BREAKING NEWS

Watsapp

Friday, February 18, 2022

Memadukan ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu akhlak/ tasawuf untuk beragama secara utuh/ kaafah

    


Memadukan ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu akhlak/ tasawuf untuk beragama secara utuh/kaafah

Untuk tercapainya keberagamaan yang utuh, ketiga ilmu agama tersebut tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Beriman tanpa beramal, maka iman tidak akan sempurna. Maksimal keimanan itu mentok pada iman hujjah atau iman ilmu dan tidak akan pernah naik menjadi iman yakin. Beramal tanpa iman, maka ia adalah munafiq. Bertasawuf tanpa berdasarkan keimanan yang bernar dan tanpa berfiqih, maka ia akan menjadi zindiq.
Kalau tidak mengetahui tentang Tuhan dari ilmu tauhid secara hawâsi (empiris) dan secara ‘akqli (logis), tidak beriman dan tidak bertauhid kepada Allah, maka Allah seperti apa yang akan kita sembah? Kalau tidak mengetahui ilmu fiqih untuk beramal, maka amal seperti apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya? Dan kalau tidak mengetahui ilmu akhlak dan ilmu tasawuf bagimana bisa beramal dengan ikhlas, dzikir dan khusyuk sehingga amal itu menumbuhkan akhlak yang mulia? Imam al-Ghazali berkata, kewajiban pertamamu adalah mengetahui yang disembah, kemudian kamu menyembahnya. Bagaimana mungkin kamu dapat menyembah Tuhan yang kamu sendiri tidak mengetahui-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifatnya, yang wajib dan yang mustahil baginya. Sebab boleh jadi ketika kamu betul-betul meyakini dalam sifat-sifat-Nya sesuatu yang menyalahi sifat yang sebenarnya, maka ibadahmu akan menjadi sia-sia.[1]
[1] Imam al-Ghazali, Majmûat ar-Rasâil, (Kairo: Dar at-Taufiq Li At-Turats, 2011), hlm. 145.
2

Wednesday, February 16, 2022

PENGERTIAN TAUHID

 


Pengertian Tauhid

Kata tauhid berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari wahhadayuwahhidutauhȋdan yang menetapi wazan bina muta’adi (transitif) yang membutuhkan maf’ȗl bih (objek). Dengan demikian kata tauhȋd berarti menjadikan sesuatu satu atau mempersatukan atau mengesakan sesuatu. Namun yang dimaksud tauhid dalam konteks keagamaan adalah tauhȋdullah, mengesakan Allah. Maka tauhid secara bahasa adalah mengesakan Allah. Mengesakan Allah disini berarti mengaitkan Allah dengan keesaan-Nya, bukan menjadikan Allah satu atau esa atau mempersatukan Allah dari bagian-bagian-Nya, karena keesaan Allah itu telah melekat pada dzat-Nya, bukan karena ada yang menjadikan-Nya menjadi Esa. (Oman Fathurrahman, Tanbih Al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud, ( Bandung: Mizan, 1999), hlm. 90.) Adapun tauhid secara istilah sebagaimana dikatakan Ibrahim Al-Baijuri adalah ifrâdul ma’bȗd bil ibâdah, ma’a i’tiqâdi wahdâniyyatihi watasdȋqi bihâ dzâtan wa sifâtin wa af’âlan, mengkhususkan pengabdian atau ibadah kepada Allah disertai meyakini keesaan-Nya dan membenarkannya baik dalam dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya. (Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfah al-Murȋd ‘ala Jauharati Tauhȋd, (Surabaya: Sirkat Nur Asia,tt), hlm. 8.) Dengan kata lain menjadikan Allah satu-satunya yang disembah disertai keyakinan atas keesaan-Nya, baik dzat-Nya, sifat-sfat-Nya atau perbuatan-perbuatan-Nya.

EMPAT CARA MENGETAHUI KEKURANGAN DIRI SENDIRI

 

Empat cara untuk mengetahui kekurangan diri sendiri

Menurut Imam al-Ghazali terdapat empat cara yang dapat kita lakukan untuk mengetahui kekurangan diri sendiri, yaitu sebagai berikut:
1. Duduk di hadapan guru atau mursyid yang dapat mengetahui kekurangan-kekurangan diri dan bahaya-bahaya yang tersembunyi, kemudian memohon kepadanya agar memberikan penilaian kepada diri kita, lalu kita ikuti petunjuk-petunjuknya dalam mujâhadah.
2. Meminta teman yang benar, jujur dan ta’at menjalankan agama untuk memperhatikan diri kita dan mengamati akhlak dan prilaku-prilaku serta mengingatkan kita dari akhlak dan perilaku yang tidak disukainya.
3. Berupaya mengetahui kekurangan-kekurangan diri kita dari ucapan-ucapan orang yang menjadi lawan kita. Memanfaatkan lawan yang memusuhi akan lebih efektif dari pada memanfaatkan teman yang terkadang mencari muka, memuji dan menyembunyikan kekurangan-kekurangan kita.
Bergaul dengan orang lain, lalu setiap akhlak yang kelihatannya tercela dibandingkan dengan akhak yang kita miliki. Seorang mu’min adalah cermin bagi mu’min lainnya, maka lihatlah kekurangan diri melalui kekurangan mu’min yang lain. (Imam Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, jilid. III, (Indonesia: Dar-Ihya al-Kutub al-Aarabiyah, tt), hlm. 62-63.)

SYARI'AH SECARA BAHASA DAN ISTILAH

 

Syari’ah Secara Bahasa

Secara bahasa, syari’ah berasal dari bahasa Arab yang berarti peraturan, undang-undang atau hukum. Untuk makna syari’ah ini sering juga diungkapkan dengan istilah al-Qanun. Sehingga ada orang yang menganggap bahwa syari’ah sama dengan fiqih, yaitu ilmu atau ajaran berupa masalah-masalah hukum yang sifatnya amaliah dan legal formal. Padahal sebetulnya berbeda, sya’riah lebih luas dari fiqih, artinya fiqih hanya merupakan bagian dari syari’ah. Syari’ah itu meliputi tauhid, fiqih dan akhlak atau tasawuf yang dalam pengamalannya harus terintegrasi, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Disamping terpengaruh oleh artinya secara bahasa, kekeliruan orang memahami syari’ah dengan pengertian fiqih mungkin dipengaruhi pula oleh pengguanaan kata syari’ahuntuk masalah-masalah seputar hukum amaliah, misalnya fakultas syari’ah, ekonomi syari’ah, dan bank syari’ah.

Syari’ah secara istilah:
Syari’ah secara istilah, dipahami oleh para ulama sama dengan aturan agama Islam atau segala ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mana’ Khalil al-Qaththan misalnya, mendefinisikan syari’ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak, muamalat, dan tata kehidupan lainnya dengan berbagai cabangnya guna merealisasikan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.[1]Syari’ah sebagai peraturan agama ini dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai berukut:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
Kemudian kami jadikan kamu (Muhammad) mengikuti syari’ah (peraturan dari agama itu)maka ikutilah syari’ah itu dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Jâtsiyah: 18)
[1] Mana’ Khalil Qattan, Târikh Tasyrî’ al-Islâmi, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif 1996), hlm. 13.

HUBUNGAN SYARI'AH, THARIQOH DAN HAQIQAH DALAM BERTASAWUF

 

Penjelasan singkat hubungan antara syari’ahthariqah, dan haqiqah dalam Bertasawuf
Syari’ah adalah ajaran atau tuntunan yang meliputi ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu akhlak atau ilmu tasawuf. Thariqah adalah pelaksanaan terhadap ilmu-ilmu tersebut, dan haqiqah adalah hasil atau buahnya. Dengan kata lain, syari’ah pengetahuan tentang jalan menuju Allah, thariqah beramal sesuai syari’ah, haqiqah senantiasa melihat kepada-Nya.[1]Jadi secara garis besar, bertasawuf itu terdiri dari tiga bagian, permulaan, pertengahan, dan kesudahan. Permulaannya ialah ilmu, pertengahannya ialah amal dan kesudahannya ialah anugrah dari Allah.[2]Anugrah inilah yang kemudian menjadikan kita berakhlak karimah dan membawa kita kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
[1]Pentahkik Ar-Risâlah al-Qusyairiyah, hlm. 82.
[2]Imam al-Ghazali, Majmûat ar-Rasâil, (Kairo: Dar at-Taufiq Li At-Turats, 2011), hlm. 121.

ARTI SYARI'AH DALAM AJARAN AGAMA ISLAM

Mengartikan syari’ah sama dengan aturan agama Islam sesuai dengan arti asalnya yaitu jalan ke air (at-tharîqah ilal mâ’).

Syari’ah pada awalnya berasal dari kata syir’ah yang arti asalnya masyra’atul mâi’, artinya sumber air atau mata air yang orang-orang minum dari sana.[1]Karena adanya sumber air atau mata air, orang berdatangan ke tempat tersebut secara rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syir’ah mengalami perubahan arti dari arti sumber air, menjadi jalan ke air (at-tharîqah ilal mâ’). Penggunaan kata jalan dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna ashli dan dapat pula dalam makna majazi seperti ajaran, tuntunan, aturan, pedoman atau petunjuk. Maka agama disebut pula syir’ah atau syari’ah, karena agama adalah ajaran atau tutunan laksana jalan yang harus ditempuh manusia menuju Tuhan, menuju kebenaran, dan kebahagiaan baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat (as-Sa’âdah fid Dunyâ’ wal âkhirah). Selain diungkapkan dengan kata syir’ahsyari’ah dan tharîqah, jalan dalam bahasa Arab sering pula diungkapkan dengan kata sabîl dan shirât. Maka agama Islam sebagai jalan yang lurus sering pula diungkapkan dengan ungkapan sabîlullâh atau as-shirât al-mustaqîm. Misalnya dalam firman Allah:
اِهْدِنَا الصّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِيْنَ. (الفاتحة: 6-7)
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pulan jalan mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fâtihah: 6-7)
[1] Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, juz VII, (Kairo: Dar at-Taufiqiyah Li at-Turats, 2009), hlm.89.

AJARAN AGAMA ISLAM

 

Ajaran atau aturan agama Islam

Ajaran atau aturan agama Islam pada dasarnya meliputi tiga hal, yaitu akidah (keyakinan), ibadah (perbuatan), dan akhlak (keadaan jiwa). Ajaran Akidah ialah ajaran yang membahas tentang keyakinan atau keimanan kepada Allah dan rukun-rukun iman lainnya. Ajaran Ibadah ialah ajaran yang mebahas tentang pengabdian diri kepada Allah. Sementara Ajaran akhlak ialah ajaran yang membahas tentang keadaan jiwa dan efeknya dalam prilaku seorang muslim serta cara memperolehnya. Ilmu yang membahas ajaran akidah disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam, ilmu yang memahas ajaran ibadah disebut ilmu fiqih, dan ilmu yang membahas ajaran akhlak disebut ilmu akhlak atau ilmu tasawuf.
Ilmu tauhid didefinisikan oleh Al-Baijuri sebagai ilmu untuk menetapkan keyakinan-keyakinan agama yang diambil dari dalil-dalilnya tentang keyakinan (adillatuhâ al-yaqîniyah).[1]Sementara ilmu fiqih didefinisiakan oleh Syamsudin Abu Abdillah Muhammad Kosim As-Syafi’i sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillatuhâ tafshîliyah).[2]Dan ilmu tasawuf didefinisikan oleh Amin al-Kurdi sebagai ilmu tentang keadaan jiwa manusia, terpuji atau tercela, bagaimana cara-cara menyucikan jiwa dari berbagai sifat yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji dan bagaimana cara mencapai jalan menuju Allah.[3]
[1]Al-Baijuri, Tuhfat al-Murîd ‘alâ Jauhar at-Tauhîd, (Indonesia: Syirkah An-Nur Asia, tt), hlm. 8.
[2] Ali Ibn al-Qasim al-Ghazi, Hâsyiah Al-Bajûri, (Dar-Nasyri al-Misyriyah, tt), hlm. 18-19
[3] Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hlm. 106.
 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes