(فصل) النيه ثلاث درجات : إن كانت الصلاة فرضا وجب قصد الفعل والتعيين والفرضية وإن كانت نافلة مؤقتة كراتبة او ذات سبب وجب قصد الفعل والتعيين ، وان كانت نافلة مطلقة وجب قصد الفعل فقط .
Tingkatan Niat
Niat itu ada tiga derajat, yaitu:
1. Jika sholat yang dikerjakan fardhu, diwajibkanlah niat qasdul fi’li (mengerjakan shalat tersebut), ta’yin (nama sholat yang dikerjakan) dan fardhiyah (kefardhuannya).
2. Jika sholat yang dikerjakan sunnah yang mempunyai waktu atau mempunyai sebab, diwajibkanlah niat mengerjakan sholat tersebut dan nama sholat yang dikerjakan seperti sunah Rowatib (sebelum dan sesudah fardhu-fardhu).
3. Jika sholat yang dikerjakan sunnah Mutlaq (tanpa sebab), diwajibkanlah niat mengerjakan sholat tersebut saja.
Yang dimaksud dengan qasdul fi’li adalah aku beniat sembahyang (menyenghajanya), dan yang dimaksud ta’yin adalah seperti dzuhur atau asar, adapun fardhiyah adalah niat fardhu.
Dimakruhkan mencabut bulu hidung,akan tetapi disunahkan mengguntingnya jika dirasa panjang,dan biarkan tetap ada karena keberadaanya mempunyai manfaat kesehatan (sbgai filter udara)
diperbolehkan mencukur seluruh bulu yang tumbuh dibadan seperti bulu dada dan bulu di kedua tangan,bulu dibokong (maaf, dipantat) dan bulu disekitar anus
Tidk ada ulama fiqh Yg melegalkan wanita haid berdiam dlam masjid, (berbeda dgn sekedar berlalu/melintas)
Dlm salah satu fatwa syaikh Al- buthi seputar wanita haid berdiam diri di dlm masjid
* Bagaimna hukum wanita Haid yg berprofesi sebagai ustadzah masuk masjid untuk mengajar atau mengisi kajian ?
Syaikh muhammad sa'id Ramadhan Al buthi dlm fatwanya prnah di tanyak ,
دخول الحائض المسجد ؟
أريد جوابا قطعيا لهذه المسألة .. إعرف أن الحكم فيها مبتوت فيه وهنالك حديث صحيح لكن من كثرة ما أسمع مخالفات وتيسيات وفتاوى شرقية وغربيه أصحبت أشك في معلومات،
ما حكم دخول الحائض إلى المسجد في دورات القرأن للتعليم أو للتعلم إن لم يكن هنالك بديل عنها في التعليم وهل هنالك مذهب ما يجيز ذلك ؟
يقولون : أنها إن لم تذهب سيتشتت الطلاب فمنهم من أباح ذلك بحكم -ضرورة العلم - و الضرورات تبيح المخظورات
Sya ingin mendpatkn jwaban yg pasti dlm masalah ini, yg saya tua hukumnya sudh jelas dn juga asa hadits shoheh , akan tetapi akhir² ini saya mendengar pendpat² lain yg berbeda dn cendrung meringankn, bagaimna hukum wnita haid masuk Masjid untk mengajar atau belajar kajian Al quran jika di sana tdk ada org yg dpat menggantikannya dlm mengajar ? Dn apakh ada pendpat Yg membolehkan hal itu ?
Sebagian org mengatkan jika sya tdk hadir mka itu akn membuat jamaah tercerai berai dn ia mengatakn saya boleh duduk di masjid dgn alasan darurat , dn ke adaan darurat bisa bisa membolhkn parkara yg di haramkan .
𝙅𝘼𝙒𝘼𝘽𝘼𝙉 : 𝙎𝙔𝘼𝙄𝙆𝙃 𝘼𝙇 𝘽𝙐𝙏𝙃𝙄
ليس في العلماء وائمة المذاهب الفقهية من قال بإباحة مكث المرأة الحائض في المسجد ،
وكلام رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك صريح ، ومن أبرزه ما رواه مالك في موطئة ، ولكن بعض النساء اليوم برغب في التباهى بكثرة من يخضرن في دروسهن ، فتخرع الواحدة منهن فتاوي بإباحة جلوسالحائض في المسجد ، كيلا يقل عدد الحضور منهن في دروسها ، ولا تبالي أنها تخالف بذلك حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم .. وأعتقد أنه لا خير في حضور دروس مدرسات عذه عي حالهن ،
Tidk ada ulama dri madzhab fiqh manapun yg membolehkn wnita haid berdiam diri di dlm masjid , hadits Rasulullah tentang ini sudh sngat jelas , termasuk yg paling menonjol adlah hadits riwayat imam malik di muwatho' nya ,
Akan tetapi sbagaian ustadz di zaman ini yg berlomba lomba untuk memperbanyak jamaah hingga akhirnya sbgian dri mereka membuat fatwa bolehnya bolehnya wanita duduk di dlm masjid agar jamaahnya tdk berkurang, dn tdk peduli bahasa itu bertentangan dgn hadits Rasulullah saw , saya meyakini tdk ada faidahnya menghadiri kajian2 ustadz / ustadzah yg kelakuannya seprti itu .
Istifta'at Al anaas lil imam al-syahid al-buthi fatwa no 306
➖➖➖➖➖
Wanita haid di larang keras berdiam diri di dlm masjid . Baik untk sekedar diam , sholat, i'tiqaf , atau untk yg lainnya .
Referensi :
كتاب : الموسوعة الفقهية
Menukil bhwa ini sudh menjdi kesepakatan para fuqoha'
Larangan bgi wanita haid berdiam di masjid pelarngan ini adlah ta'abbudi , maka walaupun memakai pembalut yg bisa di pastikan darh tdk menetes ke masjid, mka hukumnya tetap haram apbila berdiam di dlm msjid .
- Ana sampaikan ini semua krna realita yg ada skrg banyak ana temui ustadz2 anyaran dri golongan sebelah yg membolehkn wanita haid ikut kajian, ta'lim di dlm masjid walaupun sedng haid .
Usut punya usut ternyata itu semua hanya untuk tidk mengurangi jumlah jamaahnya . Sehingga fatwanya bertentangan dgn ittifaq para fuqaha' . Jadi apabila satu majlis yg melegalkan wanita haid ikut pengajian di dlmnya . Maka lebih baik tinggalkan majlis tsb . Krna tidk ada manfaat/maslahah mengikuti majlis tsb yg ada hanya mendatangkn mudhorot .
Kata syaikhuna dan bisa tetap pangkat masjid itu cukup kita tahu bahwa tempat itu di pakai untuk sholat ، dan cukup pngkat masjid itu tersebar luas artinya sering di pakai oleh orang orang untuk sholat di sertai dgn TDK inkar bahwa itu masjid
masjid itu adalah setiap tempat yg di wakafkan untuk sholat , dan bisa di nyatakan itu masjid, atau di sangka saja itu masjid kerena memang tersebar luas tahu bahwa itu masjid walaupun tempatnya itu di milik oleh seseorang
Dan Syah di situ sholat tahiyat tapi TDK Syah i'tikaf menurut Qoul mu'tamad
Iya begitu di tuqil dari ibfu hajar dari imam subki bahwa kami jika melihat bentuk masjid dan orang orang sholat di sana serta TDK ada yg ingkar maka kami menghukumi itu barang wakaf artinya mesjid,
Jika TDK memenuhi qaid di atas maka TDK bisa di sebut masjid
Sudah menjadi tradisi bahwa ketika menikah, mempelai dirias dan duduk di pelaminan. Proses rias biasanya dimulai setelah subuh dan tidak dihapus sampai acara selesai sekitar jam 10 malam. Masalah terjadi terkait shalat mempelai. Sebab perias biasanya tidak mau menghapus riasan hanya karena penganten mau shalat. Sebab prosesi rias bisa memakan waktu sampai 3 jam.
Pertanyaan:
Apakah boleh dengan alasan ini, mempelai shalat dhuhur dijamak taqdim dengan asar, dan shalat maghrib dijamak ta'khir dengan isya'?
Jawaban:
Sebenarnya menurut pendapat yang muktamad dalam madzhab syafi'i, tidak boleh jama' sholat di rumah. Namun sebagian ulama' madzhab syafi'i memperbolehkannya asalkan ada hajat dan tidak dijadikan kebiasaan. Akan tetapi, jama' sholat merupakan rukhsoh (dispensasi) yang mana diperbolehkannya tidak boleh karena alasan yang diharamkan agama. Oleh karenanya, jika dalam proses rias dan pemajangan penganten terdapat kemaksiyatan, seperti membuka aurat, seperti rambut dan dada. Maka hukumnya tetap tidak diperbolehkan.
ومن ثم لا يستبيح العاصي بسفره شيئا من رخص السفر: من القصر والجمع والفطر والمسح ثلاثا، والتنقل على الراحلة، وترك الجمعة، وأكل الميتة ; وكذا التيمم، على وجه اختاره السبكي، ويأثم بترك الصلاة إثم تارك لها، مع إمكان الطهارة ; لأنه قادر على استباحة التيمم بالتوبة.
حاشية الباجوري الجزء الثاني ص 99 (مع هامشه) دار الفكر
أحدها نظره ولو كان شيخا هرما عاجزا عن الوطء إلى أجنبية لغير حاجة إلى نظرها فغير جائز.
(قوله: إلى أجنبية) أي إلى شيء من امرأة أجنبية أي غير محرم ولو أمة وشمل ذلك وجهها وكفيها فيحرم النظر إليهما ولو من غير شهوة أو خوف فتنة على الصحيح كما في المنهاج وغيره ووجهه الإمام باتفاق المسلمين على منع النساء من الخروج سافرات الوجوه أي كاشفات الوجوه وبأن النظر محرك للشهوة ومظنة الفتنة وقد قال تعالى قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم واللئق من محاسن الشريعة سد الباب والإعراض عن تفاصيل الأحوال كما قالوه في الخلوة بالأجنبية وقيل لا يحرم لقوله تعالى ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وهو مفسر بالوجه والكفين والمعتمد الأول ول بأس بتقليد الثاني لا سيما في هذا الزمان الذي كثر فيه خروج النساء في الطرق والأسواق.
Sudah begitu umum bagi pengantin wanita, sebelum dipertontonkan pada acara resepsi , ia akan dirias secantik mungkin dan butuh waktu yang lama untuk mendandaninya. Begitupula yang dialami mbak via yang resepsinya akan berlangsung sesudah magrib nanti sejak belum masuk waktu ashar ia sudah mulai dirias. Mbak via merasa dilema atas hajat yang menimpa dirinya sehingga dzuhur ia sudah menjama’ dengan sholat asharnya .dan dia berniat menjama’ sholat magrib dengan sholat isya nanti karena ia yakin setelah ia dirias tidak memungkinkan dirinnya meninggalkan tempat resepsi ataupun menghapus riasan untuk melaksanakan sholat.
Pertanyaan
Apakah yang dilakukan mbak via (menjama' sholat) dengan alasan hajat seperti dalam deskripsi dibenarkan?
Jawaban
Tindakan mbak Via berupa menjama' sholat sebagaimana deskripsi diatas dapat DIBENARKAN, sebab sholat jama' fil hadlor (Jama dirumah tanpa bepergian) menurut sebagian ulama diperbolehkan jika ada hajat/kebutuhan yang mendesak dan tidak dijadikan kebiasaan. Termasuk diantaranya adalah hajat resepsi pernikahan.
Namun demikian, tindakan Mbak Via sekeluarga dengan merias diri untuk dipertontonkan dimuka umum tetap tidak dibenarkan jika ada hal-hal yang diharamkan, semisal model pakaian yang membuka aurat, terlalu ketat, bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram dan lain-lain.
Catatan:
👉 Sebisa mungkin pengantin untuk menjaga waktu sholat, sehingga tidak perlu mengambil rukhsoh jama'.
👉 Pakaian standar syar'i guna menutup aurat perempuan dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya adalah pakaian dengan ketentuan sebagai berikut:
Menutup seluruh badan.
Pakaian yang dikenakan harus tebal dan tidak transparan.
Tidak ada unsur zinah baik dari segi jenis pakaian atau warna,menghindari warna yang terlalu mencolok/berlebihan.
Harus longgar / tidak ketat, yang menampakkan lekuk-lekuk tubuh.
Tidak berparfum yang dapat menarik perhatian kaum lelaki.
Tidak tasyabbuh (menyerupai lelaki).
Referensi:
١. المجموع شرح المهذب الجزء الرابع صحـ 384
(فرع) في مذاهبهم في الجمع في الحضر بلا خوف ولا سفر ولا مطر ولا مرض: مذهبنا ومذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد والجمهور: أنه لا يجوز. *وحكى ابن المنذر عن طائفة جوازه بلا سبب.* قال وجوزه ابن سيرين لحاجة أو ما لم يتخذه عادة
٢. بغية المسترشدين صحـ 127
فائدة: صلى الظهر ثم أعادها مع جماعة جاز تقديم العصر معها حينئذ بشرطه، قاله عبد الله بن أحمد مخرمة وخالفه ابن حجر فرجح عدم الجواز. فائدة: لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير اختاره البندنيجي، وظاهر الحديث جوازه ولو في حضر كما في شرح مسلم، *وحكى الخطابي عن أبي إسحاق جوازه في الحضر للحاجة، وإن لم يكن خوف ولا مطر ولا مرض، وبه قال ابن المنذر اهـ قلائد.* وعن الإمام مالك رواية أن وقت الظهر يمتد إلى غروب الشمس، وقال أبو حنيفة: يبقى إلى أن يصير الظل مثلين ثم يدخل العصر، ذكره الردّاد، وكان سيدنا القطب عبد الله الحداد يأمر بعض بناته عند اشتغالها بنحو مجلس النساء بنية تأخير الظهر إلى وقت العصر.
٣. شرح البهجة الوردية (4/ 458)
(و) رخص (جمع تقديم) للعصرين وتلويهما (بعذر المطر،) ولو ضعيفا، إن كان بحيث يبل ثيابه لخبر الصحيحين عن ابن عباس: {صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بالمدينة الظهر والعصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا}.زاد مسلم {من غير خوف ولا سفر} قال الشافعي كمالك أرى ذلك في المطر قال في المجموع: وهذا التأويل مردود برواية في مسلم: {من غير خوف ولا مطر ... الى ان قال .... وعلم من كلام الناظم أنه لا جمع بمرض أو ريح أو ظلمة أو خوف أو وحل أو نحوها، وهو المشهور؛ لأنه لم ينقل ولخبر المواقيت فلا يخالف إلا بصريح قال الرافعي: وجوزه بعض أصحابنا كالخطابي والقاضي والروياني بالمرض والوحل قال في المجموع: وهو قوي جدا ويدل له خبر مسلم {أنه صلى الله عليه وسلم جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر}، واختار هذا في الروضة لكنه فرضه في المرض قال في المهمات، وقد ظفرت بنقله عن الشافعي في مختصر للمزني سماه " نهاية الاختصار " من قول الشافعي وعلى المشهور قال في المجموع: وإنما لم يلحقوا الوحل بالمطر كما في عذر الجمعة والجماعة؛ لأن تاركهما يأتي ببدلهما، والجامع يترك الوقت بلا بدل ولأن العذر فيهما ليس مخصوصا، بل كل ما يلحق به مشقة شديدة والوحل منه وعذر الجمع مضبوط بما جاءت به السنة ولم تجئ بالوحل
أنا أضطر إلى جمع الصلوات جمع تأخير بسبب ظروف عملي؛ حيث إنني أعمل طبيبًا وأدخل العمليات قبل صلاة الظهر ولا أخرج إلا بعد العصر، فهل يجوز لي الجمع؟ وهل يلزم أن أنوي جمع التأخير في وقت الصلاة الأولى؟ وهل إن فصلت بين الصلاتين بفاصل تبطل الصلاة؟
الجواب : الأستاذ الدكتور / شوقي إبراهيم علام
الناظر في الشريعة الإسلامية يجد أنَّ مبناها على التيسير ورفع الحرج عن المكلفين؛ وفي ذلك رعاية لحالهم وتحقيق لمصالحهم.
وقد دل على ذلك أدلة كثيرة من الكتاب والسنة والقواعد الفقهية:
ومن السنة المطهرة: عن أبي أمامة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ»، أخرجه الإمام أحمد.
ومن القواعد: قاعدة: "المشقة تجلب التيسير"، وغيرها.
وفي ذلك دليل على رفع الحرج والمشقة الزائدة عن المكلفين؛ قال العلامة الصنعاني في "فيض القدير" (3/ 203، ط. المكتبة التجارية): [إنما بعث بالحنيفية السمحة البيضاء النقية واليسر الذي لا حرج فيه: ﴿لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ﴾؛ واستنبط منه الشافعية قاعدة: "إن المشقة تجلب التيسير"] اهـ.
وهناك أمثلة كثيرة في الشريعة الإسلامية للتيسير ورفع الحرج عن المكلفين:
منها على سبيل المثال: تخفيف عدد الصلاة من خمسين إلى خمس فقط؛ كما جاء ذلك في حديث الإسراء والمعراج.
ومنها: جمع الصلاة الرباعية وقصرها إلى ركعتين في حالة السفر.
وقد ثبت أن سيدنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم جمع بين الظهر والعصر وبين المغرب والعشاء من غير خوف ولا مرض ولا مطر، وعندما سئل ابن عباس رضي الله عنهما عن ذلك قال: "أراد أن لا يحرج أمته". وروى الشيخان في صحيحيهما عن ابن عباس رضي الله عنهما: "أَنَّ النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ".
وفي لفظ قال: "جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ"، قيل لابن عباس: ما أراد بذلك؟ قال: "أراد أن لا يحرج أمته".
قال العلامة الشوكاني في "نيل الأوطار" (3/ 257، ط. دار الحديث): [قوله: (أراد أن لا يحرج أمته).. ومعناه: إنما فعل تلك لئلا يشق عليهم ويثقل، فقصد إلى التخفيف عنهم] اهـ.
وقد ذهب إلى جواز الجمع في الحضر مطلقًا للحاجة من غير اشتراط الخوف، أو المطر، أو المرض، جماعة من الأئمة؛ منهم ابن سيرين وربيعة وأشهب وابن المنذر والقفال الكبير وابن شبرمة وغيرهم؛ قال العلامة ابن حجر العسقلاني في "فتح الباري" (2/ 24، ط. دار المعرفة): [وقد ذهب جماعة من الأئمة إلى الأخذ بظاهر هذا الحديث فجوزوا الجمع في الحضر للحاجة مطلقًا.. وممن قال به: ابن سيرين وربيعة وأشهب وابن المنذر والقفال الكبير، وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث] اهـ. ثم قال الحافظ ابن حجر في "المرجع السابق نفسه": [واستدل لهم بما وقع عند مسلم في هذا الحديث من طريق سعيد بن جبير، قال: فقلت لابن عباس: لِمَ فعل ذلك؟ قال: أراد أن لا يحرج أحدًا من أمته. وللنسائي من طريق عمرو بن هرم عن أبي الشعثاء أن ابن عباس رضي الله عنه صلى بالبصرة الأولى والعصر ليس بينهما شيء والمغرب والعشاء ليس بينهما شيء، فعل ذلك من شغل] اهـ. وقال العلامة ابن جزي الكلبي في "القوانين الفقهية" (1/ 57): [وأجاز الظاهرية وأشهب الجمع بغير سبب] اهـ. وقال الإمام النووي في "المجموع" (4/ 384، ط. دار الفكر): [(فرع) في مذاهبهم في الجمع في الحضر بلا خوف ولا سفر ولا مرض: مذهبنا ومذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد والجمهور أنه لا يجوز، وحكى ابن المنذر عن طائفة جوازه بلا سبب، قال: وجوزه ابن سيرين لحاجة أو ما لم يتخذه عادة] اهـ. وقال في "روضة الطالبين" (12/ 401، ط. المكتب الإسلامي): [وقد حكى الخطابي عن القفال الكبير الشاشي، عن أبي إسحاق المروزي جواز الجمع في الحضر للحاجة من غير اشتراط الخوف، والمطر والمرض، وبه قال ابن المنذر من أصحابنا] اهـ.
وقال العلامة ابن قدامة في "المغني" (2/ 205، ط. مكتبة القاهرة): [فصل: ولا يجوز الجمع لغير من ذكرنا. وقال ابن شبرمة: يجوز إذا كانت حاجة أو شيء، ما لم يتخذه عادة] اهـ.
وقال العلامة ابن قاسم في "حاشية الروض المربع" (2/ 396): [وأوسع المذاهب مذهب أحمد، فإنه نص على أنه يجوز للحرج والشغل] اهـ.
وقد أجاز فقهاء الحنابلة الجمع بين الصلاتين لأصحاب الأعمال الشاقة؛ كالطباخ والخباز ونحوهما؛ قال الإمام المرداوي الحنبلي في "الإنصاف" (2/ 336، ط. دار إحياء التراث): [قال أحمد في رواية محمد بن مشيش: الجمع في الحضر إذا كان عن ضرورة مثل مرض أو شغل. قال القاضي: أراد بالشغل ما يجوز معه ترك الجمعة والجماعة من الخوف على نفسه أو ماله.. واختار الشيخ تقي الدين جواز الجمع للطباخ، والخباز ونحوهما، ممن يخشى فساد ماله ومال غيره بترك الجمع] اهـ.
وقال الإمام البهوتي في "كشاف القناع" (2/ 6، ط. دار الكتب العلمية): [في بيان أعذار الجمع بين الصلاة (و) الحال السابعة والثامنة (لمن له شغل أو عذر يبيح ترك الجمعة والجماعة) كخوف على نفسه أو حرمته أو ماله، أو تضرر في معيشة يحتاجها بترك الجمع ونحوه] اهـ.
ويقاس على ذلك علاج المريض فهو من الأعذار التي تبيح للطبيب الجمع بين الصلاتين؛ وذلك لأن في تركه خطرًا على حياة المريض التي جعل الشارع الحكيم المحافظة عليها من الضروريات الخمس؛ قال الإمام الآمدي في "الإحكام" (3/ 274، ط. المكتب الإسلامي): [المقاصد الخمسة التي لم تخل من رعايتها ملة من الملل ولا شريعة من الشرائع، وهي: حفظ الدين، والنفس، والعقل، والنسل، والمال. فإن حفظ هذه المقاصد الخمسة من الضروريات وهي أعلى مراتب المناسبات] اهـ.
وعليه: فإن اضطر الطبيب إلى البقاء في غرفة العمليات واستغرق ذلك وقت الصلاة كله بسبب هذا العمل المتواصل الذي لا يمكن قطعه؛ فيجوز له أن يجمع بين الصلاتين ولا حرج عليه....إلى أن قال...وبناءً على ذلك وفي الواقعة محل السؤال: يجوز للسائل الجمع بين الصلاة لظروف عمله، ولضرورة علاج المريض، ويجب عليه أن ينوي الجمع في وقت الأولى مع اعتبار ألَّا يكون هناك فاصل كبير بين الصلاتين.
( فصل ) تقدم أنه لا يقصر إلا في سفر مباح ، وقد أخذ في بيان مقابله فقال ( المعصية بالسفر ) كهرب عبد من سيده ( لا فيه ) كشرب خمر في سفر حج ( تمنع الترخص ) ؛ لأنه للإعانة فلا يعالج بالمعاصي ( فإن سافر ) أحد ( بلا غرض صحيح ) كمجرد رؤية البلاد ( أو ) سافر ( ليسرق ) أو يزني ، أو يقتل بريئا ، أو يتعب نفسه أو دابته بالركض بلا غرض ( أو هرب عبد ) من سيده ( أو زوجة ) من زوجها ( أو غريم موسر ) من غريمه ، أو نحوها ( لم يترخص بقصر و ) لا ( جمع و ) ( إفطار و ) لا راحلة و ) لا ( مسح ثلاث ) على خف ( و ) لا ( سقوط جمعة و ) لا ( أكل ميتة ) للاضطرار ؛ لأنه تخفيف ، وهو متمكن من دفع الهلاك بالتوبة ، فإن لم يتب ومات كان عاصيا بتركه التوبة وبقتله نفسه *.قال ابن الصلاح وإنما يجعل أكلها من رخص السفر حيث ينشأ الاضطرار منه في حق من كان بحيث لو أقام لم يضطر نقله عنه الأذرعي وأقره أما المقيم فيجوز له أكلها ولو عاصيا كما صرح به الأصل وفرق القفال كما نقله عنه في المجموع وأقره بأن أكلها في السفر سببه سفره ، وهو معصية فكان كما لو جرح في سفر المعصية لم يجز له التيمم لذلك الجرح مع أن الجريح الحاضر يجوز له التيمم* وقضيته أن أكلها إذا كان سببه الإقامة .وهي معصية كإقامة العبد المأمور بالسفر لا تجوز بخلاف ما إذا كان سببه إعواز الحلال ، وإن كانت الإقامة معصية ، وقضية كلام الأصحاب الجواز مطلقا وتقدم في مسح الخف أن المقيم يجوز له المسح وإن كان عاصيا بإقامته ، وقد يؤخذ من التعداد في كلام المصنف أن العاصي بسفره يترخص بالتيمم ، وهو كذلك عند فقد الماء على الصحيح في المجموع قال فيلزمه التيمم لحرمة الوقت ، والإعادة لتقصيره بترك التوبة ويوافقه كلام الأصل في بابه ( وإن أنشأ مسافر ) في سفره المباح ( قصد معصية به أتم ) صلاته فلا يقصرها كما لو أنشأ السفر بهذا القصد ، فإن تاب ترخص كما ذكره الرافعي في باب اللقطة ( أو ) ( أنشأ ) عاص به قصد مباح اعتبرت المسافة من حينئذ أي من حين قصد الإباحة فإن قصد مرحلتين ترخص وإلا فلا. الشرح( قوله : كهرب عبد من سيده ) الظاهر أن الآبق ونحوه ممن لم يبلغ كالبالغ ، وإن لم يلحقه الإثم غ ( قوله : فلا تناط بالمعاصي ) معنى قولهم الرخص لا تناط بالمعاصي إن فعل الرخصة متى توقف على وجود شيء فإن كان تعاطيه في نفسه حراما امتنع معه فعل الرخصة وإلا فلا قوله بأن أكلها في السفر سببه سفره إلخ ) وبأن الإقامة نفسها ليست معصية ؛ لأنها كف وإنما الفعل الذي يوقعه في الإقامة معصية ، والسفر في نفسه معصية ( قوله : وقضيته أن أكلها إلخ ) ليس ذلك قضيته وإنما قضيته الجواز في الإقامة مطلقا ؛ لأن سببه فيها إعواز الحلال لا هي بدليل التنظير ( قوله : وقضية كلام الأصحاب الجواز مطلقا ) أشار إلى تصحيحه .
والحاصل ان المسافر العاصي علي ثلاثة اقسام عاص بالسفر لقطع الطريق. وعاص في السفر كمن زنى وهو قاصد الحج مثلا، وعاص بالسفر في السفر كان انشأه طاعة ثم قلبه معصية فالثاني له القصر مطلقا، والاول والثالث لا يقصران قبل التوبة فان تابا قصر الثالث مطلقا، والاول ان بقي من سفره مرحلتان تنزيلا لمحل توبته منزلة ابتداء سفره ، ولو شرك بين معصية وغيرها كان سافر للتجارة وقطع الطريق فلا يقصر تغليبا للمانع وهو المعصية.
٩. لمواهب السنية هامش فوائد الجنية ص: 254 دار الفكر 1997
(ضرورة) قال الزركشي وهي بلوغه حدا إن لم يأخذ هلك أو قارب كالمضطر للأكل واللبس بحيث لو ترك هلك أو تلف منه عضو (وحاجة) وهي وصوله إلى حالة بحيث لو لم يأكل لم يهلك غير أنه يكون في جهد ومشقة وهذا لا يبيح المحرم.
١٠. إعانة الطالبين (4/ 218)
فائدة إذا تمسك العامي بمذهب لزمه موافقته وإلا لزمه التمذهب بمذهب معين من الأربعة لا غيرها ثم له وإن عمل بالأول الإنتقال إلى غيره بالكلية أو في المسائل بشرط أن لا يتتبع الرخص بأن يأخذ من كل مذهب بالأسهل منه فيفسق به على الأوجه.) وقوله بشرط الخ ) مرتبط به أي يجوز له أن يقلد في بعض المسائل بشرط أن لا يتتبع الرخص ) قوله بأن يأخذ الخ ) تصوير لتتبع الرخص ) قوله فيفسق به ) أي بتتبع الرخص وهذا ما جرى عليه ابن حجر أما ما جرى عليه الرملي فلا يفسق به ولكنه يأثم كما مر
١١. الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 213)
إذَا حَكَمَ مُقَلَّدٌ بِمَذْهَبِ إمَامِهِ مع عِلْمِهِ بِهِ نَفَذَ أو بِمَا تَوَهَّمَهُ من غَيْرِ أَنْ يُحِيطَ بِهِ عِلْمًا لم يَنْفُذْ وَإِنْ صَادَفَ الْحَقَّ أو بِمَرْجُوحٍ في مَذْهَبِ إمَامِهِ فَإِنْ كان مُتَبَحِّرًا له أَهْلِيَّةُ التَّرْجِيحِ نَفَذَ وَإِلَّا فَلَا-الى ان قال- فإن الْمُقَلِّدَ إذَا قَلَّدَ وَجْهًا ضَعِيفًا جَازَ له الْعَمَلُ بِهِ في نَفْسِهِ وَأَمَّا في الْفَتْوَى وَالْحُكْمِ فَقَدْ نَقَلَ ابن الصَّلاح الإجماع على أنه لا يجوز.
١٢. تفسير آيات الأحكام الجزء الثاني ص: 276 – 277
يشترط فى الحجاب الشرعي بعض الشروط الضرورية وهي كالأتى اولا أن يكون الحجاب ساترا لجميع البدن -إلى أن قال- ثانيا أن يكون كثيفا غير رقيق لأن الغرض من الحجاب الستر فإذا لم يكن ساترا لا يسمى حجابا لأنه لا يمنع الرؤية ولا يحجب النظر أن لا يكون زينة أو مبهرجا ذا ألوان جذابة يلفت الأنظار لقوله تعالى ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهرمنها" قوله ما ظهر منها أي بدون قصد ولا تعمد فإذا كان فى ذاته زينة فلا يجوز إرتدائه ولا يسمى حجابا لأن الحجاب هو الذى يمنع ظهور الزينة للأجانب رابعا أن يكون فضافضا غير ضيق لا يصف عن البدن ولا يجسم العورة ولا يظهر أماكن الفتنة فى الجسم خامسا أن لايكون الثوب معطرا فيه اثارى للرجال -إلى أن قال- وفى رواية أخرى إن المرأة إذا استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية سادسا أن لا يكون الثوب فيه تشبه بالرجال أو مما يلبسه الرجال اهـ
يستحب إظهار الزفاف وإعلانه وإشهاره بين الناس ليشهده الخاص والعام لقوله صلى الله عليه والسلام أعلنوا النكاح واجعلوا في المساجد واضربوا عليه بالدفوف وفي روايته فافصل بين الحلال والحرام والإعلان وينبغى أن نحذر من الإسراف والتفاخر في المظاهر الذي يسبب كثيرا من الفتان والمظار الدينية والدنيوية وينبغى أن يجتنب العادات الفاسدة التى تجرى بين الناس اليوم كدخول الزوج بين النساء ودخول إخوانه وأهله معه واختلاط هؤلاء بأهل الزوجة وأقاربها وأخذهم الصور الفتوغرافية دون حياء من الله ودون غيرة على الحرمات-إلى أن قال-وهو لعمري قبيح وبالحرمين أقبح اهـ
١٥. فتاوى الأزهر - (ج 9 / ص 479)
أما خلع العروس حجابها ليلة الزفاف فهو حرام ما دام هناك أجنبى فلم يرد الشرع ولم يقل أحد من العلماء باستثناء هذه المناسبة، ولا يجوز أن نطوع الدين لهذا السلوك الوافد علينا ممن لا يدينون بالإسلام فقد كانت العروس تظهر بكامل زينتها فى الماضى البعيد والقريب ما دام المحتفلون بها هم النساء والأقارب المحارم كالأب والأخ والعم والخال وذلك بمعزل عن الرجال الأجانب.وما يعمل الآن فى الأماكن العامة التى يختلط فيها الرجال مع النساء دون التزام بالحجاب الشرعى لا يقره الإسلام ومن شارك فيه فهو مخطئ مهما كانت شخصيته ولا ينتظرن أحد أن يفتى عالم ديني بجوازه للضرورة أو الحاجة، فليست هناك ضرورة ولا حاجة والزوجة للزوج لا لغيره، وزينتها له لا لغيره ومن خرج على حدود الدين فهو آثم، والحلال بين والحرام بين ولأن يرتكب الحرام على أنه حرام أخف من أن يرتكب على أنه حلال، وإن كان الكل عصيانا لله، وعصيان يفضى إلى توبة أخف من عصيان يفضى إلى كفرفالحق ما قاله حج ا هـ. ح ل
١٦. حاشية إعانة الطالبين - (1 / 313)
ومنه الوقوف ليلة عرفة أو المشعر الحرام، والاجتماع ليالي الختوم آخر رمضان، ونصب المنابر والخطب عليها، فيكره ما لم يكن فيه اختلاط الرجال بالنساء بأن تتضام أجسامهم. فإنه حرام وفسق
١٧. حاشية الجمل على المنهج الجزء الأول صحـ 460
العادة الجارية في بعض البلدان من الاجتماع في المسجد لتلاوة القرآن على الأموات وكذلك في البيوت وسائر الاجتماعات التي لم ترد في الشريعة لا شك إن كانت خالية عن معصية سالمة من المنكرات فهي جائزة لأن الاجتماع ليس بمحرم بنفسه لا سيما إذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها ولا يقدح في ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميت فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديث: اقرأوا يس على موتاكم وهو حديث صحيح ولا فرق بين تلاوة يس من الجماعة الحاضرين عند الميت أو على قبره وبين تلاوة جميع القرآن أو بعضه لميت في مسجده أو بيته اهـ
خاتمة لهم قاعدة عكس هذه القاعدة وهي الحرام لا يحرم الحلال وهو لفظ حديث أخرجه ابن ماجه والدارقطني عن ابن عمر مرفوعا قال ابن السبكي وقد عورض به حديث إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام وليس بمعارض لأن المحكوم به ثم إعطاء الحلال حكم الحرام تغليبا واحتياطا لا صيرورته في نفسه حراما ومن فروع ذلك ما تقدم في خلط الدرهم الحرام بالمباح وخلط الحمام المملوك بالمباح غير المحصور وكذا المحرم بالأجانب وغير ذلك.
Kontributor:
1. Ust. M. Izzuddin (PP. MUS Sarang Rembang)
2. Ust. Ahmad Zaeni (PP. Assunniyyah Kencong Jember)
3. Ust. Abdul Latif (PP. Lirboyo Kediri)
4. Ust. Ahmad Suhadi (PP. An-Nidzom, Panjalu Sukabumi)
5. Ust. Agus Wedi (PP. Al Hamidy Banyuanyar Pamekasan)
6. Ust. Abdul Wafi Muhaimin (PP. Bata-Bata dan PP. Nurul Jadid Paiton)
7. Ust. M Hisman Abdurrohman (PP. Nurul Hisan Sagaranten Sukabumi)
8. Ust. Farid Fauzi ( PP. Hidayatul Mubtadi-ien Ngunut Tulungagung)
9. Ust. Ahmad Nur Hadi (PP. Darul Hikam Berbek Sidoarjo)
10. Ust. Abdullah Amin Nafi' (PP. Tarbiyatun Nasyi'in Pacul Gowang)
11. Ust. Hidayaturrifa'an (PP. Lirboyo Kediri)
12. Ust. Agung Wijaksono (PP. Lirboyo Kediri)
13. Ust. Farid Nu’man, S. S (PP. Subulun Najah Mekar Sari Depok)
14. Ust. Misbah Al Farisiy (PP. Al Anwar Sarang)
15. Ust. Muhammad Shodiq (PP. Hidayatut Thullab Kamulan Trengalek Jawa Timur)
16. Ust. Ahmad Fathurrozaq (PP. Tarbiyatun Nasyi’in, Pacul Gowang Jombang)
17. Ust. Muallam (PP. Mambaul Ulum, Pakis Tayu, Pati Jawa Tengah)
18. Ust. Kholil Abdulkarim (PP. Alfatah Temboro Magetan Jawa Timur)
19. Ust. M. Khamim (PP. Al Masyhad, Sampangan Pekalongan Jawa Tengah)
20. Ust. Rasyid (PP. Alhamdulillah, Rembang Jawa Tengah)
Notulen:
Ust. Fuad Munir, S. Pd. I (PP. Lirboyo Kediri)
Moderator:
Ust. Muhammad Ansori (PP. Lirboyo Kediri)
Dewan Perumus:
KH. Zahro Wardi (Pengasuh PP Darussalam Sumberingin-Trenggalek-Jatim) aktif sebagai perumus di PW LBMNU Jatim, Perumus FMPP Jawa Madura dan Komisi Fatwa MUI Jatim.
Dewan Mushohih:
1. KH. Cholil Nafis, Lc, Ph. D
2. Dr. KH. Hamdan Rasyid (PP. Lirboyo Kediri) Pengasuh PP. Baitul Hikmah Kota Depok Jawa Barat, dan aktif sebagai anggota Komisi Fatwa MUI Pusat
Azay Nipira itu saya sebuah nama untuk dalam bermedia saja. Adalah terlahir dari seorang ibu yang cantik, baik, sholehah berdarah Sunda. Tentu saya adalah seorang manusia makhluk biasa yang senantiasa berdoa dan berusaha untuk terus berupaya dan untuk terus berdaya sekemampuan berbuat kebaikan untuk ibu, saudara saudari, seggenap keluarga, masyarakat, bangsa, negara sebagai perintah agama Islam yang saya yakini kebenarannya. Dengan tetap saling menghormati, menghargai, serta menjungjung tinggi siapapun orang untuk tetap saling mengenal satu sama yang lainnya. Ucapan terimakasih kepada siapapun yang telah memberikan ilmu ilmu kepada sayadan menjadi guruku, namun mohon ma'af saya tidak bisa membalasnya hanya saya selalu berdo'a untuk semua yang menjadi guruku dengan mendo'akan agar menjadi nilai tambah baginya sehingga mendapatkan balasan yang setimpal sepadan dari Allah SWT sebaik baiknya Dzat pemberi balasan kebaikan. Aamii..n. yaa..Rabbal Aalamiin....