُ (سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ) وَهَذَا مِنْ الْقِسْمِ الثَّانِي، فَيُسَنُّ صَوْمُهَا لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعُهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ» (1) رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَرَوَى النَّسَائِيُّ خَبَرَ «صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ» أَيْ كَصِيَامِهَا فَرْضًا، وَإِلَّا فَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا.

تَنْبِيهٌ: قَضِيَّةُ إطْلَاقِ الْمُصَنِّفِ اسْتِحْبَابَ صَوْمِهَا لِكُلِّ أَحَدٍ، سَوَاءٌ أَصَامَ رَمَضَانَ أَمْ لَا، كَمَنْ أَفْطَرَ لِمَرَضٍ أَوْ صِبًا أَوْ كُفْرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، وَهُوَ الظَّاهِرُ كَمَا جَرَى عَلَيْهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ، وَإِنْ كَانَتْ عِبَارَةُ كَثِيرِينَ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ صَامَ رَمَضَانَ أَنْ يُتْبِعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَلَفْظِ الْحَدِيثِ، وَتَحْصُلُ السُّنَّةُ بِصَوْمِهَا مُتَفَرِّقَةً (وَ) لَكِنْ (تَتَابُعُهَا أَفْضَلُ) عَقِبَ الْعِيدِ مُبَادَرَةً إلَى الْعِبَادَةِ وَلِمَا فِي التَّأْخِيرِ مِنْ الْآفَاتِ، وَلَوْ صَامَ فِي شَوَّالٍ قَضَاءً أَوْ نَذْرًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، هَلْ تَحْصُلُ لَهُ السُّنَّةُ أَوْ لَا؟ لَمْ أَرَ مَنْ ذَكَرَهُ، وَالظَّاهِرُ الْحُصُولُ. *لَكِنْ لَا يَحْصُلُ لَهُ هَذَا الثَّوَابُ الْمَذْكُورُ خُصُوصًا مَنْ فَاتَهُ رَمَضَانُ وَصَامَ عَنْهُ شَوَّالًا*؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصْدُقْ عَلَيْهِ الْمَعْنَى الْمُتَقَدِّمُ، وَلِذَلِكَ قَالَ بَعْضُهُمْ: يُسْتَحَبُّ لَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنْ يَصُومَ سِتًّا مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ لِأَنَّهُ يُسْتَحَبُّ قَضَاءُ الصَّوْمِ الرَّاتِبِ اهـ.


*📚اعانة الطالبين. ج2 ص252*


 وفي الكردي ما نصه في الأسنىي - ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي 

الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب *ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا  وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة ويوم الخميس*  انتهى


📚قلائد الخرائد ص ٢٦٠


فصل في صوم التطوع

 ۳۲۳ - مسألة 

يكره الخروج منه إلا لعذر ، ويسن قضاؤه ، ويثاب على ما مضى ، وليخص بالمعذور ، وإذا اجتمع سببان متلازمان كيوم الاثنين وعرفة : كفى لهما صوم واحد ، أو ما يقصد العدد فيه كالقضاء وست شوال : فلا على ما يتجه ، خلافا لما قيل من دخول الست فيه لمن نواها ، بل الظاهر أنه إن قصد التشريك بينهما لم يحصل القضاء ، أو كونها تابعة له حصل دونها ، وهو ما أطلقه بعضهم .


*╾╌╌─⃟ꦽ⃟𖧷̷۪۪ᰰ᪇ 💫🌱💫᪇𖧷̷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟  ─╌╌╸*

WAKTU YANG DILARANG MELAKUKAN SHOLAT SUNNAH

 

_*Waktu yang dilarang Melakukan Sholat Sunnah*_

🌱 Waktu yang dilarang melaksanakan sholat sunnah yang tidak mempunyai sebab mendahului atau sebab yang berbarengan dengan sholat sunnah tersebut yaitu :

1. Ketika terbit matahari sampai naik sekira-kira sama dengan ukuran tongkat atau tombak.

2. Ketika matahari berada tepat ditengah tengah langit sampai bergeser kecuali hari Jum’at.

3. Ketika matahari kemerah-merahan sampai tenggelam.

4. Sesudah shalat Shubuh sampai terbit matahari.

5. Sesudah shalat Ashar sampai matahari terbenam.


🌱 Larangan tersebut hukumnya berbeda-beda di beberapa kitab :

1. Haram

2. Makruh Tahrim

3. Makruh Tanzih


🌱 Sebab yang diperbolehkan yaitu :

1. Sebab yang mendahului, misal :

▫️Masuk Masjid melakukan sholat Tahiyatul Masjid.

▫️Setelah berwudhu melakukan sholat sunnah Wudhu.

▫️Sholat Istisqo' (minta hujan)

▫️Sholat sunnah Thowaf.

2. Sebab yang berbarengan, misal :

▫️Sholat Kusuf (gerhana matahari)

               

📚 Referensi :

1. Safinatun Najah, 41-42

2. Fiqhul Ibadat, 1/247

3. Kifayatul Akhyar, 127

4. Hasiyah AlBujairomy 'alal Khotib, 2/116


📚 سفينة النجاة، ٤١-٤٢

(فصل ) تحرم الصلاة التي ليس لها سبب متقدم ولا مقارن في خمسة أوقات : عند طلوع الشمس حتى ترتفع قدر رمح وعند الإستواء في غير يوم الجمعة حتى تزول ، وعند الإصفرار حتى تطلع الشمس وبعد صلاة العصر حتى تغرب .


📚 [درية العيطة، فقه العبادات على المذهب الشافعي، ٢٤٧/١]

فالأوقات المحرمة حرمة متعلقة بالفعل هي:

-1- بعد صلاة الصبح، ويستمر إلى أن تطلع الشمس، لحديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (لا صلاة بعد الصبح حتى ترتفع الشمس، ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس) (البخاري ج 1/ كتاب مواقيت الصلاة باب 30/561)

-2- بعد صلاة العصر حتى تغرب الشمس، ولو صلاها مجموعة مع الظهر جمع تقديم للحديث السابق.

وأما الأوقات المحرمة حرمة متعلقة بالزمن فهي:

-1- عند طلوع الشمس: وتبدأ الحرمة من بدء طلوع الشمس إلى أن تتكامل وترتفع في السماء قدر رمح (سبعة أذرع من ذراع الآدمي. لحديث ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (إذا طلع حاجب الشمس فأخروا الصلاة حتى ترتفع، وإذا غاب حاجب الشمس فأخروا الصلاة حتى تغيب) (البخاري ج 1/ كتاب مواقيت الصلاة باب 29/558)

-2- عند استواء الشمس، وتستمر الحرمة حتى تزول الشمس من وسط السماء إلى جهة المغرب، ويستثنى من ذلك يوم الجمعة فلا تحرم الصلاة فيه وقت الاستواء سواء كان حاضراً الجمعة أم لا، لما روي عن أبي قتادة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم " أنه كره الصلاة نصف النهار إلا يوم الجمعة، وقال: (إن جهنم تُسجّر إلا يوم الجمعة) " (أبو داود ج 1/ كتاب الصلاة باب 223/1083)

-3- عند الغروب: تبدأ الحرمة باصفرار الشمس (وإن لم يصل العصر بعد) حتى تكامل غروبها بدليل حديث ابن عمر رضي الله عنهما المتقدم: (وإذا غاب حاجب الشمس فأخروا الصلاة حتى تغيب)


📚 [تقي الدين الحصني ,كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار ,page 127]

الْأَوْقَات الَّتِي تكره الصَّلَاة الَّتِي لَا سَبَب لَهَا فِيهَا خَمْسَة ثَلَاث تتَعَلَّق بِالزَّمَانِ وَهِي وَقت طُلُوع الشَّمْس حَتَّى ترْتَفع قد رمح هَذَا هُوَ الصَّحِيح الْمَعْرُوف وَفِي وَجه تَزُول الْكَرَاهَة بِطُلُوع قرص الشَّمْس بِتَمَامِهِ وَوقت الاسْتوَاء حَتَّى تَزُول الشَّمْس وَعند الاصفرار حَتَّى يتم غُرُوبهَا وَحجَّة ذَلِك مَا ورد عَن عقبَة بن عَامر رَضِي الله عَنهُ قَالَ

(ثَلَاث سَاعَات كَانَ ينهانا رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَن نصلي فِيهِنَّ أَو نقبر فِيهِنَّ أمواتنا حِين تطلع الشَّمْس بازغة حَتَّى ترْتَفع وَحين يقوم قَائِم الظهيرة حَتَّى تميل الشَّمْس وَحين تضيف الشَّمْس للغروب) 

[تقي الدين الحصني ,كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار ,page 127]

وَأما الوقتان الْآخرَانِ فيتعلقان بِالْفِعْلِ بِأَن يُصَلِّي الصُّبْح أَو الْعَصْر فَإِذا قدم الصُّبْح أَو الْعَصْر طَال وَقت الْكَرَاهَة وَإِذا أخر قصر وَحجَّة ذَلِك مَا ورد عَن أبي هُرَيْرَة رَضِي الله عَنهُ أَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم

(نهى عَن الصَّلَاة بعد الْعَصْر حَتَّى تغرب الشَّمْس وَبعد الصُّبْح حَتَّى تطلع الشَّمْس)


📚 [البجيرمي، حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب، ١١٦/٢]

وَهِيَ كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ كَمَا صَحَّحَهُ فِي الرَّوْضَةِ وَالْمَجْمُوعِ هُنَا وَإِنْ صَحَّحَ فِي التَّحْقِيقِ، وَفِي الطَّهَارَةِ مِنْ الْمَجْمُوعِ أَنَّهَا كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ (وَ) هِيَ (خَمْسَةُ أَوْقَاتٍ لَا يُصَلَّى فِيهَا) أَيْ فِي غَيْرِ حَرَمِ مَكَّةَ (إلَّا صَلَاةً لَهَا سَبَبٌ) غَيْرُ مُتَأَخِّرٍ فَإِنَّهَا تَصِحُّ كَفَائِتَةٍ وَصَلَاةِ كُسُوفٍ وَاسْتِسْقَاءٍ وَطَوَافٍ وَتَحِيَّةٍ وَسُنَّةِ وُضُوءٍ وَسَجْدَةِ تِلَاوَةٍ وَشُكْرٍ وَصَلَاةِ جِنَازَةٍ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ فَائِتَةً فَرْضًا أَمْ نَفْلًا لِأَنَّهُ «- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ: هُمَا اللَّتَانِ بَعْدَ الظُّهْرِ» ، أَمَّا مَا لَهُ سَبَبٌ مُتَأَخِّرٌ كَرَكْعَتَيْ الِاسْتِخَارَةِ وَالْإِحْرَامِ فَإِنَّهَا لَا تَنْعَقِدُ كَالصَّلَاةِ الَّتِي لَا سَبَبَ لَهَا.


🔖 والله اعلم بالصواب.

Saturday, January 21, 2023

HUKUM KERAMAS PADA WAKTU HAID

PAS TUNTAS MASALAH RAMBUT WANITA HAID

Oleh : M Syihabuddin Dimyathi 

Tulisan ini agak panjang karena kami ambil dari karya ilmiah. Bagi yang tidak kuat, bisa langsung baca kesimpulan akhir.

Telah lumrah beredar sebuah keyakinan di masyarakat kita bahwa rambut dan kuku wanita saat haid tidak boleh ada yang lepas, atau kalau ada yang lepas maka 'wajib' di kumpulkan dan nantinya setelah haid selesai, ikut dimandikan. Di sebagian masyarakat kita bahkan ada yang meyakini kalau rambut yang rontok tersebut jika tidak dimandikan maka kelak di akhirat akan menjadi api, ada juga yang mengatakan akan menjadi ulat.

Dari itu, banyak dari mereka yang mempunyai ihtiyath atau kehati-hatian untuk tidak bersisir maupun keramas sampai seminggu, bahkan lebih, tergantung hari haid yang dialami. 

Hal ini tentunya bisa menimbulkan beberapa problem turunan, seperti suami yang bisa saja tidak suka dengan bau rambut istri karena berhari-hari tidak keramas, nantinya bisa bikin retak hubungan rumah tangga, dan problem lainnya. 

Yang menjadi pertanyaan sekarang, "Apakah benar ketentuannya demikian dalam syariat Islam?" 

Dalam tulisan pendek ini, kami berusaha menyajikan hasil penelitian kami terhadap permasalahan ini, yang mana kami klasifikasikan hasil penelitian ini menjadi tiga bagian :

Pertama, pembahasan dalil landasan.

Kedua, komentar berbagai ulama' menanggapi dalil tersebut.

Ketiga, kesimpulan.


Sebelum ke pembahasan utama, kami akan mengulas sedikit tentang judul yang kami tampilkan. Dalam judul tersebut kami hanya menyebutkan rambut wanita haid. Judul tersebut hanya memandang kebanyakan pembahasan yang terjadi. Secara aslinya pembahasan ini juga mencakup kuku, darah dan segala hal yang ada di tubuh, bukan hanya rambut. Objek kajian ini juga bukan sebatas wanita haid, karena yang jadi titik poin disini adalah 'hadats besar', maka juga mencakup wanita nifas dan orang junub.

1- Dalil Landasan 

Imam Ghazali, dalam Ihya'nya menyatakan :

ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها. 1

"Tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah atau membuang sesuatu dari badannya disaat dia sedang berjunub, karena seluruh bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali berjunub. Dan dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab junub yang ada pada rambut tersebut.”

Keterangan ini ada dalam kitab Ihya' Ulumuddin pada pembahasan Kitab Adab al-Nikah. Keterangan tersebut juga dikutip oleh banyak ulama', baik ulama' turats maupun kontemporer, seperti tiga serangkai Syarh Minhaj, yaitu Tuhfah Ibnu Hajar, Nihayah Imam Ramli, dan Mughni Khatib Syarbini. Ulama' kontemporer yang menukil keterangan tersebut diantaranya adalah ulama' besar Suriah yang bergelar Al-Suyuthi al-Tsani, Dr. Wahbah ibn Musthofa al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuh dan Syekh 'Athiyyah Shaqr -ulama besar al-Azhar- dalam Mawsu'ah Ahsan al-Kalam Fi al-Fatawa Wa al-Ahkam.

Dalam Ihya'nya Imam Ghazali tidak menyebutkan dalil rujukan atas statement tersebut. Dari penelusuran yang kami lakukan, ternyata Imam Ghazali bertendensi dengan sebuah hadits cukup panjang tentang hilir-mudiknya malaikat siang malam untuk mencatat orang-orang shalat, sebagaimana yang di jelaskan al-Hafidz Ibn Hajar al-'Asqolani dalam Fath al-Barinya: 

تَنْبِيهٌ اسْتَنْبَطَ مِنْهُ بَعْضُ الصُّوفِيَّةِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُفَارِقَ الشَّخْصُ شَيْئًا مِنْ أُمُورِهِ إِلَّا وَهُوَ عَلَى طَهَارَةٍ كَشَعْرِهِ إِذَا حَلَقَهُ وَظُفْرِهِ إِذَا قَلَّمَهُ وَثَوْبِهِ إِذَا أَبْدَلَهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ. 2

"Sebagian ulama sufi (yakni Abu Thalib al-Makki dan Imam Ghazali -pen*) mengambil dalil dari hadits ini bahwa seseorang disunnahkan untuk tidak memisahkan sesuatu dari badannya kecuali ia dalam keadaan suci, seperti memangkas rambut, memotong kuku, mengganti baju dan semisalnya."

2- Komentar-komentar Ulama' Menanggapi Dalil Landasan Tersebut

Ihya' Imam Ghazali dengan segala kepopuleran yang dimilikinya tentu memantik banyak respon dan tanggapan dari para ulama', baik dari sisi hadits maupun lainnya, tak terkecuali satu statement yang kami kutip dalam makalah ini. 

Statement itu memberi banyak respon dari para ulama', yang mana sekian statement tanggapan itu kembali kepada dua kelompok utama, yaitu pihak yang sepakat dan yang tidak.

Kami tampilkan beberapa diantaranya :

[1] Komentar ulama' yang sepakat 

1- Syekh Sa'id Ba'asyin:

وندب لنحو جنب: أن لا يزيل شيئا من بدنه إلا بعد الغسل؛ لأن الأجزاء تعود إليه في الآخرة، فيعود جنباً؛ تبكيتاً له، ثم تزول عنه ما عدا الأجزاء الأصلية، ويقال: إن كل شعرة تطالب بجنابتها. 3

"Disunahkan pada semisal orang junub untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya kecuali setelah mandi, karena seluruh anggota badan akan kembali kepadanya di akhirat kelak, maka hal itu akan menjadi sebab dia junub, sebagai pencelaan terhadapnya, kemudian anggota-anggota badan tadi akan hilang darinya kecuali anggota tubuh yang pokok, dan dikatakan bahwa setiap rambut kelak akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut."


2- Ibnu Hajar al-Haitami : 

وَأَنْ لَا يُزِيلَ ذُو حَدَثٍ أَكْبَرَ قَبْلَهُ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ نَحْوَ دَمٍ قَالَ الْغَزَالِيُّ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ بِوَصْفِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا. 4

"Dan orang yang memiliki hadats besar, sebelum mandi, untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya, walaupun semisal darah. Al-Ghazali berkata…"karena anggota tubuhnya tersebut akan kembali padanya di akhirat kelak dalam keadaan junub, dan di katakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut."

Dari sekian ulama' yang sepakat dengan statement Imam Ghazali, kami belum menemukan mereka menampilkan dalil landasan (al-Qur'an ataupun Hadits) dari apa yang telah diungkapkan Imam Ghazali, hanya menukil keterangan tersebut atau menyampaikannya dengan ungkapan lain yang senada, yang tidak keluar dari maksud Imam Ghazali. Seperti juga ibarot Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu'in:

وينبغي أن لا يزيلوا قبل الغسل شعرا أو ظفرا، وكذا دما، لان ذلك يرد في الآخرة جنبا. 5

"Dan seyogyanya sebelum mandi mereka tidak menanggalkan rambut atau kuku, begitu juga darah. Karena itu akan di kembalikan diakhirat dalam keadaan junub."

[2] Komentar ulama' yang tidak sepakat

1. Hasyiyah Syarwani dan juga mengutip dari Imam Sa'd dalam Syarh 'Aqa`id al-Nasafiyyah menyatakan :

 (قَوْلُهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَوْدَ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيهِ خِلَافٌ، وَقَالَ السَّعْدُ فِي شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ الْمُعَادُ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى آخِرِهِ ع ش. 6

"Pernyataan Mushonnif "anggota yang terlepas kelak di akhirat akan kembali", ini didasari penilaian bahwa anggota yang kelak kembali di akhirat bukan terkhusus anggota-anggota asli (pokok), dan dalam permasalahan ini ada khilaf. Al-Sa'd di dalam Syarh 'Aqa`id al-Nasafiyyah berkata "anggota yang kelak dikembalikan hanyalah anggota asli yang masih tersisa dari awal umur hingga akhir hayat."

2. Imam Bujairami mengatakan :

عِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ قَلْيُوبِيٌّ. 7

"Perlu dipertimbangkan kembali pendapat tersebut, karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal, bukan seluruh kuku yang dia potong selama hayatnya begitu juga bukan seluruh rambutnya." Keterangan ini mirip dengan yang diutarakan al-Qulyubi.

3. Al-Madaabighi : 

وَعِبَارَةُ الْمَدَابِغِيِّ قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلَخْ أَيْ الْأَصْلِيَّةَ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ.8

"Ucapan Mushannif “Karena anggota-anggota tubuhnya…dst”. Maksudnya hanya anggota tubuh yang asli seperti tangan yang terpotong. Berbeda semisal rambut dan kuku."

4. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqolani :

وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ: إنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكُونُ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ ثُمَّ عِنْدَ دُخُولِ الْجَنَّةِ يَصِيرُونَ طِوَالًا. 9

"Sesungguhnya setiap orang nantinya akan sesuai dengan anggota tubuh saat ia meninggal. Kemudian ketika masuk surga maka mereka menjadi tinggi-tinggi."

5. Fatwa Daar Al-Ifta' Al-Mishriyah : 

لكن هذا الكلام لا دليل فيه على منع ذلك أثناء الجنابة، ولا فى مطالبة الجز المفصول بجنابته يوم القيامة، وقد وُجِّه مثل هذا السؤال لابن تيمية كما قال السفارينى فى كتابة " غذاء الألباب ج 1 ص 382 " فأجاب: قد ثبت عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه لما ذكر الجنب قال " إن المؤمن لا ينجس حيا ولا ميتا " قال: وما أعلم لكراهة إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا، بل قد قال النبى صلى الله عليه وسلم للذى أسلم " ألق عنك شعر الكفر واختتن " فأمر الذى أسلم بذلك ولم بأمره بتأخير الاختتان وإزالة الشعر حتى يغتسل، فإطلاق كلامه يقتضى جواز الأمرين، وكذلك تؤمر الحائض بالامتشاط فى غسلها مع أن الامتشاط يذهب ببعض الشعر، فعلمنا عدم كراهة ذلك. وأن ما يقال فيه مما ذكر لا أصل له. قال عطاء: يحتجم الجنب ويقلم أظفاره ويحلق رأسه وإن لم يتوضأ، رواه البخارى.

وعلى هنا فلا كراهة فى قص الشعر والظفر أثناء الجنابة.   10

"Tidak ada dalil atas pelarangan melakukan hal-hal tersebut (baik memotong kuku, rambut, keluar darah dan lainnya) di waktu Junub (ataupun haid, dan hadats besar lainnya).

(Kemudian) tidak ada dalil juga tentang penjelasan pada hari kiamat kelak anggota-anggota tubuh yang terlepas sebab Junub akan menuntut seseorang.

Dan dalam penutupan akhir dari jawaban di perjelas "dari keterangan ini, maka tidak ada kemakruhan (apalagi pengharaman) dalam memotong rambut dan kuku ketika Junub (dan hadats besar lainnya)."

3- Kesimpulan

Masih terjadi selisih pendapat diantara ulama' akan hukum menanggalkan sesuatu dari tubuh ketika hadats besar. Statement Imam Ghazali dan dalil yang digunakan dipandang banyak ulama' tidak kuat untuk menyatakan pelarangan melakukan hal itu. Apalagi sampai taraf pengharaman seperti yang menjadi keyakinan sebagian masyarakat.

Kemudian, untuk kuku atau rambut yang sudah terlanjur di potong atau rontok saat hadats besar, kami belum menemukan referensi yang menyatakan itu wajib di mandikan. Bahkan dalam Nihayah al-Muhtaj Imam Ramli dan juga Hawasyi al-Syarwani dengan tegas dikatakan bahwa bagian yang terlepas sebelum mandi, junubnya tidak bisa hilang dengan memandikannya.

الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ اهـ. 11

"Bagian-bagian tubuh yang terlepas sebelum mandi wajib maka janabahnya tidak bisa hilang dengan memandikannya."

Adapun keterangan NU Online yang menyatakan ada pendapat wajib memandikan anggota yang terlepas saat haid yang berangkat dari ibarot Imam Nawawi dalam Raudhoh yang mengutip keterangan Al-Bayan karya Al-Umroni, hemat kami mereka salah paham.

Kami kutipkan keterangan NU online tersebut:

~~~~~~~~~~~~~~~~

Adapun sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok, kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh? Apakah bagian yang terlepas wajib dibasuh? Para ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin mengatakan sebagai berikut.

 ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه  وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح  وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم 

Artinya, “Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, 'Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.' Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, 'Wajib membasuh bagian yang tampak saja.' Pendapat ini lebih sahih. 

Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz 1, halaman 125).

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Keterangan terjemahan dalam kurung di paragraf terakhir baris kedua merupakan hasil pemahaman yang di tangkap penulis, bukan menerjemahkan teks asli dari ibarot Roudhoh, dan itu salah. Bukti kesalahannya kami tampilkan dari Al-Bayan karya Al-Umroni yang menjadi rujukan Roudhoh.

ٍإذا غسل الجنب جميع بدنه إلا طرف شعره، فقطع ما بقي من الشعر ممّا لم يغسله.. فقد اختلف أصحابنا المتأخرون فيها:

فمنهم من قال: يجب عليه غسل ما ظهر من الشعر بالقطع؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا} [النساء: 43] والقطع لا يسمى غسلا.

ومنهم من قال: لا يجب عليه شيء؛ لأنه زال ما وجب غسله، فهو كما لو توضأ وترك رجله، ثم قطعت من فوق الكعب.. فإنه لا يجب عليه غسل ما ظهر بالقطع عن الحدث. 12

Disana dengan jelas disebutkan bahwa yang wajib dibasuh bukanlah anggota yang terlepas tersebut, melainkan "ma dzoharo minas-sya'ri bil qoth'i", yakni pegasan alias bagian rambut yang nampak sebab adanya pemotongan.

Kemudian, statement Imam Ghazali sendiri seperti yang diutarakan al-Syarwani berangkat dari penilaian bahwa yang dikembalikan kelak adalah semua anggota tubuh selama hidupnya, baik rambut yang di potong, kuku ataupun lainnya. Dan ini merupakan pendapat lemah. 

Shighot لا ينبغي sendiri seperti tertera dalam statement Imam Ghazali bisa mengarah pada dua hukum, bisa makruh bisa haram seperti keterangan dalam al-Tahdzib karya Imam al-Baghowy. (13) Tapi dengan memandang berbagai komentar ulama', baik yang sepakat atau tidak, bisa disimpulkan bahwa alur hukum yang paling tinggi hanya bertaraf makruh.

Untuk masyarakat yang meyakini bahwa rambut yang terlepas dan kuku yang terlepas jika tidak di mandikan sewaktu bersuci nantinya akan menjadi api atau ulat kami rasa tidak ada dalilnya. Yang mengatakan nantinya akan kembali dalam keadaan hadats besar juga telah dijawab oleh para ulama.

KESIMPULAN AKHIR,

1- Hukum memotong rambut, kuku, dan semisalnya ketika junub, haid, dan hadats besar lainnya adalah antara makruh dan mubah. Tidak sampai ke taraf haram. Salah satu yang menyatakan mubah adalah Darul Ifta' Mesir yang menyatakan jawazul amroin (kebolehan melakukan dua perkara, yakni boleh memotong ataupun tidak).

2- Untuk hukum memandikan rambut dan kuku yang terlepas sebelum mandi wajib, maka tidak ada kewajiban atau kesunahan sama sekali. Kesunahannya adalah dengan memendam.

Wallahu ta'ala a'lam.


~~~~~~~~~~~~~

Catatan:

*Kami menafsiri "sebagian ulama' sufi" dalam ibarot Fath al-Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar dengan Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H) dan Imam Ghazali (450-505 H) karena setau kami pertama kali yang istinbath demikian adalah Abu Thalib Al Makki dalam kitab Quut al-Quluub, kemudian Imam Ghazali mengadopsi pemikiran tersebut dan beliau cantumkan dalam karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin. 

Kemudian kenapa kami memilih ibarot Imam Ghazali untuk di tampilkan dalam dalil landasan, karena memang umumnya pembahasan masalah ini merujuk pada Ihya' Imam Ghazali, dan yang dikutip oleh banyak ulama' dalam kitab-kitabnya juga dari Ihya', bukan dari Quut al-Quluub Abu Thalib Al Makki.

~~~~~~~~~~~~~

Referensi:

[1] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya` 'Ulum al-Diin, (Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/51.

[2] Ibn Hajar al-'Asqolani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/37.

[3]  Sa'id Ba'asyin, Busyro al-Karim bi Syarh Masa'il al-Ta'lim, (Jeddah: Daar al-Minhaj) 135.

[4] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbadi (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[5] Zain al-Diin al-Malibari, Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrah al-'Ain, (Beirut: Daar ibn Hazm) 69.

[6]'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[7] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[8] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.

[9] Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami 'ala al-Khatib, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/247.

[10] Majmu'ah min al-Mu`allifin, Fatawa Daar al-Ifta' al-Mishriyyah, 8/418.

[11] Syams al-Diin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/229.

[12] Al-Umroni, Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, (Jeddah: Dar Al-Minhaj), 1/263.

[13] al-Baghowy al-Syafi'i, al-Tahdzib fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, (Beirut: Daar al-Kutub al-'Ilmiyyah) 1/65.

و"ينبغي" الأغلب فيها استعمالها في المندوب تارة والوجوب أخرى، ويحمل على أحدهما بالقرينة، وقد تستعمل للجواز والترجيح، و"لا ينبغي" قد تكون للتحريم أو الكراهة أهـ تحفة بزيادة من النهاية.

والله أعلم بالصواب...

~~~~~~~~~~~~~

Tuesday, January 17, 2023

MENCUCI PAKAIAN DENGAN MESIN CUCI, BAGAIMANAKAH HUKUMNYA /ATURANNYA....



KAJIAN MASALAH MENCUCI PAKAIAN DENGAN MESIN CUCI 

Ketentuan yang masyhur dalam mazhab Syafi’i tentang air yang terkena najis adalah: jika volume air sudah sampai dua qullah (216 liter atau kubus dengan panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 60 cm) maka air tidak dihukumi najis kecuali warna air berubah (taghayyur); sedangkan jika volume air tidak sampai dua qullah maka seluruh air secara langsung menjadi najis ketika bersentuhan dengan benda yang najis. Namun menurut pendapat lain—seperti dalam mazhab Maliki misalnya—air tidak dihukumi najis kecuali dengan berubahnya warna air, baik volume air sampai dua qullah ataupun kurang dari dua qullah.  Sedangkan cara menyucikan benda yang terkena najis (mutanajjis) dengan air yang kurang dari dua qullah adalah dengan cara menghilangkan wujud najis yang ada dalam benda tersebut terlebih dahulu, lalu mengalirkan air (warid) pada benda yang terkena najis yang telah dihilangkan najisnya. Mengalirkan air pada benda yang terkena najis merupakan syarat agar suatu benda dapat menjadi suci, sebab jika air tidak dialirkan, tapi benda yang terkena najis ditaruh pada air yang kurang dari dua qullah, maka air tersebut justru akan ikut menjadi najis.  Pendapat demikian merupakan pendapat mayoritas ulama Syaf’iyyah. Kewajiban mengalirkan air itu dikarenakan mengalirkan air adalah cara yang paling kuat dalam menyucikan benda yang terkena najis.  Namun dalam hal ini, Imam al-Ghazali berbeda pandangan. Beliau berpendapat bahwa mengalirkan air bukanlah syarat dalam menyucikan benda yang terkena najis. Sebab, menurut beliau, tidak ada bedanya antara mengalirkan air pada benda yang terkena najis (warid) dan menaruh benda tersebut pada air (maurud). Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Suraij. Ketika  ketentuan-ketentuan di atas kita terapkan dalam konteks menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, maka cara yang paling baik dan disepakati oleh para ulama adalah dengan cara menghilangkan wujud najis (‘ain an-najasah) terlebih dahulu sebelum memasukkan pakaian ke dalam mesin. Menghilangkan najis ini bisa dengan cara menggosok-gosok pakaian agar wujud najis hilang, atau langsung dengan cara menyiram pakaian (baik itu secara manual, atau langsung dengan cara dimasukkan pada mesin cuci) ketika memang diyakini najis yang melekat akan hilang dengan siraman air tersebut. Sehingga ketika wujud najis telah hilang, maka status pakaian menjadi najis hukmiyyah (najis secara hukum, meski wujud tak terlihat) yang dapat suci cukup dengan disiram air.  Berbeda halnya pada pakaian yang tidak terdapat bekas najis, atau tidak tampak warna, bau dan ciri khas lain dari najis, maka tidak perlu dilakukan hal di atas, sebab pakaian tersebut sudah dapat suci cukup dengan disiram.



Dalam penjelasan lainnya
*Cara mensucikan pakaian najis lewat mesin cuci*

والغسالات نوعان: نوع يسمونه أوتوماتيكي يرد إليها الماء ثم ينصرف فيرد ماء جديد ثم يتكرر إيراد الماء عدة مرات فهذا لاخلاف فيه في طهارة الملابس. والنوع الثاني من الغسالات عادي وتلك يوضع الماء فيها وهو دون القلتين وتغسل به الملابس الطاهرة والنجسة ثم يصرفونه فيبقى شيء منه في الغسالة والثياب مبللة منه فيصبّون عليه ماء آخر فوق الباقي المتنجس ثم يكتفون بالغسلتين 

“Mesin cuci terbagi menjadi dua. Pertama, mesin cuci yang otomatis, yaitu air dialirkan pada mesin cuci lalu di alirkan keluar dari mesin cuci, setelah itu dialirkan kembali air baru dan dialirkan keluar, begitu juga seterusnya. Maka dalam mesin cuci jenis demikian tidak ada perbedaan pendapat antar ulama dalam sucinya pakaian yang di cuci pada mesin cuci jenis ini.

Kedua, mesin cuci biasa, yaitu air yang kurang dari dua qullah ditaruh di dalam mesin cuci, yang nantinya air tersebut digunakan untuk membasuh pakaian yang suci dan najis, lalu air tersebut dialirkan keluar, meski masih terdapat sebagian air yang menetap pada mesin cuci, sedangkan pakaian yang terdapat dalam cucian berada dalam keadaan basah, kemudian dialirkan air lain di atas sisa air yang terkena najis (di pakaian) tadi dan basuhan air dalam mesin cuci ini dicukupkan dengan dua kali basuhan oleh sebagian ulama.”

فهؤلاء يحملهم قول الذين لايشترطون ورودالماء مع القول في مذهب مالك. وهناك قول آخر نقله ابن حجر في التحفة يحملهم وإن قرر على أن الماء القليل ينجس بمجرد وقوع النجاسة فيه لكن نقل القول الآخر وهو أنه لاينجس إلا بالتغير وهو مذهب مالك وعندنا أنه ينجس بملاقته النجاسة والقول الذي يقول لاينجس الماء إلا بالتغير

“Para ulama ini mengarahkan kasus demikian pada pendapat para ulama yang tidak mensyaratkan mengalirnya air pada pakaian serta berpijak pada pendapat mazhab imam malik. Sebab dalam permasalahan membasuh benda yang terkena najis ini terdapat pendapat lain yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, meskipun Imam Ibnu Hajar menetapkan bahwa air yang sedikit (kurang dari dua qullah) akan menjadi najis dengan hanya jatuhnya najis pada air tersebut, tetapi ia menukil pendapat lain yaitu Air tidak menjadi najis kecuali dengan berubahnya (warna) air.” (Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, Hal. 98-99)

Namun patut dipahami bahwa ketentuan yang dijelaskan tentang menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, seperti yang dijelaskan di muka, adalah ketika pakaian yang dimasukkan dalam mesin cuci belum dicampuri dengan detergen. Sedangkan ketika pakaian sudah dicampuri dengan detergen sebelum dialiri air dalam mesin cuci, maka air yang bercampur dengan detergen ini tidak dapat menyucikan pakaian yang terkena najis secara mutlak, sebab air ini tergolong air yang mukhalith (bercampur dengan sesuatu lain) yang tidak dapat menyucikan benda yang terkena najis, sebab hanya air murni (ma’ al-muthlaq) yang dapat menyucikan sesuatu yang terkena najis. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci biasa (‘adi) adalah hal yang dapat dilakukan menurut para ulama yang berpandangan bahwa air yang kurang dari dua qullah dapat menyucikan benda yang najis tanpa perlu dialiri air dari atas (warid). Namun dengan batasan selama pakaian dalam mesin cuci tidak terlebih dahulu dicampur dengan detergen. Barulah setelah pakaian dialiri air maka tempat penampungan pakaian dalam mesin cuci diganti air yang baru dan diberi detergen. 

Meski cara yang umum dilakukan masyarakat dapat dibenarkan dengan cara di atas, *namun alangkah baiknya dalam rangka mengambil jalan kehati-hatian dalam  mengamalkan syariat, seseorang hendaknya membasuh secara manual terlebih dahulu pada pakaian yang terkena najis dengan air murni, lalu setelah itu pakaian yang telah dibasuh dicuci dalam mesin cuci, sebab cara demikianlah yang dibenarkan oleh mayoritas ulama.* Wallahu a’lam.

HUKUM MEMANJANGKAN RAMBUT BAGI LALI LAKI

Kajian Gus Baha

Pertanyaan masalah Hukum memelihara janggut 

Benarkah Pria Memanjangkan Rambut Termasuk Mengikuti Sunnah Rasul?

Senin, 15 Agustus 2022 | 08:30 WIB

Jawaban 

Pria berambut gondrong yang sedang berkendara motor (Foto:NOJ/istimewa)

Rambut panjang atau gondrong di kalangan pria kerap menjadi trend, sebab mereka berdalih bahwa gondrong mencerminkan keberanian, jagoan, kesaktian dan lain-lain. Bahkan ada pula yang beralasan bahwa  rambut gondrong mengikuti penampilan Nabi Muhammad.

Pertanyaannya adalah, apakah pria memanjangkan rambut termasuk sunnah?

Menyikapi persoalan ini, Syekh Ali Jumah menyatakan bahwa pria yang memanjangkan rambut bukanlah termasuk sunnah yang berpahala bagi seorang Muslim. Sebab Nabi Muhammad pernah memendekkan dan memanjangkan rambutnya.

Baca Juga:

Ingin Rambut Terlihat Keren? Ingat Pesan Rasulullah, Bro

Dalam Hasyiyah Jamal juz 1/475:


وإذا قلنا إنها للإباحة وكان شُهْرَة في زمان أو مكان فإنه لا يجوز، فتجد أن بعض الناس يطيل الشعر، ويعقد شعره، ويجعل له ضفائر، وربما جعله على كتفيه ثم يقول: هذه سنة النبي صلى الله عليه وسلم


Artinya: Jika dikatakan bahwa rambut gondrong bagi laki-laki itu mubah dan perkara mubah itu menyebabkan seseorang itu terkenal di suatu tempat atau masa, maka hukum mubah ini berubah menjadi terlarang. Sebab terdapat sejumlah kasus sebagian laki-laki memanjangkan rambutnya dan mengucirnya lalu beralasan “Ini adalah sunnah Nabi”.


والجواب أن هذه ليست سنة بالمعنى الأصولي والمصطلح الفقهي عند الفقهاء، فهي سنة أي طريقة صحيحة

Baca Juga:

Belasan Santri di Nganjuk Ikuti Pelatihan Potong Rambut, Ini Harapannya

Untuk merespon hal tersebut jawabannya adalah: lelaki berambut gondrong bukanlah sunnah Nabi dalam pengertian fikih (sesuatu yang berpahala jika dilakukan), tapi sunnah yang dimaksud adalah Nabi pernah melakukannya.

 ولكن قال العلماء: الفعل المحض الذي لم يقترن به أمر منه صلى الله عليه وسلم فإنه لا يُعتبر له حكم الاستحباب فضلاً عن الوجوب، ولهذا نقول: إنه مباح

Namun para ulama mengatakan, perbuatan Nabi yang mahdhoh (bukan ibadah) yang tidak diiringi perintah dari Nabi, maka perbuatan Nabi tersebut tidak menghasilkan hukum anjuran (sunnah), apalagi hukum wajib. Oleh karena itu kami katakan bahwa hukum gondrong untuk laki-laki adalah mubah.

Tentu semua itu harus dilandaskan pada aturan umum seperti kewajiban untuk menutupi aurat, larangan meniru orang fasik, larangan laki-laki meniru perempuan dan sebaliknya, larangan sombong, dan pemborosan. Boros karena memang perawatan rambut memerlukan biaya.

Walhasil, memanjangkan rambut bagi pria bukanlah kesunnahan yang kemudian mendapatkan pahala, sebab Nabi Muhammad tidak selalu berambut panjang. Terlebih bila pria berambut panjang ingin mencari popularitas, sombong, menyerupai wanita, maka itu dilarang. 

Semoga bermanfaat 

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes