Ari bedana masjid sareng musholla kumaha?
: قَوْلُهُ وَوَقَفْتُهُ لِلصَّلاَةِ إِلَخ) أَيْ وَإِذَا قَالَ الْوَاقِفُ وَقَفْتُ هَذَا الْمَكَانَ لِلصَّلاَةِ فَهُوَ صَرِيْحٌ فِيْ مُطْلَقِ الْوَقْفِيَّةِ (قَوْلُهُ وَكِنَايَةٌ فِيْ خُصُوْصِ الْمَسْجِدِيَّةِ فَلاَ بُدَّ مِنْ نِيَّتِهَا) فَإِنْ نَوَى الْمَسْجِدِيَّةَ صَارَ مَسْجِدًا وَإِلاَّ صَارَ وَقْفًا عَلَى الصَّلاَةِ فَقَطْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَسْجِدًا كَالْمَدْرَسَةِ.
"(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Saya mewakafkannya untuk shalat.”), yakni jika si pewakaf berkata: “Saya wakafkan tempat ini untuk shalat.” Maka ucapan itu termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan beliau: “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai mesjid, maka harus ada niat menjadikannya mesjid.”) Jika ia berniat menjadikan mesjid, maka tempat tersebut menjadi mesjid. Jika tidak, maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja, dan tidak menjadi mesjid seperti madrasah atau sekolahan". (I'anatut Tholibin).
Perwakafan itu tidak bisa dicabut kembali. Maka dari itu tanah yang sejak awal sudah diwakafkan untuk masjid, sampai kapan pun statusnya tetap berlaku wakaf, meski bangunan masjidnya sudah dibongkar atau dipindah. Karena status tanah itu masih dihukumi masjid, maka orang yang menanggung hadats besar diharamkan berada di tempat tersebut. (Nihayatuz Zain; 272).
#Meluruskan istilah masjid dan mushola#
Secara bahasa, masjid [arab: مسجد] diambil dari kata sajada [arab: سجد], yang artinya bersujud. Disebut masjid, karena dia menjadi tempat untuk bersujud. Kemudian makna ini meluas, sehingga masjid diartikan sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk melaksanakan shalat.
Imam Az-Zarkasyi mengatakan,
ولَمّا كان السجود أشرف أفعال الصلاة، لقرب العبد من ربه، اشتق اسم المكان منه فقيل: مسجد، ولم يقولوا: مركع
”Mengingat sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya (ketika sujud), maka nama tempat shalat diturunkan dari kata ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’ (tempat rukuk). (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).
Kemudian Imam az-Zarkasyi, beliau menyebutkan makna masjid menurut istilah yang dipahami kaum muslimin (urf),
ثم إن العُرف خصص المسجد بالمكان المهيّأ للصلوات الخمس، حتى يخرج المُصلّى المجتمع فيه للأعياد ونحوها، فلا يُعطى حكمه
Kemudian, masyarakat muslim memahami bahwa kata masjid hanya khusus untuk tempat yang disiapkan untuk shalat 5 waktu. Sehingga tanah lapang tempat berkumpul untuk shalat id atau semacamnya, tidak dihukumi sebagai masjid. (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).
Berdasarkan keterangan di atas, secara istilah syariah, mushola termasuk masjid. Karena musholah merupakan tempat yang disediakan khusus untuk shalat jamaah.
Untuk itu, sebagai catatan, bahwa kata masjid dalam istilah fikih ada dua,
Masjid jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu dan shalat jumat
Masjid ghairu Jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu saja, dan tidak digunakan untuk jumatan.
Masjid jenis kedua ini, di tempat kita disebut mushola.
Ketiga, batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf
Ibnu Rusyd menyebutkan, ada 3 pendapat ulama tentang batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf.
I’tikaf hanya bisa dilakukan di 3 masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini merupakan pendapat sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dan seorang tabiin Said bin al-Musayib. Dan ini pendapat yang lemah. Karena tidak ada batasan bahwa i’tikaf harus di 3 masjid tersebut.
I’tikaf hanya bisa dilakukan di masjid jami’, masjid yang digunakan untuk jumatan.
I’tikaf bisa dilakukan di semua masjid, baik jami’ maupun bukan jami’. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, diantaranya as-Syafii, Abu Hanifah, at-Tsauri, dan pendapat masyhur dari Imam Malik.
(Bidayah al-Mujtahid, hlm. 261).
InsyaaAllah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa tempat yang bisa digunakan untuk i’tikaf tidak harus masjid jami’, namun bisa semua masjid, meskipun tidak digunakan untuk jumatan.
Karena Allah hanya menyebutkan yang bersifat umum, ”ketika kalian sedang i’tikaf di masjid.” tanpa ada batasan, baik masjid jami’ maupun yang bukan jami’. *Sehingga i’tikaf di mushola (tempat dilaksannya shalat lima waktu) hukumnya boleh dan sah.* والله اعلم
وَخَصَّصَهُ الْعُرْفُ بِالْمَكَانِ الْمُهَيَّأِ لِلصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، لِيَخْرُجَ الْمُصَلَّى الْمُجْتَمَعِ فِيهِ لِلأَعْيَادِ وَنَحْوِهَا، فَلاَ يُعْطَى حُكْمَهُ، وَكَذَلِكَ الرُّبُطُ وَالْمَدَارِسُ فَإِنَّهَا هُيِّئَتْ لِغَيْرِ ذَلِكَ
‘Urf (kebiasaan masyarakat) membuat arti masjid secara spesifik sebagai tempat yang dipersiapkan dan disediakan untuk pelaksanaan shalat lima waktu, hal ini agar menganulir definisi mushalla yang sering dipakai saat hari raya dan momentum lainnya.
Dengan demikian, hukum mushalla tidak dapat disamakan dengan masjid. Demikian halnya ribath serta madrasah-madrasah yang dialokasikan untuk kegiatan selain shalat.