BREAKING NEWS

Watsapp

Thursday, May 23, 2024

SHALAT JENAZAH PART 1

 

TERJEMAH FATHUL MUIN

SHALAT JENAZAH

PART 1

 



 فصل

  (في الصلاة على الميت) وشرعت بالمدينة. 

  وقيل هي من خصائص هذه الامة. 

  

Salat terhadap mayat disyariatkan di Madinah. Ada yang mengatakan, bahwa salat ini adalah termasuk kekhususan umat Islam.


(صلاة الميت) أي الميت المسلم غير الشهيد (فرض كفاية) للاجماع والاخبار، (كغسله، ولو غريقا) لانا مأمورون بغسله،


Salat Jenazah orang Islam yang bukan mati syahid, hukumnya adalah fardu kifayah, berdasarkan ijmak ulama dan beberapa hadis, sebagaimana memandikannya, sekalipun akibat tenggelam di dalam air, . sebab kita diperintah memandikannya. 


 فلا يسقط الفرض عنا إلا بفعلنا، وإن شاهدنا الملائكة تغسله. 

 

Dengan demikian, perintah memandikan belum gugur, sebelum kita sendiri yang memandikan, sekalipun kita sendiri menyaksikan, bahwa ada malaikat yang memandikan mayat itu.


ويكفي غسل كافر، ويحصل أقله (بتعميم بدنه بالماء) مرة حتى ما تحت قلفة الاقلف - على الاصح - صبيا كان الاقلف أو بالغا.


Telah cukup sebagai memenuhi kewajiban, dengan adanya طseorang kafir yang memandikannya. Paling tidak, memandikan mayat itu bisa terwujud dengan Cara sekali menyiramkan air yang dapat meratai badannya, sampai bagian di bawah kulit kepala zakar (glans penis) bagi mayat yang zakarnya masih berkulit kepala, menurut pendapat Al-Ashah, baik itu anak kecil atau sudah balig.


 قال العبادي وبعض الحنفية: لا يجب غسل ما تحتها. 

 

  Imam Al-‘Ubadi dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat: Membasuh bagian di bawah kulit kepala zakar tersebut, hukumnya tidak wajib.

  

فعلى المرجح لو تعذر غسل ما تحت القلفة بأنها لا تتقلص إلا بجرح، يمم عما تحتها. 


 Berpijak dengan pendapat yang rajih di atas (wajib), apabila dirasakan sulit membasuh bagian bawah kulit kepala zakar tersebut, sebagaimana kulit itu tidak bisa dibuka kecuali dengan melukainya, maka bagian itu wajib ditayamumi, 

 كما قاله شيخنا، وأقره غيره.

 

Demikianlah menurut pendapat Guru kami, yang kemudian ditetapkan oleh lainnya.


MOHON DIKOREKSI DAN DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

SHALAT JENAZAH PART 2

 

TERJEMAH FATHUL MUIN

SHALAT JENAZAH

PART 2

. وَ أَكْمَلُهُ: تَثْلِيْثُهُ، وَ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ خَلْوَةٍ، وَ قَمِيْصٍ،

Yang paling sempurnanya mandi, adalah menyiramkan air tersebut diulang sebanyak tiga kali. Dalam memandikan mayat hendaknya di tempat yang sepi , dan berbaju kurung,


 وَ عَلَى مُرْتَفِعٍ بِمَاءٍ بَارِدٍ إِلَّا لِحَاجَةٍ كَوَسَخٍ وَ بَرْدٍ، فَالْمُسَخَّنُ حِيْنَئِذٍ أَوْلَى. 


  

Dan di tempat yang lebih tinggi, dengan air dingin, kecuali ada keperluan, misalnya menghilangkan kotoran atau suasana dingin. Maka dalam keadaan seperti ini, mengenakan air panas adalah lebih utama.


وَ الْمَالِحُ أَوْلَى مِنَ الْعَذْبِ.


 Sedang menggunakan air yang asin lebih utama dari pada yang tawar.


وَ يُبَادِرُ بِغَسْلِهِ إِذَا تَيَقَّنَ مَوْتُهُ، وَ مَتَى شَكَّ فِيْ مَوْتِهِ وَجَبَ تَأْخِيْرُهُ إِلَى الْيَقِيْنِ، بِتَغَيُّرِ رِيْحٍ وَ نَحْوِهِ.


(Sunnah) segera memandikannya. Jika telah diyakini matinya. Apabila masih diragukan akan kematiannya, maka wajib menundanya (66) sampai benar-benar diyakini kematiannya, misalnya berubahnya bau mayat atau lainnya. 

-----------

66. Imām ‘Alī Sibramalisī mengataka: Sebaiknya yang wajib diakhirkan adalah menguburkan bukan memandikan dan mengkafani, sebab jika memang ia masih hidup maka hal itu tidaklah masalah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 126. Dār-ul-Fikr.

--------------

 فَذِكْرُهُمُ الْعَلَامَاتِ الْكَثِيْرَةَ لَهُ إِنَّمَا تُفِيْدُ، حَيْثُ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَكٌّ. 

 

 Karena itu, para fuqahā’ menuturkan tanda-tanda kematian seseorang yang banyak sekali dan dapat berguna, bila kematiannya sudah tidak diragukan lagi.


وَ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْغُسْلِ نَجَسٌ لَمْ يَنْقُضِ الطُّهْرُ، بَلْ تَجِبُ إِزَالَتُهُ فَقَطْ إِنْ خَرَجَ قَبْلَ التَّكْفِيْنِ، لَا بَعْدَهُ. 

 

Apabila setelah dimandikan mayat mengeluarkan najis, (77) maka kesuciannya tidak rusak tapi hanya wajib membersihkan najisnya saja, jika keluarnya sebelum dibungkus kafan , jika keluarnya najis setelah dibungkus kafan, maka tidak wajib menghilangkan najisnya.

------------

77.Dan jika najis tidak bisa berhenti, maka sah mandinya dan shalatnya sebab mayat tersebut seperti orang beser. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 127. Dār-ul-Fikr.

-------------

وَ مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ لِفَقْدِ مَاءٍ أَوْ لِغَيْرِهِ: كَاحْتِرَاقٍ، وَ لَوْ غُسِلَ تَهَرَّى يُمِمُّ وُجُوْبًا.


Mayat yang tidak bisa dimandikan karena tidak ada air atau sebab lainnya, misalnya mayat terbakar kalau dimandikan akan rontok, adalah wajib ditayammumi.


[فَرْعٌ]: 

الرَّجُلُ أَوْلَى بِغُسْلِ الرَّجُلِ، وَ الْمَرْأَةُ أَوْلَى بِغُسْلِ الْمَرْأَةِ، 

(Cabangan Masalah). 

Orang laki-laki lebih utama untuk memandikan mayat laki-laki, dan perempuan lebih utama untuk memandikan mayat perempuan


وَ لَهُ غُسْلُ حَلِيْلَةٍ، وَ لِزَوْجَةٍ لَا أَمَةٍ غُسْلُ زَوْجِهَا، وَ لَوْ نَكَحَتْ غَيْرَهُ، بِلَا مَسٍّ، بَلْ بِلَفِّ خِرْقَةٍ عَلَى يَدٍ. 


 Orang laki-laki boleh memandikan mayat yang merupakan ḥalīlah-nya (wanita yg halal dijimak baik istri atau wanita amah (hamba perempuan)).

 Sang istri – bukan termasuk amah – , juga boleh memandikan mayat suaminya, sekalipun ia telah menikah dengan laki-laki lain, dengan tanpa menyentuh mayat itu, akan tetapi tangannya dibungkus dengan kain.


فَإِنْ خَالَفَ صَحَّ الْغُسْلُ. 


Jika menyalahi aturan tersebut ( apabila tidak di bungkus kain dan menyentuh mayat ), maka mandinya tetap sah. (88)

 ------------

88.). Sebab memakai sarung tangan dan tidak menyentuh hukumnya hanya sunnah baginya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 127. Dār-ul-Fikr.

-----------------


فَإِن لَمْ يَحْضُرْ إِلَّا أَجْنَبيٌّ فِي الْمَرْأَةِ أَوْ أَجْنَبِيَّةٌ فِي الرَّجُلِ يُمِّمَ الْمَيِّتُ.

Apabila untuk mayat wanita hanya ada laki-laki lain atau untuk laki-laki hanya ada wanita lain, (99) maka mayat cukup ditayammumi saja.

-----------

99.Batasan dari tidak ada yang memandikan adalah adanya orang memandikan berada pada tempat yang tidak wajib untuk mencari air di tempat tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 127. Dār-ul-Fikr.

-------------


 نَعَمْ، لَهُمَا غُسْلُ مَنْ لَا يُشْتَهَى مِنْ صَبِيٍّ أَوْ صَبِيَّةٍ، لِحِلِّ نَظَرِ كُلٍّ وَ مَسِّهِ.

 

Memang ! Baik lelaki atau wanita adalah diperbolehkan memandikan mayat yang tidak menimbulkan syahwat, baik itu berupa anak laki-laki atau anak perempuan, lantaran mereka halal memandang juga menyentuhnya.


 وَ أَوْلَى الرِّجَالِ بِهِ، أَوْلَاهُمْ بِالصَّلَاةِ كَمَا يَأْتِيْ.

 

Diantara orang Laki-laki yang lebih utama memandikan mayat , adalah laki-laki yang paling utama menshalatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti.


وَ تَكْفِيْنُهُ بِسَاتِرِ عَوْرَةٍ) مُخْتَلِفَةٍ بِالذُّكُوْرَةِ وَ الْأُنُوْثَةِ، دُوْنَ الرِّقِّ وَ الْحُرِّيَةِ،


Mengkafani Mayit

Hukumnya juga fardhu kifāyah membungkus mayat dengan kafan yang dapat menutup auratnya (1010) yang dapat membedakan antara aurat laki-laki dan perempuan dan tidak usah dibedakan antara mayat budak dengan yang merdeka.

--------------

10. Ini adalah pendapat yang lemah, sedangkan yang kuat adalah menutup seluruh badan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 128. Dār-ul-Fikr.

---------------

 فَيَجِبُ فِي الْمَرْأَةِ وَ لَوْ أَمَةً مَا يَسْتُرُ غَيْرَ الْوَجْهِ وَ الْكَفَّيْنِ. وَ فِي الرَّجُلِ مَا يَسْتُرُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَ الرُّكْبَةِ. 


 Karena itu, wajib untuk mayat wanita – sekalipun budak – kafan yang dapat menutup seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangannya, dan untuk mayat laki-laki adalah kafan yang dapat menutupi antara pusat dan lutut.

وَ الْاِكْتِفَاءُ بِسَاتِرِ الْعَوْرَةِ هُوَ مَا صَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِيْ أَكْثَرِ كُتُبِهِ، وَ نَقَلَهُ عَنِ الْأَكْثَرِيْنَ، لِأَنَّهُ حَقٌّ للهِ تَعَالَى.

Mencukupkan – sekedar cukup – dengan kafan yang dapat menutup aurat adalah yang dibenarkan oleh Imām An-Nawawī di dalam kebanyakan kitab beliau, di mana beliau mengutipnya dari mayoritas ‘ulamā’ sebab yang demikian tersebut (kafan yang menutup aurot ) merupakan hak Allah s.w.t.


 وَ قَالَ آخَرُوْنَ: يَجِبُ سَتْرُ جَمِيْعَ الْبَدَنِ وَ لَوْ رَجُلًا.

 

 ‘Ulamā’-‘ulamā’ lain berkata: Wajib menutup seluruh tubuh mayat, sekalipun laki-laki.


 وَ لِلْغَرِيْمِ مَنْعُ الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ كُلِّ الْبَدَنِ، لَا الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ الْعَوْرَةِ، لِتَأَكُّدِ أَمْرِهِ، وَ كَوْنِهِ حَقًّا لِلْمَيِّتِ بِالنِّسْبَةِ لِلْغُرَمَاءِ، 

 

Bagi pemiutang boleh melarang pemakaian kafan yang melebihi menutup seluruh tubuh si mayat , tidak yang melebihi menutup aurot, 11 karena kekuatan hukumnya dan hal itu merupakan haq si mayat bila dinisbatkan dengan para pemiutang.


MOHON DIKOREKSI DAN DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

SHOLAT JANAZAH PART 4

 

BERKAH NGAJI KIYAI SHOLIHIN

TERJEMAH FATHUL MUIN

SHOLAT JANAZAH

PART 4

Pondok pesantren/MTS/ MA Nurul FALAH Assubuki 

(وَ دَفْنُهُ فِيْ حُفْرَةٍ تَمْنَعُ) بَعْدَ طَمِّهَا (رَائِحَةً) أَيْ ظُهُوْرُهَا، (وَ سَبُعًا) أَيْ نَبْشُهُ لَهَا، فَيَأْكُلَ الْمَيِّتَ.

Menguburkan Mayit

(Fardhu kifāyah) mengubur mayat di dalam lubang yang setelah ditimbuni tanah kembali, sehingga bau mayat tidak tampak, serta aman dari binatang buas yang akan memakannya. 

 وَ خَرَجَ بِحُفْرَةٍ: وَضْعُهُ بِوَجْهِ الْأَرْضِ وَ يُبْنَى عَلَيْهِ مَا يَمْنَعُ ذَيْنِكَ، حَيْثُ لَمْ يَتَعَذَّرِ الْحَفْرُ. 

Tidak masuk dalam ketentuan “di dalam lubang” jika mayat diletakkan di atas tanah, (17) kemudian dibangun sedemikian rupa di atasnya, sehingga bau mayat tidak tampak lagi dan aman dari pembongkaran binatang buas selagi penggalian lubang tidak mendapat kesulitan. (18 ).

-------------

ای فلا يكفي لانه ليس بدفن

17). Sebab hal itu tidak dinamakan dengan menguburkan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 116


18.

.كأن كانت الارض خوارة او ينبع منها ماء يفسد الميت واكفانه جاز ذلك

Seperti tanahnya sulit untuk digali atau muncul sumber air yang merusak mayat kain kafannya maka boleh menaruh mayat diatas bumi terus dibangun diatasnya.

Ianatutholibin juz 2 hal 116

NURUL ILMI

--------------

نَعَمْ، مَنْ مَاتَ بِسَفِيْنَةٍ وَ تَعَذَّرَ الْبَرُّ جَازَ إِلْقَاؤُهُ فِي الْبَحْرِ، وَ تَثْقِيْلُهُ لِيَرْسُبَ، وَ إِلَّا فَلَا. 

Memang benar, tapi orang yang mati di atas perahu dan sulit untuk menemukan daratan, maka boleh melemparkan ke laut dan diberi beban agar dapat tenggelam. Jika tidak sukar menemukan daratan, maka mayat tidak boleh dilemparkan ke laut.

وَ بِ  "تَمْنَعُ ذَيْنِكَ "  مَا يَمْنَعُ أَحَدُهُمَا كَأَنِ اعْتَادَتْ سِبَاعُ ذلِكَ الْمَحَلِّ الْحَفْرَ عَنْ مَوْتَاهُ 

Dan dikecualikan dengan ucapanku: “Dapat mencegah bau mayat serta mengamankan mayat dari penggalian binatang buas"  dan bila lubang tersebut mencegah salah satunya saja, seperti kebiasaan binatang buas di tempat tersebut menggali maqam mayat yang ada

فَيَجِبُ بِنَاءُ الْقَبْرِ، بِحَيْثُ يَمْنَعُ وُصُوْلَهَا إِلَيْهِ. 

maka wajib untuk membangun kubur sekira dapat mencegah  binatang tersebut mengambil mayat tersebut.

وَ أَكْمَلُهُ قَبْرٌ وَاسِعٌ عُمُقِ أَرْبَعَةِ أَذْرُعٍ وَ نِصْفٍ بِذِرَاعِ الْيَدِ. 

Kesempurnaan (18) dalam mengubur mayat adalah maqam yang luas dengan dalam 4 ½ Hasta tangan.

------------

18).

قال ع ش. وينبغی ان يكون ذلك مقدار ما يسع من ينزل القبر ومن يدفنه  لاأزيد من ذلك

 Sebaiknya kadarnya adalah sekira cukup untuk orang yang menurunkan  mayat dan mayat tersebut, tidak lebih dari itu. 

 I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 116

NURUL ILMI

--------------

وَ يَجِبُ اضْطِجَاعُهُ لِلْقِبْلَةِ.

Wajib untuk memiringkan mayit ke arah qiblat. 19.

------------

19). 

اي الميت في القبر علی شقه الايمن وقوله للقبلة أي تنزيلا له منزيلة المصلي

Dengan menggunakan sisi tubuh sebelah kanan. Hal itu dilakukan sebab untuk menempatkan posisinya seperti posisi orang yang shalat.

فان دفن مستدبرا او مستلقيا نبش حتما إن لم يتغير ،، وإلا فلا ينبش

Jika dikuburkan membelakangi kiblat, atau terlentang, maka harus digali kembali, jika mayat  tidak berubah, jika mayat sudah berubah  maka tidak akan digali.

 I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 117

NURUL ILMI

-----------

 وَ يُنْدَبُ الْإِفْضَاءُ بِخَدِّهِ الْأَيْمَنِ بَعْدَ تَنْحِيَةِ الْكَفْنِ عَنْهُ إِلَى نَحْوِ تُرَابٍ، مُبَالَغَةً فِي الْاِسْتِكَانَةِ وَ الذُّلِّ،

 وَ رَفْعُ رَأْسِهِ بِنَحْوِ لَبِنَةٍ. 

Sunnah untuk meletakkan pipi mayat yang kanan pada semacam tanah setelah melepas kain kafan agar terasa rendah diri dan hina. 

Sunnah untuk meninggikan kepalanya dengan semacam bantalan tanah.

وَ كُرِهَ صُنْدُوْقٌ إِلَّا لِنَحْوِ نَدَاوَةٍ فَيَجِبُ.

Makruh untuk mengubur mayat di dalam peti, kecuali tanahnya mudah longsor maka wajib untuk menaruh dalam peti

وَ يَحْرُمُ دَفْنُهُ بِلَا شَيْءٍ يَمْنَعُ وُقُوْعَ التُّرَابِ عَلَيْهِ

Haram mengubur mayat tanpa sesuatu yang dapat mencegah longsornya tanah pada mayat.

 وَ يَحْرُمُ دَفْنُ اثْنَيْنِ مِنْ جِنْسَيْنِ بِقَبْرٍ، إِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا مَحْرَمِيَّةٌ، أَوْ زَوْجِيَّةٌ، 

Haram mengubur dua mayat yang berlainan jenis kelamin dalam satu lubang kubur, jika antara keduanya tiada hubungan mahram atau suami istri. 

وَ مَعَ أَحَدِهِمَا كُرِهَ كَجَمْعِ مُتحِدَيْ جِنْسٍ فِيْهِ بِلَا حَاجَةٍ. 

Jika masih ada hubungan mahram atau suami-istri, maka hukumnya adalah makrūh sebagaimana halnya dengan mengumpulkan dua mayat yang tunggal jenis tanpa ada hajat yang mengharuskan. 20.

--------------

20.

الحرمة مطلقا اتحد الجنس أو اختلف كان بينهما محرمية او لا وذلك لان العلة في منع الجمع في منع الجمع التأذي.  لا الشهوة فانها قد انقطعت با لموت.

Berbeda dengan pendapat Imām Ramlī yang mengatakan bahwa hukumnya haram secara mutlak, baik satu jenis atau tidak baik ada hubungan mahram atau tidak sebab alasannya adalah agar tidak menyakiti mayit, bukan karena syahwat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 118 NURUL ILMI

-------------

وَ يَحْرُمُ أَيْضًا: إِدْخَالُ مَيِّتٍ عَلَى آخَرَ، وَ إِنِ اتَّحَدَا جِنْسًا، قَبْلَ بَلَاءِ جَمِيْعِهِ، وَ يَرْجَعُ فِيْهِ لِأَهْلِ الْخُبْرَةِ بِالْأَرْضِ.

Haram juga mengubur mayat pada lubang kubur yang sudah ditempati mayat lain sekalipun tunggal jenisnya, selama mayat lama belum lebur keseluruhannya.

---------------

 (21)

ای لاهل المعرفة بقدر المدة التی يبلی فيها الميت فی ارضهم

Untuk mengetahui leburnya adalah diserahkan kepada orang yang ahli tentang tanah.

قال سم وافهم جواز النبش بعد بلاء جميعه ويستثنی قبر عالم مشهور او ولي مشهور فيمتنع نبشه هـ

Jika mayat telah lebur, maka hukumnya boleh kuburnya digali, kecuali maqām orang Alim yang telah terkenal atau maqam wali yg terkenal maka tak boleh menggali kuburnya wali. 

I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal.118

.NURUL ILMI

-------------

 وَ لَوْ وُجِدَ بَعْضُ عَظْمِهِ قَبْلَ تَمَامِ الْحَفْرِ وَجَبَ رَدُّ تُرَابِهِ، أَوْ بَعْدَهُ فَلَا. وَ يَجُوْزُ الدَّفْنُ مَعَهُ، 

Jika ada sepotong tulang mayat yang lama ditemukan sebelum selesai penggalian kubur untuk mayat baru, maka wajib menimbunkan tanah kembali. Jika penemuannya setelah selesai penggalian, maka tidak wajib menimbun kembali, dan boleh dikubur bersama dengannya.

وَ لَا يُكْرَهُ الدَّفْنُ لَيْلًا خِلَافًا لِلْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ وَ النَّهَارُ أَفْضَلُ لِلدَّفْنِ مِنْهُ

Tidaklah makrūh mengubur mayat di malam hari, lain halnya dengan pendapat Imām al-Ḥasan al-Bashrī. Sedang di siang hari lebih utama dari pada malam hari. 

 وَ يُرْفَعُ الْقَبْرُ قَدْرَ شِبْرٍ نَدْبًا، وَ تَسْطِيْحُهُ أَوْلَى مِنْ تَسْنِيْمِهِ.

 Sunnah meninggikan kuburan kira-kira satu jengkal, sedangkan meratakan tanah ( permukaan atas rata )lebih utama dari pada membuat gundukan  ( permukaan atas , tengahnya lebih tinggi dari sampingnya)di atasnya. 

 وَ يُنْدَبُ لِمَنْ عَلَى شَفِيْرِ الْقَبْرِ أَنْ يُحْثِيَ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ بِيَدَيْهِ قَائِلًا مَعَ الْأُوْلىَ: {مِنْهَا خلَقْنَاكُمْ}. وَ مَعَ الثَّانِيَةِ: {وَ فِيْهَا نُعِيْدُكُمْ}. وَ مَعَ الثَّالِثَةِ: {وَ مِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى}.

Sunnah bagi orang yang mengubur mayat yang berada di pinggir kubur untuk menaburkan debu sebanyak tiga kali. (22) ( 23) Untuk taburan pertama ucapkan: (مِنْهَا خلَقْنَاكُمْ) taburan kedua membaca: (وَ فِيْهَا نُعِيْدُكُمْ) dan untuk ketiga kali mengucapkan: (وَ مِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى).

---------------

22). Agar mayit tersebut tidak di- ‘adzāb dalam qubur tersebut.

23.

قال ع ش وينبغی الاكتفاء بذلك مرة واحدة وان تعدد المدفون

Berkata syekh Nuruddin Abu Adh-Dhiya’ Ali bin Ali Asy-Syabromallisi (w. 1087 H).

Baik juga mencukupkan satu genggaman debu walaupun mayat yang dikubur banyak, dengan tetap membaca bacaan 3 kali.



Bacaan 

منها خلقناكم

Ditambahi bacaan 

اللهم لَقِّنْهُ عِندَ المسئلةِ حُجته

Bacaan

وفيها نعيدكم

Ditambahi

اللهم افتح ابواب السماء لروحه

Bacaan

ومنها نخرجكم تارة اخری

Ditambahi

اللهم جافِ الارضَ عن جنبَيهِ


 I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 119 NURUL ILMI

--------------

MOHON DIKOREKSI DAN DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

SHOLAT JANAZAH PART 3

TERJEMAH FATHUL MUIN

SHOLAT JANAZAH

PART 3

Gladi resik perpisahan SPENTWOGAR 2024

 وَ لِلْغَرِيْمِ مَنْعُ الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ كُلِّ الْبَدَنِ، لَا الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ الْعَوْرَةِ، لِتَأَكُّدِ أَمْرِهِ، وَ كَوْنِهِ حَقًّا لِلْمَيِّتِ بِالنِّسْبَةِ لِلْغُرَمَاءِ،

 Bagi mayat yang punya hutang di larang pemakaian kafan yang melebihi penutupan seluruh tubuh mayat bukan melarang penutupan yang melebihi menutup aurat (11) -, sebab sangat dianjurkan perintah untuk menutup melebihi penutupan aurat dan karena merupakan hak si mayat jika dinisbatkan kepada para yang punya hutang.

--------------

وهذا ظاهر علی القول بان الواجب ستر جميع البدن اما علی القول بان الواجب ستر العورة فقط

11). Baik mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa minimal mengkafani mayat adalah menutupi aurat saja ataupun pendapat yang mengatakan bahwa kewajibannya menutupi seluruh tubuh. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 113 NURUL ILMI

----------------

 وَ أَكْمَلُهُ لِلذَّكَرِ ثَلَاثَةٌ يَعُمُّ كُلٌّ مِنْهَا الْبَدَنَ، وَ جَازَ أَنْ يُزَادَ تَحْتَهَا قَمِيْصٌ وَ عِمَامَةٌ، وَ لِلْأُنْثَى إِزَارٌ، فَقَمِيْصٌ، فَخِمَارٌ فَلَفَافَتَانِ. 

 

 Yang paling sempurna kafan untuk laki-laki adalah tiga lapis, yang masing-masing menutup seluruh tubuh dan masih boleh ditambah (12) di dalamnya dengan baju kurung dan serban. Untuk wanita adalah kebaya, baju kurung, penutup kepala dan dua lapis kafan.

 -------------

ومحل جواز الزيادة علی ذلك اذا كان الورثة اهلا للتبرع ورضوا به فان كان فيهم صغير او مجنون او محجورا عليه بسفه او غائب فلا هـ

12). Syarat penambahan tersebut bila ahli warisnya semua ahli tabarru’ dan ridha, bila ahli warisnya ada yang berupa anak kecil, orang gila atau mahjūr ‘alaih, maka penambahan tersebut dilarang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 113. NURUL ILMI

---------------

وَ يُكْفَنُ الْمَيِّتُ بِمَا لَهُ لَبْسُهُ حَيًّا، فَيَجُوْزُ حَرِيْرٌ وَمُزَعْفَرٌ لِلْمَرْأَةِ وَ الصَّبِيِّ، مَعَ الْكَرَاهَةِ. 

Kafan mayat adalah sesuai dengan jenis kain yang boleh dipakai di waktu hidup. Karena itu, boleh bagi wanita atau anak kecil dikafani dengan kain sutra dan yang dicelup dengan za‘faran, namun hukumnya adalah makrūh. 

وَ مَحَلُّ تَجْهِيْزِهِ: التَّرْكَةُ، إِلَّا زَوْجَةٌ وَ خَادِمُهَا: فَعَلَى زَوْجٍ غَنِيٍّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا، 

Biaya (13) perawatan mayat diambilkan dari harta peninggalan mayat, kecuali yang mati itu istri atau pelayannya, maka pembiayaan ditanggug oleh suami yang kaya yang wajib memberi nafkah kepada mereka.

-----------

والمراد بالتجهيز المؤن كأجرة التغسيل وثمن الماء والكفن وأجرة الحفر والحمل

13. Maksud dari biaya ini adalah biaya memandikan, ongkos membeli air, mengkafani, menggali quburan dan membawa mayat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 114. NURUL ILMI.

-----------

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ فَعَلَى مَنْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ، مِنْ قَرِيْبٍ، وَ سَيِّدٍ، 

Jika si mayat tidak meninggalkan harta waris, maka pembiayaannya dibebankan kepada penanggung nafkah mereka, baik itu kerabat atau majikannya. 

فَعَلَى بَيْتِ الْمَالِ، فَعَلَى مَيَاسِيْرِ الْمُسْلِمِيْنَ.

Jika mayat tidak ada penanggung nafkahnya, maka pembiayaan dipikul oleh bait-ul-māl, kemudian jika bait-ul-māl tidak ada, maka orang-orang kaya dari golongan Muslimīn harus menanggungnya.

وَ يَحْرُمُ التَّكْفِيْنُ فِيْ جِلْدٍ إِنْ وُجِدَ غَيْرُهُ، وَ كَذَا الطِّيْنُ، وَ الْحَشِيْشُ،

Haram mengkafani mayat dengan kulit 14, bila masih ada yang lainnya. Begitu juga haram memakai lumpur atau rumput. 

--------------

14). Sebab hal tersebut menghina mayit. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 115 .NURUL ILMI

-------------

 فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ ثَوْبٌ وَجَبَ جِلْدٌ، ثُمَّ حَشِيْشٌ، ثُمَّ طِيْنٌ فِيْمَا اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا.

 

Jika tidak ada pakaian, maka wajib membungkus dengan kulit, kalau tidak ada, maka memakai rumput, kalau tidak ada, maka memakai lumpur, demikian menurut pendapat yang dijelaskan oleh guru kami. 

 وَ يَحْرُمُ كِتَابَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآن وَ اسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى عَلَى الْكَفَنِ. وَ لَا بَأْسَ بِكِتَابَتِهِ بِالرِّيْقِ، لِأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ.

 

 Haram menuliskan lafazh-lafazh al-Qur’ān atau nama-nama Allah s.w.t. di atas kafan mayat.

 (15) Kalau ditulis menggunakan air ludah, maka tidaklah menjadi masalah, sebab hal ini tidak akan membekas.

 ---------------

وان الفقيه ابن عجيل كان يأمر به ثم افتی بجواز كتابته

15. Berbeda dengan fatwā dari Imām Ibnu ‘Ujail yang memperbolehkan menulis hal tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 115

NURUL ILMI

-------------

 وَ أَفْتَى ابْنُ الصَّلَاحِ بِحُرْمَةِ سَتْرِ الْجَنَازَةِ بِحَرِيْرٍ وَ لَوِ امْرَأَةً كَمَا يَحْرُمُ تَزْيِيْنُ بَيْتِهَا بِحَرِيْرٍ. 

 

  Imām Ibnu Shalāḥ memberi fatwā bahwa menutup mayat dengan kain sutra, sekalipun mayat wanita adalah haram sebagaimana halnya seorang wanita menghiasi rumahnya dengan sutra.

  

وَ خَالَفَهُ الْجَلَالُ الْبُلْقِيْنِيُّ، فَجَوَّزَ الْحَرِيْرَ فِيْهَا وَ فِي الطِّفْلِ، وَ اعْتَمَدَهُ جَمْعٌ، مَعَ أَنَّ الْقِيَاسَ الْأَوَّلَ.

 Pendapat tersebut ditentang oleh Imām Jalāl al-Bulqīnī di mana dia memperbolekan hal itu untuk jenazah wanita dan kanak-kanak. (16) Pendapat ini lantas dibuat pegangan oleh segolongan ‘ulamā’ besertaan hukum qiyasnya adalah yang pertama (haram).

-------------

ولا يقال انه تضيع مال لانه تضيع مال لغرض وهو اكرام الميت وتعظيمه

16. Hal ini tidak disebut dengan menyia-nyiakan harta, sebab ada tujuannya ya‘ni memuliakan mayit. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 132. Dār-ul-Fikr.

-------------

MOHON DIKOREKSI DAN DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

Innalilahi wa innailaihi rojiun, hari ini kamis 23 Mei 2024, bupati Kuningan

Semoga diterima amal amal ibadahnya disisiNya aamiin ya Rabbal Alamin 

KUNINGAN - Innalilahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, telah meninggal dunia H. Acep Purnama, SH., MH Bupati Kuningan Periode 2016-2018 dan Periode 2018-2023, pada hari Kamis 23 Mei 2024, sekira Pukul 12.00 WIB di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Rencana jenazah akan diberangkatkan dari Bandung pukul 14.30 WIB, dan akan di mandikan di kediaman Almarhum di BTN Cigugur Jalan Wahana 3 samping Masjid Al-Islah RT 30/ RW 15 Kelurahan Cigugur.


Selepas itu di sholatkan dan di lepas secara resmi oleh Pj. Bupati Kuningan Dr. Drs. H. Raden Iip Hidajat, M.Pd di Masjid Syi’arul Islam Kuningan, kemudian  akan di makamkan di TPU BTN Cigugur.  


Acep Purnama, SH., MH, dilantik menjadi Bupati Kuningan menggantikan Hj. Utje Choeriah Suganda, S.Sos, M.AP pada sisa masa jabatan 2016-2018, dan kembali terpilih menjadi Bupati Kuningan pada pemilihan kepala daerah tahun 2018 bersama H. M. Ridho Suganda, M.Si.


Almarhum meninggalkan seorang istri Hj. Ika Siti rahmatika, SE, 6orang anak dan 4 orang cucu. Beliau pernah menjabat sebagai wakil ketua DPRD, Ketua DPRD tahun 1994-1999, Wakil Bupati Kuningan tahun 2013-2016, Bupati Kuningan Tahun 2016-2018, dan Bupati Kuningan 2018-2023. Selain jabatan politis Almarhum adalah seorang pengusaha di bidang perhotelan dan perdagangan hasil bumi.


Atas nama pemerintah Kabupaten Kuningan, pribadi dan keluarga Dr. Drs. H. Raden Iip Hidajat, M.Pd dan Sekretaris Daerah Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya H. Acep Purnama, SH., MH, semoga Almarhum meninggal meninggal dalam keadaan Husnul Khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.


Serta atas nama masyarakat mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas dedikasi dan loyalitas, pengabdian untuk pembangunan di Kabupaten Kuningan selama menjabat sebagai Bupati Kuningan.


“kita doakan semoga Almarhum H. Acep Purnama, SH., MH mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT, di ampuni segala dosa kekhilafannya. Tutup Iip. (Prokompim/SetdaKuningan).

NILAI SUNNAH TEORI USUL FIQIH

Kajian Sunnah pandangan Ushul fiqh 

Pembahasan tentang sunnah secara teori ushul fiqh, tentang apakah sunnah itu mengandung unsur ma'mur bih (yang dituntut untuk melakukannya) sehingga meninggalkannya dianggap ma'siat dan berdosa, atau tidak mengandung unsur ma'mur bih (yang di tuntut) sehingga meninggalkannya tidak dianggap ma'siat dan tidak berdosa, sebagai berikut :


حاشية النفحات على شرح الورقات للشيخ أحمد ابن عبد اللطيف الخطيب الإندونيسي في علم أصول الفقه -   ص : ٥٠.


المندوب ليس مأمور به لعدم تحتم أمره ، وبه قال أبو بكر الرازي ، والكرخي ، والحصاص ،  وشمس الأئمة الشرخسي ، وصدر الإسلام أبو اليسر ،  والمحققون من أصحاب الشافعي مستدلين  بأنه لو كان مأمورا به لكان تركه معصية . إنتهى مع حذف يسير .


بأن السواك  مندوب والحال ليس بمأمور به لقوله صلى الله عليه وسلم : لو لا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك .


وأيضا المندوب لا مشقة فيه ، وفي المأمور به مشقة ، وذهب القاضي أبو بكر وجماعة على أن المندوب مأمور به لوجهين : الأول أن المندوب طاعة إجماعا ، والطاعة فعل المأمور به . الثاني إتفاق أهل اللغة على أن الأمر ينقسم إلى أمر إيجاب وأمر ندب ، ومورد القسمة مشترك .


Artinya :

"Yang disunnahkan itu bukanlah ma'mur bih (hal yang dituntut), karena tak ada keharusan dalam perintahnya, demikian pendapatnya imam abu bakar  Ar-razi, dan imam Al-karkhi, dan imam has-shash, dan syamsul a-immah As-syarkhosi, dan shodrul islam abul yasar, dan para ulama-ulama ahli haq dari ashab imam syafi'i, mereka berdalil bahwasannya,  "apabila sunnah itu ma'mur bih (sesuatu yang dituntut) pasti meninggalkannya itu ma'siat". Selesai serta membuang sedikit.


"Siwak itu disunnahkan sedangkan kondisinya siwak itu bukanlah ma'mur bih (sesuatu yang dituntut), karena rosulullah shallahu 'alaihi wasallam bersabda, "apabila aku tidak memberatkan umatku, pasti aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak (dalam arti, namun karena memerintahkan siwak itu memberatkan umatku, aku tidak memerintahkan mereka untuk bersiwak)".


"Dan begitu juga yang disunnahkan itu tidak ada keberatan didalamnya untuk dilakukan (yakni ringan, karena tidaklah harus dilakukan, sehingga meninggalkannya pun tidaklah masalah, hanya saja jika dilakukan mendapatkan pahala), Sedangkan didalam ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan), terdapat keberatan didalamnya (yakni berat, harus untuk dilakukan, sehingga meninggalkannya itu dianggap berma'siat dan berdosa, seperti suatu hal yang diwajibkan untuk dilakukan), dan imam qadli abu bakar, dan para jama'ah ulama menghukumi bahwa yang disunnahkan itu adalah ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan), karena dua alasan:


Pertama : "sepakat, sesungguhnya yang disunnahkan itu adalah ketaatan, sedangkan keta'atan itu adalah perbuatan ma'mur bih (yakni, perbuatan yang dituntut untuk dilakukan)".


Kedua : "sepakat ahli bahasa bahwa, sesungguhnya perintah itu terbagi menjadi perintah wajib dan sunnah, dan dengan adanya pembagian itulah (yakni, pembagian bahwa perintah itu ada perintah wajib dan perintah sunnah), mengindikasi adanya persamaan bahwa keduanya (yakni, perintah wajib dan perintah sunnah), merupakan ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan), karena yang disebut perintah itu merupakan ma'mur bih, baik itu perintahnya adalah perintah wajib atau perintah sunnah keduanya adalah ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan) menurut ahli lughah, sehingga meninggalkannya perintah wajib dan perintah sunnah dianggap ma'siat dan berdosa".


السيد محضار ابن أحمد الحبشي

Wednesday, May 22, 2024

KAJIAN TENTANG AIR DALAM PANDANGAN PERBEDAAN PENDAT ULAMA'

 


Tentang air

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal."

Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih.

- At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih, Saya bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadits ini, beliau menjawab, “shahih””.

- Az Zarqoni berkata di Syarh Al Muwatho’, “Hadits ini merupakan prinsip diantara prinsip-prinsip islam, umat islam telah menerimanya, dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, diantaranya, Imam Bukhori, Al Hakim, Ibnu Hibban, Ibnul Mandzur, At Thohawi, Al Baghowi, Al Khotthobi, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan selainnya yang melebihi 36 imam.

Kosa kata:

- Kata البَحْر (al-bahr /laut) adalah selain daratan, yaitu dataran yang luas dan mengandung air asin.

- Kata الطَهُوْرُ (at-thohur) adalah air yang suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya.

- Kata الحِلُّ (Al-hillu) yaitu halal, kebalikan haram.

- Kata مَيْتَتُهُ (maitatuhu), yaitu hewan yang tidak disembelih secara syariat. Yang dimaksud di sini adalah hewan yang mati di dalam laut, dan hewan tersebut tidak bisa hidup kecuali di laut, jadi bukan semua yang mati di laut.


Faedah Hadits:

1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap.

2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian, tanah, atau selainnya.

3. Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya.

4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja.

6. Sabdanya الطهور ماؤه (suci dan mensucikan airnya), dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut.

7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum (yang ditambahnya tersebut).

8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambah "dan halal bangkainya"), dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting.

9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”.

Perbedaan Pendapat Para Ulama

a. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.

b.   Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa

c.  Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” (QS Al Maidah : 96), dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ

”Dihalalkan bagi kita dua bangkai, (yaitu) belalang dan al huut”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Di dalam “Kamus” disebutkan bahwa al huut adalah ikan.

Juga berdasarkan hadits pada bab ini, الحِلُّ مَيْتـَتُهُ (halal bangkainya), maka pendapat inilah (Imam Malik dan Imam As Syafi’i) yang lebih kuat. (1)

Sumber: Taudihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Bassaam.

(1). Menurut Imam Syafii dan ulama Syafiiyah, ular laut hukumnya halal dimakan. Hal ini karena ular laut termasuk bagian shaydul bahri atau buruan laut yang halal untuk dimakan. Setiap hewan laut, meskipun berbentuk babi atau anjing, atau ular, maka hukumnya suci dan halal dikonsumsi.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Syaikh Taqiyuddin Abu Bakr al-Hishni menyebutkan sebagai berikut;

وأما ما ليس على صورة السموك المشهورة ففيه ثلاث مقالات أصحها الحل ونص عليه الشافعي واحتج به بعموم قوله تعالى { أحل لكم صيد البحر } وبقوله صلى الله عليه وسلم الحل ميتته وقد نص الشافعي رضي الله عنه على أنه قال يؤكل فار الماء خنزير الماء قال النووي في أصل الروضة الأصح أن السمك يقع على جميعها

Adapun hewan laut yang tidak berbentuk ikan yang sudah dikenal, maka terdapat tiga pendapat ulama. Namun pendapat yang paling sahih mengatakan halal. Hal ini telah ditegaskan oleh Imam Syafii berdasarkan keumuman firman Allah, ‘Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut.’ Juga berdasarkan sabda Nabi saw, ‘Yang halal bangkainya.’ Imam Syafii mengatakan dengan tegas bahwa, ‘Halal dimakan tikus laut dan babi laut.

Sementara menurut Imam Syairazi, ular laut haram dimakan karena bentuknya menyerupai hewan yang haram dimakan. Setiap hewan laut yang bentuknya menyerupai hewan darat yang haram dimakan, maka hewan laut tersebut haram dimakan. Misalnya, tikus laut, babi laut, anjing laut, ular laut dan lain sebagainya. Dalam kitab Al-Muhazzab, beliau berkata;

أن ما أكل مثله في البر حل أكله ، وما لا يؤكل مثله في البر لم يحل أكله اعتبارا بمثله

Sesungguhnya hewan laut yang menyerupai hewan darat yang halal dimakan, maka halal memakannya. Sementara jika menyerupai hewan darat yang tidak halal dimakan, maka tidak halal dimakan karena mengikuti dengan keserupaan hewan darat tersebut.

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes