BREAKING NEWS

Watsapp

Thursday, May 23, 2024

Innalilahi wa innailaihi rojiun, hari ini kamis 23 Mei 2024, bupati Kuningan

Semoga diterima amal amal ibadahnya disisiNya aamiin ya Rabbal Alamin 

KUNINGAN - Innalilahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, telah meninggal dunia H. Acep Purnama, SH., MH Bupati Kuningan Periode 2016-2018 dan Periode 2018-2023, pada hari Kamis 23 Mei 2024, sekira Pukul 12.00 WIB di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Rencana jenazah akan diberangkatkan dari Bandung pukul 14.30 WIB, dan akan di mandikan di kediaman Almarhum di BTN Cigugur Jalan Wahana 3 samping Masjid Al-Islah RT 30/ RW 15 Kelurahan Cigugur.


Selepas itu di sholatkan dan di lepas secara resmi oleh Pj. Bupati Kuningan Dr. Drs. H. Raden Iip Hidajat, M.Pd di Masjid Syi’arul Islam Kuningan, kemudian  akan di makamkan di TPU BTN Cigugur.  


Acep Purnama, SH., MH, dilantik menjadi Bupati Kuningan menggantikan Hj. Utje Choeriah Suganda, S.Sos, M.AP pada sisa masa jabatan 2016-2018, dan kembali terpilih menjadi Bupati Kuningan pada pemilihan kepala daerah tahun 2018 bersama H. M. Ridho Suganda, M.Si.


Almarhum meninggalkan seorang istri Hj. Ika Siti rahmatika, SE, 6orang anak dan 4 orang cucu. Beliau pernah menjabat sebagai wakil ketua DPRD, Ketua DPRD tahun 1994-1999, Wakil Bupati Kuningan tahun 2013-2016, Bupati Kuningan Tahun 2016-2018, dan Bupati Kuningan 2018-2023. Selain jabatan politis Almarhum adalah seorang pengusaha di bidang perhotelan dan perdagangan hasil bumi.


Atas nama pemerintah Kabupaten Kuningan, pribadi dan keluarga Dr. Drs. H. Raden Iip Hidajat, M.Pd dan Sekretaris Daerah Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya H. Acep Purnama, SH., MH, semoga Almarhum meninggal meninggal dalam keadaan Husnul Khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.


Serta atas nama masyarakat mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas dedikasi dan loyalitas, pengabdian untuk pembangunan di Kabupaten Kuningan selama menjabat sebagai Bupati Kuningan.


“kita doakan semoga Almarhum H. Acep Purnama, SH., MH mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT, di ampuni segala dosa kekhilafannya. Tutup Iip. (Prokompim/SetdaKuningan).

NILAI SUNNAH TEORI USUL FIQIH

Kajian Sunnah pandangan Ushul fiqh 

Pembahasan tentang sunnah secara teori ushul fiqh, tentang apakah sunnah itu mengandung unsur ma'mur bih (yang dituntut untuk melakukannya) sehingga meninggalkannya dianggap ma'siat dan berdosa, atau tidak mengandung unsur ma'mur bih (yang di tuntut) sehingga meninggalkannya tidak dianggap ma'siat dan tidak berdosa, sebagai berikut :


حاشية النفحات على شرح الورقات للشيخ أحمد ابن عبد اللطيف الخطيب الإندونيسي في علم أصول الفقه -   ص : ٥٠.


المندوب ليس مأمور به لعدم تحتم أمره ، وبه قال أبو بكر الرازي ، والكرخي ، والحصاص ،  وشمس الأئمة الشرخسي ، وصدر الإسلام أبو اليسر ،  والمحققون من أصحاب الشافعي مستدلين  بأنه لو كان مأمورا به لكان تركه معصية . إنتهى مع حذف يسير .


بأن السواك  مندوب والحال ليس بمأمور به لقوله صلى الله عليه وسلم : لو لا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك .


وأيضا المندوب لا مشقة فيه ، وفي المأمور به مشقة ، وذهب القاضي أبو بكر وجماعة على أن المندوب مأمور به لوجهين : الأول أن المندوب طاعة إجماعا ، والطاعة فعل المأمور به . الثاني إتفاق أهل اللغة على أن الأمر ينقسم إلى أمر إيجاب وأمر ندب ، ومورد القسمة مشترك .


Artinya :

"Yang disunnahkan itu bukanlah ma'mur bih (hal yang dituntut), karena tak ada keharusan dalam perintahnya, demikian pendapatnya imam abu bakar  Ar-razi, dan imam Al-karkhi, dan imam has-shash, dan syamsul a-immah As-syarkhosi, dan shodrul islam abul yasar, dan para ulama-ulama ahli haq dari ashab imam syafi'i, mereka berdalil bahwasannya,  "apabila sunnah itu ma'mur bih (sesuatu yang dituntut) pasti meninggalkannya itu ma'siat". Selesai serta membuang sedikit.


"Siwak itu disunnahkan sedangkan kondisinya siwak itu bukanlah ma'mur bih (sesuatu yang dituntut), karena rosulullah shallahu 'alaihi wasallam bersabda, "apabila aku tidak memberatkan umatku, pasti aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak (dalam arti, namun karena memerintahkan siwak itu memberatkan umatku, aku tidak memerintahkan mereka untuk bersiwak)".


"Dan begitu juga yang disunnahkan itu tidak ada keberatan didalamnya untuk dilakukan (yakni ringan, karena tidaklah harus dilakukan, sehingga meninggalkannya pun tidaklah masalah, hanya saja jika dilakukan mendapatkan pahala), Sedangkan didalam ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan), terdapat keberatan didalamnya (yakni berat, harus untuk dilakukan, sehingga meninggalkannya itu dianggap berma'siat dan berdosa, seperti suatu hal yang diwajibkan untuk dilakukan), dan imam qadli abu bakar, dan para jama'ah ulama menghukumi bahwa yang disunnahkan itu adalah ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan), karena dua alasan:


Pertama : "sepakat, sesungguhnya yang disunnahkan itu adalah ketaatan, sedangkan keta'atan itu adalah perbuatan ma'mur bih (yakni, perbuatan yang dituntut untuk dilakukan)".


Kedua : "sepakat ahli bahasa bahwa, sesungguhnya perintah itu terbagi menjadi perintah wajib dan sunnah, dan dengan adanya pembagian itulah (yakni, pembagian bahwa perintah itu ada perintah wajib dan perintah sunnah), mengindikasi adanya persamaan bahwa keduanya (yakni, perintah wajib dan perintah sunnah), merupakan ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan), karena yang disebut perintah itu merupakan ma'mur bih, baik itu perintahnya adalah perintah wajib atau perintah sunnah keduanya adalah ma'mur bih (yang dituntut untuk dilakukan) menurut ahli lughah, sehingga meninggalkannya perintah wajib dan perintah sunnah dianggap ma'siat dan berdosa".


السيد محضار ابن أحمد الحبشي

Wednesday, May 22, 2024

KAJIAN TENTANG AIR DALAM PANDANGAN PERBEDAAN PENDAT ULAMA'

 


Tentang air

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal."

Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih.

- At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih, Saya bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadits ini, beliau menjawab, “shahih””.

- Az Zarqoni berkata di Syarh Al Muwatho’, “Hadits ini merupakan prinsip diantara prinsip-prinsip islam, umat islam telah menerimanya, dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, diantaranya, Imam Bukhori, Al Hakim, Ibnu Hibban, Ibnul Mandzur, At Thohawi, Al Baghowi, Al Khotthobi, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan selainnya yang melebihi 36 imam.

Kosa kata:

- Kata البَحْر (al-bahr /laut) adalah selain daratan, yaitu dataran yang luas dan mengandung air asin.

- Kata الطَهُوْرُ (at-thohur) adalah air yang suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya.

- Kata الحِلُّ (Al-hillu) yaitu halal, kebalikan haram.

- Kata مَيْتَتُهُ (maitatuhu), yaitu hewan yang tidak disembelih secara syariat. Yang dimaksud di sini adalah hewan yang mati di dalam laut, dan hewan tersebut tidak bisa hidup kecuali di laut, jadi bukan semua yang mati di laut.


Faedah Hadits:

1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap.

2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian, tanah, atau selainnya.

3. Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya.

4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja.

6. Sabdanya الطهور ماؤه (suci dan mensucikan airnya), dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut.

7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum (yang ditambahnya tersebut).

8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambah "dan halal bangkainya"), dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting.

9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”.

Perbedaan Pendapat Para Ulama

a. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.

b.   Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa

c.  Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” (QS Al Maidah : 96), dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ

”Dihalalkan bagi kita dua bangkai, (yaitu) belalang dan al huut”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Di dalam “Kamus” disebutkan bahwa al huut adalah ikan.

Juga berdasarkan hadits pada bab ini, الحِلُّ مَيْتـَتُهُ (halal bangkainya), maka pendapat inilah (Imam Malik dan Imam As Syafi’i) yang lebih kuat. (1)

Sumber: Taudihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Bassaam.

(1). Menurut Imam Syafii dan ulama Syafiiyah, ular laut hukumnya halal dimakan. Hal ini karena ular laut termasuk bagian shaydul bahri atau buruan laut yang halal untuk dimakan. Setiap hewan laut, meskipun berbentuk babi atau anjing, atau ular, maka hukumnya suci dan halal dikonsumsi.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Syaikh Taqiyuddin Abu Bakr al-Hishni menyebutkan sebagai berikut;

وأما ما ليس على صورة السموك المشهورة ففيه ثلاث مقالات أصحها الحل ونص عليه الشافعي واحتج به بعموم قوله تعالى { أحل لكم صيد البحر } وبقوله صلى الله عليه وسلم الحل ميتته وقد نص الشافعي رضي الله عنه على أنه قال يؤكل فار الماء خنزير الماء قال النووي في أصل الروضة الأصح أن السمك يقع على جميعها

Adapun hewan laut yang tidak berbentuk ikan yang sudah dikenal, maka terdapat tiga pendapat ulama. Namun pendapat yang paling sahih mengatakan halal. Hal ini telah ditegaskan oleh Imam Syafii berdasarkan keumuman firman Allah, ‘Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut.’ Juga berdasarkan sabda Nabi saw, ‘Yang halal bangkainya.’ Imam Syafii mengatakan dengan tegas bahwa, ‘Halal dimakan tikus laut dan babi laut.

Sementara menurut Imam Syairazi, ular laut haram dimakan karena bentuknya menyerupai hewan yang haram dimakan. Setiap hewan laut yang bentuknya menyerupai hewan darat yang haram dimakan, maka hewan laut tersebut haram dimakan. Misalnya, tikus laut, babi laut, anjing laut, ular laut dan lain sebagainya. Dalam kitab Al-Muhazzab, beliau berkata;

أن ما أكل مثله في البر حل أكله ، وما لا يؤكل مثله في البر لم يحل أكله اعتبارا بمثله

Sesungguhnya hewan laut yang menyerupai hewan darat yang halal dimakan, maka halal memakannya. Sementara jika menyerupai hewan darat yang tidak halal dimakan, maka tidak halal dimakan karena mengikuti dengan keserupaan hewan darat tersebut.

Monday, May 20, 2024

(AKIDAH TASAWUF DAN FIQIH) (3)

 Album photo kenangan 


PEMBAHASAN AKTAFIH (AKIDAH TASAWUF DAN FIQIH) (3)


KUPAS TUNTAS PENJELASAN SHOLAT ISYROQ


Disusun oleh : Muhammad Abdul Basith 

pertanyaan Dari :


1.) PENGERTIAN SHOLAT ISYROQ 


Al imam An Nawawi Al Jawi mendefinisikan sholat sunnah Isyraq sebagai berikut ialah shalat sunnah yang dikerjakan mulai setelah matahari terbit agak tinggi (waktu dhuha) sampai agak siang kira-kira jam 09.00 WIB. Pada raka'at pertama membaca surat Al-fatihah dan surat ad-Dhuha, pada raka'at kedua membaca surat Al-fatihah dan surat al-Insyirah. Keterangan dalam kitab Nihayah al-Zain, hlm. 103:


وَمِنْ ذَلِكَ صَلاَةُ الإِشْرَاقِ وَهِيَ رَكْعَتَانِ بَعْدَ شُرُوقِ الشَّمْسِ وَارْتِفَاعِهَا يَنْوِي بِهِمَا سُنَّةَ الإشْرَاقِ يَقْرَأُ فِي الأُولى بَعْدَ الفَاتِحَةِ سُوْرَةَ الضُّحَى وَفِي الثَّانِيَةِ بَعْدَ الفَاتِحَةِ أَلَمْ نَشْرَحْ وَتَفُوْتُ بِعُلُوّ النَّهَارِ وَلاَ تَمْتَدُّ إِلى الزَّوَالِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ يَا نُوْرَ النُّوْرِ بِالطُّوْرِ وكِتَابِ مَسْطُورٍ في رَقِ مَنْشورٍ والبَيْتِ المَعْمُوْرِ أَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَنِي نُوْرًا أَسْتَهْدِي بِهِ إِلَيْكَ وَأَدِلُّ عَلَيْكَ ويُصْحِبُنِي في حَيَاتِي وَبَعْدَ الْاِنْتِقَالِ مِنْ ظَلامِ مِشْكَاتِي وَأَسْأَلُكَ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا أَنْ تَجْعَلَ شَمْسَ مَعْرِفَتِكَ مُشْرِقَةٌ بِي لَا يَحْجُبُهَا غَيْمُ الْأَوْهَامِ وَلَا يَعْتَرِيْهَا كُسُوفُ قَمَرِ الوَاحِدِيَّةِ عِنْدَ السَّمَامِ بَلْ أَدَّمْ لَهَا الْإِشْرَاقُ وَالظُّهُورُ عَلَى مَمَرَّ الْأَيَّامِ والدُّهُوْرِ وَصَلَّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِإِخْوَانِنَا فِي اللهِ أَحْيَاءٌ وَأَمْوَاتًا أَجْمَعِيْنَ. (نهاية الزين، ص ١٠٣)


2.) DALIL KESUNNAHAN SHOLAT ISYROQ 


Ada beberapa hadits shahih dengan berbagai versi Nash Matan yang menganjurkan kita untuk melaksanakan shalat isyraq ini. 


• Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi di bawah ini:


عن أنس رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من صلى الغداة في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس، ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة»، قال: قال رسول الله

صلى الله عليه وسلم: «تامة تامة تامة». رواه الترمذي.


Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu beliau berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa shalat shubuh secara berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian dia shalat 2 rakaat, maka dia mendapatkan pahala seperti haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna. (HR. at-Tirmidzi)


• HR At Tirmidzi,An Nasai dan Ibnu Majah dari Hadits ali


كَانَ إِذَا أَشْرَقَتْ وَارْتَفَعَتْ قَامَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَإِذَا انْبَسَطَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ فِي رُبُعِ النَّهَارِ مِنْ جَانِبِ الْمَشْرِقِ صَلَّى أَرْبَعًا (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه من حديث علي) 


“Ketika matahari terbit dan mulai naik (satu atau dua tombak) maka Rasulullah ﷺ berdiri dan shalat dua rakaat; dan ketika matahari mulai menjulang tinggi dari arah timur dalam seperempat siang maka beliau shalat empat rakaat.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah dari hadits Ali t). (Abdurrahman bin Husain al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfar fi Takhriji Mâ fil Ihya’ ‘anil Akhbar pada Ihya ‘Ulumiddin, [Darul Kutubil Islamiyyah], juz I, h. 197).  


• HR at Tirmidzi,An Nasai dan Ibnu Majah dari Hadits Ali 


 كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ مِنْ مَطْلَعِهَا قِيْدَ رُمْحٍ أَوْ رُمْحَيْنِ كَقَدْرِ صَلَاِة الْعَصْرِ مِنْ مَغْرِبِهَا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَمْهَلَ حَتَّى إِذَا ارْتَفَعَ الضُّحَى صَلَّى أَرْبَعًا. (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه من حديث علي. حسن) 


 Artinya, “Ketika matahari bergeser dari tempat terbitnya seukuran satu atau dua tombak, sebagaimana ukuran waktu shalat Ashar dari Maghribnya, maka Nabi ﷺ shalat dua rakaat, kemudian beliau diam (tidak shalat) sampai ketika waktu Dhuha naik, maka beliau shalat empat rakaat.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah dari hadits Ali. Hadits hasan). (‘Ubaidillah bin Muhammad Abdissalam al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih Syarhu Misykatul Mashabih, 1984, IV: 346-347).


3) HUKUM PELAKSANAAN 


Para Ulama Sepakat Atas Kesunnahan sholat tersebut, berikut komentar Para Ulama


• Mustahab/Sunnah,Pendapat Mayoritas ulama

• Sunnah Muakkadah,Pendapat Syafi'iyah dan Malikiyah


 [Al Mughni Fi Fiqhil Imam Ahmad Bin Hambal Asy syaibani 4/36]


لوان صلاة الإشراق يساوي بصلاة الضحى فحكمها نافلة مستحبة عند جمهور الفقهاء وصرح المالكية والشافعية بانها سنة مؤكدة


4.) KEUTAMAAN SHOLAT ISYROQ 


Al imam Al mubarokfuri didalam kitabnya "Tuhfatul ahwadzi" mengatakan setidaknya terdapat tiga keutamaan bagi seseorang yang melaksanakan sholat isyroq sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah ﷺ didalam beberapa redaksi Haditsnya. 


• Mendapat pahala Haji dan umroh secara sempurna (HR Tirmidzi dan Thobroni)

• Diharamkan jasadnya masuk kedalam neraka (HR Baihaqi) 

• Diampunkan dosanya (HR Thobroni)


[Tuhfatul ahwadzi 3/138 Darul Kutub Ilmiyyah Beirut]


١ له أجرحجة وعمرة تامة تامة كما ثبت في الحديث عند الترمذي و الطبراني : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " من صلى الفجر في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع عليه الشمس ثم صلى ركعتين كان له كاجر حجة وعمرة تامةمامة تامة" . 


٢. حرمه الله عن النارأن تلفحه أوتطعمه كما ثبت في الحديث عند البيهقي: قال رَسولٌ الله صَلَى لله عليه وسلم من صَلى الفجر ثم قعد في مجلسه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم قام فصلى ركعتين حرمه الله على النار ان تلفحه أو تطعمه. 


 ٣. غفرالله له ذنوبه كما في الحديث عند الطبراني : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :"من صلالغداةوقعدفي مصلاه حتى تطلع الشمس ثم صلى اربع ركعات غفور الله له ذنوبه.


5.) SYARAT SHOLAT ISYROQ 


Asy syaikh Muhammad Mukhtar Asy syinqhity mengatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika ingin mendapatkan keutamaan diatas, berikut syaratnya:


1.) Sholat Shubuh berjamaah

maka tidaklah mendapatkan Fadhilah sholat isyroq bagi mereka yang sholat secara munfarid (sendiri)


2.) Duduk serta Berdzikir 

Adapun Dzikir Banyak sekali ragam dan macamnya seperti membaca Al Qur'an, beristighfar,membaca kitab ilmu, mengingatkan tentang ilmu,berfatwa, berkumpul menyelesaikan masalah agama, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran dll. Adapun duduk selain itu seperti ghibah, namimah dll maka tidak mendapatkan keutamaan sholat isyroq 


3.) tetap berada di posisi mushollanya/masjid

Maka jika ia keluar dari daerah masjid atau mushollanya tanpa adanya udzur atau hajat maka hilanglah keutamaan sholat isyroq tersebut.


4.) Sholat dua Raka'at 


5.) Al imam An Nawawi dalam Nihayatul Zain menambahkan untuk membaca Al Fatihah dan ad Dhuha ditakaat pertama dan Al Fatihah dan Al insyiroh ditakaat kedua serta membaca beberapa doa khusus.


[Ar Risalah Al amaaah fil Buhuts wal ifta' 8/55]


6.) APAKAH SHOLAT ISYROQ DAN DHUHA ITU SAMA ?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hakikat shalat isyraq. Diantara ulama ada yang mengatakan shalat isyraq itu adalah shalat dhuha di awal waktu. Ada juga yang mengatakan shalat isyraq itu bukan shalat dhuha.


Berikut ini kami sebutkan beberapa pandangan para ulama mengenai shalat isyraq.


• Imam Zakariya al-Anshari rahimahullah (w. 926 H) seorang ulama besar madzhab Syafi’iy mengatakan sebagai berikut: 

ذكر الحاكم في مستدركه عن ابن عباس أن صلاة الإشراق هي صلاة الأوابين، وهي صلاة الضحى. أسنى المطالب في شرح روض الطالب (1/205)

Imam al-Hakim menyebutkan sebuah hadits dalam kitab al-Mustadrak, dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa shalat isyraq adalah shalat awwabin. Dan shalat awwabin itu adalah shalat dhuha.


[Asnal Mathalib Fii Syarhi Raudhitthalib, Bairut: Darul Kitab al-Islami, jilid 1 hal. 205.]


• Al Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (w. 926 H) seorang ulama besar madzhab Syafi'iy menyebutkan juga sebagai berikut:


قال الغزالي وركعتا الإشراق غير الضحى ووقتها عند الارتفاع للشمس كرمح . اهـ . وفي جعله لها غير الضحى نظر. ففي المستدرك صلاة الأوابين وهي أنها عن ابن عباس رضي الله عنهما هي صلاةالضحى. وحينئذ فمقتضى المذهب أنه لا يجوز فعلها بنية صلاة الإشراق. الفتاوى الفقهية الكبرى ( ١/١٨١)

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa shalat isyraq bukan shalat dhuha. Waktunya ketika matahari sudah naik setinggi tombak. Menurutku apa yang dikatakan imam al-Ghazali ini perlu diteliti lagi. Sebab dalam kitab al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa shalat isyraq adalah shalat dhuha. Maka sesuai madzhab syafiiy tidak boleh shalat dengan niat shalat isyraq.


[al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Bairut: al-Maktabah al-Islamiyah, jilid 1 hal. 188.]


• Al Imam ar-Ramli rahimahullah (w. 1004 H) seorang ulama besar madzhab Syafi'iy juga menyebutkan sebagai berikut:


قال الوالد رحمه الله (ت 957هـ) : بأن المعتمد أن صلاة الإشراق

هي صلاة الضحى. فتاوى الرملي (220/1)


Ayahku (Syihabuddin ar-Ramli) berkata bahwa pendapat yang mu'tamad dalam madzhab syafi'iy adalah bahwa shalat isyraq itu adalah shalat dhuha.


[Fatawa ar-Ramli, Bairut: Darul Fikri, jilid 1 hal. 220.]


• Al Imam Qalyubi (w. 1069 H) dan Imam Umairah (w. 957 H) rahimahumallah juga termasuk ulama besar madzhab Syafi'iy ikut mengomentari mengenai shalat isyraq sebagai berikut:


قال القليوبي: الضحى وهي صلاة الأوابين وصلاة الإشراق على المعتمد عند شيخنا الرملي وشيخنا الزيادي. وقال عميرة : الضحى قال الإسنوي: ذكر جماعة من المفسرين أنها صلاة الإشراق. حاشيتا قليوبي وعميرة (1/ 245)


Imam al-Qalyubi mengatakan bahwa shalat dhuha itu adalah shalat awwabin dan juga shalat isyraq. Pendapat ini adalah pendapat yang mu’tamad menurut Imam Ramli dan Imam az-Ziyadi. Imam Umairah juga berkata: imam al-Isnawi mengatakan bahwa shalat dhuha adalah shalat isyraq dalam pandangan kebanyakan ahli tafsir.


[Hasyiyataa -Qalyubi wa Umairah, Bairut: Darul Fikr, jilid 1 hal. 245.]


• Syaikh Abu Bakr al-Bakri ad-Dimyati rahimahullah (w. 1310 H) mengatakan hal yang sama dalam kitabnya l'anatu ath-Thalibin.


قوله قال ابن عباس صلاة الإشراق صلاة الضحى هو المعتمد.

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (1/ 293)

Perkataan Ibnu Abbas bahwa shalat isyraq adalah shalat dhuha merupakan pendapat yang mu'tamad dalam madzhab syafi'iy.


[I’anatu ath-Thalibin Ala Halli Alfaadzi Fathil Mu’iin, Bairut: Darul Fikr, jilid 1 hal. 293.]


• Syaikh Bin Baaz rahimahullah (w. 1420 H) (salah satu Rujukan kaum salafiyah) juga mengatakan bahwa shalat isyraq itu shalat dhuha.


صلاة الإشراق هي صلاة الضحى في أول وقتها، والأفضل فعلها عند ارتفاع الضحى واشتداد الرمضاء (مجموع فتاوی ابن باز )


Shalat isyraq itu adalah shalat dhuha di awal waktu dhuha. Yang afdhal adalah dikerjakan ketikamatahari sudah meninggi dan sinarnya sudah menyengat. 


[Majmu’ Fatawa Ibn Baaz, Riyadh: Darul Qasim, jilid 11 hal. 401.]


• Dan dalam kitab Hasyiyah Jamal 4/311, maktabah syamilah:


قَوْلُهُ وَكَالضُّحَى ) وَهِيَ صَلَاةُ الْإِشْرَاقِ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ ا هـ شَرْحُ م ر وَعِبَارَةُ سم عَلَى الْمَنْهَجِ


فَرْعٌ ) الْمُعْتَمَدُ أَنَّ صَلَاةَ الْإِشْرَاقِ غَيْرُ صَلَاةِ الضُّحَى ا هـ م ر وَفِي حَجّ مَا يُوَافِقُهُ وَنَصُّهُ وَمِمَّا لَا تُسَنُّ لَهُ جَمَاعَةٌ رَكْعَتَانِ عَقِبَ الْإِشْرَاقِ بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الْكَرَاهَةِ وَهِيَ غَيْرُ صَلَاةِ الضُّحَى ا هـ


"pendapat yang mu'tamad (dapat dijadikan pegangan) adalah bahwasanya sholat isyroq bukanlah sholat Dhuha,oleh karenanya tidak disunnahkan berjamaah"


Bisa kita simpulkan bahwa mayoritas ulama ternyata mengatakan bahwa shalat isyraq itu adalah shalat dhuha,Jadi niatnya harus niat shalat dhuha.


Sepengatahuan kami diantara ulama yang mengatakan bahwa shalat isyraq itu bukan shalat dhuha adalah imam al-Ghazali,syaikh Nawawi al-Bantani rahimahumallah. Shalat ini dilakukan secara khusus dengan niat shalat isyraq.. kalian bebas mengikuti pendapat yang mana tapi saya menyarankan mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa sholat isyroq itu bukan Dhuha agar kita lebih banyak beramal dan beribadah sebagaimana dikatakan dalam Qoidah Ushul :


ما اكثر فعلا كان اكثر فضلا 

"Sesuatu yang banyak dikerjakan maka akan banyak juga keutamaan yang didapat".


Akan tetapi sewaktu-waktu, boleh saja kita ikut pendapat pertama . Seperti, misalnya kita sempat wiridan setelah shubuh sampai terbit matahari satu tombak, dan kita sholat Isyraq, dan ternyata kita tak punya waktu lagi untuk Dhuha, maka kita ikut pendapat pertama, bahwa Isyraq sama dengan Dhuha. Artinya kita tetap sholat dhuha dan mendapatkan Fadhilahnya juga.. itu menurut saya.


Akan tetapi para ulama sama sama sepakat bahwa waktu yang afdhal untuk mengerjakannya adalah menunggu matahari naik hingga sinar panasnya menyengat (sekitar 15 menit setelah terbit matahari agar tidak menyamai ibadahnya para penyembah matahari). Walaupun boleh juga dikerjakan di awal waktu yang penting mataharinya sudah terbit.


7.) PERBEDAAN ANTARA ISYRAQ & DHUHA


Barangkali ada yang bertanya mengenai pendapat mayoritas para ulama bahwa shalat isyraq adalah shalat dhuha. Lalu adakah perbedaan antara shalat isyraq dan shalat dhuha? 


Dari segi tata cara niat atau tata cara pelaksanaan sebetulnya sama. Namun bedanya adalah shalat isyraq atau shalat dhuha yang pahalanya mendapatkan pahala seperti haji dan umrah itu ada syarat khususnya seperti shalat shubuhnya harus berjamaah dan berdzikir hingga matahari terbit. Berbeda dengan shalat dhuha yang biasa kita lakukan. Mungkin kita shalat shubuhnya tidak berjamaah. Atau berjamaah namun tidak berdzikir lama sampai matahari terbit. Jika kita kemudian shalat dhuha maka kita tidak mendapatkan pahala haji dan umrah. Wallahu a’lam.


8.) NIAT ULAMA SALAF HADRAMAUT KETIKA SHOLAT ISYROQ 


Niat itu merupakan suatu amal yang paling penting dalam ibadah sehingga dikatakan bahwa niat merupakan pembeda antara adat dan ibadah.. contoh manakala ia minum tanpa ada niat kebaikan yang ia sisipkan maka itu hanya berupa adat kebiasaan manusia,namun bila disisipkan niat bahwa dengan minum ia akan kuat dalam beribadah, mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ maka tentu minum tersebut menjadi berbeda dan dinilai ibadah. Al imam Ibnul Mubarak berkata:


كم من عمل صغير تعظمه النية وكم من عمل كبير تصغره النية 


"Berapa banyak amal terlihat rendah dan kecil akan tetapi disisi Allah sangatlah agung disebabkan niat yang agung,dan berapa banyak amalan yang terlihat besar akan tetapi disisi Allah menjadi kecil karena niat kecil dari si pengamal" jadi Amalan niat itu sangatlah asas dan intisari dalam ibadah.


Oleh karenanya guru guru kami para Masyaikh Hadramaut tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini,yaitu niat sholat isyroq hanya untuk isyroq saja akan tetapi mereka menggabungkan beberapa niat kedalam satu amalan yaitu sholat Isyraq. Dinukil dalam kitab [Waqtad hadakallah bil aslafi Hal 80] berikut niat niat nya:


"Niat sholat isyroq,Dhuha,istikhoroh,Taufiq li syukur,Hifdz fi jamiil umur,kifayah jamiil asyror wa syurur,isti'adzah min syaril yaum wa lailah,taubat,Qodhoil hajat,jalbil arzaq hissi wa ma'nawi"


نيات مع صلاة الضحى : سنة الضحى والاستخارة والتوفيق للشكر والحفظ في جميع الأمور وكفاية جميع الأشرار والشرور والاستعاذة من شراليوم والليلة والتوبة وقضاء الحاجة وجلب الأرزاق الحسية والمعنوية .


Wallahu a'lam Bishowab..

Saturday, May 18, 2024

DROPSHIP TOKO ONLINE LEGALITAS SYAREAT, SEPERTI APA............?

 Bisa dilihat keterangan berikut ini 


DROPSHIP TOKO ONLINE LEGALITAS SYAREAT, SEPERTI APA............?


Deskripsi:

Kita tahu bahwa dalam jual beli online ada yang disebut dengan istilah dropshiping. Dimana penjual hanya memasang kriteria barang yang akan dijual dengan harga tertentu bak toko nyata, padahal dia tidak memiliki barang apapun ditempatnya. Ketika ada pembeli memesan barang yang ia pajang, ia dengan sigap segera menghubungi toko besar yang telah menyediakan barang barang yang ia jajakan tersebut dan tentu ia membeli dengan harga yang lebih murah dari yang ia pajang ditokonya. Lalu ia hanya perlu meminta toko besar tersebut mengirim barang ke alamat pembeli yang membeli ditoko online nya. 


Pertanyaan :

1. Apakah jual beli sistem dropsip diatas mendapat legalitas syareat?

2. Jika tidak, bagaimana solusinya?

Terimakasih


Sail:+62 857-3018-0180


 *Jawaban :

Diperinci:

Memandang dropship ada 2 praktek:


1. praktek yg sudah terjadi kesepakatan atau izin antar dropship dan supplier 

Maka hukumnya sah karna terkatagori bai' maushufun fid dzimmah. 


2. praktek yg tidak ada kesepakatan atau izin antara dropship dan supplier , dia hanya membuat akun kemudian mencantumkan prodak prodak yg belum ada,,,, apabila ada yg memesan baru dia memcari prodak tsb

Maka tidak sah karna terdapat ghoror dan terkatagori bai' ainin ghoibah. 


 *Refrensi*


الشرقاوي على التحرير ج ٢ ص ١٥

(( باب بيوع الأعيان ))

وهي ثلاثة اذ ( العين أما حاضرة او غائبة او في الذمة فالحاضرة وهي المرئية الرؤية المعتبرة ) في صحة البيع ( يصح بيعها ) بشرطه الآتي *( والغائبة ان لم يرها العاقدان ) بأن لم يرها كل منهما او أحدهما ( قبل ) اي قبل العقد ( لم يصح بيعها ) للغرر ( وان رأياها ) قبل ( ولم يتغير عادة كأرض ) وثياب رأياها من نحو شهر ( او احتمل تغيرها ) وعدمه ( كحيوان صح بيعها ) في الأول والظاهر في الثاني بقائها بحالها ومحله اذا كانا ذاكرين لأوصافها عند العقد ( او غلب تغيره ) في المدة ( كفاكهة رطبة لم يصح ) بيعها للغائب والمراد بالغائبة غير المرئية حالة العقد سواء كانت غائبة عن مجلسه او حاضرة فيه* وقوله لم يصح بيعها : اي وان بالغا في وصفها او سمعه المشتري بالتواتر ولا يشكل على ذلك صحة البيع فيما لو قال اشتريت منك ثوبا صفته كذا بهذه الدرهم فقال بعتك لأن ذلك بيع موصوف في الذمة وهذا بيع عين موصوفة متميزة كذا قاله الرملي الكبير


مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ج ٢ ص ٣٥٧

 *(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا، وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا لِلنَّهْيِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (وَالثَّانِي يَصِحُّ) إذَا وُصِفَ بِذِكْرِ جِنْسِهِ وَنَوْعِهِ اعْتِمَادًا عَلَى الْوَصْفِ، فَيَقُولُ بِعْتُك عَبْدِي التُّرْكِيَّ أَوْ فَرَسِي الْعَرَبِيَّ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ وَهَذَا لَا بُدَّ مِنْهُ عَلَى هَذَا، وَقِيلَ: لَا حَاجَةَ إلَى ذَلِكَ وَهُوَ مَا يُوهِمُهُ إطْلَاقُ الْمُصَنِّفِ حَتَّى لَوْ قَالَ: بِعْتُك مَا فِي كَفِّي أَوْ مِيرَاثِي مِنْ أَبِي صَحَّ* 


الشرقاوى على التحرير ج ٢ ص ١٦ مكتبة الحرمين

 *(وَ) الْعَيْنُ (اَلَّتِي فِى الذِّمَّةِ يَصِحُّ بَيْعُهَا بِذِكْرِهَا مَعَ جِنْسِهَا وَصِفَتِهَا كَعَبْدِ حَبَشِيٍّ خمُاَشِيّ) مَعَ بَقِيَّةِ الصِّفَاتِ الَّتِي تُذْكَرُ فِى السَّلَمِ* (وَعُدَّ) هَذَا (بَيْعًا لا سَلَمًا مَعَ أَنَّهَا) أَىْ الْعَيْنَ (فِى الذِّمَّةِ إِعْتِبَارًا بِلَفْظِهِ فَلا يُشْتَرَطُ فِيْهِ تَسْلِيْمُ الثَّمَنِ قَبْلَ التَّفَرُّقِ)  


نهاية المحتاج ج ٣ ص ٤١٥

والأظهر أنه لا يصح في غير نحو الفقاع كما مر بيع الغائب وهو ما لم يره المتعاقدان أو أحدهما ثمنا أو مثمنا ولو كان حاضرا في مجلس البيع وبالغا في وصفه أو سمعه بطريق التواتر كما يأتي أو رآه في ضوء إن ستر الضوء لونه كورق أبيض فيما يظهر


 *سلم التوفيق ص ٥٣ 

 *(و) يحرم أيضا بيع (مالم يره) قبل العقد حذرا من الغرور أي ألخطر لما روى مسلم أنه صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر أي البيع المشتمل على الغرر فى المبيع قال الحصني وفى صحة بيع ذالك قولان احدهما أنه يصح وبه قال الأمة الثلاثة وطائفة من أئمتنا منهم البغوي والروياني والجديد الاظهر أنه لايصح لانه غرر انتهى.**

والله أعلم بالصواب

Sunday, May 12, 2024

ASAL HUKUM MINYAK TANAH NAJIS, BENARKAH? KITA KAJI


MINYAK TANAH 


Deskripsi Masalah :

Tambang-tambang yang sudah ditemukan sekarang sudah bisa kita gunakan dengan sangat sempurna dan dapat diperoleh dengan sangat mudah. Salah satu tambang yang ada adalah minyak tanah. Sebagaimana kita tahu, bahwa minyak tanah yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan bakar dan kebutuhan lain, ternyata berasal dari bangkai hewan purba yang tertimbun sejak jutaan tahun silam.


Pertanyaan :

1. Najiskah minyak tanah tersebut?2.Bisakah minyak tanah digunakan bersesuci?


Jawaban :

1. Suci. Karena tidak terbukti dari dari beda najis.2.Bersesuci dengan menggunakan Minyak tanah itu tidak sah karena bukan air tetapi ada sebagian ulama yang memperbolehkan.                                                 


Referensi :

(فتح المعين، 124)

(وَأَفْتَى شَيْخُنَا) فِيْ طَرِيْقٍ لَا طِيْنَ بِهَا بَلْ فِيْهَا قَذْرُ الْاَدَمِيِّ وَرَوْثُ الْكِلَابِ وَالْبَهَائِمِ وَقَدْ أَصَابَهَا الْمَطَرُ، بِالْعَفْوِ عِنْدَ مَشَقَّةِ الْاِحْتِرَازِ. (قَاعِدَةٌ مُهِمَّةٌ): وَهِيَ أَنَّ مَا أَصْلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ عَلىَ الظَّنِّ تَنَجُّسُهُ لِغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِيْ مِثْلِهِ، فِيْهِ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَيِ الْاَصْلِ وَالظِّاِهِر أَوِ الْغَالِبِ أَرْجَحُهُمَا أَنَّهُ طَاهِرٌ، عَمَلًا بِالْاَصْلِ الْمُتَيَّقَّنِ، لِاَنَّهُ أَضْبَطُ مِنَ الْغَالِبِ الْمُخْتَلَفِ بِالْاَحْوَالِ وَالْاَزْمَانِ، (َوذَلِكَ كَثِيَابِ خِمَارٍ وَحَائِضٍ وَصِبْيَانَ)، َوأَوَانِيْ مُتَدَيَّنِيْنَ بِالنَّجَاسَةِ، وَوَرَقٍ يَغْلِبُ نَثْرُهُ عَلىَ نَجِسٍ،وَلُعَابِ صَبِيٍّ، وجوخٍ اِشْتَهَرَ عَمَلُهُ بِشَحْمِ الْخِنْزِيْرِ، وَجبنٍ شَامِيٍّ اشْتَهَرَ عَمَلهُ بِإِنْفَحَةِ الْخِنْزِيْرِ وَقَدْ جَاءَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبْنَةٌ مِنْ عِنْدِهِمْ فَأَكَلَ مِنْهَا وَلَمْ يَسْأَلْ عَنْ ذَلِكَ ذَكَرَهُ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْمِنهْاَجِ.

.

(فتح القريب المجيب، 4)

وَيَجْمَعُ هَذِهِ السَّبْعَةَ قَوْلُكَ مَانََزَلَ مِنَ السَّمَاءِ اَوْنَبَعَ مِنَ الْاَرْضِ عَلَى أّيِّ صِفَةٍ كَاَنتْ مِنَ اَصْلِ الْخِلْقَةِ.

(تحفة المحتاج في شرح المنهاج، 25/248)

(فَصْلٌ) فِي بَيَانِ حُكْمِ الْأَعْيَانِ الْمُشْتَرَكَةِ (الْمَعْدِنُ) هُوَ حَقِيقَةً الْبُقْعَةُ الَّتِي أَوْدَعَهَا اللَّهُ تَعَالَى جَوْهَرًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِعُدُونِ أَيْ إقَامَةِ مَا أَثْبَتَهُ اللَّهُ فِيهَا، وَالْمُرَادُ مَا فِيهَا (الظَّاهِرُ وَهُوَ مَا يَخْرُجُ) جَوْهَرُهُ (بِلَا عِلَاجٍ) فِي بُرُوزِهِ وَإِنَّمَا الْعِلَاجُ فِي تَحْصِيلِهِ (كَنِفْطٍ) بِكَسْرِ أَوَّلِهِ وَيَجُوزُ فَتْحُهُ دُهْنٍ مَعْرُوفٍ (وَكِبْرِيتٍ) بِكَسْرِ أَوَّلِهِ أَصْلُهُ عَيْنٌ تَجْرِي فَإِذَا جَمَدَ مَاؤُهَا صَارَ كِبْرِيتًا وَأَعَزُّهُ الْأَ

CARA MENSUCIKAN KASUR YANG TERKENA OMPOL (KENCING)*

 https://youtu.be/u81bEgK3dmE?si=G--PrKh93SqMi6XA


*CARA MENSUCIKAN KASUR YANG TERKENA OMPOL (KENCING)*


Cara mensucikan kasur tersebut masih harus diperinci :


- Jika setelah dijemur, kasur tersebut masih mengandung salah satu dari warna, bau dan rasa pipis maka najis di kasur tersebut dihukumi _najis ‘ainiyyah_. Sehingga cara mensucikannya harus disiram air sampai hilang sifat najisnya (warna, rasa, bau).


- Jika setelah dijemur, kasur tersebut sudah tidak mengandung seluruh sifat najis, maka najis tersebut dihukumi _najis hukmiyyah_, sehingga cukup dialiri air satu kali saja. 


Namun demikian menurut kalangan Hanafiyah, bila sifat-sifat suatu najis sudah dapat hilang dengan dijemur pada sinar matahari maka kasur tersebut sudah dihukumi suci, karena dalam madzhab Hanafi, api dan sinar matahari bisa untuk menghilangkan najis.


*REFERENSI :*


1. Kifayah Al Akhyar, juz 1, hal.66.


*كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار - (ج 1 / ص 66)*


(وغسل جميع الأبوال والأرواث واجب إلا بول الصبي الذي لم يأكل الطعام فإنه يطهر برش الماء عليه). حجة الوجوب حديث الأعرابي وغيره، وأما كيفية الغسل فالنجاسة تارة تكون عينية أي تشاهد بالعين وتارة تكون حكمية أي حكمنا على المحل بنجاسته من غير أن ترى عين النجاسة فإن كانت النجاسة عينية فلا بد مع إزالة العين من محاولة إزالة ما وجد منها من طعم ولون وريح فإن بقي طعم النجاسة لم يطهر المحل المتنجس لأن بقاء الطعم يدل على بقاء النجاسة وصورته فيما إذا تنجس فمه وإن بقي الأثر مع الرائحة لم يطهر أيضاً وإن بقي لون النجاسة وحده وهو غير عسر الإزالة لم يطهر إلى أن قال وأما النجاسة الحكمية فيشترط فيها الغسل أيضاً. والحاصل أن الواجب في إزالة النجاسة غسلها المعتاد بحيث ينزل الماء بعد الحت والتحامل صافياً إلا في بول الصبي الذي لم يطعم ولم يشرب سوى اللبن 


2. Roudloh Al Tholibin Wa ‘Umdah Al Muftiyyin, juz 1, hal.100.


*روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 1 / ص 100)*


أما إذا طرأ مناقض لا باختياره ولا بتقصيرة فإن أزاله في الحال كمن انكشفت عورته فسترها في الحال أو وقعت عليه نجاسة يابسة فنفضها في الحال أو ألقى الثوب الذي وقعت عليه في الحال فصلاته صحيحة.


3. Al Um, juz 1, hal.74


*الأم - (ج 1 / ص 74)*


(قال الشافعي) رضى الله عنه إلى أن قال فإذا أصابتهما نجاسة يابسة لا رطوبة فيها فحكهما حتى نظفا وزالت النجاسة عنهما صلى فيهما.


4. Rahmatul Ummah / Hamisy Mizan Kuibra 1/5.


ليس للنار والشمس في إزالة النجاسة تأثير إلا عند أبي حنيفة حتى إن جلد الميتة إذا جف في الشمس طهر عنده بلا دبغ وكذلك إذا كان على الأرض نجاسة فجفت في الشمس طهر موضعها وجازت الصلاة عليه لا التيمم به وكذلك النار تزيل النجاسة عنده.


5. Al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab II/596.


قال المصنف رحمه الله [إذا أصاب الارض نجاسة ذائبة في موضع ضاح فطلعت عليه الشمس وهبت عليه الريح فذهب اثرها ففيه قولان قال في القديم والاملاء يطهر لانه لم يبق شئ من النجاسة فهو كما لو غسل بالماء وقال في الام لا يطهر وهو الاصح لانه محل نجس فلا يطهر بالشمس كالثوب النجس]


[الشَّرْحُ] هَذَانِ الْقَوْلَانِ مَشْهُورَانِ وَأَصَحُّهُمَا عِنْدَ الْأَصْحَابِ لَا يَطْهُرُ كَمَا صَحَّحَهُ الْمُصَنِّفُ وَنَقَلَهُ الْبَنْدَنِيجِيُّ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ فِي عَامَّةِ كُتُبِهِ وَحَكَى فِي الْمَسْأَلَةِ طَرِيقَيْنِ أَحَدُهُمَا فِيهِ الْقَوْلَانِ وَالثَّانِي القطع بأنها لا تطهر وتأويل نصفه عَلَى أَرْضٍ مَضَتْ عَلَيْهِ سُنُونَ وَأَصَابَهَا الْمَطَرُ ثُمَّ الْقَوْلَانِ فِيمَا إذَا لَمْ يَبْقَ مِنْ النجاسة طعم ولا لون ولا رائحة ومن قَالَ بِأَنَّهَا لَا تَطْهُرُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَزُفَرُ وَدَاوُد وَمِمَّنْ قَالَ بِالطَّهَارَةِ أَبُو حَنِيفَةَ وَصَاحِبَاهُ ثُمَّ قَالَ الْعِرَاقِيُّونَ هُمَا إذَا زَالَتْ النَّجَاسَةُ بِالشَّمْسِ أَوْ الرِّيحِ فَلَوْ ذَهَبَ أَثَرُهَا بِالظِّلِّ لَمْ تَطْهُرْ عِنْدَهُمْ قَطْعًا وَقَالَ الْخُرَاسَانِيُّونَ فِيهِ خِلَافٌ مُرَتَّبٌ وَأَمَّا الثَّوْبُ النَّجِسُ بِبَوْلٍ وَنَحْوِهِ إذَا زَالَ أَثَرُ النَّجَاسَةِ مِنْهُ بِالشَّمْسِ فَالْمَذْهَبُ القطع بأنه لا يطهر وبه قطع العرقيون وَنَقَلَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ عَنْ الْأَصْحَابِ أَنَّهُمْ طَرَدُوا فِيهِ الْقَوْلَيْنِ كَالْأَرْضِ قَالَ وَذَكَرَ بَعْضُ الْمُصَنِّفِينَ يَعْنِي الْفُورَانِيَّ أَنَّا إذَا قُلْنَا يَطْهُرُ الثَّوْبُ بِالشَّمْسِ فَهَلْ يَطْهُرُ بِالْجَفَافِ فِي الظِّلِّ فِيهِ وَجْهَانِ وَهَذَا ضَعِيفٌ قَالَ الْإِمَامُ وَلَا شَكَّ أَنَّ الْجَفَافَ لَا يَكْفِي فِي هَذِهِ الصُّورَةِ فَإِنَّ الْأَرْضَ تَجِفُّ بِالشَّمْسِ عَلَى قُرْبٍ وَلَمْ يَنْقَلِعْبَعْدُ آثَارُ النَّجَاسَةِ فَالْمُعْتَبَرُ انْقِلَاعُ الْآثَارِ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ بِلَا خِلَافٍ وَكَذَا الْقَوْلُ فِي الثِّيَابِ وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ (مَوْضِعٌ ضَاحٍ) هُوَ بِالضَّادِ الْمُعْجَمَةِ قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ هُوَ الْبَارِزُ والله أعلم


____________

 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes