وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS Al-Humazah:1)
Adapun ghibah yang dibenarkan karena ada 6 sebab sebagai alasan diantaranya sebagai berikut:
اعلم أن الغيبة وإن كانت محرمة فإنها تباح في أحوال للمصلحة. والمجوز لها غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها ، وهو أحد ستة أسباب
Artinya, “Ketahuilah, ghibah–sekalipun diharamkan–dibolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan. Hal yang membolehkan ghibah adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan tidak tercapai tanpa ghibah tersebut. Hal itu adalah satu dari enam sebab,”
Referensi nya.
(Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 292).
Secara lebih rinci Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi itu sebagai berikut:
Pertama, dalam sidang perkara di muka hakim. Seseorang boleh menceritakan penganiaya yang memperlakukannya secara zalim.
Kedua, dalam melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat kepolisian atau otoritas terkait dengan niat mengubah kemungkaran tersebut.
Ketiga, dalam meminta fatwa kepada seorang mufti. Seseorang boleh menceritakan masalahnya untuk memberikan gamabaran yang jelas bagi ulama yang mengeluarkan fatwa. Tetapi kalau penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, lebih baik tidak mengambil jalan ghibah.
Keempat, dalam mengingatkan publik agar terhindar dari kejahatan pihak baik personal maupun institusi. Hal ini dilakukan antara lain oleh para ahli hadits terhadap perawi-perawi bermasalah atau misalnya dalam konteks kekinian adalah travel umrah bermasalah.
Kelima, dalam kondisi di mana pihak-pihak tertentu melakukan kejahatan terang-terangan seperti meminum khamar, mengambil harta secara zalim, menarik upeti, mengambil kebijakan-kebijakan batil. Dalam kondisi ini, kita boleh mengghibahkan pihak tersebut sesuai dengan kejahatan yang diperlihatkannya. Tetapi kita haram menyebutkan aib lain pihak tersebut yang tidak dilakukan secara terang-terangan.
Keenam, menandai seseorang dengan kekurangan fisik atau gelar-gelar buruknya. Misalnya Abdullah. Orang bernama Abdullah tidak satu. Tetapi kita boleh menyebutnya tanpa maksud merendahkan, “Abdullah yang buta, Abdullah yang tuli, Abdullah yang bisu, dan lain sebagainya.” Baiknya sebutan itu didahului kata “maaf” untuk menghilangkan kesan merendahkan.
Demikian semoga menjadi sebuah pelajaran buat kita semua. Aamiin ya Rabbal Alamin
Post a Comment