Tauhid, ikhlas, dzikir, dan khusuk (haqiqah/esensi dalam beramal) terjadi secara abstrak/ batin
Semua haqiqah/ esensi ini terjadi secara abstrak/ batin di dalam jiwa, bukan secara konkrit/ zahir dalam raga. Haqiqah ini akan menyebabkan jiwa memperoleh kebenaran (as-Sidq), cinta (mahabbah), dan kebahagiaan (sya’âdah). Kondisi inilah sebetulnya yang disebut dengan ihsan sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَإِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. (رواه مسلم)
“Ihsan adalah bahwa kamu beribadah kepada Allah, seakan-akan kamu melihat-Nya, dan kalau pun kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim)
Hadits ini menjelaskan, bukan kita melihat Allah, tetapi seakan-akan melihat-Nya, bukan melihat-Nya dengan mata kepala, tetapi melihat-Nya dengan mata hati. Tetapi meskipun tidak dapat melihat-Nya dengan mata kepala, Dia pasti melihat kita, karena Dia Maha Melihat. Sikap jiwa seperti inilah sebetulnya yang harus ada dalam beramal ibadah kepada-Nya, yaitu sikap musyâhadah dan murâqabah. Musyâhadah merasakan bahwa kita menyaksikan atau melihat Allah, sementara murâqabah merasakan bahwa kita diawasi atau dilihat oleh Allah. Sebelum murâqabah di usahakan dapat musyâhadah, karena musyâhadahakan menguatkan murâqabah. Ketika ibadah telah dapat dilakukan seperti ini, maka telah kumpul-lah tiga rukun agama Islam, yaitu iman, islam dan ihsan dan iman yang ada dalam hati kita pun telah mencapai tingkatan iman yang tertinggi yaitu iman yaqin atau iman ‘ârifin.
Post a Comment