1. Ketika terbit matahari sampai naik sekira-kira sama dengan ukuran tongkat atau tombak.
2. Ketika matahari berada tepat ditengah tengah langit sampai bergeser kecuali hari Jum’at.
3. Ketika matahari kemerah-merahan sampai tenggelam.
4. Sesudah shalat Shubuh sampai terbit matahari.
5. Sesudah shalat Ashar sampai matahari terbenam.
🌱 Larangan tersebut hukumnya berbeda-beda di beberapa kitab :
1. Haram
2. Makruh Tahrim
3. Makruh Tanzih
🌱 Sebab yang diperbolehkan yaitu :
1. Sebab yang mendahului, misal :
▫️Masuk Masjid melakukan sholat Tahiyatul Masjid.
▫️Setelah berwudhu melakukan sholat sunnah Wudhu.
▫️Sholat Istisqo' (minta hujan)
▫️Sholat sunnah Thowaf.
2. Sebab yang berbarengan, misal :
▫️Sholat Kusuf (gerhana matahari)
📚 Referensi :
1. Safinatun Najah, 41-42
2. Fiqhul Ibadat, 1/247
3. Kifayatul Akhyar, 127
4. Hasiyah AlBujairomy 'alal Khotib, 2/116
📚 سفينة النجاة، ٤١-٤٢
(فصل ) تحرم الصلاة التي ليس لها سبب متقدم ولا مقارن في خمسة أوقات : عند طلوع الشمس حتى ترتفع قدر رمح وعند الإستواء في غير يوم الجمعة حتى تزول ، وعند الإصفرار حتى تطلع الشمس وبعد صلاة العصر حتى تغرب .
📚 [درية العيطة، فقه العبادات على المذهب الشافعي، ٢٤٧/١]
فالأوقات المحرمة حرمة متعلقة بالفعل هي:
-1- بعد صلاة الصبح، ويستمر إلى أن تطلع الشمس، لحديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (لا صلاة بعد الصبح حتى ترتفع الشمس، ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس) (البخاري ج 1/ كتاب مواقيت الصلاة باب 30/561)
-2- بعد صلاة العصر حتى تغرب الشمس، ولو صلاها مجموعة مع الظهر جمع تقديم للحديث السابق.
وأما الأوقات المحرمة حرمة متعلقة بالزمن فهي:
-1- عند طلوع الشمس: وتبدأ الحرمة من بدء طلوع الشمس إلى أن تتكامل وترتفع في السماء قدر رمح (سبعة أذرع من ذراع الآدمي. لحديث ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (إذا طلع حاجب الشمس فأخروا الصلاة حتى ترتفع، وإذا غاب حاجب الشمس فأخروا الصلاة حتى تغيب) (البخاري ج 1/ كتاب مواقيت الصلاة باب 29/558)
-2- عند استواء الشمس، وتستمر الحرمة حتى تزول الشمس من وسط السماء إلى جهة المغرب، ويستثنى من ذلك يوم الجمعة فلا تحرم الصلاة فيه وقت الاستواء سواء كان حاضراً الجمعة أم لا، لما روي عن أبي قتادة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم " أنه كره الصلاة نصف النهار إلا يوم الجمعة، وقال: (إن جهنم تُسجّر إلا يوم الجمعة) " (أبو داود ج 1/ كتاب الصلاة باب 223/1083)
-3- عند الغروب: تبدأ الحرمة باصفرار الشمس (وإن لم يصل العصر بعد) حتى تكامل غروبها بدليل حديث ابن عمر رضي الله عنهما المتقدم: (وإذا غاب حاجب الشمس فأخروا الصلاة حتى تغيب)
📚 [تقي الدين الحصني ,كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار ,page 127]
(ثَلَاث سَاعَات كَانَ ينهانا رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَن نصلي فِيهِنَّ أَو نقبر فِيهِنَّ أمواتنا حِين تطلع الشَّمْس بازغة حَتَّى ترْتَفع وَحين يقوم قَائِم الظهيرة حَتَّى تميل الشَّمْس وَحين تضيف الشَّمْس للغروب)
[تقي الدين الحصني ,كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار ,page 127]
وَأما الوقتان الْآخرَانِ فيتعلقان بِالْفِعْلِ بِأَن يُصَلِّي الصُّبْح أَو الْعَصْر فَإِذا قدم الصُّبْح أَو الْعَصْر طَال وَقت الْكَرَاهَة وَإِذا أخر قصر وَحجَّة ذَلِك مَا ورد عَن أبي هُرَيْرَة رَضِي الله عَنهُ أَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم
Ketentuan yang masyhur dalam mazhab Syafi’i tentang air yang terkena najis adalah: jika volume air sudah sampai dua qullah (216 liter atau kubus dengan panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 60 cm) maka air tidak dihukumi najis kecuali warna air berubah (taghayyur); sedangkan jika volume air tidak sampai dua qullah maka seluruh air secara langsung menjadi najis ketika bersentuhan dengan benda yang najis. Namun menurut pendapat lain—seperti dalam mazhab Maliki misalnya—air tidak dihukumi najis kecuali dengan berubahnya warna air, baik volume air sampai dua qullah ataupun kurang dari dua qullah. Sedangkan cara menyucikan benda yang terkena najis (mutanajjis) dengan air yang kurang dari dua qullah adalah dengan cara menghilangkan wujud najis yang ada dalam benda tersebut terlebih dahulu, lalu mengalirkan air (warid) pada benda yang terkena najis yang telah dihilangkan najisnya. Mengalirkan air pada benda yang terkena najis merupakan syarat agar suatu benda dapat menjadi suci, sebab jika air tidak dialirkan, tapi benda yang terkena najis ditaruh pada air yang kurang dari dua qullah, maka air tersebut justru akan ikut menjadi najis. Pendapat demikian merupakan pendapat mayoritas ulama Syaf’iyyah. Kewajiban mengalirkan air itu dikarenakan mengalirkan air adalah cara yang paling kuat dalam menyucikan benda yang terkena najis. Namun dalam hal ini, Imam al-Ghazali berbeda pandangan. Beliau berpendapat bahwa mengalirkan air bukanlah syarat dalam menyucikan benda yang terkena najis. Sebab, menurut beliau, tidak ada bedanya antara mengalirkan air pada benda yang terkena najis (warid) dan menaruh benda tersebut pada air (maurud). Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Suraij. Ketika ketentuan-ketentuan di atas kita terapkan dalam konteks menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, maka cara yang paling baik dan disepakati oleh para ulama adalah dengan cara menghilangkan wujud najis (‘ain an-najasah) terlebih dahulu sebelum memasukkan pakaian ke dalam mesin. Menghilangkan najis ini bisa dengan cara menggosok-gosok pakaian agar wujud najis hilang, atau langsung dengan cara menyiram pakaian (baik itu secara manual, atau langsung dengan cara dimasukkan pada mesin cuci) ketika memang diyakini najis yang melekat akan hilang dengan siraman air tersebut. Sehingga ketika wujud najis telah hilang, maka status pakaian menjadi najis hukmiyyah (najis secara hukum, meski wujud tak terlihat) yang dapat suci cukup dengan disiram air. Berbeda halnya pada pakaian yang tidak terdapat bekas najis, atau tidak tampak warna, bau dan ciri khas lain dari najis, maka tidak perlu dilakukan hal di atas, sebab pakaian tersebut sudah dapat suci cukup dengan disiram.
والغسالات نوعان: نوع يسمونه أوتوماتيكي يرد إليها الماء ثم ينصرف فيرد ماء جديد ثم يتكرر إيراد الماء عدة مرات فهذا لاخلاف فيه في طهارة الملابس. والنوع الثاني من الغسالات عادي وتلك يوضع الماء فيها وهو دون القلتين وتغسل به الملابس الطاهرة والنجسة ثم يصرفونه فيبقى شيء منه في الغسالة والثياب مبللة منه فيصبّون عليه ماء آخر فوق الباقي المتنجس ثم يكتفون بالغسلتين
“Mesin cuci terbagi menjadi dua. Pertama, mesin cuci yang otomatis, yaitu air dialirkan pada mesin cuci lalu di alirkan keluar dari mesin cuci, setelah itu dialirkan kembali air baru dan dialirkan keluar, begitu juga seterusnya. Maka dalam mesin cuci jenis demikian tidak ada perbedaan pendapat antar ulama dalam sucinya pakaian yang di cuci pada mesin cuci jenis ini.
Kedua, mesin cuci biasa, yaitu air yang kurang dari dua qullah ditaruh di dalam mesin cuci, yang nantinya air tersebut digunakan untuk membasuh pakaian yang suci dan najis, lalu air tersebut dialirkan keluar, meski masih terdapat sebagian air yang menetap pada mesin cuci, sedangkan pakaian yang terdapat dalam cucian berada dalam keadaan basah, kemudian dialirkan air lain di atas sisa air yang terkena najis (di pakaian) tadi dan basuhan air dalam mesin cuci ini dicukupkan dengan dua kali basuhan oleh sebagian ulama.”
فهؤلاء يحملهم قول الذين لايشترطون ورودالماء مع القول في مذهب مالك. وهناك قول آخر نقله ابن حجر في التحفة يحملهم وإن قرر على أن الماء القليل ينجس بمجرد وقوع النجاسة فيه لكن نقل القول الآخر وهو أنه لاينجس إلا بالتغير وهو مذهب مالك وعندنا أنه ينجس بملاقته النجاسة والقول الذي يقول لاينجس الماء إلا بالتغير
“Para ulama ini mengarahkan kasus demikian pada pendapat para ulama yang tidak mensyaratkan mengalirnya air pada pakaian serta berpijak pada pendapat mazhab imam malik. Sebab dalam permasalahan membasuh benda yang terkena najis ini terdapat pendapat lain yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, meskipun Imam Ibnu Hajar menetapkan bahwa air yang sedikit (kurang dari dua qullah) akan menjadi najis dengan hanya jatuhnya najis pada air tersebut, tetapi ia menukil pendapat lain yaitu Air tidak menjadi najis kecuali dengan berubahnya (warna) air.” (Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, Hal. 98-99)
Namun patut dipahami bahwa ketentuan yang dijelaskan tentang menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, seperti yang dijelaskan di muka, adalah ketika pakaian yang dimasukkan dalam mesin cuci belum dicampuri dengan detergen. Sedangkan ketika pakaian sudah dicampuri dengan detergen sebelum dialiri air dalam mesin cuci, maka air yang bercampur dengan detergen ini tidak dapat menyucikan pakaian yang terkena najis secara mutlak, sebab air ini tergolong air yang mukhalith (bercampur dengan sesuatu lain) yang tidak dapat menyucikan benda yang terkena najis, sebab hanya air murni (ma’ al-muthlaq) yang dapat menyucikan sesuatu yang terkena najis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci biasa (‘adi) adalah hal yang dapat dilakukan menurut para ulama yang berpandangan bahwa air yang kurang dari dua qullah dapat menyucikan benda yang najis tanpa perlu dialiri air dari atas (warid). Namun dengan batasan selama pakaian dalam mesin cuci tidak terlebih dahulu dicampur dengan detergen. Barulah setelah pakaian dialiri air maka tempat penampungan pakaian dalam mesin cuci diganti air yang baru dan diberi detergen.
Meski cara yang umum dilakukan masyarakat dapat dibenarkan dengan cara di atas, *namun alangkah baiknya dalam rangka mengambil jalan kehati-hatian dalam mengamalkan syariat, seseorang hendaknya membasuh secara manual terlebih dahulu pada pakaian yang terkena najis dengan air murni, lalu setelah itu pakaian yang telah dibasuh dicuci dalam mesin cuci, sebab cara demikianlah yang dibenarkan oleh mayoritas ulama.* Wallahu a’lam.
Pertanyaannya adalah, apakah pria memanjangkan rambut termasuk sunnah?
Menyikapi persoalan ini, Syekh Ali Jumah menyatakan bahwa pria yang memanjangkan rambut bukanlah termasuk sunnah yang berpahala bagi seorang Muslim. Sebab Nabi Muhammad pernah memendekkan dan memanjangkan rambutnya.
Baca Juga:
Ingin Rambut Terlihat Keren? Ingat Pesan Rasulullah, Bro
Dalam Hasyiyah Jamal juz 1/475:
وإذا قلنا إنها للإباحة وكان شُهْرَة في زمان أو مكان فإنه لا يجوز، فتجد أن بعض الناس يطيل الشعر، ويعقد شعره، ويجعل له ضفائر، وربما جعله على كتفيه ثم يقول: هذه سنة النبي صلى الله عليه وسلم
Artinya: Jika dikatakan bahwa rambut gondrong bagi laki-laki itu mubah dan perkara mubah itu menyebabkan seseorang itu terkenal di suatu tempat atau masa, maka hukum mubah ini berubah menjadi terlarang. Sebab terdapat sejumlah kasus sebagian laki-laki memanjangkan rambutnya dan mengucirnya lalu beralasan “Ini adalah sunnah Nabi”.
والجواب أن هذه ليست سنة بالمعنى الأصولي والمصطلح الفقهي عند الفقهاء، فهي سنة أي طريقة صحيحة
Baca Juga:
Belasan Santri di Nganjuk Ikuti Pelatihan Potong Rambut, Ini Harapannya
Untuk merespon hal tersebut jawabannya adalah: lelaki berambut gondrong bukanlah sunnah Nabi dalam pengertian fikih (sesuatu yang berpahala jika dilakukan), tapi sunnah yang dimaksud adalah Nabi pernah melakukannya.
ولكن قال العلماء: الفعل المحض الذي لم يقترن به أمر منه صلى الله عليه وسلم فإنه لا يُعتبر له حكم الاستحباب فضلاً عن الوجوب، ولهذا نقول: إنه مباح
Namun para ulama mengatakan, perbuatan Nabi yang mahdhoh (bukan ibadah) yang tidak diiringi perintah dari Nabi, maka perbuatan Nabi tersebut tidak menghasilkan hukum anjuran (sunnah), apalagi hukum wajib. Oleh karena itu kami katakan bahwa hukum gondrong untuk laki-laki adalah mubah.
Tentu semua itu harus dilandaskan pada aturan umum seperti kewajiban untuk menutupi aurat, larangan meniru orang fasik, larangan laki-laki meniru perempuan dan sebaliknya, larangan sombong, dan pemborosan. Boros karena memang perawatan rambut memerlukan biaya.
Walhasil, memanjangkan rambut bagi pria bukanlah kesunnahan yang kemudian mendapatkan pahala, sebab Nabi Muhammad tidak selalu berambut panjang. Terlebih bila pria berambut panjang ingin mencari popularitas, sombong, menyerupai wanita, maka itu dilarang.
وَأَن يكون مَا أَتَى بِهِ يُسمى قُرْآنًا إِلَّا إِذا نوى الْقِرَاءَة وَشرع فِيهَا فَإِنَّهُ يَأْثَم بالحرف الْوَاحِد كَمَا تقدم
نهاية الزين
[10/7 21.47] +62 858-7500-5185:
Potongan kata-kata itu adalah bahasa Arab dan bukan bagian dari ayat al-Quran. Meskipun ia diambil dari ayat al-Quran. baru dikatakan ayat al-Quran manakala potongannya sempurna. oleh karena ia sekadar bahasa arab biasa, maka tidak ada larangan sama sekali bagi orang yang sedang haid untuk membacanya.
Jika potongan ayatnya lengkap, maka ia dianggap ayat al-Quran. Menurut madzhab Syafii dilarang. Hanya saja, jika sedang dalam proses belajar untuk mengaji, menurut madzhab Maliki dibolehkan.
Wallahu a’lam
[10/7 21.48] +62 813-2111-7052: Kalau tafsir nya lebih banyak daripada kalimat alqur,an nya boleh
kalau tidak, tidak
Kalau tetjamah kaya nya tidak lebih banyak daripada alqur,an nya kaya nya
[10/7 21.55] Hasanul Admin 4 Anwar: Kalau terjemahan yg ada di pinggir Al-Quran seperti yg ada sekarang itu tidak di hitung tafsir, itu tetap dinamakan Al-Qur'an,
أما تَرْجَمَة الْمُصحف الْمَكْتُوبَة تَحت سطوره فَلَا تُعْطِي حكم التَّفْسِير بل تبقى للمصحف حُرْمَة مَسّه وَحمله كَمَا أفتى بِهِ السَّيِّد أَحْمد دحلان حَتَّى قَالَ بَعضهم إِن كِتَابَة تَرْجَمَة الْمُصحف حرَام مُطلقًا سَوَاء كَانَت تَحْتَهُ أم لَا فَحِينَئِذٍ يَنْبَغِي أَن يكْتب بعد الْمُصحف تَفْسِيره بِالْعَرَبِيَّةِ ثمَّ يكْتب تَرْجَمَة ذَلِك التَّفْسِير
Ketika sholat Ied(Idul Fitri/Idul Adha)ketika kita sedang melaksanakan sholat Idul fitri/idul adha. Nah ketika rokaat kedua imam lupa harusnya masih takbir tapi dia baca basmalah. Ketika dia sadar langsung takbir lagi smpai slasai 5x.
*Pertanyaan*
Apakah sholat ny sah atau tidak
*Jawaban*
Sah dan tidak sampai membatalkan, namun wajib mengulangi bacaan surat Al Fatihah nya dari awal.
*Referensi*
📑 [الأنصاري، زكريا ,أسنى المطالب في شرح روض الطالب ,1/280]
شروط الفاتحة عشرة ، بل أكثر : الأول : الترتيب ، بأن يأتي بها على نظمها المعروف . والثاني : الموالاة ، بأن لا يأتي بفاصل ، فإن تخلل ذكر أجنبي غير متعلق بالصلاة ، ولو قليلا ، كحمد عاطس ، وإن من خارجها ، وكإجابة المؤذن قطع الموالاة ، فيعيد القراءة ، ولا تبطل صلاته ؛
📑 [البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,1/302]
وإن كانت الفاتحة فاتت لفوات محلها فلا يسن العود إليها، فإن عاد إليها قبل الركوع عامدا عالما لا تبطل صلاته، أو بعد الركوع بأن ارتفع ليأتي بها بطلت صلاته.
(قوله: ولا يتدارك في الثانية) الفعل مبني للمجهول، ونائب فاعله ضمير يعود على التكبير، أي لا يؤتي به مع تكبيرات الركعة الثانية.
Azay Nipira itu saya sebuah nama untuk dalam bermedia saja. Adalah terlahir dari seorang ibu yang cantik, baik, sholehah berdarah Sunda. Tentu saya adalah seorang manusia makhluk biasa yang senantiasa berdoa dan berusaha untuk terus berupaya dan untuk terus berdaya sekemampuan berbuat kebaikan untuk ibu, saudara saudari, seggenap keluarga, masyarakat, bangsa, negara sebagai perintah agama Islam yang saya yakini kebenarannya. Dengan tetap saling menghormati, menghargai, serta menjungjung tinggi siapapun orang untuk tetap saling mengenal satu sama yang lainnya. Ucapan terimakasih kepada siapapun yang telah memberikan ilmu ilmu kepada sayadan menjadi guruku, namun mohon ma'af saya tidak bisa membalasnya hanya saya selalu berdo'a untuk semua yang menjadi guruku dengan mendo'akan agar menjadi nilai tambah baginya sehingga mendapatkan balasan yang setimpal sepadan dari Allah SWT sebaik baiknya Dzat pemberi balasan kebaikan. Aamii..n. yaa..Rabbal Aalamiin....