BREAKING NEWS

Watsapp

Monday, February 14, 2022

SYARI'AH, THARIQAH DAN HAQIQAH

 


 Antara Syari’ah, Thariqah, dan Haqiqah dalam Bertasawuf

Dalam literatur ilmu tasawuf, tentu ketiga istilah ini bukan hal yang asing, karena ketiganya merupakan unsur bertasawuf sebagai satu kesatuan dari aspek sumber, pelaksanaan dan hasil yang hendak dicapai. Syari’ah sebagai sumber, thariqah sebagai pelaksanaan, dan haqiqah sebagai tujuan yang hendak dicapai. Bila diibaratkan, syari’ah itu ibarat lautan, thariqah ibarat kapal selam, dan haqiqah ibarat mutiara di dasar lautan. Hubungan ketiganya diibaratkan pula oleh Ibnu Taimiyah ibarat hubungan antara perahu, sungai yang dilaluinya, dan tujuan yang hendak dicapai. Syariah perahunya, thariqah sungainya dan haqiqah tujuannya. (Ibnu Taimiyah, Al-Furqân Baina Auliyâ ar-Rahmân Wa Auliya as-Syaithân, (Riyad: Dar al-Fadilah, tt), hlm. 182.)


Syari’ah secara istilah:
Syari’ah secara istilah, dipahami oleh para ulama sama dengan aturan agama Islam atau segala ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mana’ Khalil al-Qaththan misalnya, mendefinisikan syari’ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak, muamalat, dan tata kehidupan lainnya dengan berbagai cabangnya guna merealisasikan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.[1]Syari’ah sebagai peraturan agama ini dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai berukut:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
Kemudian kami jadikan kamu (Muhammad) mengikuti syari’ah (peraturan dari agama itu)maka ikutilah syari’ah itu dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Jâtsiyah: 18)
[1] Mana’ Khalil Qattan, Târikh Tasyrî’ al-Islâmi, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif 1996), hlm. 13.

Sunday, February 13, 2022

ULANGAN HARIAN KELAS IX (BAB AQIQAH, QURBAN DAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN)

Saturday, February 12, 2022

MENGENAL NABI KHIDIR AS (3)

 


Mengenal Nabi Khidir AS (3)

Setelah Nabi Musa As bertemu dengan Khidir, terjadilah perbincangan antara keduanya, yang membuat banyak ulama mengernyitkan dahi. Perbincangan ini secara jelas menggambarkan jarak kedudukan antara kedua hamba yang agung ini. Bagaimanapun Musa As adalah nabi yang masuk dalam kategori Ulul Azmi, dia dikaruniai mukjizat yang banyak, Allah SWT berbicara langsung padanya dan Taurat datang padanya tanpa perantara. Tapi kali ini dia begitu merendah di hadapan hamba yang Allah muliakan ini. Beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Musa benar-benar menghadirkan dirinya sebagai murid yang penuh kerendahan hati, dan Khidir menampilkan ketegasan yang penuh wibawa.

“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ (QS. al-Kahfi: 66-68)

Jawaban Khidir kepada Musa menghubungkan antara kesabaran dengan pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat relevan. Sebab orang memang sering tidak bersabar atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Ali bin Abi Thalib ra, pernah berkata: “Manusia adalah musuh apa yang tidak diketahuinya”.

 Tapi mendengar jawaban Khidir, Musa justru menegaskan niatnya untuk bersabar dan tidak akan menentang Khidir dalam suatu urusan apapun. Mendengar jawaban Musa, akhirnya Khidir memberikan syarat, agar Musa jangan menanyakan apapun sampai nanti Khidir sendiri yang akan menerangkan semua tindakannya pada Musa.[2] Setelah mengikat perjanjian, keduanya akhirnya berjalan. Al Quran menceritakan kisah perjalanan dua manusia agung ini dalam surat al-Kahfi: 71-82 sebagai berikut:

“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’

Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’

Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’

Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’

Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’

Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’

Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'”

Dari perspektif orang awam, kita setidaknya bisa menginsyafi, bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu, termasuk setiap kejadian dan rangkaian peristiwa yang kita lalui setiap saat. Tidak ada sesuatupun yang mewujud tanpa diliputi oleh Rahmat Allah, termasuk masa lalu, kini dan masa depan. Semua terangkai indah dalam naungan rahmatnya.

Dari tinjauan yang lebih dalam, kita bisa menilai bahwa ayat-ayat di atas mengisahkan perbedaan sudut pandang Nabi Khidir yang telah disingkapkan padanya alam gaib dan Nabi Musa yang hanya melihat secara indrawi. Kisah ini secara sederhana ingin mengemukakan sedikitnya tiga hal: pertama, alam eksistensi terdiri dari aspek yang tampak (syahadah) dan aspek yang tak tampak (ghaib); kedua, dua aspek ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi; ketiga, pengetahuan seseorang tentang aspek gaib pasti akan mempengaruhinya di alam nyata. Oleh sebab itu, makin luas ilmu gaib yang diberikan Allah pada seseorang, makin berbeda pula perilaku orang itu di alam indrawi.

Bagaimanapun, semua uraian di atas hanyalah salah satu kemungkinan hikmah yang bisa dipetik dari kisah luar biasa ini. Karena hakikatnya, kisah di dalam Al Quran pastilah memiliki hikmah yang jauh lebih luas dan dalam. Siapapun pasti akan kelelahan menyelami hakikat setiap huruf, kata, dan kisah yang tertuang di dalamnya. Demikian juga dengan kisah perjalanan Khidir dan Musa. Meski begitu, di kalangan umat Islam, kisah ini demikian masyhur dan dituturkan mulia dari sekolah dasar hingga kalangan mufasir kawakan.

Setiap orang, mulai dari yang paling awam hingga ulama dapat meraup hikmah dari kisah perjalanan Khidir dan Musa. Meskipun kisah ini sebenarnya dilingkupi berbagai kesamaran. Dalam kisah ini tidak ada nama tempat yang jelas. Tidak ada waktu yang menunjukkan kapan dan berapa lama proses belajar itu terjadi. Bahkan tokoh utama dalam cerita ini pun tidak jelas sosoknya, usianya, perawakannya, bahkan namanya. Setiap mufasir sudah berusaha  secara optimal untuk menjelaskannya. Namun kisah ini masih tetap memeram misteri dan kedalaman hikmah yang tinggi. Sebagaimana Musa Kazhim & Alfian Hamzah sampaikan dalam bukunya, “Pada akhirnya Khidir tetaplah kekayaan Tuhan yang tersimpan rapat. Orang tidak pernah tau di mana dia sekarang ini, dimana rumahnya, dan seperti apa kehidupannya. Orang bahkan hanya mengenalnya dengan warna. Ya, warna. Khidir, dalam bahasa Arab, merujuk hijau, warna kehidupan.”


Selesai

MENGENAL NABI KHIDIR AS (2)

 *Mengenal Nabi Khidir AS (2)*

Untuk memulai tulisan ini, kami ingin mengutip pemaparan yang sangat apik tentang jejak ruhani Nabi Khidir, yang ditulis oleh Musa Kazhim & Alfian Hamzah dalam buku _“Menyerap Energi Ketuhanan”_, halaman 2-4. Berikut  tulisnya:

(Terlahir sebagai seorang pangeran, Khidir sebenarnya sudah mendapatkan semua kemewahan dunia yang diinginkannya). Tapi keinginan Khidir bukan itu. Dia ingin sesuatu yang sempurna, yang abadi, yang bisa menjawab segala ketidakpuasan sekali untuk selamanya. Tapi, dia juga sadar bahwa dunia ini terlalu licin untuk keinginan besarnya itu. Toh singgasana bisa lapuk, kekayaan bisa hangus, kecantikan bisa memudar, hasrat bisa surut, umur lebih-lebih. Tapi jiwanya sudah terlanjur gelisah. Pasti ada sesuatu seperti yang dia inginkan itu. Pasti ada dan dia harus menemukannya sebelum usianya habis._

Dia kemudian meneruskan pencariannya. Dia mencari dan terus mencari. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah titik; dia menemukan Tuhan. Awalnya dia hanya melihat kehadiran Tuhan pada hal-hal yang tampak besar di mata; pada awan yang berarak, di langit yang tak bertiang, pada bumi yang membentang, pada sungai yang berkelok, pada burung yang melayang, pada manusia yang beragam. Dia terpukau dan mulai menenggelamkan dirinya dalam kebaktian. Ini wujud syukurnya._

Dari situ, ia mulia merasakan kejernihan hati dan pikiran; merasa mulai terhubung langsung dengan Tuhan Yang Tinggi. Dia juga senang bisa menyadari betapa kasih sayang dan perhatian Tuhan terus menyokong kehidupannya, membuatnya bisa hadir dan menikmati segala yang ada di dunia ini – dari sebelumnya tak pernah ada sama sekali. Dia lalu semakin tenggelam dalam peribadatan. Syukurnya menjadi tak putus-putus._

Hingga suatu ketika. Dia tiba-tiba merasa seperti orang yang sedang digulung tsunami kesadaran baru. Dia mendadak bisa merasakan bahwa dunia yang sedang dia pijak, dunia yang berputar, dunia tempat miliaran orang bergerak kesana kemari, dunia yang menampung segala keragaman dan tingkah penghuninya, hanyalah sebuah mimpi! Ya, mimpi, ilusi. Semua ini di matanya hanyalah mimpi. Mimpi yang terlihat “nyata” pada mereka yang nuraninya tertidur pulas._

_Kini, dalam kesadaran barunya itu, yang dia saksikan hanyalah Tuhan. Dia bisa melihat Tuhan hadir di segala penjuru; di tikungan jalan, di tembok yang tegak, pada laut yang bergerak, pada tubuhnya sendiri. Dia bisa merasakan Tuhan hadir di kedua matanya, dalam desah nafasnya, pada lengkung alisnya, pada pori-pori wajahnya, dalam detak jantungnya, dalam denyut nadinya…, ‘bahkan lebih dekat lagi’._

Dia terpesona dengan semua itu sebelum akhirnya menyadari betapa dia tidak bisa lagi mengenali dirinya. Dia bahkan tak mampu berkata-kata lagi. Dia bisu layaknya buih yang pingsan dalam dekapan samudera. Tapi dalam kesadarannya yang baru itu dan perasaan dekat dan akrab kepada Tuhan yang menyertainya – dia masih goyah seperti nyiur di tepi pantai. Dia belum mampu mengendalikan kesadaran barunya itu sepenuhnya. Dia belum bisa berlama-lama dalam kemesraan dengan Tuhan._

Belakangan, dia menyadari kalau ternyata dunia dan alam kesadaran baru yang hadir dalam jiwanya adalah perempuan yang dimadu. Perhatian kepada yang satu menimbulkan iri kepada yang lain. Dia harus memilih. Dan pilihannya jatuh pada yang terakhir; dia ingin sebuah kemesraan abadi dengan Tuhan Yang Kuasa, apapun ongkosnya. Dia ingin tak ada lagi mendengar kata perpisahan. Dia mendambakan kebaktian abadi. Tuhan Yang Kaya rupanya menjawab semua keinginannya. Zat Agung menarik jiwanya ke Kerajaan-Nya, mendudukkannya di dekat Singgasana sebelum akhirnya mengambil alih seluruh dirinya dan menjadikannya “Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Jalannya kini sudah terbuka lebar. Ilmu langsung dari Tuhan membuat dia bisa menahan kematian tak kunjung bisa mendekatinya, hingga hari ini. Ilmu juga yang membuat dia bisa membawa nafas kehidupan kemanapun kakimu melangkah, hingga detik ini._

Pada akhirnya, ilmu yang dimiliki Khidir-lah inti dari semua cerita yang diurai oleh Al Quran tentang dirinya. Allah SWT mengurai kisah tentang hamba yang istimewa ini cukup panjang dalam surat Al Kahfi dari ayat 60 hingga ayat 82. Tidak tanggung-tanggung, sosok yang datang untuk berguru padanya adalah salah seorang nabi yang berkualifikasi _ ulul Azmi _.

Kisah ini dimulai dengan komitmen Nabi Musa As untuk mencari sosok ‘abid yang Allah SWT perintahkan Musa As untuk menemuinya. _“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” *(QS. al-Kahfi: 60)*_

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, asal mula munculnya komitmen ini yaitu ketika Nabi Musa As ditanya oleh kaumnya tentang, ‘siapakah orang yang paling alim? Ia menjawab, ‘aku’, maka Allah SWT menegurnya karena tidak memiliki ilmu tentang itu. Kemudian Allah SWT mewahyukan pada Musa As agar berguru kepada seorang ‘abid yang tinggal di pertemuan dua laut (majma’ al-Bahrain). Tentang siapa nama hamba yang dimaksud dan dimana persisnya laut itu berada, tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al Quran. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu terletak di wilayah Suriah dan Palestina, ada juga yang mengatakan tempat tersebut di wilayah dekat Azerbaijan, dan ada juga yang mengatakan tempat tersebut adalah wilayah Toraja di ujung Maroko.

Selain tempat, Allah SWT juga memberikan tanda lain bagi Musa As tentang tempat tersebut, yaitu apabila ikan yang dibawanya menjadi hidup dan melompat ke laut. Terkait dengan tanda yang kedua ini, beberapa riwayat ada yang mengatakan bahwa pertemuan dua laut yang dimaksud adalah sumber air kehidupan (ma’ al-hayah), sehingga orang yang meneguknya akan kekal abadi dan bangkai yang berada di sekitarnya akan hidup kembali.

Al Quran menceritakan bahwa ketika tanda itu sudah muncul, murid Nabi Musa As tidak menyadarinya. Ia baru menyadari ketika Nabi Musa bertanya padanya tentang makanan yang dibawanya. Muridnya lalu menceritakan peristiwa luar biasa yang disaksikannya, dimana ikan yang dibawanya tiba-tiba melompat keluar dan berenang ke laut. Mendengar ini, Nabi Musa gembira karena sudah sampai pada tujuannya. Akhirnya mereka kembali menyusuri jejak yang mereka lalui sebelumnya, hingga akhirnya sampai ke tempat yang di maksud. Di sanalah kemudian ia bertemu dengan Khidir.

Allah SWT berfirman:

_“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan kita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari’; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” *(QS. al-Kahfi: 61-65)*_

Bersambung…_

*Mengenal Nabi Khidir AS (3)*


MENGENAL NABI KHIDIR AS (1)

 *Mengenal Nabi Khidir AS (1)*


Namanya sangat masyhur, meski sosoknya demikian misterius. Bahkan namanya-pun bukan nama sebenarnya. Orang-orang hanya mengenalnya dengan sebutan Khidir, yang artinya hijau. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa hijau adalah simbol keberkahan.

Di dalam Al Quran, ada beberapa sosok agung dalam sejarah yang tidak disebutkan namanya. Tapi lakon hidup yang mereka mainkan demikian penting, hingga Allah SWT mengabadikan kisah-kisah mereka dalam Al Quran. Seperti dalam *Surat Yasin ayat 20_*, Allah SWT berfirman: “Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, ‘Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu’.”_

Selain itu, ada juga kisah tentang Ashabul Kahfi yang kisahnya demikian masyhur. Allah SWT berfirman, “Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?’ Lalu Allah mematikan (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah SWT) bertanya, ‘Berapa lama engkau tinggal (di sini)?’ dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari’. Allah berfirman. ‘Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging. ‘Maka ketika telah nyata baginya, ia pun berkata, ‘saya mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’.”_ *_(QS. Al Baqarah: 259)_*

Tapi dari sejumlah tokoh besar yang diceritakan Al Quran, kisah soal Nabi Musa As yang berguru pada Khidir adalah yang paling banyak menyita perhatian para mufassir dan kaum Muslimin umumnya. Bagaimana tidak, Allah SWT menyebutnya sebagai, _“…Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” *(QS. al-Kahfi: 65)*_

Menariknya lagi, sosok yang dikenal sebagai Khidir ini ternyata memiliki ilmu lebih tinggi daripada Nabi Musa As. Allah SWT berfirman: _“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'”_ *_(QS. al-Kahfi: 66-70)_*

Ada beberapa perbedaan pendapat terkait kedudukan Khidir. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang wali, ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah seorang Nabi. Tapi yang banyak disepakati oleh para mufassir bahwa Khidir adalah seorang Nabi. Salah satu yang menguatkan hal itu adalah ucapan Khidir kepada Musa As di akhir perjalanan mereka, Khidir berkata kepada Musa, _“Dan bukanlah aku melakukan (semua perbuatan itu) menurut kemauanku sendiri..” *(QS. al-Kahfi: 82)*_

Musa Kazhim, mengutip dari tafsir Al Mizan karya Allamah Husein Thabathaba’I menyatakan, salah satu tanda kenabian atau mukjizat Khidir ialah setiap kali ia duduk di atas kayu ataupun tanah gersang, maka berubahlah tempat yang didudukinya menjadi hijau royo-royo. Itulah alasan mengapa dia dipanggil dengan sebutan Khidir atau _“Yang Hijau”._

Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Dur al-Mantsur menukil hadits yang *diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sebagai berikut:_* _“Sesungguhnya Khidir disebut Khidir lantaran setiap dia shalat di atas hamparan kulit putih, maka hamparan itu tiba-tiba berubah menjadi hijau.”_

Menurut berbagai riwayat, nama Nabi Khidir yang sebenarnya adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfakhsyad bin Sam (atau Shem) bin Nuh. Dia laki-laki yang lahir dengan sendok perak di mulutnya. Seorang anak raja pada zaman kenabian Zulkarnain As.

Dalam banyak kisah yang dituturkan mengenai dirinya di berbagai belahan dunia, Khidir merupakan superhero dalam sosok yang hanya bisa dinikmati manusia sekarang lewat film-film fiksi di layar kaca. Dia bisa melipat ruang dan waktu, bebas melakukan segala hal yang dia inginkan. Sejarah rekam sisi lain kehidupannya. Dia dikenal sebagai nabi yang diutus untuk menguji nabi sejawatnya. Di pernah menguji Zulkarnain. Dia juga pernah mengetes kesabaran Musa. Muslimin di seluruh dunia mafhum adanya soal kisah-kisah ini. Di banyak sekolah dasar, guru-guru agama umumnya mengajarkan betapa akhirnya Musa harus mengakui Khidir hanya bertindak sesuai keinginan Tuhannya sekalipun itu tak sejalan dengan pandangan banyak orang. Tapi bahkan setelah semua itu, Khidir tetaplah kekayaan Tuhan yang tersimpan rapat. Orang tidak pernah tau di mana dia sekarang ini, dimana rumahnya, dan seperti apa kehidupannya. Orang bahkan hanya mengenalnya dengan warna. Ya, warna. Khidir, dalam Bahasa Arab, merujuk hijau, warna kehidupan.




Bersambung…_



*Mengenal Nabi Khidir AS (2)*

Saturday, February 5, 2022

PERINTAH BERHAJI QS ALI IMRAN AYAT 97

 


Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh 😊🙏

Bismillahirrahmanirrahim

💐💐💐

TAFSIR AYAT:

PERINTAH BERHAJI

QS ALI IMRAN AYAT 97

💐💐💐

Pada dasarnya, Haji merupakan rukun islam yang ke lima dan hukumnya sangat wajib untuk di laksanakan bagi semua umat muslim, setidaknya di lakukan sekali dalam seumur hidup. Menunaikan ibadah haji wajib untuk orang muslim yang sudah dewasa, baik dengan secara fisik dan finansial, sehingga dapat menjalankan ibadah haji dengan lancar. Sebab dalam menjalankan ibadah haji sangat membutuhkan fisik yang kuat karena harus berjalan ke berbagai tempat dan juga sangat membutuhkan bekal yang banyak.

Adapun beberapa hikmah atau manfaat ibadah haji yang perlu di ketahui, yaitu ;

1. Meningkatkan rasa syukur kepada Allah

2. Menunaikan kewajiban bagi seorang muslim yang mampu

3. Jamaah haji akan mengalami perubahan yang membuatnya jauh lebih baik

4. Hati menjadi tenang dan semakin mendekatkan diri kepada Allah

5. Ibadah haji juga dapa menghapus dosa-dosa kita yang pernah kita lakukan.

Jadi, seseorang yang sudah memenuhi syarat untuk menjalankan ibadah haji wajib melaksanakan ibadah tersebut. Akan tetapi bagi orang yang mampu dan orang tersebut mengingkari atau menghindari ibadah haji, maka ia termasuk sebagai orang yang berdosa.

Allah berfirman:

فِيهِ آياتٌ بَيِّناتٌ مَقامُ إِبْراهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كانَ آمِناً وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعالَمِينَ (97)

Di mekah terdapat tanda-tanda yang nyata di antaranya maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Alhafidz Ibnu Katsir menjelaskan :

 ( فيه آيات بينات ) أي : دلالات ظاهرة أنه من بناء إبراهيم ، وأن الله تعالى عظمه وشرفه .ثم قال تعالى : ( مقام إبراهيم ) يعني : الذي لما ارتفع البناء استعان به على رفع القواعد منه والجدران ، حيث كان يقف عليه ويناوله ولده إسماعيل ، وقد كان ملتصقا بجدار البيت ، حتى أخره عمر بن الخطاب ، رضي الله عنه ، في إمارته إلى ناحية الشرق بحيث يتمكن الطواف ، ولا يشوشون على المصلين عنده بعد الطواف.

---

وقوله : ( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ) هذه آية وجوب الحج عند الجمهور . وقيل : بل هي قوله : ( وأتموا الحج والعمرة لله ) [ البقرة : 196 ] والأول أظهر .وقد وردت الأحاديث المتعددة بأنه أحد أركان الإسلام ودعائمه وقواعده ، وأجمع المسلمون على ذلك إجماعا ضروريا ، وإنما يجب على المكلف في العمر مرة واحدة بالنص والإجماع .قال الإمام أحمد : حدثنا يزيد بن هارون ، أخبرنا الربيع بن مسلم القرشي ، عن محمد بن زياد ، عن أبي هريرة قال : خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : " أيها الناس ، قد فرض عليكم الحج فحجوا " . فقال رجل : أكل عام يا رسول الله ؟ فسكت ، حتى قالها ثلاثا . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لو قلت : نعم ، لوجبت ، ولما استطعتم " . ثم قال : " ذروني ما تركتكم ، فإنما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم ، وإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم ، وإذا نهيتكم عن شيء فدعوه.

Firman Allah:

فِيهِ آياتٌ بَيِّناتٌ

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata. 

(ali Imran: 97)

Yaitu tanda-tanda yang jelas menunjukkan bahwa bangunan tersebut dibangun oleh Nabi Ibrahim, dan Allah memuliakan serta menghormatinya.

Kemudian Allah berfirman:

مَقامُ إِبْراهِيمَ

Maqam Ibrahim. 

(ali Imran: 97)

Yaitu sarana yang dipakai oleh Nabi Ibrahim ketika bangunan Ka'bah mulai meninggi untuk meninggikan fondasi dan temboknya. Sarana ini dipakai untuk tangga tempat berdiri, sedangkan anaknya (yaitu Nabi Ismail) menyuplai bebatuan.

Pada mulanya maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, kemudian pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab maqam tersebut dipindahkan ke sebelah timur Ka'bah hingga memudahkan bagi orang-orang yang bertawaf dan tidak berdesak-desakan dengan orang-orang yang shalat di dekatnya sesudah melakukan tawaf.

---

Firman Allah:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. 

(Ali Imran: 97)

Ayat ini mewajibkan ibadah haji, menurut pendapat jumhur ulama. Sedangkan menurut yang lainnya, ayat yang mewajibkan ibadah haji ialah firman-Nya:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. 

(Al-Baqarah: 196)

Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat.

Banyak hadis yang beraneka ragam menyatakan bahwa ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan pilar serta fondasinya. Kaum muslim telah sepakat akan hal tersebut dengan kesepakatan yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Sesungguhnya melakukan ibadah haji itu hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup berdasarkan keterangan dari nas dan ijma'.

Abu Hurairah berkata:

خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " أيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فُرِضَ عَلَيْكُمْ الْحَجُّ فَحُجُّوا". فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ". ثُمَّ قَالَ: "ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وإذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وإذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ".

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkhotbah kepada kami (para sahabat) yang isinya mengatakan: "Hai manusia, telah difardukan atas kalian melakukan ibadah haji. Karena itu, berhajilah kalian." 

Ketika ada seorang lelaki bertanya, "Apakah untuk setiap tahun, wahai Rasulullah?" 

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diam hingga lelaki itu mengulangi pertanyaannya tiga kali. 

Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Seandainya aku katakan, 'Ya,' niscaya diwajibkan (setiap tahunnya), tetapi niscaya kalian tidak akan mampu." 

Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Terimalah dariku apa yang aku tinggalkan buat kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian (umat-umat terdahulu) karena mereka banyak bertanya dan menentang nabi-nabi mereka. Apabila aku perintahkan kepada kalian sesuatu hal, maka kerjakanlah sebagian darinya semampu kalian; dan apabila aku larang kalian terhadap sesuatu, maka tinggalkanlah ia oleh kalian."

(HR Ahmad)

(Tafsir Ibnu Katsir ll / 79-83)

Friday, February 4, 2022

HAJI DAN UMROH



Hukum haji


Dalil Al Quran

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 97 menjelaskan bahwa :

فِيهِ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ مَّقَامُ إِبْرَٰهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Arab-Latin: Fīhi āyātum bayyinātum maqāmu ibrāhīm, wa man dakhalahụ kāna āminā, wa lillāhi 'alan-nāsi ḥijjul-baiti manistaṭā'a ilaihi sabīlā, wa man kafara fa innallāha ghaniyyun 'anil-'ālamīn.

Terjemah Arti: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(QS. Ali Imran: 97).

Dari ayat diatas terdapat berbagai tafsiran diantaranya :

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 97 Ditemukan aneka ragam penjabaran dari berbagai mufassir mengenai isi surat Ali ‘Imran ayat 97, sebagiannya seperti berikut:

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia Dan pada Baitullah ini terdapat bukti-bukti nyata bahwa ia dibangun oleh tangan Ibrahim dan sesungguhnya Allah telah mengagungkan dan memuliakannya. Di antaranya adalah maqam Ibrahim, yaitu batu yang Ibrahim berdiri di atasnya ketika dia dan putranya, Ismail, meninggikan fondasi-fondasi Baitullah. Siapa saja yang memasuki Baitullah ini, maka dia akan merasa aman terhadap jiwanya, tidak ada seorangpun yang berbuat buruk kepadanya. Dan sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas orang yang mampu dari kalangan manusia di mana pun berada untuk mendatangi Baitullah ini untuk melaksanakan manasik haji. Dan barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka sungguh dia telah kafir. Dan Allah Maha kaya tidak membutuhkannya, haji dan amal perbuatannya dan juga dari seluruh makhlukNya.

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 97. فِيهِ ءَايٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ (Padania terdapat tanda-tanda yang nyata) Yakni diantaranya as-Shafa dan al-Marwah, dan seluruh masya’ir lainnya, dan juga kebinasaan orang-orang kejam yang bermaksud menyerangnya, dan lain sebagainya. Dan diantara tanda-tanda itu adalah maqam Ibrahim. مَّقَامُ إِبْرٰهِيمَ ۖ ((diantaranya) maqam Ibrahim) Yakni batu besar yang dipakai Nabi Ibrahim untuk berdiri di atasnya ketika ia membangun baitullah. Dan Allah memerintahkan kita untuk menjadikannya tempat untuk sholat. (lihat surat al-Baqarah: 125). وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا ۗ (barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia) Dan diantara tanda-tanda itu pula adalah orang yang memasukinya maka ia akan menjadi aman. Yakni barangsiapa yang takut terhadap sesuatu kemudian ia memasuki baitul haram maka ia akan mendapatkan rasa aman. Dan diwajibkan atas manusia agar tidak mengganggu orang meski orang tersebut telah menumpahkan darah atau mengambil harta orang lain sampai ia keluar dari Baitul Haram. Namun apabila ia melakukan kejahatan itu di dalam Baitul Haram maka ia boleh dihukum di dalamnya, sebagaimana firman Allah: والحرمات قصاص (dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash) Dan hal ini dikarenakan dialah yang pertama menodai kehormatan tanah Haram. وَلِلَّـهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah) Ini adalah sebagai bentuk penekanan terhadap penegakan hak tanah Haram dan pengagungan kehormatannya. مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ (yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah) Yakni ukuran orang yang diwajibkan untuk berhaji adalah bagi mereka yang mampu untuk melakukan perjalanan itu. Adapun seseorang dikatakan mampu adalah yang memiliki bekal dan nafkah perjalanan untuk berhaji. وَمَن كَفَرَ(Barangsiapa mengingkari) Ibnu Abbas berkata: yakni barangsiapa yang kafir terhadap kewajiban haji dan tidak memandang bahwa haji adalah sebuah kebajikan dan meninggalkannya merupakan sebuah dosa. Dan pendapat lain mengatakan yang dimaksud adalah barangsiapa yang kafir terhadap tanda-tanda yang jelas yang ada dalam ayat yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ka’bah. فَإِنَّ اللهَ غَنِىٌّ عَنِ الْعٰلَمِينَ (maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam) Karena Dia Maha Tinggi dan kekuasaan-Nya Maha Suci, Dia-lah Maha kaya yang mana segala ketaatan hamba-hamba-Nya tidak memberi manfaat sedikitpun untuk-Nya.

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 96-97. Allah memberitakan tentang keagungan Baitul Al-Haram, bahwa itu adalah rumah yang pertama di bangun oleh Allah di bumi untuk beribadah kepadanya dan menegakan dzikr kepadaNya. Di dalamnya ada keberkahan, berbagai bentuk hidayah, berbagai macam kemaslahatan dan manfaat yang begitu besar untuk alam semesta dan keutamaan yang melimpah. Di sana juga ada tanda-tanda yang jelas yang mengingatkan kepada maqam-maqam Ibrahim al-khalil dan perpindahan dalam melaksanakan haji dan setelahnya, mengingatkan kepada maqam-maqam penghulu para rasul dan pemimpin mereka, dan padanya ada ketenangan dimana bila seseorang memasukinya, niscaya akan merasa aman lagi tentram, serta beriman secara syariat maupun agama. Ketika Baitullah al-haram mengandung segala kebaikan yang disebut secara umum ini dan akan banyak perincian-perinciannya, maka Allah mewajibkan para hamba yang mukallaf yang mampu melakukan perjalanan kepadanya untuk menunaikan haji. yaitu orang-orang yang mampu sampai ke Baitullah dengan mengendarai kendaraan apapun yang sesuai denganya dan perbekalan yang harus disiapkannya. Karena itulah Allah berfirman dengan lafadz tersebut yang memungkinkannya untuk mengendarai segala bentuk kendaraan yang modern yang akan muncul di kemudian hari. Inilah ayat-ayat Al-Qur’an, dimana hukum-hukum nya relevan untuk setiap waktu dan kondisi yang mana tanpanya suatu perkara tidak akan baik secara sempurna. Barang siapa yang tunduk patuh kepadanya dan menunaikan nya, maka dia termasuk di antara orang-orang yang diberi petunjuk lagi beriman. Dan barangsiapa yang ingkar terhadapnya dan tidak menunaikan haji ke Baitullah, maka dia telah keluar dari agama. ”dan barangsiapa yang mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Referensi: https://tafsirweb.com/1229-surat-ali-imran-ayat-97.html

Demikian pula dalam (QS. al hajj: 27) Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjelas kan bahwa : Surat Al-Hajj Ayat 27

وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Arab-Latin: Wa ażżin fin-nāsi bil-ḥajji ya`tụka rijālaw wa 'alā kulli ḍāmiriy ya`tīna ming kulli fajjin 'amīq.

Terjemah Arti: Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,

Referensi: https://tafsirweb.com/5763-surat-al-hajj-ayat-27.html

Manhaj (kajian dalil)

Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu Sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al Quran as-sunnah dan ijma.

Secara etimologi Haji mempunyai arti sesuatu tujuan, sedangkan Haji secara terminologi adalah kehendak untuk pergi menuju ke Baitullah di tanah haram untuk menunaikan ibadah titik di antara dasar Alquran tentang kewajiban Haji terdapat pada ayat:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Artinya: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sungguh Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97).

Dalam surat al imran ayat 97 di atas merupakan Dalil yang menunjukkan hukum diwajibkannya haji. Frasa yang lebih diaksentuasikan adalah kata “Walillahi Alan Nasi”, lafadz ini merupakan model sighat ilzam waijab artinya sighat yang menetapkan dan mewajibkan, termasuk dalam gaya bahasa yang menunjukkan hukum wajib.

Oleh karena itu ayat ini dijadikan dalil wajibnya haji. juga diperkuat dan dipertegas dengan kelanjutan ayatnya yaitu وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Dari lafadz ini Allah menjadikan perbandingan fardhunya haji dengan kufur, dengan kata lain orang-orang yang tidak mempercayai atas kewajiban Haji dibahasakan dengan kufur. Hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan haji itu bukan termasuk perbuatannya orang muslim tetapi perbuatan orang-orang yang kufur. Dengan demikian dapat disimpulkan Haji termasuk perbuatan yang difardukan.

Dalam ayat ini sekaligus mencantumkan salah satu dari syarat haji yaitu istitoah, tepatnya pada ayat مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ Harus dalam keadaan mampu. syarat-syarat Haji sendiri ada lima yaitu: Islam, berakal, baligh, mampu Serta adanya mahram yang mendampingi bagi seorang perempuan. Lima syarat ini termasuk syarat ada’ untuk mendatangi haji bukan syarat wajibnya haji. Adapun tiga syarat yang pertama yakni Islam, berakal dan baligh bukan hanya menjadi syarat dalam Haji saja tetapi juga termasuk pada semua syarat ibadah.

Untuk syarat keempat yaitu istitha'ah dijelaskan pada ayat مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ Maksud istitha'ah ada yang mengatakan mempunyai bekal saku juga mempunyai tunggangan. an yang didukung dengan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam beliau bersabda: “ barangsiapa yang memiliki bekal untuk sampai pada Baitullah namun dia tidak berhaji maka dia dia akan mati dalam keadaan Yahudi atau dalam keadaan Nasrani”.

Dalam riwayat lain, yakni riwayat Ibnu Umar ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ditanya mengenai masalah Ayat tersebut Beliau mengatakan :Assabil: “ashadu warohilatu”. maksud sabil adalah bekal dan kendaraan).

Lain halnya dengan Imam Al jashash yang mengatakan, bahwa istitha'ah itu itu tidak hanya mampu dalam hal bekal dan perjalanan, tapi juga mampu dalam fisiknya. karena orang yang dalam keadaan sakit, orang yang dikhawatirkan, orang tua yang tidak mampu untuk naik kendaraan atau orang yang lumpuh ataupun setiap orang-orang yang Udur sampai pada Baitullah, maka semestinya mereka juga termasuk golongan orang yang yang yang ghairu istitha'ah untuk berhaji.()

Redaksi ayat lain yang juga dijadikan dasar diperlukannya haji (bagi yang mampu) adalah ayat:

وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Artinya nya: dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. al hajj: 27)

Ayat di atas termasuk dasar dalil yang menunjukkan wajibnya haji.

وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa arti dari ayat ini adalah dua” beritahukan lah wahai Ibrahim kepada para manusia untuk berjalan mengerjakan haji pada Baitullah ini yang telah Aku perintahkan kepadamu untuk membangunnya”. Kemudian ketika Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk memberitahukan kepada manusia agar melaksanakan ibadah haji Rhoma Beliau berkata:” Wahai Tuhanku! Bagaimana cara saya menyampaikan kepada manusia padahal suara saya tidak akan mungkin didengar oleh mereka semua. perintah ini adalah ketika nabi Ibrahim dan nabi Ismail selesai membangun Baitullah {Ka'bah), Kemudian Allah berfirman berserulah engkau semampumu nanti aku yang akan memberitahukan kepada mereka. makan Nabi Ibrahim berdiri, dikatakan beliau berdiri di atas batu, ada yang mengatakan di atas gunung sofa, dan ada yang mengatakan diatas Abu qubais, kemudian Nabi Ibrahim berseru dengan berteriak:” Wahai Manusia! Allah telah membangunkan untuk kalian Baitullah maka berhajilah!”. tiba-tiba gunung membusungkan diri Sehingga suara Nabi Ibrahim bisa terdengar di seluruh penjuru daerah tersebut, bahkan setiap yang mendengar suara beliau langsung menjawab seruan beliau dari batu-batu, tumbuhan juga pepohonan dengan jawaban “Labbaik Allahumma Labbaik”.

Namun demikian di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat perihal hidup dari potongan ayat wa Adzin. Menurut jumhur ulama kitab lafadz Adin kembali kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam. ada pula Sebagian ulama yang mengatakan bahwa hidupnya kembali kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam. para ulama yang mengatakan bahwa hidupnya kembali kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim yaitu itu Al Hasan dan disepakati Imam al qurthubi. Buahnya perbedaan pendapat ayat ini adalah : jika hidupnya khusus kepada Nabi Ibrahim saja maka ayat ini termasuk dalam kerangka syar'u Man qablana dan Dalil ini menceritakan syariat orang-orang yang terdahulu untuk mengetahui berkelangsungan nya hingga zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam masih membutuhkan dalil lain yang mempertegas, tetapi jika hidupnya kembali kepada Nabi Muhammad juga kembali kepada Nabi Ibrahim maka ayat ini tanpa bantuan dalil lain sudah mencukupi menjadi dalil kewajiban haji() Kewajiban Haji ini juga tertuang dalam kandungan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yaitu:

وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا۟ رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْهَدْىُ مَحِلَّهُۥ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِۦٓ أَذًى مِّن رَّأْسِهِۦ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِٱلْعُمْرَةِ إِلَى ٱلْحَجِّ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ فِى ٱلْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُۥ حَاضِرِى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Arab-Latin: Wa atimmul-ḥajja wal-'umrata lillāh, fa in uḥṣirtum fa mastaisara minal-hady, wal lā taḥliqụ ru`ụsakum ḥattā yablugal-hadyu maḥillah, fa mang kāna minkum marīḍan au bihī ażam mir ra`sihī fa fidyatum min ṣiyāmin au ṣadaqatin au nusuk, fa iżā amintum, fa man tamatta'a bil-'umrati ilal-ḥajji fa mastaisara minal-hady, faman lam yajid fa ṣiyāmu ṡalāṡati ayyāmin fil-ḥajji wa sab'atin iżā raja'tum, tilka 'asyaratun kāmilah, żālika limal lam yakun ahluhụ ḥāḍiril-masjidil-ḥarām, wattaqullāha wa'lamū annallāha syadīdul-'iqāb

Terjemah Arti: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

Pada ayat ini terdapat 4 koin yang menjadi pokok pembahasan diantaranya yaitu itu:

perintah menyempurnakan haji dan umroh وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ

Kewajiban membayar hadyah ketika tidak mampu menyelesaikan rangkaian haji dan umroh sebab terkepung oleh musuh

فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۖ

Kewajiban membayar Fidyah bagi yang melakukan perkara yang diharamkan ketika ihram

 فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ

Ketentuan haji tamattu

 فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِٱلْعُمْرَةِ إِلَى ٱلْحَجِّ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ فِى ٱلْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

Pembahasan :

Referensi: https://tafsirweb.com/717-surat-al-baqarah-ayat-196.html

Referensi: https://tafsirweb.com/5763-surat-al-hajj-ayat-27.html

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes