BREAKING NEWS

Watsapp

Wednesday, February 16, 2022

SYARI'AH SECARA BAHASA DAN ISTILAH

 

Syari’ah Secara Bahasa

Secara bahasa, syari’ah berasal dari bahasa Arab yang berarti peraturan, undang-undang atau hukum. Untuk makna syari’ah ini sering juga diungkapkan dengan istilah al-Qanun. Sehingga ada orang yang menganggap bahwa syari’ah sama dengan fiqih, yaitu ilmu atau ajaran berupa masalah-masalah hukum yang sifatnya amaliah dan legal formal. Padahal sebetulnya berbeda, sya’riah lebih luas dari fiqih, artinya fiqih hanya merupakan bagian dari syari’ah. Syari’ah itu meliputi tauhid, fiqih dan akhlak atau tasawuf yang dalam pengamalannya harus terintegrasi, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Disamping terpengaruh oleh artinya secara bahasa, kekeliruan orang memahami syari’ah dengan pengertian fiqih mungkin dipengaruhi pula oleh pengguanaan kata syari’ahuntuk masalah-masalah seputar hukum amaliah, misalnya fakultas syari’ah, ekonomi syari’ah, dan bank syari’ah.

Syari’ah secara istilah:
Syari’ah secara istilah, dipahami oleh para ulama sama dengan aturan agama Islam atau segala ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mana’ Khalil al-Qaththan misalnya, mendefinisikan syari’ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak, muamalat, dan tata kehidupan lainnya dengan berbagai cabangnya guna merealisasikan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.[1]Syari’ah sebagai peraturan agama ini dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai berukut:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
Kemudian kami jadikan kamu (Muhammad) mengikuti syari’ah (peraturan dari agama itu)maka ikutilah syari’ah itu dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Jâtsiyah: 18)
[1] Mana’ Khalil Qattan, Târikh Tasyrî’ al-Islâmi, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif 1996), hlm. 13.

HUBUNGAN SYARI'AH, THARIQOH DAN HAQIQAH DALAM BERTASAWUF

 

Penjelasan singkat hubungan antara syari’ahthariqah, dan haqiqah dalam Bertasawuf
Syari’ah adalah ajaran atau tuntunan yang meliputi ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu akhlak atau ilmu tasawuf. Thariqah adalah pelaksanaan terhadap ilmu-ilmu tersebut, dan haqiqah adalah hasil atau buahnya. Dengan kata lain, syari’ah pengetahuan tentang jalan menuju Allah, thariqah beramal sesuai syari’ah, haqiqah senantiasa melihat kepada-Nya.[1]Jadi secara garis besar, bertasawuf itu terdiri dari tiga bagian, permulaan, pertengahan, dan kesudahan. Permulaannya ialah ilmu, pertengahannya ialah amal dan kesudahannya ialah anugrah dari Allah.[2]Anugrah inilah yang kemudian menjadikan kita berakhlak karimah dan membawa kita kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
[1]Pentahkik Ar-Risâlah al-Qusyairiyah, hlm. 82.
[2]Imam al-Ghazali, Majmûat ar-Rasâil, (Kairo: Dar at-Taufiq Li At-Turats, 2011), hlm. 121.

ARTI SYARI'AH DALAM AJARAN AGAMA ISLAM

Mengartikan syari’ah sama dengan aturan agama Islam sesuai dengan arti asalnya yaitu jalan ke air (at-tharîqah ilal mâ’).

Syari’ah pada awalnya berasal dari kata syir’ah yang arti asalnya masyra’atul mâi’, artinya sumber air atau mata air yang orang-orang minum dari sana.[1]Karena adanya sumber air atau mata air, orang berdatangan ke tempat tersebut secara rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syir’ah mengalami perubahan arti dari arti sumber air, menjadi jalan ke air (at-tharîqah ilal mâ’). Penggunaan kata jalan dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna ashli dan dapat pula dalam makna majazi seperti ajaran, tuntunan, aturan, pedoman atau petunjuk. Maka agama disebut pula syir’ah atau syari’ah, karena agama adalah ajaran atau tutunan laksana jalan yang harus ditempuh manusia menuju Tuhan, menuju kebenaran, dan kebahagiaan baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat (as-Sa’âdah fid Dunyâ’ wal âkhirah). Selain diungkapkan dengan kata syir’ahsyari’ah dan tharîqah, jalan dalam bahasa Arab sering pula diungkapkan dengan kata sabîl dan shirât. Maka agama Islam sebagai jalan yang lurus sering pula diungkapkan dengan ungkapan sabîlullâh atau as-shirât al-mustaqîm. Misalnya dalam firman Allah:
اِهْدِنَا الصّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِيْنَ. (الفاتحة: 6-7)
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pulan jalan mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fâtihah: 6-7)
[1] Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, juz VII, (Kairo: Dar at-Taufiqiyah Li at-Turats, 2009), hlm.89.

AJARAN AGAMA ISLAM

 

Ajaran atau aturan agama Islam

Ajaran atau aturan agama Islam pada dasarnya meliputi tiga hal, yaitu akidah (keyakinan), ibadah (perbuatan), dan akhlak (keadaan jiwa). Ajaran Akidah ialah ajaran yang membahas tentang keyakinan atau keimanan kepada Allah dan rukun-rukun iman lainnya. Ajaran Ibadah ialah ajaran yang mebahas tentang pengabdian diri kepada Allah. Sementara Ajaran akhlak ialah ajaran yang membahas tentang keadaan jiwa dan efeknya dalam prilaku seorang muslim serta cara memperolehnya. Ilmu yang membahas ajaran akidah disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam, ilmu yang memahas ajaran ibadah disebut ilmu fiqih, dan ilmu yang membahas ajaran akhlak disebut ilmu akhlak atau ilmu tasawuf.
Ilmu tauhid didefinisikan oleh Al-Baijuri sebagai ilmu untuk menetapkan keyakinan-keyakinan agama yang diambil dari dalil-dalilnya tentang keyakinan (adillatuhâ al-yaqîniyah).[1]Sementara ilmu fiqih didefinisiakan oleh Syamsudin Abu Abdillah Muhammad Kosim As-Syafi’i sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillatuhâ tafshîliyah).[2]Dan ilmu tasawuf didefinisikan oleh Amin al-Kurdi sebagai ilmu tentang keadaan jiwa manusia, terpuji atau tercela, bagaimana cara-cara menyucikan jiwa dari berbagai sifat yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji dan bagaimana cara mencapai jalan menuju Allah.[3]
[1]Al-Baijuri, Tuhfat al-Murîd ‘alâ Jauhar at-Tauhîd, (Indonesia: Syirkah An-Nur Asia, tt), hlm. 8.
[2] Ali Ibn al-Qasim al-Ghazi, Hâsyiah Al-Bajûri, (Dar-Nasyri al-Misyriyah, tt), hlm. 18-19
[3] Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hlm. 106.

Monday, February 14, 2022

SYARI'AH, THARIQAH DAN HAQIQAH

 


 Antara Syari’ah, Thariqah, dan Haqiqah dalam Bertasawuf

Dalam literatur ilmu tasawuf, tentu ketiga istilah ini bukan hal yang asing, karena ketiganya merupakan unsur bertasawuf sebagai satu kesatuan dari aspek sumber, pelaksanaan dan hasil yang hendak dicapai. Syari’ah sebagai sumber, thariqah sebagai pelaksanaan, dan haqiqah sebagai tujuan yang hendak dicapai. Bila diibaratkan, syari’ah itu ibarat lautan, thariqah ibarat kapal selam, dan haqiqah ibarat mutiara di dasar lautan. Hubungan ketiganya diibaratkan pula oleh Ibnu Taimiyah ibarat hubungan antara perahu, sungai yang dilaluinya, dan tujuan yang hendak dicapai. Syariah perahunya, thariqah sungainya dan haqiqah tujuannya. (Ibnu Taimiyah, Al-Furqân Baina Auliyâ ar-Rahmân Wa Auliya as-Syaithân, (Riyad: Dar al-Fadilah, tt), hlm. 182.)


Syari’ah secara istilah:
Syari’ah secara istilah, dipahami oleh para ulama sama dengan aturan agama Islam atau segala ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mana’ Khalil al-Qaththan misalnya, mendefinisikan syari’ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak, muamalat, dan tata kehidupan lainnya dengan berbagai cabangnya guna merealisasikan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.[1]Syari’ah sebagai peraturan agama ini dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai berukut:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
Kemudian kami jadikan kamu (Muhammad) mengikuti syari’ah (peraturan dari agama itu)maka ikutilah syari’ah itu dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Jâtsiyah: 18)
[1] Mana’ Khalil Qattan, Târikh Tasyrî’ al-Islâmi, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif 1996), hlm. 13.

Sunday, February 13, 2022

ULANGAN HARIAN KELAS IX (BAB AQIQAH, QURBAN DAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN)

Saturday, February 12, 2022

MENGENAL NABI KHIDIR AS (3)

 


Mengenal Nabi Khidir AS (3)

Setelah Nabi Musa As bertemu dengan Khidir, terjadilah perbincangan antara keduanya, yang membuat banyak ulama mengernyitkan dahi. Perbincangan ini secara jelas menggambarkan jarak kedudukan antara kedua hamba yang agung ini. Bagaimanapun Musa As adalah nabi yang masuk dalam kategori Ulul Azmi, dia dikaruniai mukjizat yang banyak, Allah SWT berbicara langsung padanya dan Taurat datang padanya tanpa perantara. Tapi kali ini dia begitu merendah di hadapan hamba yang Allah muliakan ini. Beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Musa benar-benar menghadirkan dirinya sebagai murid yang penuh kerendahan hati, dan Khidir menampilkan ketegasan yang penuh wibawa.

“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ (QS. al-Kahfi: 66-68)

Jawaban Khidir kepada Musa menghubungkan antara kesabaran dengan pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat relevan. Sebab orang memang sering tidak bersabar atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Ali bin Abi Thalib ra, pernah berkata: “Manusia adalah musuh apa yang tidak diketahuinya”.

 Tapi mendengar jawaban Khidir, Musa justru menegaskan niatnya untuk bersabar dan tidak akan menentang Khidir dalam suatu urusan apapun. Mendengar jawaban Musa, akhirnya Khidir memberikan syarat, agar Musa jangan menanyakan apapun sampai nanti Khidir sendiri yang akan menerangkan semua tindakannya pada Musa.[2] Setelah mengikat perjanjian, keduanya akhirnya berjalan. Al Quran menceritakan kisah perjalanan dua manusia agung ini dalam surat al-Kahfi: 71-82 sebagai berikut:

“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’

Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’

Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’

Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’

Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’

Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’

Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'”

Dari perspektif orang awam, kita setidaknya bisa menginsyafi, bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu, termasuk setiap kejadian dan rangkaian peristiwa yang kita lalui setiap saat. Tidak ada sesuatupun yang mewujud tanpa diliputi oleh Rahmat Allah, termasuk masa lalu, kini dan masa depan. Semua terangkai indah dalam naungan rahmatnya.

Dari tinjauan yang lebih dalam, kita bisa menilai bahwa ayat-ayat di atas mengisahkan perbedaan sudut pandang Nabi Khidir yang telah disingkapkan padanya alam gaib dan Nabi Musa yang hanya melihat secara indrawi. Kisah ini secara sederhana ingin mengemukakan sedikitnya tiga hal: pertama, alam eksistensi terdiri dari aspek yang tampak (syahadah) dan aspek yang tak tampak (ghaib); kedua, dua aspek ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi; ketiga, pengetahuan seseorang tentang aspek gaib pasti akan mempengaruhinya di alam nyata. Oleh sebab itu, makin luas ilmu gaib yang diberikan Allah pada seseorang, makin berbeda pula perilaku orang itu di alam indrawi.

Bagaimanapun, semua uraian di atas hanyalah salah satu kemungkinan hikmah yang bisa dipetik dari kisah luar biasa ini. Karena hakikatnya, kisah di dalam Al Quran pastilah memiliki hikmah yang jauh lebih luas dan dalam. Siapapun pasti akan kelelahan menyelami hakikat setiap huruf, kata, dan kisah yang tertuang di dalamnya. Demikian juga dengan kisah perjalanan Khidir dan Musa. Meski begitu, di kalangan umat Islam, kisah ini demikian masyhur dan dituturkan mulia dari sekolah dasar hingga kalangan mufasir kawakan.

Setiap orang, mulai dari yang paling awam hingga ulama dapat meraup hikmah dari kisah perjalanan Khidir dan Musa. Meskipun kisah ini sebenarnya dilingkupi berbagai kesamaran. Dalam kisah ini tidak ada nama tempat yang jelas. Tidak ada waktu yang menunjukkan kapan dan berapa lama proses belajar itu terjadi. Bahkan tokoh utama dalam cerita ini pun tidak jelas sosoknya, usianya, perawakannya, bahkan namanya. Setiap mufasir sudah berusaha  secara optimal untuk menjelaskannya. Namun kisah ini masih tetap memeram misteri dan kedalaman hikmah yang tinggi. Sebagaimana Musa Kazhim & Alfian Hamzah sampaikan dalam bukunya, “Pada akhirnya Khidir tetaplah kekayaan Tuhan yang tersimpan rapat. Orang tidak pernah tau di mana dia sekarang ini, dimana rumahnya, dan seperti apa kehidupannya. Orang bahkan hanya mengenalnya dengan warna. Ya, warna. Khidir, dalam bahasa Arab, merujuk hijau, warna kehidupan.”


Selesai

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes