BREAKING NEWS

Watsapp

Sunday, June 30, 2024

SHOLAT JANAZAH PART 16 MENGKAFANI JANAZAH MATI SYAHID


BAROKAH NGAJI KIYAI SHOLIHIN

TERJEMAH FATHUL MU'IN

SHOLAT JANAZAH 

PART 16


MENGKAFANI JANAZAH MATI SYAHID


(وَ كُفِّنَ) نَدْبًا (شَهِيْدٌ فِيْ ثِيَابِهِ) الَّتِيْ مَاتَ فِيْهَا، وَ الْمُلَطَّخَةُ بِالدَّمِ أَوْلَى، لِلْاِتِّبَاعِ، 


Orang yang mati syahīd, sunnah dikafani dengan pakaian 📝yang dipakainya waktu mati, sedangkan yang berlumuran darah adalah lebih utama, karena mengikuti dengan Nabi s.a.w.📚

-----------------

📝 أي إذا اعتيد لبسها غالبا، أما ما لا يعتاد لبسها كذلك - كدرع، وخف، وفروة، وجبة محشوة - فيندب نزعها منه - كسائر الموتى -.

"Yaitu, jika pakaian tersebut biasa dipakai sehari-hari. Namun, untuk pakaian yang tidak biasa dipakai sehari-hari - seperti baju besi, sepatu bot, mantel bulu, dan jubah berlapis - dianjurkan untuk melepaskannya dari mayat, seperti halnya dengan mayat lainnya."


وهل تنزع ثيابه التي مات فيها عند الموت ثم ترجع إليه ويكفن فيها كسائر الموتى أو لا؟، ذهب ابن حجر إلى الثاني.

"Apakah pakaian yang dikenakan oleh mayat saat meninggal diambil dulu saat kematiannya, kemudian dikembalikan dan dikenakan kembali untuk dikafani seperti mayat lainnya atau tidak? Ibnu Hajar berpendapat pada opsi kedua. 


ونقل ع ش، عن الزيادي أن المعتمد الأول.

Adapun pendapat yang diandalkan oleh Al-Ziyadi, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyuti, adalah opsi pertama."


📚 تعليل لكونه يكفن ندبا في ثيابه، وهو من رواه أبو داود بإسناد حسن عن جابر، قال: رمى رجل بسهم في صدره - أو حلقه - فمات، فأدرج في ثيابه كما هو، ونحن مع النبي - صلى الله عليه وسلم -.

"Penjelasan mengenai disunnahkannya mengkafani mayat dengan pakaian yang dikenakannya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan dari Jabir. Ia berkata: Seorang laki-laki terkena panah di dadanya - atau lehernya - lalu meninggal. Ia kemudian dikafani dengan pakaiannya sebagaimana adanya, sementara kami bersama Nabi ﷺ."


Ianatutholibin juz 2 hal 137

Nurul ilmi

-------------------



وَ لَوْ لَمْ تَكْفِهِ بِأَنْ لَمْ تَسْتُرْ كُلَّ بَدَنِهِ , تُمِمَّتْ وُجُوْبًا، (لَا) فِيْ (حَرِيْرٍ) لَبِسَهُ لِضَرُوْرَةِ الْحَرْبِ، فَيَنْزَعُ وُجُوْبًا.


 Jika pakaiannya tidak mencukupi, misalnya belum menutup seluruh badannya, maka wajib menyempurnakan dengan menambah yang lain. (52)

  Tidak boleh dikafani memakai pakaian dari sutra yang dipakai karena terpaksa waktu perang📑, karena itu, sutra yang dipakainya harus dilepas. (53).

  ---------------

52).

والتصوير المذكور مبني على المعتمد من أن الواجب ستر كل البدن.

 Ini berpijak pada pendapat yang mengatakan bahwa minimal mengkafani adalah menutup seluruh tubuh mayit. 


53).

وهذا ما جرى عليه ابن حجر، وتقدم عند قوله ويكفن الميت بما له لبسه حيا: التفصيل بين كونه لبسه لحاجة فيكفن فيه، ولغير حاجة فلا يكفن.


"Dan inilah yang diikuti oleh Ibnu Hajar, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam ucapannya: 'Mayat dikafani dengan pakaian yang biasa dikenakannya semasa hidup.' Dengan perincian, jika pakaian tersebut dikenakan karena suatu keperluan, maka dikafani dengan pakaian itu, namun jika tanpa keperluan, maka tidak dikafani dengannya.


ووافق عليه ابن قاسم، وعبارته: والمتجه أن من استشهد وهو لابسه لمسوغ، لم يجب نزعه، بل يدفن فيه، لأن دفن الشهيد في أثوابه التي قتل فيها مطلوب شرعا، بخلاف من استشهد، وهو معتد بلبسه، فلا عبرة بهذا اللبس، فينزع منه.


Pendapat ini disetujui oleh Ibnu Qasim, yang menyatakan: 'Pendapat yang lebih tepat adalah bahwa seseorang yang syahid dan mengenakan pakaian karena alasan yang dibenarkan, maka tidak perlu melepasnya, melainkan dikubur dengan pakaian tersebut. Sebab, mengubur syahid dengan pakaian yang dikenakannya saat dibunuh adalah tuntutan syar'i. Berbeda halnya dengan orang yang syahid dan mengenakan pakaian tanpa alasan yang dibenarkan, maka pakaian tersebut tidak dianggap, sehingga harus dilepaskan darinya.'"



📑أي لضرورة هي الحرب، فالإضافة للبيان.

ومثلها: ما لو لبسه للحكة أو للقمل.

contoh darurat memakai sutra adalah agar tisak gatal, dan terindar dari kutu.


Ianatutholibin juz 2 hal 138

Nurul ilmi

-----------------


MOHON DIKOREKSI DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

Saturday, June 29, 2024

HUKUM MEROKOK

 Hukum merokok 

- Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan. 

- Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

- Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya. Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. 

Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar al-masyhur Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut: 

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة.

 

Artinya:

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya. 

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut: 

إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.


Artinya:

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil. 

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut: 

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما.

Artinya :

 Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.


• Referensi yang lain mencakup hukum jual beli rokok dan hukum merokoknya sendiri :

- Tentang Hukum Merokok

Dalam menetapkan hukum merokok ada tiga kelompok ulama :

1. ulama yang mengatakan haram secara mutlak

2. ulama yang mengatakan halal secara mutlak

3. ulama yang mengatakan bahwa hukumnya dapatberubah menjadi lima (halal, haram, mubah,makruh, dan sunah) menurut situasi dan kondisinya;dalam arti bisa :

a. Haram, seperti merokok hanya karena sengajauntuk berhambur hamburan yang diharamkan atauakan menimbulkan bahaya .

b. Makruh, seperti merokok tanpa tujuan apa apadan tidak berbahaya dikarenakan merokoktermasuk hal yang masih dikhilafkan ulama yangmenyebabkan keraguan (hukumnya), padahalmelakukan perkara yang masih diragukan halal danharamnya adalah makruh .

c. Wajib, (seperti) apabila punya penyakit / bahayapada dirinya yang tidak bisa sembuh / hilangkecuali dengan merokok .

d. Sunah, (seperti) apabila mempunyai penyakityang berbahaya tetapi masih ada obat lain,dikarenakan berobat hukumnya sunah .

e. Mubah, artinya dalam situasi makruh, sunah, danwajib bisa dinamakan mubah.


- Sab'atu Kutubin Mufidah 135-137 :


ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ : ﺇﺫﺍ ﺗﻘﺮﺭ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻣﺴﺌﻠﺔ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﺷﺮﺑﺎ ﻭﺳﻌﻮﻃﺎ ﻣﻦ ﺟﻤﻠﺔ ﺇﻓﺮﺍﺩ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﻤﺘﺸﺒﻬﺎﺕ ﺍﻟﺘﻰﻓﺴﺮﻫﺎ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺭﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﺑﻮﺍﺿﺢ ﺍﻟﺤﺎﻝﻭﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﻣﻤﺎ ﺗﻨﺎﺯﻋﺘﻪ ﺍﻷﺩﻟﺔ ﻭﺗﺠﺎﺫﺑﻨﻪ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻰ ﻭﺍﻷﺳﺒﺎﺏﺍﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ ﻭﻣﻦ ﺃﺟﻞ ﺫﻟﻚ ﺇﻧﻘﺴﻢ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻋﻠﻰﺣﻜﻤﻪ ﺛﻼﺛﺔ ﻣﺬﺍﻫﺐﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻷﻭﻝ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﻣﻦ ﺃﻃﻠﻖ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺘﺤﺮﻳﻢ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻪ ﺇﻟﻰﺃﻥ ﻗﺎﻝﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﺜﺎﻧﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﻣﻦ ﺃﻃﻠﻖ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﻌﺪﻡ ﺗﺤﺮﻳﻢ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺍﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻣﺬﻫﺐ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺮ ﺇﻃﻼﻕ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺘﺤﺮﻳﻢﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﺃﻭ ﺗﺤﻠﻴﻠﻪ ﻷﻧﻪ ﻳﺮﻯ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﻘﺎﻡ ﻣﻘﺎﻡ ﺗﻔﺼﻴﻞﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺃﻥ ﺍﻹﻃﻼﻕ ﻟﻠﺤﻜﻢ ﻓﻰ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﺧﻄﺎﺀ ، ﻓﻴﺮﻯﺃﻥ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺍﻟﺨﻤﺴﺔ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﻭﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﻭﺍﻟﻨﺪﺏ ﻭﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺗﺠﺮﻱ ﻓﻰ ﻣﺴﺌﻠﺔ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﺑﺤﺴﺐﺍﻟﻤﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﺍﻟﻮﺿﻌﻴﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺃﻣﺜﻠﺔ ﺫﻟﻚ ﻻ ﺗﺪﺧﻞ ﺗﺤﺖ ﺍﻟﺤﺼﺮ ﻭﻟﻜﻦ ﻻ ﺑﺄﺱﺑﺎﻹﺷﺎﺭﺓ ﺍﻟﻰ ﺑﻴﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻤﺎ ﻧﺤﻞ ﺑﺼﺪﺩﻩ ﻣﻦ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡﺍﻟﺨﻤﺴﺔ

ﻓﻤﻦ ﺃﻣﺜﻠﺔ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺇﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﻟﻤﻦ ﻛﺎﻥﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻪ ﻟﻪ ﻟﻴﺲ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻹﺳﺮﺍﻑ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﺃﻭ ﺗﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻪ ﺿﺮﺭ ﻣﺤﺮﻡ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﺣﻜﻤﺎ ﻭﺿﻌﻴﺎ ﻟﺤﺮﻣﺔﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﻓﻰ ﺣﻖ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺻﻔﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝﻭﻣﻦ ﺃﻣﺜﻠﺔ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻤﻜﺮﻭﻩ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﺍﺧﺘﻠﻒﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺭﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻰ ﺣﻜﻤﻪ ﻭﺍﺧﺘﻼﻓﻬﻢ ﻓﻰ ﺍﻟﺸﻲﺀﺣﻜﻢ ﻭﺿﻌﻲ ﻟﻜﺮﻫﺔ ﺍﻗﺘﺤﺎﻡ ﺍﻟﺮﻳﺐ ، ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡﺩﻉ ﻣﺎ ﻳﺮﺑﻚ ﺍﻟﻰ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺮﺑﻚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻨﺴﺎﺉ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢﻭﺻﺤﺤﺎﻩﻭﻣﻦ ﺃﻣﺜﻠﺔ ﺃﻣﺜﻠﺔ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺩﻓﻊ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﺲﺇﺫﺍ ﺗﻌﻴﻦ ﺣﻜﻢ ﻭﺿﻌﻲ ﻟﻮﺟﻮﺏ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﻣﺎ ﻳﻘﻊ ﺑﻪ ﺍﻟﺪﻓﻊﻟﻤﻔﻬﻮﻡ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻻ ﺗﻘﺘﻠﻮﺍ ﺍﻧﻔﺴﻜﻢ ـ ﺑﻞ ﻟﻮ ﻭﻗﻌﺖ ﺍﻟﺘﺠﺮﻳﺔﻓﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺪﻓﻊ ﻟﺬﻟﻚ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻟﻴﺲ ﺇﻻ ﺑﺘﻌﺎﻃﻰ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﺃﻛﻼ ﻭﺷﺮﺑﺎﻭﺟﺐ ﻷﻧﻪ ﻣﻀﻄﺮ ﻓﻰ ﺑﻘﺎﺀ ﺭﻭﺣﻪ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝﻭﻣﻦ ﺃﻣﺜﻠﺔ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻨﺪﺏ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺩﻓﻊ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻣﻦﻋﺎﺭﺽ ﺍﻟﺪﺍﺀ ﺣﻜﻢ ﻭﺿﻌﻲ ﻟﻨﺪﺏ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﻣﺎ ﻳﻘﻊ ﺑﻪ ﺍﻟﻨﻔﻊﻣﻦ ﺗﻌﺎﻃﻰ ﺍﻟﺪﻭﺍﺀ ﻟﺘﻈﺎﻫﺮ ﺍﻷﺩﻟﺔ ﺍﻟﺴﻤﻌﻴﺔ ﺍﻟﻤﺘﻜﺎﺛﺮﺓ ﻋﻠﻰﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﺪﺍﻭﻯ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ

ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮ ﺍﻷﻃﺒﺎﺀ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻭﻥ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﻔﻊ ﻷﻭﺟﺎﻉ ﺍﻟﻜﺒﺪ ﻭﻣﻦﺍﻟﺤﻤﻴﺎﺕ ﺍﻟﻐﻠﻴﻈﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﻐﺾ ﻭﺍﻟﻴﺮﻓﺎﻥ ﻭﻟﺘﺠﻔﻴﻒ ﺍﻟﺮﻃﻮﺑﺎﺕﻭﻏﻴﺮ ﺧﺎﻑ ﺟﺮﻳﺎﻥ ﻣﺎ ﺫﻛﺮ ﻓﻰ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﺳﻮﺍﺀ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺠﻮﺍﺯﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻪ ﺃﻭ ﺑﺤﺮﻣﺘﻪ ﻭﺃﻥ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﻭﻧﺪﺑﻪ ﻭﻭﺟﻮﺑﻪ ﻳﻄﻠﻖﻋﻠﻴﻪ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﺠﺎﺋﺰ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﻤﻨﻮﻉ ﻣﻦ ﻓﻌﻠﻪ

ﺇﻧﺘﻬﻰ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻓﻰ ﻗﻤﻊ ﺍﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ﻋﻦ ﺗﻨﺎﻭﻝ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﻣﻦ ﺳﺒﻌﺔ ﻛﺘﺐ ﻣﻔﻴﺪﺓ ﺹ 135-137 :


- kitab albajuri juz 1 hal 343 :


(قوله ولا بيع لا منفعة فيه) قيل منه الدخان المعروف لانه لا منفعة فيه بل يحرم استعماله لان فيه ضررا كبيرا وهذا ضعيف وكذا القول بانه مباح والمعتمد انه مكروه بل قد يعتريه الوجوب كما اذا كان يعلم الضرر بتركه وحينئذ فبيعه صحيح وقد تعتريه الحرمة كما اذا كان يشتريه بما يحتاجه لنفقة عياله او تيقن ضرره .


Terjemah dari albajuri diatas sebagai berikut :

Perkataan mushonif: Dan tidak sah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya, ada yang berpendapat rokok itu termasuk yang gak sah jual belinya karena termasuk barang yang tidak ada manfaatnya bahkan haram menggunakan / menghisapnya karena adanya dampak negatif dan pendapat ini dianggap lemah / dlo'if, begitu juga pendapat yang menyatakan rokok itu boleh, itu juga dianggap dloif / lemah. Dan pendapat yang mu'tamad / yang bisa dibuat pegangan yaitu sesungguhnya hukum rokok itu makruh, bahkan menjadi wajib jika tau kalau meninggalkan rokok bisa berdampak negatif pada dirinya, kalau sudah begitu maka jual beli rokok tadi hukumnya sah. Terkadang juga hukumnya rokok tadi menjadi haram seperti membeli rokok dengan uang yang seharusnya untuk nafaqoh keluarganya atau ada keyakinan jika merokok akan berdampak negatif pada dirinya. [ Keterangan dari kitab Al-bajuri ].

KETENTUAN GADAI, HUKUM, DAN RUKUNNYA


KETENTUAN GADAI, HUKUM, DAN SYARAT RUKUNNYA


A. Gadai


Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong menolong dengan berdasarkan rasa tanggungjawab bersama, jamin menjamin dan tanggung menanggung dalam hidup bermasyarakat. Islam juga mengajarkan agar dalam hidup bermasyarakat dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan praktik-praktik penindasan dan pemerasan.


Salah satu contoh ajaran Islam adalah hak milik perorangan dalam ajaran Islam adalah tidak mutlak, tetapi terkait dengan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan; pemilik benda tidak sepenuhnya bebas memperlakukan harta benda miliknya. Dalam usaha mengembangkan harta benda, Islam melarang cara-cara yang mengandung unsur penindasan, pemerasan atau penganiayaan terhadap orang lain. Begitu juga halnya dengan memberikan pinjaman uang kepada orang lain yang amat membutuhkan, tetapi dengan dibebani kewajiban tambahan dalam membayarkannya (kembali) atau menyita dan menguras sebagian benda sebagai imbangan jangka yang telah diberikan memberatkan pihak peminjam.


Terkait dengan hal tersebut diatas, lebih lanjut akan dibahas secara sistematis tentang perjanjian utang-piutang khususnya perjanjian utang piutang gadai yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan sistematika pembahasannnya dapat dideskripsikan sebagai berikut:


Pengertian Gadai


Perjanjian dalam Islam disebut (rahn), yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata (rahn) menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung” dan “menahan”.[1]


Sedangkan menurut istilah sebagai berikut:


الرهن: عقديتضمن جعل عين مالية وثيقة بدين يستوفى منهاعند تعدرالوفاء


Artinya:

“Suatu akad dengan menjadikan barang yang bernilai harta sebagai tanggungan/jaminan atas hutang ketika berhalangan dalam membayar hutang”.[2]


الما ل الذ ى يجعل وثيقة با لد ين ليستو فى من ثمنه ان تعدر استفا ؤه ممن هو له


Artinya:

“Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harta (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu) membayar hutangnya kepada pemberi pinjaman”.[3]


Sedangkan menurut Imam Abu Zakariya Al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut:

جعل عين مال وثيقة بدين يستو فى منهاعندتعذروفا ئه

Artinya:

“Menjadikan suatu benda yang bersifat harta sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayaran ketika berhalang dalam membayar hutang”.[4]


Selanjutnya Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayat al Ahyar fii Halli Ghayati al-Ikhtisar berpendapat bahwa rahn adalah:

جعل مال وثيقة بدين

Artinya:

“Menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat hutang”.[5]


Lebih lanjut Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijualbelikan. Artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.


Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang dan barang jaminan itu boleh sebagai pembayar harga atau dijual kalau hutang tidak dapat dibayar.


2. Sifat Gadai


Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai rahin kepada penerima gadai murtahin tidak ditukar dengan sesuatu.[6] Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan. Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang Alqabdu sesuai kaidah:


لا يتم التبر ع إلابالقيض (tidak sempurna tabarru’ kecuali setelah pemegangan).[7]


3. Dasar Hukum Gadai


Gadai disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah:


a. Dalil dari Al-Qur’an


Surat Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:


وان كنتم على سفرولم تجدوا كاتبافرهان مقبوضة وان امن بعضكم بعضا فليؤدالذىاؤتمن امانته وليتق الله ربه (البقر ة: ۲۸۳)

Artinya:

“Jika kamu dalam perjalanan (dalam muamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (Al-Baqarah: 283).[8]


b. Dalil dari As-Sunnah


عن انس قال رهن رسول الله صلى الله عليه وسلم درعاعنديهودي بالمدينة واخذمنه شعيرالاهله (رواه احمد والبخارى والنسا ئى وابن ماجه)


Artinya:

Dari Anas, ia berkata: “Rasulullah SAW telah menggadaikan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Masinah, sewaktu beliau menghutang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah (keluarga) beliau”. (HR. Ahmad, bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah).


c. Ijma’ Ulama


Pada dasarnya para ulama’ telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. (Jumhur) ulama’ berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[9]


4. Hukum Gadai


Para ulama sepakat bahwa (rahn) dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebagai gadai hanya jaminan saja, jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah SWT: فرهان مقبوضة pada ayat diatas adalah (isyad) (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan:


فان امن بعضكم بعضا فليؤدالذىاؤتمن امانته ….. (البقر ة: ۲۸۳)


Artinya:


“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya)”.

(QS. Al-Baqarah: 283).[10]


Selain itu, perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis padahal hukum utang sendiri tidaklah wajib, beitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.[11]


5. Rukun Dan Syarat Sah Gadai


a. Rukun gadai


Rukun gadai ada 5 (lima) yaitu:

1) Orang yang menggadaikan (rahin)

2) Barang yang digadaikan (marhun)

3) Orang yang menerima (murtahin)

4) Sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad gadai (shigat)

5) Utang (marhun bih)[12]

b. Syarat sah gadai


Disyaratkan untuk sahnya akad gadai sebagai berikut:

1) Ijab qabul (sighot)

Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

2) Orang yang bertransaksi (aqid)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin) adalah:

a) Telah dewasa

b) Berakal

c) Atas keinginan sendiri

3) Adanya barang yang digadaikan (marhun)


Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh pemberi gadai (rahin) adalah:

a) Dapat diserah terimakan

b) Bermanfaat serta bernilai harta

c) Milik orang yang menggadaikan (rahin)

d) Jelas (tertentu)

e) Tidak bersatu dengan harta lain

f) Dikuasai oleh rahin

g) Harta yang tetap atau dipindahkan[13]


Dalam ketentuan marhun tidak termasuk barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan.

Bahwa barang-barang yang tidak diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman dan buah-buahan dipohonnya belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur-unsur tipuan gharar bagi murtahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang murtahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.[14]


4) Utang (marhun bih)

Menurut ulama Hanafiyah dan syafi’iyah utang yang dapat dijadikan alasan gadai adalah:

a) Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan

b) Utang harus lazim pada waktu akad

c) Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murtahin, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya. Karena Rasulullah SAW bersabda:


ﻓﺎﻟﺒﻴﻨﺔﻋﻠﻰﺍﻟﻤﺪﻋﻰﻭﺍﻟﻴﻤﻴﻦﻋﻠﻰﺍﻟﻤﺪﻋﻰﻋﻠﻴﻪ (رواه البيهفى )


Artinya:

“Barang bukti yang dimintakan dari orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang diklaim”. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).


6. Perlakuan Bunga Dan Riba Dalam Perjanjian Gadai


Dalam perjanjian gadai yang pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai diharuskan memberi tambahan sejumlah uang atau presentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin. Hal ini sering disebut dengan bunga gadai dan perbuatan yang dilarang oleh syara’.[15]


7. Berakhirnya Hak Gadai


Gadai dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti membebaskan hutang, hibah, membayar hutang dan lain-lain yang akan dijelaskan dibawah ini:

a. Rahin melunasi semua utang

Yakni orang yang menggadaikan barang (rahin) telah melunasi semua kewajibannya kepada orang yang menerima gadai (murtahin).

b. Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi

c. Baik rahin maupun murtahin atau salah satunya ingkar dari ketentuan syara’ dan akad yang telah disepakati oleh keduanya.[16]

d. Marhun diserahkan kepada pemiliknya

Jumhur ulama selain Syafi’i memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan marhun kepada pemiliknya (rahin) sebab marhun merupakan jaminan utang. Jika marhun diserahkan, maka tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan marhun kepada rahin atau kepada orang lain atas seizin rahin.

e. Gadai habis jika hakim memaksa rahin untuk menjual marhun, atau hakim menjualnya jika rahin menolak.

f. Pembebasan utang, dalam bentuk apa saja, menandakan habisnya gadai meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.

g. Rahin meninggal

Menurut ulama Malikiyah, rahn habis jika rahin meninggal sebelum menyerahkan marhun kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin meninggal sebalum mengembalikan marhun kepada rahin.

h. Gadai dipandang habis apabila marhun di tasharrufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah dan lain-lain atas seizin pemiliknya.


B. Ketentuan Pelaksanaan Gadai dalam Islam


1. Kedudukan Barang Gadai


Selama ada ditangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.[17]

Bahwa sebagai amanat, murtahin (penerima gadai) berkewajiban memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya, sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu baru diadakan setelah perjanjian gadai terjadi. Namun akibatnya, ketika perjanjian gadai diadakan, barang ada dipihak ketiga, maka perjanjian gadai itu dipandang tidak sah; sebab diantara syarat sahnya perjanjian gadai ialah barang gadai diserahkan seketika kepada murtahin.


2. Pemanfaatan Barang Gadai


Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemilik maupun oleh penerimanya gadai. Hal ini disebabkan statusnya barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari maisng-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang tidak memiliki barang secara sempurna yang memungkinkan perbuatan hukum (barangnya sudah digadaikan). Misalnya, mewakafkan, menjual dan sebagainya sewaktu-waktu atas barang yang telah digadaikan tersebut. Sedangkan hak penggadai terhadap barang tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada nilai guna pemanfaatan/pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan barang hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi sebagai pemilik apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi miliknya.


Oleh karena itu diusahakan agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubadzir.[18]


a. Pendapat fuqoha As-Syafi’iyah tentang dibolehkan pemanfaatan barang gadai


ومنهالوعم فى الناس إعتيادإباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزله شرطه حتى يفسدالرهن قال الجمهور “لا” وقال القفال “نعم”


Artinya:

“Jika sudah umum dikalangan masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadaian oleh penerima gadai (murtahin) apakah kebiasaan tersebut sama dengan pemberlakukan syarat (kebolehan pemanfaatan) sampai barang yang digadaikan itu rusak. Mayoritas ulama mengatakan tidak sama, berbeda dengan Imam Al-Qaffal”.[19]


وجازلمقترض نفع يصل له من مقترض كردالزائد قدرااوصفة والأجودللردئ (بلاشرط) فى العقدبل يسن ذلك لمقترض الى أن قال واماالمقترض بشرط جرنفع لمقترض ففاسدلخبر كل قرض جرمنفعة فهوربا (قوله فغاسد) قال ع ش ومعلوم ان محل الفسادحيث وقع الشرط فى صلب العقد امالوتوافقاعلى ذلك ولم يقع شرط فى العقدفلافساد


Artinya:

“Diperbolehkan bagi si pemberi pinjaman untuk memanfaatkan sesuatu kelebihan yang diperoleh dari peminjam, seperti pengambilan yang lebih, baik ukuran atau sifat, dn yang lebih baik pada pinjaman yang jelek, asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai persyaratan, bahkan disunatkan bagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu (mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya)”.[20]

Adapun peminjaman dengan syarat boleh mengambil manfaat oleh si peminjam, maka hukumnya rusak/haram, sesuai dengan hadits “semua peminjaman yang menarik sesuatu manfaat (terhadap yang dipinjamkannya) maka termasuk riba”.


Dengan ini diketahui, bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad. Sedangkan jika keduanya si peminjam dan yang dipinjami saling bersepakat, dan tanpa ada persyaratan tertentu dalam akad, maka akad itupun tidak rusak (boleh).[21]


إناباح الراهن للمرتهن الثمارإباحة صحيحة لم يكن له الرجوع عليه بشيئ


Artinya:

“Jika orang yang menggadaikan memperbolehkan kepada penerima gadai untuk mengambil buah-buahan yang pada tanah yang digadaikan, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil kembali”.[22]


قال شيخ مشا يخنا العلامة المحقق الطنيداوى فيما إذاندرالمديون للدائن مغفعة الارض المرهونة مدة بقاء الدين في د مته والذى ر أ يته لمتأ خرى اصحابنا اليمنيين ما هوصريح فى الصحة وممن افتى بذ لك شيخ الاسلام محمدبن حسين القا مط العلا مةالحسين ابن عبدالرحمن الاهدال.


Artinya:

“Syeh Al-Allamah Al-Muhaqqiq Al-Thanbadawi berpendapat tentang nadzar orang yang berutang kepada si penghutang untuk memanfaatkan tanah yang digadaikan selama masa hutang, masih dalam jaminannya. Dan pendapat yang aku amati dari ulama-ulama Yaman belakangan ini jelas memperbolehkannya. Demikian halnya yang difatwakan oleh Syeh Al-Islam Muhammad bin Husain Al-Qammath dan Al-Allamah Al-Husain Ibnu Abdurrahman Al-Ahdal”.[23]


رهن ارضاو أ باح للمرتهن اوغيره منا فعها مدة بقاءالدين إنتهت إلاباحة بموت المبيح فيغرم المنافع من حينئذ


Artinya:

“Seseorang menggadaikan tanah dan ia memperbolehkan kepada penerima gadai atau yang lainnya untuk memanfaatkan tanah tersebut selama masa hutang belum terbayar, maka kebolehan tersebut habis dengan meninggalnya pemilik tanah sehingga sejak itu ia harus membayar segala pemanfaatannya”.[24]


ومن ربا الفضل ربا القرض وهو كل قرض جر نفعا للمقرض غير نحو رهن لكن لا يحر م عندنا إلا اذا شترط في عقد ه


Artinya:

“Dan diantara riba al fadhl adalah riba al-qardh yakni semua utang yang memberikan manfaat kepada si peghutang kecuali selain dalam bentuk gadai. Menurut kita yang demikian itu tidak haram, kecuali disyaratkan dalam gadai”.[25]


اما لو توا فقا على ذلك ولم يقع فى العقد فلا فسد


Artinya:

“Sedangkan jika keduanya si peminjam dan yang dipinjami saling bersepakat dan tanpa adanya persyaratan tertentu dalam akad, maka akad itupun tidak rusak (boleh)”.[26]

Maqolah yang tertera tersebut merupakan pendapat ulama Syafi’iyah, maka untuk lebih global atas pemanfaatan gadai agar dapat dikelola baik oleh rahin maupun oleh murtahin dapat diuraikan dari berbagai pendapat ulama al-madzahibi al-arba’ah.


Mengenai pemanfaatan gadai pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang gadai (marhun), sebab hal itu akan menyebabkan marhun hilang atau rusak. Hanya saja diwajibkan untuk mengambil faedah ketika berlangsungnya gadai.


3. Pemanfaatan rahin atas marhun

Diantara ulama terhadap dua pendapat , jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan marhun, sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memadaratkan murtahin.

a) Ulama Hanafiyah[27] berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan marhun tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin, tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa barang gadai (marhun) harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah[28], sebab manfaat yang ada dalam marhun pada dasarnya termasuk rahn.

b) Ulama Malikiyah[29] berpendapat bahwa jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan barang gadai, maka akad menjadi batal. Adapun murtahin diperbnolehklan memanfaatkan barang gadai sekedarnya (tidak boleh lama) itupun atas tanggungan rahin. Sebagian ulama Malikiyah berpendapat, jika murtahin terlalu lama memanfaatkan marhun, ia harus membayarnya. Sebagian lainnya berpendapat tidak perlu membayar. Pendapat lainnya diharuskan membayar, kecuali jika rahin mengetahui dan tidak mempermasalahkannya.

c) Ulama Syafi’iyah[30] berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan marhun. Jika tidak menyebabkan marhun berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan marhun berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus menerima izin kepada murtahin.


4. Pemanfaatan murtahin atas marhun

Jumhur ulama selain Hanbilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun. Dalam hal ini murtahin dibolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan.[31] Ulama Hanabilah berpendapat bahwa murtahin boleh memanfaatkan marhun, jika berupa hewan seperti dibolehkan untuk mengendarai atau mengambil susunya, sekedar mengganti pembiayaan. Lebih jauh tentang pendapat para ulama tersebut adalah sebagai berikut:

a) Ulama Hanafiyah[32] berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun, sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah, ada yang membolehkan untuk memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin, tetapi sebagian lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada izin, bahkan mengategorikan sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan marhun, hukumnya haram sebab masuk riba.

b) Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan marhun jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad, dan marhun tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah.[33]

c) Pendapat fuqoha As-Syafiiyah tentang tidak diperbolehkan pemanfaatan barang gadai


لايصح (بشرط مايضر) الراهن والمرتهن(كا ن لايباع) اي المرهون (عند المحل) اي وقت الحلول الدين او إلا بأ كثر من ثمن المثل (و كشرط منقعته) اى المرهون للمر تهن


Artinya:

“Akad rahn tidak sah dengan syarat sesuatu yang dapat membebani penggadai (rahin) dan penerima gadai (al murtahin) sebagaimana tidak dibolehkan menjual marhun ketika jatuh waktu pembayaran utang atau tidak boleh dijual kalau tidak dengan harga yang lebih banyak dari pada harga sepadan (tsaman mitsil) dan sebagaimana syarat pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin”.[34]


(قوله لايصح) اى الرهن بمعنى العقد (قوله بش

SHOLATNYA SUPIR, BAGAIMANAKAH?

SHOLATNYA SUPIR


Deskripsi Masalah :

Toni bekerja sebagai supir bus yang setiap hari jauh dari keluarga, demi memenuhi tuntutan ekonomi. Kehidupannya selalu di perjalanan dari satu kota ke kota lain.


Pertanyaan :

Apakah Toni setiap hari boleh melakukan rukhshatus safar mengingat ia selalu bepergian (مديم السفر)


Jawaban :

Orang yang senantiasa ada di perjalanan, seperti supir bus antar kota, nahkoda kapal dls. Tetap diperbolehkan melakukan rukhshatus safar. Baik dalam qashar shalat, maupun dalam meninggalkan puasa menurut pendapat yang awjah (khusus puasa). Namun lebih baik tidak melakukan rukhshatus safar karena ada beberapa ulama' yang tidak memperbolehkan.


Referensi :

حواشي الشرواني والعبادي [٣/ ٤٣٠]

و يباح تركه لنحو حصاد أو بناء لنفسه أو لغيره تبرعا أو بأجرة وإن لم ينحصر الأمر فيه أخذا مما يأتي في المرضعة خاف على المال إن صام وتعذر العمل ليلا أو لم يغنه فيؤدي لتلفه أو نقصه نقصا لا يتغابن به هذا هو الظاهر من كلامهم وسيأتي في إنقاذ المحترم ما يؤيده خلافا لمن أطلق في نحو الحصاد المنع ولمن أطلق الجواز ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه على فطره فظاهر أن له الفطر لكن بقدر الضرورة و (للمسافر سفرا طويلا مباحا) للكتاب والسنة والإجماع ويأتي هنا جميع ما مر في القصر فحيث جاز جاز الفطر وحيث لا فلا نعم سيعلم من كلامه أن شرط الفطر في أول أيام سفره أن يفارق ما تشترط مجاوزته للقصر قبل طلوع الفجر وإلا لم يفطر ذلك اليوم ومر أنه إن تضرر بالصوم فالفطر أفضل وإلا فالصوم أفضل ولا يباح الفطر حيث لم يخش مبيح تيمم لمن قصد بسفره محض الترخص كمن سلك الطريق الأبعد للقصر ولا ينافيه قولهم لو حلف ليطأن في نهار رمضان فطريقه أن يسافر؛ لأن السفر هنا ليس لمجرد الترخص بل للتخلص من الحنث ولا لمن صام قضاء لزمه الفور فيه قال السبكي بحثا ولا لمن لا يرجو زمنا يقضي فيه لإدامته السفر أبدا وفيه نظر ظاهر فالأوجه خلافه.

الشرح:

قوله ولا لمن لا يرجو زمنا يقضي فيه) ينبغي أن يكون في معنى الزمن المذكور أن يفطر رمضان بقصد القضاء بعد في السفر فيجوز م ر اهـ سم.

(قوله وفيه نظر ظاهر) تقدم عن ع ش بيانه. (قوله فالأوجه خلافه) وفاقا للمغني عبارته ولا فرق في ذلك بين من يديم السفر أو لا خلافا لبعض المتأخرين اهـ.

حاشية قليوبي وعميرة [٢/ ٨٢]

ﻭ ﻳﺒﺎﺡ ﺗﺮﻛﻪ (ﻟﻠﻤﺴﺎﻓﺮ ﺳﻔﺮا ﻃﻮﻳﻼ ﻣﺒﺎﺣﺎ) ﻓﺈﻥ ﺗﻀﺮﺭ ﺑﻪ ﻓﺎﻟﻔﻄﺮ ﺃﻓﻀﻞ ﻭﺇﻻ ﻓﺎﻟﺼﻮﻡ ﺃﻓﻀﻞ ﻛﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﻲ ﺑﺎﺏ ﺻﻼﺓ اﻟﻤﺴﺎﻓﺮ

الشرح:

ﻗﻮﻟﻪ: (ﻭﻟﻠﻤﺴﺎﻓﺮ) ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ اﻟﺰﻳﺎﺩﻱ ﻭاﻟﺮﻣﻠﻲ ﻭﺇﻥ ﺃﺩاﻡ اﻟﺴﻔﺮ ﻭﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ اﻟﻤﻮﺕ ﻗﺒﻞ اﻟﻘﻀﺎء ﻭﺳﻮاء ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭاﻟﻜﻔﺎﺭﺓ ﻭاﻟﻤﻨﺬﻭﺭ ﻭﻟﻮ ﻣﻌﻴﻨﺎ ﻓﻲ ﻧﺬﺭ ﺻﻮﻡ ﻭﻟﻮ ﻟﻠﺪﻫﺮ، ﺃﻭ ﻧﺬﺭ ﺇﺗﻤﺎﻣﻪ ﺑﻌﺪ ﺷﺮﻭﻋﻪ ﻓﻴﻪ ﺃﻭ اﻟﻘﻀﺎء ﻭﻟﻮ ﻟﻤﺎ ﺗﻌﺪﻯ ﺑﻔﻄﺮﻩ ﺃﻭ ﺿﺎﻕ ﻭﻗﺘﻪ، ﻭﺧﺎﻟﻒ اﻟﺴﺒﻜﻲ ﻓﻲ ﻣﺪﻳﻢ اﻟﺴﻔﺮ ﻭﻓﻲ اﻟﻨﺬﺭ اﻟﻤﻌﻴﻦ. ﻭﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻣﻮاﻓﻘﺘﻪ ﻭاﻟﻤﻨﻘﻮﻝ ﻋﻨﻪ اﻷﻭﻝ ﻭاﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ اﻟﻤﻀﻴﻖ ﻭاﻟﻤﺘﻌﺪﻱ ﺑﻔﻄﺮﻩ ﻭاﻟﻄﺒﻼﻭﻱ ﻓﻲ ﻧﺬﺭ ﺻﻮﻡ اﻟﺪﻫﺮ ﻭاﻟﻌﺒﺎﺏ ﻓﻴﻤﻦ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ اﻟﻤﻮﺕ ﻧﻌﻢ اﻋﺘﻤﺪ ﺷﻴﺨﻨﺎ اﻟﺮﻣﻠﻲ ﺃﻥ اﻟﻮاﺟﺐ ﺑﺄﻣﺮ اﻹﻣﺎﻡ ﻓﻲ اﻻﺳﺘﺴﻘﺎء ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻓﻄﺮﻩ ﺑاﻟﺴﻔﺮ ﻛﻤﺎ ﻣﺮ.

فتح الوهاب [١/ ٨٤]

ومن يديم السفر مطلقا فالإتمام أفضل له لأنه في وطنه وللخروج من خلاف من أوجبه عليه كالإمام أحمد فإنه لا يجوز له القصر.


Copyright © 2021 IASS

Friday, June 28, 2024

SHOLAT JANAZAH PART 15 (MATI SYAHID)

 

BAROKAH NGAJI KIYAI SHOLIHIN

TERJEMAH FATHUL MU'IN


SHOLAT JANAZAH 

PART 15

MATI SYAHID



، كَأَنْ أَصَابَهُ سِلَاحُ مُسْلِمٍ آخَرَ خَطَأً، أَوْ قَتَلَهُ مُسْلِمٌ اسْتَعَانُوْا بِهِ، أَوْ تَردَّى بِبِئْرٍ حَالَ قِتَالٍ، أَوْ جُهِلَ مَا مَاتَ بِهِ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ أَثَرُ دَمٍ 



TERMASUK MATI SYAHID

1⃣Misalnya tidak sengaja terkena senjata temannya yang Muslim📝 karena salah📚 sasaran, 

2⃣dibunuh oleh Muslim dengan permintaan orang-orang kafir, 

3⃣jatuh masuk ke sumur waktu berperang, 

4⃣atau tidak diketahui sebab kematiannya📑, sekalipun tidak terdapat bekas darahnya. 

------------

 📝

 ظاهره أنه لا فرق في ذلك بين أن يقصد كافرا فيصيبه، أولا، ولا مانع منه.

Kelihatannya yg membunuh muslim seorang  muslim juga , sesungguhnya dalam perang tidak ada bedanya antara yang muslim bermaksud  membunuh kafir, dan tepat sasaran atau tidak, dan tidak ada yang menghalangi darinya.

📚

خرج به ما لو كان عمدا، فإنه لا يسمى المقتول به شهيدا، إلا إن كان المسلم استعان به الكفار - كما سيذكره -.

Kecuali muslim SENGAJA menyasar ke muslim, maka muslim yg terbunuh tdk termasuk syahid. Kecuali seorang muslim yg dimintai bantuan oleh kafir untuk membunuh muslim.


أي بالمسلم فمقتول المستعان به شهيد، لأن هذا قتال كفار، ولا نظر إلى خصوص القاتل، فإن لم يستعينوا به ولم يكن خطأ فليس بشهيد.

"Setiap orang yang terbunuh sebagai bagian dari kaum Muslim yang diminta bantuan dalam perang adalah syahid (martir), karena ini adalah perang melawan kaum kafir, dan tidak memperhatikan siapa pembunuhnya secara khusus. Jika mereka tidak meminta bantuannya dan kematiannya bukan karena kesalahan, maka dia bukan syahid."

📑

ويتصور الجهل به بأن يصيبه سهم وشك في الرامي: هل هو من المسلمين أو من الكفار؟ وعبارة التحفة: أو انكشف عنه الحرب وشك أمات بسببها وغيره؟ لأن الظاهر موته بسببها.

"Dan diasumsikan bahwa ketidaktahuan dapat menyebabkan dia tertembak oleh anak panah dan meragukan penembaknya: apakah dia dari seorang Muslim atau seorang kafir? Dan seperti yang disebutkan dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj: atau perang terbuka dan keraguan menyebabkan kematian yang disebabkan olehnya dan sebab lainnya? Karena terlihat bahwa kematiannya disebabkan oleh itu."


Ianah Tholibin juz 2 hal 137

Nurul ilmi

------------------

(لَا أَسِيْرَ قُتِلَ صَبْرًا) فَإِنَّهُ لَيْسَ بِشَهِيْدٍ عَلَى الْأَصَحِّ، لِأَنَّ قَتْلَهُ لَيْسَ بِمُقَاتَلَةٍ. 

TIDAK TERMASUK MATI SYAHID

 Menurut pendapat yang ashaḥḥ: 1⃣Tawanan yang dibunuh setelah selesai peperangan tidaklah termasuk mati syahīd, (51) sebab dibunuhnya bukan karena berperang.

 -------------

 51).

 قال الشوبري: وينبغي أن يكون شهيدا في حكم الآخرة،

 Maksudnya tidak masuk kategori syahīd dunia akhirat, namun tetap syahīd akhirat seperti yang telah dijelaskan oleh Imām asy-Syaubarī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 137

 Nurul Ilmi

 ----------------

وَ لَا مَنْ مَاتَ بَعْدَ انْقِضَائِهِ، وَ قَدْ بَقِيَ فِيْهِ حَيَاةٌ مُسْتِقرّةٌ، إِنْ قُطِعَ بِمَوْتِهِ بَعْدَ مِنْ جَرْحٍ بِهِ. 


Demikian pula, 

TIDAK TERMASUK MATI SYAHID

adalah 

2⃣orang yang mati setelah perang berakhir , dan masih mengalami hayatun mustaqirrah📚 (masih ada gerak yang disadari dengan beberapa alamat), sekalipun dapat dipastikan ia akan mati setelah itu akibat luka yang diderita.

---------------

📚

والمراد بها: ما يوجد معها الحركة الاختيارية بقرائن وأمارات.


"Yang dimaksud 

HAYATUN MUSTAQIROH adalah: Masih adanya   gerakan yang disengaja / dengan sadar beserta petunjuk dan tanda-tanda."

Ianah Tholibin juz 2 hal 137

Nurul ilmi

---------------

أَمَّا مَنْ حَرَكَتُهُ حَرَكَةُ مَذْبُوْحٍ عِنْدَ انْقِضَائِهِ فَشَهِيْدٌ جَزْمًا.  

Mengenai orang yang setelah perang masih dapat bergerak seperti gerak hewan yang disembelih adalah dengan pasti dihukumi syahīd📒.

-------------

📒

أي في الدنيا، فلا يغسل ولا يصلى عليه.


"Yakni syahid dunia, dia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.


وأما في الآخرة فبحسب قصده، فإن كان قصده إعلا كلمة الله، فكذلك، وإلا فلا.


Adapun syahid  akhirat, itu tergantung niatnya. Jika niatnya untuk meninggikan kalimat Allah, maka demikian pula (diperlakukan sebagai syahid), jika tidak, maka tidak (diperlakukan sebagai syahid)."


Ianah tholibin juz 2 hal 137.

Nurul ilmi.

--------------

وَ الْحَيَاةُ الْمُسْتَقِرَّةُ مَا تَجَوَّزَ أَنْ يَبْقَى يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ عَلَى مَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ وَ الْعِمْرَانِيُّ.

 Ḥayāt Mustaqirrah📗 menurut pendapat Imām an-Nawawī dan al-‘Imrānī adalah keadaan orang itu yang masih dimungkinkan untuk hidup  satu atau dua hari. 

 ------------

📗

يعني أن الحياة المستقرة هي حركة اختيارية تجوز أن يبقى معها يوما أو يومين ثم يموت.

Hayat mustaqirroh yaitu  adanya gerakan yg disengaja dan dimungkinkan bisa hidup satu atau dua hari  kemudian mati.

Inah tholibin juz 2 hal 138

Nurul ilmi.

-------------

 وَ لَا مَنْ وَقَعَ بَيْنَ كُفَّارٍ فَهَرَبَ مِنْهُمْ فَقَتَلُوْهُ، لِأَنَّ ذلِكَ لَيْسَ بِقِتَالٍ كَمَا أَفْتَى بِهِ شَيْخُنَا ابْنُ زِيَادٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى. 

TIDAK TERMASUK MATI SYAHID pula, 3⃣ orang yang tertangkap oleh orang-orang kafir, kemudian melarikan diri dan akhirnya dibunuh. Sebab kematiannya bukan karena berperang, sebagaimana fatwā yang dikeluarkan oleh guru kami Ibnu Ziyād raḥimahullāh ta‘ālā. 


وَ لَا مَنْ قَتَلَهُ اغْتِيَالًا حَرْبِيٌّ دَخَلَ بَيْنَنَا. نَعَمْ، إِنْ قَتَلَهُ عَنْ مُقَاتِلَةٍ كَانَ شَهِيْدًا كَمَا نَقَلَهُ السَّيِّدُ السَّمْهُوْدِيُّ عَنِ الْخَادِمِ

Begitu juga TIDAK TERMASUK MATI SYAHID adalah 

4⃣orang yang dibunuh akibat tipuan orang kafir harbi yang menelusup di tengah-tengah kita.

 Memang begitu, jika terbunuhnya akibat mengadakan pertempuran, maka menurut pendapat as-Sayyid as-Samhūdī yang dikutip dari kitab al-Khādim, orang seperti itu adalah Syahīd.


MOHON DIKOREKSI DAN DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

Thursday, June 27, 2024

HASIAT TEBU MENGHILANGKAN MACAM MACAM PENYAKIT

TERJEMAH NIHAYATUZZAEN MUQODIMAH PART 8

TERJEMAH NIHAYATUZZAEN 

MUQODIMAH 

PART 8


وَفَائِدَته امْتِثَال أوَامِر الله تَعَالَى وَاجْتنَاب مناهيه المحصلان للفوائد الدُّنْيَوِيَّة والأخروية وَذَلِكَ كَالْبيع وَالشِّرَاء وكالصلاة


"Dan manfaatnya ilmu fiqih adalah mematuhi perintah-perintah Allah Ta'ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya yang menghasilkan manfaat duniawi dan ukhrawi, seperti jual beli dan shalat."


وفضله أَنه من أشرف الْعُلُوم وَهُوَ من عُلُوم الدّين الشَّرْعِيَّة

Keutamaannya ilmu fiqih adalah ilmu fiqih termasuk utamanya ilmu ilmu, dan termasuk ilmu agama dan syariat


ونسبته أَنه فرع علم التَّوْحِيد واسْمه علم الْفِقْه وَعلم الْفُرُوع


Nisbatnya fiqih adalah cabang dari ilmu tauhid, dan nama fiqih yaitu ilmu fiqih dan ilmu furu ( cabang ).


والواضع لَهُ إِجْمَالا الإِمَام أَبُو حنيفَة النُّعْمَان بِمَعْنى أَنه أول مُصَنف فِيهِ إِلَّا بَاب التَّفْلِيس وَالْحجر والسبق وَالرَّمْي . فَأول مُصَنف فِيهِ إمامنا الشَّافِعِي .


Imam Abu Hanifah al-Nu'man adalah tokoh yang pertama kali menyusun / mengarang secara komprehensif / global ilmu fiqh, kecuali beberapa bab tertentu seperti bab tentang tafliis (kebangkrutan), hajr (penolakan/larangan), sabaq (perlombaan), dan ramyu (lemparan / memanah).

 Imam ASy-Syafi'i merupakan tokoh yang pertama kali menyusun dalam bab-bab tersebut ( التفليس، السبق، الرمی ).


وَحكم الشَّارِع فِي تعلمه الْوُجُوب الْعَيْنِيّ فِيمَا يتلبس بِهِ الشَّخْص والكفائي فِي غير ذَلِك


Hukum syariat mempelajari tentang mempelajari ilmu fiqh adalah wajib 'ain (wajib secara langsung) untuk hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, dan cukup (kifayat) untuk hal-hal lainnya ( فيما يتلبس به ).


ومسائله قضاياه الَّتِي يبْحَث فِيهِ عَنْهَا كَزَكَاة التِّجَارَة وَاجِبَة , وَالْحلف بِغَيْر الله مَكْرُوه, 

وزيارة الْقُبُور مُسْتَحبَّة, وَالْأكلِ لَا بِقصد شَيْء مُبَاح 

Dan perkara-perkara yang menjadi pokok perhatiannya dalam ilmu fiqh termasuk masalah seperti kewajiban zakat perdagangan, yang mana wajib dilaksanakan; bersumpah dengan nama selain Allah adalah makruh; ziarah ke makam-makam adalah mustahab (disunahkan); dan makan tanpa niat khusus untuk melakukan sesuatu adalah mubah.


(على مَذْهَب الإِمَام) الْمُجْتَهد اجْتِهَادًا مُطلقًا أَي على اخْتِيَاره للْأَحْكَام (الشَّافِعِي) نِسْبَة إِلَى شَافِع بن السَّائِب, نسب هَذَا الإِمَام إِلَيْهِ لِأَنَّهُ صَحَابِيّ ابْن صَحَابِيّ (رَحمَه الله تَعَالَى).


Menurut madzhab (pendapat) Imam al-Mujtahid secara mutlak, yaitu dengan melakukan ijtihad secara keseluruhan, ini berarti bahwa ia memilih hukum-hukum menurut madzhab Syafi'i, yang dinamakan demikian ( الشافعی ) karena merujuk kepada Syafi'i bin al-Sa'ib.

 "Imam ini dihubungkan dengannya karena dia adalah sahabat Nabi anak dari seorang sahabat Nabi (semoga Allah merahmatinya) 

 

 والمجتهد الْمُطلق هُوَ من يقدر على استنباط الْأَحْكَام من الْأَدِلَّة.

 

 1⃣mujtahid mutlak adalah orang yang mampu mengambil hukum-hukum dari dalil-dalil. ( sumber yaitu alquran hadis ).

 

 ومجتهد الْمَذْهَب هُوَ الَّذِي يقدر على الاستنباط من قَوَاعِد إِمَامه كالمزني والبويطي.

 

2⃣ "Mujtahid mazhab adalah orang yang mampu menarik kesimpulan hukum-hukum dari prinsip-prinsip/ koidah koidah imamnya seperti al-Muzani dan al-Buwayti."


📝۞"Mujtahid al-mazhab" adalah seorang cendekiawan yang memiliki kualifikasi untuk menafsirkan hukum-hukum Islam dari prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh imam atau pendiri mazhab tertentu. Misalnya, seperti al-Muzani dan al-Buwayti yang merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Syafi'i.۞

 

 ومجتهد الْفَتْوَى من يقدر على التَّرْجِيح لبَعض أَقْوَال إِمَامه على بعض كالنووي والرافعي لَا كالرملي وَابْن حجر لِأَنَّهُمَا مقلدان فَقَط.

3⃣ "Mujtahid fatwa adalah orang yang mampu melakukan penilaian lebih mendalam terhadap beberapa pendapat imamnya, seperti an-Nawawi dan ar-Rafi'i, bukan seperti ar-Ramli dan Ibnu Hajar yang hanya mengikuti (mazhab imam mereka).

 

۞"Penjelasan: Mujtahid fatwa adalah seorang cendekiawan yang memiliki kemampuan untuk memilih di antara berbagai pendapat yang diberikan oleh imam mazhab mereka. Dalam hal ini, seperti an-Nawawi dan ar-Rafi'i, mereka diketahui sebagai mujtahid yang mampu melakukan ijtihad dan memberikan fatwa berdasarkan penilaian mereka sendiri terhadap dalil-dalil hukum.Di sisi lain, ar-Ramli dan Ibnu Hajar dianggap sebagai "muqallidin"

 (pengikut) karena mereka lebih banyak merujuk kepada pendapat-pendapat imam mazhab mereka tanpa melakukan ijtihad sendiri. Dengan kata lain, mereka mengikuti secara taqlid (pengikut) terhadap pendapat imam tanpa melakukan analisis atau penilaian yang mendalam.۞


 وَيجب على من لم يكن فِيهِ أَهْلِيَّة الِاجْتِهَاد الْمُطلق أَن يُقَلّد فِي الْفُرُوع وَاحِدًا من الْأَئِمَّة الْأَرْبَعَة الْمَشْهُورين .

 "Dan wajib bagi orang yang tidak memiliki keahlian mutlak untuk berijtihad untuk mengikuti salah satu dari empat imam yang terkenal dalam cabang-cabang agama."

 

وهم الإِمَام الشَّافِعِي وَالْإِمَام أَبُو حنيفَة وَالْإِمَام مَالك وَالْإِمَام أَحْمد بن حَنْبَل رَضِي الله عَنْهُم وَالدَّلِيل على ذَلِك قَوْله تَعَالَى {فاسألوا أهل الذّكر إِن كُنْتُم لَا تعلمُونَ} ٢١ الْأَنْبِيَاء الْآيَة ٧ .


"Dan mereka adalah Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal, semoga Allah meridhai mereka. Dalil atas hal itu adalah firman-Nya yang artinya, 'Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.' (Surah An-Nahl, ayat 43)."


فَأوجب الله السُّؤَال على من لم يعلم وَيلْزم عَلَيْهِ الْأَخْذ بقول الْعَالم وَذَلِكَ تَقْلِيد لَهُ .


"Allah mewajibkan untuk bertanya kepada orang yang tidak mengetahui, dan dia diwajibkan untuk mengikuti pendapat ulama. Ini berarti dia harus mengikuti salah satu dari empat imam yang terkenal.


وَلَا يجوز تَقْلِيد غير هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَة , من بَاقِي الْمُجْتَهدين فِي الْفُرُوع مثل الإِمَام سُفْيَان الثَّوْريّ وسُفْيَان بن عُيَيْنَة وَعبد الرَّحْمَن بن عمر الْأَوْزَاعِيّ.


 Tidak boleh mengikuti selain dari empat imam tersebut, seperti Imam Sufyan Ath-Thawri, Sufyan bin Uyainah, dan Abdul Rahman bin Amr Al-Awza'i, yang merupakan ulama mujtahid dalam cabang-cabang agama."


 وَلَا يجوز أَيْضا تَقْلِيد وَاحِد من أكَابِر الصَّحَابَة لِأَن مذاهبهم لم تضبط وَلم تدون .

 

 "Dan tidak boleh juga meniru satu dari tokoh besar dari para sahabat, karena madzhab mereka tidak terdokumentasi dan tidak tercatat."

 

 وَأما من فِيهِ أَهْلِيَّة الِاجْتِهَاد الْمُطلق فَإِنَّهُ يحرم عَلَيْهِ التَّقْلِيد ,

 "Dan mengenai orang yang memiliki kemampuan ijtihad mutlak, maka ia diharamkan untuk melakukan taqlid (peniruan) [terhadap pendapat orang lain]."


  وَيجب على من لم يكن فِيهِ الْأَهْلِيَّة أَن يُقَلّد فِي الْأُصُول : أَي العقائد للْإِمَام أبي الْحسن الْأَشْعَرِيّ أَو الإِمَام أبي مَنْصُور الماتريدي . 

  

"Dan wajib bagi orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad untuk melakukan taqlid (peniruan) dalam masalah-masalah ushul (prinsip-prinsip) - yaitu dalam keyakinan (aqidah) kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari atau Imam Abu Mansur al-Maturidi."


 لَكِن إِيمَان الْمُقَلّد مُخْتَلف فِيهِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى أَحْكَام الْآخِرَة , أما بِالنّظرِ إِلَى أَحْكَام الدُّنْيَا فيكفيه الْإِقْرَار فَقَط .

"Namun imannya orang yang melakukan taqlid berbeda ( diperselisihkan ) dalam hal hukum-hukum akhirat, sedangkan dalam hukum-hukum dunia cukuplah baginya mengakui (menerima)."


 وَالأَصَح أَن الْمُقَلّد مُؤمن عَاص إِن قدر على النّظر . وَغير عَاص إِن لم يقدر . 

 

"Dan yang lebih benar / kuat adalah bahwa orang yang melakukan taqlid adalah seorang mukmin yang berdosa jika ia mampu untuk mempertimbangkan (ijtihad). Dan jika tidak mampu, maka ia bukan seorang yang berdosa."


ثمَّ إِن جزم بقول الْغَيْر جزما قَوِيا بِحَيْثُ لَو رَجَعَ الْمُقَلّد بِالْفَتْح لم يرجع هُوَ كَفاهُ فِي الْإِيمَان لكنه عَاص بترك النّظر إِن كَانَ فِيهِ أَهْلِيَّة النّظر


"Jika seseorang berkeyakinan kuat terhadap pendapat orang lain sehingga jika orang yg diikuti mengembalikannya dengan membuka kemungkinan lainnya, maka cukup bagi dia dalam keyakinan imannya, tetapi dia berdosa dengan meninggalkan penelitian / mengangan angan, jika dia ahli melakukan penelitian.


وَإِن لم يجْزم بقول الْغَيْر جزما قَوِيا بِأَن كَانَ جَازِمًا لَكِن لَو رَجَعَ الْمُقَلّد بِالْفَتْح لرجع هُوَ لم يكفه فِي الْإِيمَان.

"Jika seseorang tidak memastikan dengan keyakinan yang kuat bahwa pendapat orang lain itu benar-benar benar (jazm), namun jika yg diikuti kembali mengubah (pendapat) dengan alasan kembali (pada keputusan yang lebih kuat), dan dia kembali maka tidak akan cukup baginya dalam keimanan."


 وَيجب على من ذكر أَن يُقَلّد فِي علم التصوف إِمَامًا من أَئِمَّة التصوف كالجنيد وَهُوَ الإِمَام سعيد بن مُحَمَّد أَبُو الْقَاسِم الْجُنَيْد سيد الصُّوفِيَّة علما وَعَملا رَضِي الله عَنهُ

"Dan wajib bagi orang yang telah disebut untuk mengikuti seorang imam dalam ilmu tasawuf dari imam-imam tasawuf seperti Al-Junaid, yaitu Imam Sa'id bin Muhammad Abu al-Qasim al-Junaid, pemimpin tasawuf dalam ilmu dan amal, semoga Allah meridhainya."


وَالْحَاصِل أَن الإِمَام الشَّافِعِي وَنَحْوه هداة الْأمة فِي الْفُرُوع وَالْإِمَام الْأَشْعَرِيّ وَنَحْوه هداة الْأمة فِي الْأُصُول والجنيد وَنَحْوه هداة الْأمة فِي التصوف فجزاهم الله خيرا ونفعنا بهم آمين.


"Yang didapat adalah bahwa Imam Asy-Syafi'i dan semacamnya adalah pembimbing umat dalam cabang-cabang ilmu, dan Imam Al-Asy'ari dan semacamnya adalah pembimbing umat dalam pokok-pokok ilmu, dan Al-Junaid dan semacamnya adalah pembimbing umat dalam tasawuf. Semoga Allah memberi mereka balasan yang baik dan memberikan manfaat kepada kita melalui mereka, amin."






MOHON DIKOREKSI DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes