*Hukum pindah, gonta ganti madzhab dan talfiq*
Fenomena perpindahan mazhab telah terjadi sejak generasi ulama terdahulu. Seperti Imam Abu Tsaur yang awalnya bermazhab Hanafi lalu menjadi murid Imam Syafii dan menyebarkan mazhabnya. Imam Thahawi semula bermazhab Syafii lalu pindah ke mazhab Hanafi. Dan Imam Ibnu Mulaqqin berpindah dari mazhab Maliki ke mazhab Syafii.
Berpindah mazhab, baik secara total maupun hanya dalam beberapa masalah, hukumnya boleh dengan dua syarat berikut:
1. Tidak menyengaja mencari pendapat yang paling ringan dari setiap mazhab dalam keadaan tidak mendesak
Syekh Zainuddin Al-Malibari, ulama mazhab Syafii, menyatakan bahwa orang awam wajib berpegang pada salah satu dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
Namun, ia masih boleh berpindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun dalam beberapa masalah, dengan syarat tidak mencari yang ringan-ringan saja secara sengaja. Jika ia melakukannya, maka ia termasuk golongan yang fasik.
Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, ulama terkemuka mazhab Hanbali, juga menuliskan:
وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَّبِعَ رُخَصَ الْمَذَاهِبِ وَأَخْذَ غَرَضِهِ مِنْ أَيِّ مَذْهَبٍ وَجَدَهُ فِيهِ، بَلْ عَلَيْهِ اتِّبَاعُ الْحَقِّ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ
Seseorang tidak boleh mencari-cari pendapat yang ringan dari beberapa mazhab, dan mengambil pendapat sesuai kehendaknya dari mazhab manapun itu. Namun, wajib baginya mengikuti pendapat yang benar sebisa mungkin.
Imam Syathibi, pakar ushul fikih dari mazhab Maliki, mengemukakan bahwa mengambil pendapat-pendapat yang ringan dari setiap mazhab adalah tindakan menuruti hawa nafsu.
Apabila keadaan mendesak atau seseorang membutuhkan pendapat yang ringan, maka ia boleh mengambil pendapat mazhab lain. Imam Taqiyuddin As-Subuki, ulama fikih terkemuka mazhab Syafii, mengungkapkan:
فَإِنَّهُ يَجُوْزُ التَّقْلِيْدُ لِلْجَاهِلِ وَالْأَخْذُ بِالرُّخْصَةِ مِنْ أَقْوَالِ الْعَلَمَاءِ بَعْضَ الْأَوْقَاتِ عِنْدَ مَسِيْسِ الْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ تَتَبُّعِ الرُّخَصِ. وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ يَصِحُّ أَنْ يُقَالَ الْإِخْتِلَافُ رَحْمَةٌ إِذِ الرُّخَصُ رَحْمَةٌ
Maka boleh taqlid bagi orang yang tidak tahu dan mengambil keringanan hukum dari pendapat-pendapat para ulama di sebagian waktu saat dibutuhkan, tanpa (menyengaja) mencari-cari pendapat yang ringan. Dari sini sah dikatakan bahwa perbedaan adalah rahmat, karena keringanan adalah rahmat.
2. Tidak menimbulkan talfiq (mencampurkan dua mazhab atau lebih dalam satu masalah)
Pengertian talfiq secara istilah menurut Ensiklopedia Fikih Kuwait adalah:
أَخْذُ صِحَّةِ الْفِعْل مِنْ مَذْهَبَيْنِ مَعًا بَعْدَ الْحُكْمِ بِبُطْلاَنِهِ عَلَى كُل وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمُفْرَدِهِ
Mengambil sahnya satu perbuatan dari dua mazhab secara bersamaan setelah perbuatan tersebut dihukumi batal menurut masing-masing mazhab.
Misalnya, seseorang berwudhu sesuai mazhab Syafii, tetapi ketika bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram ia menganggapnya tidak batal, karena menurut mazhab Maliki hal itu tidak membatalkan wudhu selama tidak disertai syahwat.
Hal seperti itu tidak diperbolehkan, karena ada perbedaan pendapat dalam rukun wudhu antara mazhab Syafii dan Maliki. Dalam mazhab Syafii, hanya diwajibkan mengusap sebagian kepala saja, sementara mazhab Maliki mewajibkan untuk mengusap seluruh kepala.
Jika seseorang berwudhu dengan mazhab Syafii dan bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram, maka wudhunya batal. Untuk memakai pendapat Maliki yang menghukumi bersentuhan kulit tidak batal, seseorang harus berwudhu dengan cara Maliki juga.
Ulama madzhab Syafi'i, imam Ibnu Hajar Al-Haitami, melarang seseorang untuk mencampurkan dua mazhab dalam masalah yang sudah tersusun dan terstruktur rangkaiannya menurut masing-masing mazhab. Demikian pula menurut ulama mazhab Hanafi, Syeikh ‘Alauddin Al-Hashkafi.
Agar tidak terjadi talfiq, maka seseorang harus mengikuti satu mazhab saja dalam setiap satu masalah atau ibadah. Misalnya, jika seorang bermazhab Syafii bermaksud berpindah ke mazhab Maliki saat wudhu, maka ia harus mengikuti mazhab Maliki dalam keseluruhan hukum wudhu, mulai syarat-syarat wudhu, rukun-rukunnya, sampai hal-hal yang membatalkannya.
Namun, ada beberapa ulama yang membolehkan talfiq, antara lain Imam Ibnu Al-Humam dari mazhab Hanafi, serta Imam Ibnu ‘Arafah dan Syeikh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki, dengan tiga syarat:
Pertama, tidak sengaja mencari keringan-keringanan hukum sebagaimana penjelasan di atas.
Kedua, tidak dilakukan untuk membatalkan vonis hakim.
Ketiga, tidak dilakukan karena menarik diri dari perbuatan yang sudah dilakukan atau dari sesuatu yang disepakati.
Kesimpulan
Berpindah mazhab adalah hal yang tidak dapat dihindari karena situasi yang berubah-ubah. Ulama sepakat membolehkan seseorang berpindah mazhab dengan dua syarat:
Pertama, tidak berpindah mazhab dengan tujuan mengambil pendapat yang ringan-ringan saja dalam keadaan tidak terdesak. Kedua, tidak talfiq atau menggabungkan dua mazhab atau lebih dalam satu perkara ibadah.
Jika seseorang pindah mazhab dan memenuhi dua syarat di atas, maka amalannya sah secara fikih.
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Post a Comment