BREAKING NEWS

Watsapp

Friday, June 21, 2024

HUKUM BERQURBAN DENGAN HEWAN HAMIL DARI HEWAN TERNAK, BAGAIMANAKAH?

Bagaimanakah hukum hewan ternak dijadikan qurban 


Para ulama berbeda pendapat akan diperboehkannya berkurban dengan hewan hamil dari hewan ternak. Mayoritas ulama berpendapat memperbolehkan berkurban dengannya. Mereka tidak menyebutkan hamil termasuk aib dalam berkurban yang menghalangi untuk diterimanya kurban. Namun madzhab Syafi’i melarang berkurban dengan hewan yang sedang hamil, karena hamil bisa mengurangi daging.


الموسوعة الفقهية الكويتية (16 / 281):

ولم يذكر جمهور الفقهاء الحمل عيبا في الأضحية ، خلافا للشافعية ، حيث صرحوا بعدم إجزائها في الأضحية ؛ لأن الحمل يفسد الجوف ويصير اللحم رديئا .


Artinya:

Artinya: "Mayoritas ulama’ fikih (jumhur) tidak menyebutkan bahwa hamil termasuk cacat dalam berkurban. Berbeda dengan Syafiyyah dimana mereka dengan jelas mengatakan tidak diterima hewan hamil untuk kurban. Karena hamil termasuk merusak yang di dalam sehingga dagingnya menjadi jelek."


حاشية البجيرمي على الخطيب " (4 / 335):

والحامل لا تجزئ, وهو المعتمد لأن الحمل ينقص لحمها 


Artinya:

"Binatang hamil tidaklah mencukupi (untuk kurban) dan ini pendapat mu'tamad. Karena hamil itu bisa mengurangi daging.

Anak nyah ikut ke induknya satu paket.

Thursday, June 20, 2024

TERJEMAH NIHAYATUZZAEN MUQODIMAH PART 7

TERJEMAH NIHAYATUZZAEN 

MUQODIMAH 

PART 7



{ تَنْبِيه }  ينْدَرج فِي إِثْبَات الرسَالَة لسيدنا مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم مبَاحث علم الْفِقْه وَهِي الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة ومباحث علم التَّوْحِيد وَهِي ثَلَاثَة إلهيات ونبويات وسمعيات

{"Peringatan }

 Termasuk dalam pembuktian / ketetapan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ, Adalah yang mencakup

  ۞ pembahasan ilmu fikih.  pembahasan ilmu fikih  yaitu hukum-hukum syar'i, dan 

  ۞ pembahasan ilmu tauhid yang terbagi menjadi tiga bagian: 

  1⃣ Ilahiyat (tentang Tuhan), 

  2⃣ Nabawwiyat (tentang kenabian), dan

  3⃣ Sam'iyat (tentang hal-hal yang didasarkan pada wahyu seperti kehidupan setelah mati, surga, dan neraka)."

فالإلهيات هِيَ الْمسَائِل المبحوث فِيهَا عَمَّا يجب لله تَعَالَى وَمَا يَسْتَحِيل عَلَيْهِ وَمَا يجوز فِي حَقه

"Ilahiyat adalah pembahasan mengenai hal-hal yang wajib bagi Allah Ta'ala, hal-hal yang mustahil bagi-Nya, dan hal-hal yang mungkin /wenang dalam hak-Nya."

والنبويات هِيَ الْمسَائِل المبحوث فِيهَا عَمَّا يجب للرسل وَمَا يَسْتَحِيل عَلَيْهِم وَمَا يجوز فِي حَقهم

"Nabawiyat adalah pembahasan mengenai hal-hal yang wajib bagi para rasul, hal-hal yang mustahil bagi mereka, dan hal-hal yang mungkin /wenang dalam hak mereka."

والسمعيات هِيَ الْمسَائِل الَّتِي لَا تتلقى إِلَّا عَن السّمع وَلَا تعلم إِلَّا من الْوَحْي.  وَذَلِكَ كسؤال مُنكر وَنَكِير لنا فِي الْقَبْر,  وَعَذَاب الْقَبْر ونعيمه , والبعث للحشر ,  والشفاعة ,  وَكتب الْأَعْمَال ,  والحساب وَالْمِيزَان , والصراط , وَالْجنَّة وَالنَّار والإسراء والمعراج

"Sam'iyat adalah pembahasan mengenai hal-hal yang hanya dapat diterima melalui pendengaran (wahyu) dan tidak dapat diketahui kecuali dari wahyu. Hal ini mencakup pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur, azab kubur dan nikmatnya, kebangkitan untuk pengumpulan, syafaat, catatan amal, perhitungan (hisab), timbangan (mizan), jembatan (sirat), surga, neraka, dan peristiwa Isra dan Mi'raj."

وَبعد أَي بعد مَا تقدم,  من الْبَسْمَلَة , والحمدلة,  وَالصَّلَاة وَالسَّلَام على من ذكر (فَهَذَا) الْمُؤلف الْحَاضِر فِي الذِّهْن لَا فِي الْخَارِج (مُخْتَصر) أَي قَلِيل اللَّفْظ (فِي الْفِقْه) أَي لتَحْصِيل الْفِقْه.

Dan setelah apa yang telah disebutkan berupa basmalah, hamdalah, dan salawat serta salam kepada yang telah disebutkan, maka ini adalah (maksudnya kitab ini) yang hadir dalam pikiran, bukan di luar (yaitu) sebuah ringkasan, artinya sedikit lafaz (dalam ilmu fikih), yaitu untuk memperoleh ilmu fikih.

 وَهُوَ لُغَة الْفَهم وَاصْطِلَاحا ظن قوي بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّة العملية مكتسب من أدلتها التفصيلية بِأَن يُقَال اقيموا من قَوْله تَعَالَى {أقِيمُوا الصَّلَاة} أَمر وَالْأَمر للْوُجُوب فَقَوله أقِيمُوا للْوُجُوب

 Fikih secara bahasa berarti pemahaman, dan secara terminologi /istilah adalah dugaan kuat tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci, dengan contoh, dikatakan "dirikanlah" dari firman Allah Ta'ala {dirikanlah shalat}, adalah perintah, dan perintah menunjukkan kewajiban, maka kata "dirikanlah" menunjukkan kewajiban.

وموضوعه أَفعَال الْمُكَلّفين من حَيْثُ عرُوض الْأَحْكَام التكليفية والوضعية لَهَا

Dan pokok bahasannya fiqih adalah perbuatan-perbuatan mukallaf (orang yang sudah dikenai kewajiban syariat) dari segi berlakunya hukum-hukum taklifi (hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan) dan wad'i (hukum yang berkaitan dengan syarat, sebab, dan penghalang) atasnya.

ومأخذه من الْكتاب وَالسّنة وَالْإِجْمَاع وَالْقِيَاس والاستصحاب وَالِاسْتِحْسَان والاستقراء والاقتران فَإِن هَذِه أَدِلَّة ثمَّ الِاسْتِحْسَان دَلِيل ينقدح فِي نفس الْمُجْتَهد كَمَا اسْتحْسنَ إمامنا الشَّافِعِي التَّحْلِيف على الْمُصحف فَإِنَّهُ أبلغ فِي الزّجر

Dan sumbernya fiqih adalah dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma'📝 Qiyas 📚, Istishab✅, Istihsan, Istiqra', dan Iqtiran. Karena ini adalah dalil-dalilnya. Kemudian, Istihsan adalah dalil yang terlintas dalam benak seorang mujtahid, sebagaimana Imam kita, Asy-Syafi'i, menganggap baik bersumpah atas Al-Qur'an karena hal itu lebih kuat dalam mencegah.

------------------------

📝

 Dalam satu sisi ITTIFAQ dan IJMA' adalah murodif. Namun dalam bahasan dan cakupannya, IJMA' mencakup ITTIFAQ, namun ITTIFAQ tidak mencakup IJMA', karena Ijma' memiliki dalil yang sifatnya lebih umum daripada ittifaq. Wallohu a'lam

والجواب على سؤالك أن الظاهر كون وجود الفرق بين المصطلحين، فاختلاف المبنى يدل على اختلاف المعنى، ومما درست أن الاجماع يشمل الاتفاق والاتفاق لا يشمل الاجماع، لأن الاجماع دلالته أعم، فنقول اتفق أهل العلم في مسألة من المسائل رغم عدم وجود الاجماع فيها مثل حكم غسل الجمعة فهناك في المسألة اتفاق بين البعض على الوجوب وهو الأظهر وهناك اتفاق البعض على الاستحباب والأمر فيه سعة ولم يرد في حكمه اجماع.


Ittifaq adalah kesepakatan ulama. Sedangkan ijma’ menurut istilah adalah :

اتّفاق كلّ مجتهدي علماء الفقه أهل العصر من أمّة سيّدنا محمّد ص م بعد وفاة نبيّها ص م على حكم الحادثة

(Kesepakatan para mujtahid yang terdiri dari para ulama’ fiqih, dari ummat Muhammad saw, yang hidup atas hukumnya suatu perkara yang baru datang dalam satu periode, setelah wafatnya nabi kita saw atas hukumnya perkara yang baru datang.)


> Dik Ibnu Al-Ihsany Kasihku

ﺃﻣﺎ ﻧﻔﻲ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﻓﻼ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻨﻪ ﺍﻻﺳﺘﻘﺮﺍﺀ ﻭﺍﻻﺳﺘﻘﺼﺎﺀ ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﺃﺿﺎﻑ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ علمه , ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻳﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻻﺗﻔﺎﻕ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﺍﺻﻄﻼﺡ ﺍﻟﻮﺯﻳﺮ ﺍﺑﻦ ﻫﺒﻴﺮﺓ ﻓﻲ الإفصاح , ﻳﻨﻘﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻗﻮﻝ العلماء ، ﻭﺍﻻﺗﻔﺎﻕ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺍﺗﻔﺎﻕ ﺍﻷﺋﻤﺔ الأربعة . 


Sebagian lagi membedakan antara ijma' dan ittifaq sebagaimana istilah al-wazir bin hubairoh dalam al-ifshoh, yang mengutip ijma' itu berdasar atas perkataan ulama', dan ittifaq itu kesepakatan 4 madzhab. 

Bermacam-macam tapi maksudnya satu.


[ ص : 5 ] ﺍﻹﺟﻤﺎﻉلغة : ﺍﻟﻌﺰﻡ ﻭﺍﻻﺗﻔﺎﻕ .

ﻭﺍﺻﻄﻼﺣﺎ ﺍﺗﻔﺎﻕ ﻣﺠﺘﻬﺪﻱ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﺮ ﺩﻳﻨﻲ ، ﻭﺃﻧﻜﺮ ﻗﻮﻡ ﺟﻮﺍﺯﻩ ﻋﻘﻼ ، ﻭﻫﻮ ﺿﺮﻭﺭﻱ ﻓﺈﻧﻜﺎﺭﻩ ﻋﻨﺎﺩ ، ﺛﻢ ﺍﻟﻮﻗﻮﻉ ﻳﺴﺘﻠﺰﻣﻪ ﻛﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﺨﻤﺲ ، ﻭﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻹﺳﻼﻡ ، ﺛﻢ ﻣﻊ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﻟﻌﻘﻞ ، ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻷﺩﻟﺔ ، ﻭﻭﻋﻴﺪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺍﻟﺒﺎﻋﺚ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻭﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ، ﻭﻗﻠﺔ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻣﺔ ﻛﻴﻒ ﻳﻤﺘﻨﻊ ! ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻘﺮﺍﺋﺢ ﻋﻘﻠﻲ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺪﻭﺍﻋﻲ ﺍﻟﺸﻬﻮﺍﻧﻴﺔ ، ﺇﺫ ﻫﻮ ﻃﺒﻌﻲ ، ﻭﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺟﻠﻲ.ﻭﻗﻴﻞ : ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﺘﺼﻮﺭ ﻭﺟﻮﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻋﻨﺪ ﻗﻠﺔ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳن

📚

Pengertian qiyas

Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu


Dasar hukum qiyas

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.


Rukun qiyas


Ada empat rukun giyas, yaitu

1.Ashal, yang berarti pokok,

2. Fara' yang berarti cabang

3. Hukum ashal,

4. 'IIIat,


'Illat

'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.

Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.


1. Syarat-syarat 'illat

Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:

1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata.

2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti,

3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum,

4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja,


2. Pembagian 'Illat

Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:

a. Munasib mu'tsir

b. Munasib mulaim

c. Munasib mursal

d. Munasib mulghaa


kitab Mabadi Al-Awaliyah (ushul fiqh)


 ﴾المبحث الثانى عشر﴿

فى القياس

القياس حجج. قال الله تعالى " فاعتبروا يا أولى الابصار"

القياس لغة : تقدير الشيء بأخر ليعلم المساواة بينهما.

تقول قست الثوب بالذراع اي قدرته به

واصطلاحا : رد الفرع الى الاصل بعلة تجمعهما فى الحكم.

كقياس الارز على البر فى الربا بجامع الطعام.

واركانه اربعة : الفرع , الاصل , حكم الاصل , علة حكم الاصل.

وهو ثلاثة اقسام :

١.قياس العلة وهو ما كان العلة فيه موجبة للحكم. كقياس الضرب على التأفيف للوالدين فى التحريم بعلة الاءيذاء. قال الله تعالى " ولا تقل لهما اف "

٢.قياس الدلالة وهو ما كان العلة فيه دلالة على الحكم ولا تكن موجبة للحكم.

كقياس مال الصبى على مال البالغ فى وجوب الزكاة فيه بجامع انه مال تام. وجوز ان يقال : لايجب فى مال الصبي كما قال به ابو حنيفة فيه قياسا على الحج فانه يجب على البالغ ولايجب على الصبي

٣.قياس الشبه وهو الحاق الفرع المردد بين الاصلين باكثرهما شبها. كما في العبد اذا اتلف فانه مردد فى الضمان بين الانسان الحر من انه ادمي فيجب على من اتلفه القصاص وبين البهيمة انه مال فيجب عليه قيمته وهو بالمال اكثر شبها من الحر بدليل انه يباع ويورث ويوقف ويضمن وأجزاؤه بما نقص من قيمته.


Pembahasan Ke - 12 QIYAS

Qiyas adalah hujjah. Allah SWT berfirman QS. al-Hasyr (59):2.

فاعتبروا يا أولى الابصار ...الاية

Artinya: “…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”

Al-Qiyas (القياس) menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu atas sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan diantara keduanya, seperti mengukur pakaian dengan lengan.

Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum asal karena adanya ‘illat (alasan) yang mempertemukan keduanya dalam hukum.

Seperti menqiaskan beras terhadap gandum dalam harta ribawiy dengan titik temu berupa keduanya sama-sama makanan pokok.

Rukun Qiyas ada empat yaitu:

1) far',

2) asal,

3) hukum asal, dan

4) illat hukum asal.


Macam-macam qiyas, di bagi menjadi tiga:

a. Qiyas al-illat

Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menetapkan hukum.

Seperti menqiyaskan memukul dengan ucapan yang tercela kepada kedua orang tua dalam keharamannya dengan alasan menyakitkan hati orang tua.

Allah berfirman QS. Al-Isra' (17):23.

ولا تقل لهما اف... الاية

Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah".”


b. Qiyas al-dilalah

Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menunjukkan pada hukum akan tetapi illat tersebut tidak menetapkan pada hukum.

Seperti menqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang dewasa dalam kewajiban zakat dengan adanya titik temu bahwa harta anak kecil termasuk harta yang sempurna (al-mãl al-tãmm).

Boleh juga mengatakan tidak wajib zakat -seperti yang dikatakan Abu Hanifah- dengan menqiyaskan pada haji yang mana, haji wajib bagi orang dewasa adapun anak kecil tidak wajib untuk haji.


c. Qiyas al-syibh

Yaitu mempersamakan hukum cabang (far') yang masih diragukan antara dua asal dengan mengambil keserupaan yang lebih banyak dari asal tersebut.

Contohnya dalam pembahasan budak yang dibunuh, apakah sipembunuh wajib dikenai hukum qishas karena budak juga termasuk manusia, ataukah cukup hanya dengan membayar ganti rugi dengan alasan adanya keserupaan budak dengan binatang, bahwa budak adalah harta.

Dalam hal ini budak lebih banyak keserupaannya dengan binatang (harta) sebab, budak bisa diperjual-belikan, diwariskan, dan di wakafkan.


Wallohu a'lam. (Rz)


✅ Salah satu instrumen dalam berijtihad adalah istishab. 

Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna: menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:

ثُبُوْتُ أَمْرٍ فِي الثَّانِي لِثُبُوْتِهِ فِي الأَوَّلِ لِفُقْدَانِ مَا يَصْلُحُ لِلتَّغْيِيْرِ

“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.” (Lihat Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, halaman 173)

Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal. 

Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu: Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ

“Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”

Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.

Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:

الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ 

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan jerapah.

Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ 

“Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”

Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur. 

Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t, halaman 297-299). Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi:

اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”

Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). 

Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sementara, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali. 

Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan istishab dalam ijtihad ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam, seperti dalam masalah hukum waris orang hilang

Ulama berbeda pendapat tentang orang hilang yang tidak jelas status hidup atau matinya; apakah dia dihukumi mati sehingga hartanya dibagi ke ahli warisnya, dan dia tidak berhak atas warisan dari keluarganya yang meninggal, ataukah dia dihukumi hidup sehingga hartanya tidak dibagi dan dia berhak atas bagian warisan dari keluarganya yang meninggal?

Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi hidup sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa pada dasarnya (hukum asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup ini masih berlaku sampai ada dalil yang menegaskan kematiannya.

Sedangkan, Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa istishab hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, bukan menetapkan hak yang baru.

Di sisi lain, imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, orang tersebut dianggap hidup selama empat tahun dari waktu hilangnya. Jika melebihi empat tahun maka dianggap mati, karenanya hartanya diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. (Lihat Musthafa Dib al-Bugha, Atsarul Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t, halaman 221-222).

Dalam konteks kehidupan modern ini, penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum Islam kontemporer sangatlah diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas praduga tak bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Asas praduga tak bersalah ini relevan dengan konsep “Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah”, yaitu Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Wallahu A’lam.

Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang.


------------------------

MOHON DIKOREKSI DILENGKAPI

SEMOGA BERMANFAAT

Monday, June 17, 2024

CARA PENYEMBELIHAN HEWAN YANG BENAR

P5 SPENTWOGAR BERSINERGI 


Cara menyembelih hewan kurban dengan benar dan bagus : *Pertama.* Pastikan golok atau pisau sudah tajam, agar tidak menyakiti hewan kurban. Lalu hadapkan hewan korban kearah qiblat. 


*Kedua.* Sebelum menyembelih, bacalah basmalah, sholawat, takbir 3x, dan do’a korban, contohnya sebagaimana kata Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Tausyikh ala Ibni Qasim, halaman 427, Beirut- Daarul Kutu alilmiyah, seperti berikut ini :

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ، اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ.

 Doa tersebut jika yang disembelih adalah hewan korbannya sendiri, jika korban orang lain maka do’anya menjadi seperti berikut ini :

 اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنْ ........ (sebutkan nama orang yang korban) يَا كَرِيْمُ. 


*Ketiga.* Potong lehernya dengan cara digesek dengan cepat bukan dibacokkan. Fokuskan ke chulqum (saluran nafas) dan mari’ (saluran makanan). 

*Keempat.* Diusahakan sekali gesek saja. Jika tidak bisa sekali gesek, seperti pisaunya terangkat atau pisaunya tumpul lalu mengambil pisau yang lain atau pisaunya terjatuh atau membalikkan pisaunya (mungkin baliknya lebih tajam. Red), maka memotong bagian yang tersisa harus dengan sesegera mungkin, agar hewannya halal di makan. Tidak harus adanya hayatun mustaqirroh pada penyembelihan yang kedua, kecuali jika jarak antara dua penyembelihan tersebut lama, maka disyaratkan adanya hayatun mustaqirrah saat mengawali penyembelihan yang kedua. Sedangkan yang dimaksud dengan “Hayatun mustaqirrah” adalah adanya pandangan yang wajar, suara yang wajar dan gerakan yang wajar pada hewan. Sebagian ulama’ mengatakan, “Hayatun mustaqirrah” adalah seandainya hewan tersebut dibiarkan, maka ia akan bertahan hidup selama satu atau dua hari. 


Wallahu a’lam bis shawab. Referensi ;


 والمستحب أن يقطع الحلقوم والمرئ والودجين لانه أوحى وأروح للذبيحة فان اقتصر على قطع الحلقوم والمرئ أجزأه لان الحلقوم مجرى النفس والمرئ مجرى الطعام والروح لا تبقي مع قطعهما - الى ان قال - فان بلغ السكين الحلقوم والمرئ وقد بقيت فيه حياة مستقرة حل لان الذكاة صادفته وهو حي وان لم يبق فيه حياة مستقرة الا حركة مذبوح لم يحل لانه صار ميتا قبل الذكاة. المجموع شرح المهذب - (ج 9 / ص 83) ويشترط في قطع ذلك ان يكون دفعة واحدة *فلو قطع باكثر كما لو رفع السكين فاعادها فورا او القاها لكللها واخذ غيرها او سقطت منه فاخذها او قلبها وقطع ما بقي وكان فورا حل ولا يشترط وجود الحياة المستقرة في دفعة الفعل الثاني الا ان طال الفصل بين الفعلين فلا بد من وجود الحياة المستقرة اول الفعل الثاني*. تنوير القلوب – ص 237 قوله : ( وقطع ما ذكر) أي من الحلقوم والمريء. وقوله : ( دفعة واحدة ) أي إذا لم توجد الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية, أما إذا وجدت الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية فيحل المذبوح حينئذ. ومثل الدفعة الثانية غيرها كالثالثة, فالشرط وجود الحياة المستقرة في ابتداء الوضع اخر مرة، ومحل ذلك عند طول الفصل, وإلا فلو رفع السكين وأعادها فورا أو ألقاها لكونها كالة وأخذ غيرها فورا أو سقطت منه وأخذ غيرها حالا أو قبلها وقطع بها ما بقي حل المذبوح - إلى أن قال - والفرق بينها أن الحياة المستقرة يكون معها إبصار باختيار ونطق باختيار وحركة إختيارية -إلى أن قال- وبعضهم فرق بينها بأن الحياة المستقرة هي التي لو ترك الحيوان لجاز أن يبقى يوما أو يومين. حاشية الباجوري-2-286

MACAM MACAM TAKBIR DALAM HARI RAYA

Sunday, June 16, 2024

PANDUAN SHOLAT IDUL ADHA

 Assalamu'alaikum 

PANDUAN SHOLAT IDUL ADHA



*📚 HUKUM SHOLAT IDUL ADHA


Sholat Idul Adha hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Dalam literatur fiqh Syafi’i dijelaskan bahwa sholat Idul Adha bisa dikerjakan dengan berjama’ah atau sendirian (munfarid), namun yang lebih utama dikerjakan dengan berjama’ah. Sedangkan waktunya mulai terbitnya matahari sampai zawal (condongnya matahari ke arah barat). Jumlah raka'atnya ada dua dan lebih utama (afdhol) dikerjakan setelah matahari kira-kira setinggi tombak (kira-kira jam 25-30 menit setelah matahari terbit). 


Dalam sholat Idul Adha tidak disunnahkan adzan dan iqamah, akan tetapi yang sunnah dengan lafadz ;


الصَّلاَةَ جَامِعَةً


Sedangkan para jama’ah menjawabnya dengan ;


لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ


*Referensi ;


*📚 أسنى المطالب شرح روض الطالب - (ج 2 / ص 234)*

( وَيُنَادَى لِجَمَاعَةِ ) صَلَاةِ ( الْعِيدَيْنِ وَالْكُسُوفَيْنِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيحِ ) وَالْوِتْرِ حَيْثُ يُسَنُّ جَمَاعَةً فِيمَا يَظْهَرُ ( الصَّلَاةَ جَامِعَةً ) لِوُرُودِهِ فِي الصَّحِيحَيْنِ فِي كُسُوفِ الشَّمْسِ وَقِيسَ بِهِ الْبَاقِي وَالْجُزْءَانِ مَنْصُوبَانِ الْأَوَّلُ بِالْإِغْرَاءِ وَالثَّانِي بِالْحَالِيَّةِ أَيْ اُحْضُرُوا الصَّلَاةَ أَوْ الْزَمُوهَا حَالَةَ كَوْنِهَا جَامِعَةً وَيَجُوزُ رَفْعُهُمَا عَلَى الِابْتِدَاءِ وَالْخَبَرِ وَرَفْعُ أَحَدِهِمَا عَلَى أَنَّهُ مُبْتَدَأٌ حُذِفَ خَبَرُهُ أَوْ عَكْسُهُ وَنَصْبُ الْآخِرِ عَلَى الْإِغْرَاءِ فِي الْجُزْءِ الْأَوَّلِ وَعَلَى الْحَالِيَّةِ فِي الثَّانِي وَكَالصَّلَاةَ جَامِعَةً الصَّلَاةَ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ


*📚 حواشي الشروانى - (ج 2 / ص 135)*

وَلَا يَبْعُدُ مِنْ إجَابَةِ الصَّلَاةَ جَامِعَةً بِلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ فَلْيُرَاجعْ


Mengenai tempat pelaksanakan sholat Idul Adha sebenarnya disunnahkan dikerjakan di Masjid. Hal demikian jika tidak ada udzur. Mengingat situasinya yang mungkin masih mengkhawatirkan maka hendaknya dikerjakan di rumah masing-masing. 


*Referensi ;


*📚 حاشية البجيرمي على المنهج - (ج 1 / ص 258)*

( وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ ) لِشَرَفِهِ ( إلَّا لِعُذْرٍ ) كَضِيقِهِ فَيُكْرَهُ فِيهِ لِلتَّشْوِيشِ بِالزِّحَامِ وَإِذَا وُجِدَ مَطَرٌ أَوْ نَحْوُهُ وَضَاقَ الْمَسْجِدُ صَلَّى الْإِمَامُ فِيهِ وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِبَاقِي النَّاسِ بِمَوْضِعٍ آخَرَ .( قَوْلُهُ : وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ ) أَيْ إنْ اتَّسَعَ الْوَقْتُ أَوْ حَصَلَ مَطَرٌ أَوْ نَحْوُهُ م ر ( قَوْلُهُ : فَيُكْرَهُ فِيهِ ) وَالْأَوْلَى فِعْلُهَا فِي غَيْرِهِ فَإِذَا وُجِدَ عُذْرٌ يَمْنَعُ مِنْ فِعْلِهَا فِي الْغَيْرِ كَمَطَرٍ وَبَرْدٍ شَدِيدٍ صَلَّى الْإِمَامُ فِي الْمَسْجِدِ بِالضَّعَفَةِ وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي إلَى آخِرِ مَا ذَكَرَهُ الشَّارِحُ هَذَا مُرَادُهُ وَهَذَا بِخِلَافِ قَوْلِهِ وَإِذَا خَرَجَ لِغَيْرِ الْمَسْجِدِ لِأَنَّهُ الْخَلِيفَةُ فِيهِ يُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ وَفِيمَا مَرَّ فِي غَيْرِهِ وَلَعَلَّ الْأَوْلَى أَنْ يَذْكُرَ قَوْلَهُ وَإِذَا وُجِدَ مَطَرٌ بَعْدَ قَوْلِهِ وَإِذَا خَرَجَ إلَخْ 


*📚 حاشية الجمل - (ج 2 / ص 238)*

( قَوْلُهُ وَفِعْلُهَا بِالْمَسْجِدِ أَفْضَلُ ) فَفِعْلُهَا فِي غَيْرِهِ خِلَافُ الْأَوْلَى وَقِيلَ فِعْلُهَا بِالصَّحْرَاءِ أَفْضَلُ لِلِاتِّبَاعِ وَرُدَّ { بِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّمَا خَرَجَ إلَيْهَا لِصِغَرِ مَسْجِدِهِ } وَمَحَلُّ الْخِلَافِ فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْأَقْصَى أَمَّا هُمَا فَفِعْلُهَا فِيهِمَا أَفْضَلُ اتِّفَاقًا لِشَرَفِهِمَا مَعَ سُهُولَةِ الْحُضُورِ لَهُمَا وَاتِّسَاعِهِمَا وَالْأَوْجَهُ كَمَا قَالَهُ ابْنُ الْأُسْتَاذِ إلْحَاقُ مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ بِمَسْجِدِ مَكَّةَ وَمَنْ لَمْ يَلْحَقْهُ بِهِ فَذَاكَ قَبْلَ اتِّسَاعِهِ الْآنَ وَالْحُيَّضُ وَنَحْوُهُنَّ يَقِفْنَ بِبَابِ الْمَسْجِدِ لِحُرْمَةِ دُخُولِهِنَّ لَهُ ا هـ . شَرْحُ م ر وَقَوْلُهُ يَقِفْنَ بِبَابِ الْمَسْجِدِ أَيْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْنَ الْخُطْبَةَ وَذَلِكَ إظْهَارُ الشَّعَائِرِ ذَلِكَ الْيَوْمَ بِكَثْرَةِ الْجَمْعِ فِيهِ وَالْمُرَادُ مِنْ هَذِهِ الْعِبَارَةِ أَنَّهُنَّ إذَا حَضَرْنَ يَقِفْنَ بِبَابِ الْمَسْجِدِ وَذَلِكَ لَا يَسْتَلْزِمُ طَلَبَ الْحُضُورِ مِنْهُنَّ ا هـ .


*📚 TEKHNIS DAN TATA CARA SHOLAT IDUL ADHA 


1. Niat sholat Idul Adha, yaitu :


📚 أُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ الأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً إِمَامًا / مَأْمُوْمًا للهِ تَعَالَى


2. Pada waktu raka'at pertama setelah membaca iftitâh dan sebelum ta’awwudz, disunnatkan takbir sebanyak tujuh kali selain takbîratul ihrâm. Sedangkan pada waktu raka'at kedua sebelum membaca ta’awwudz dan fâtihah disunnatkan takbir sebanyak lima kali selain takbir karena berdiri.

3. Mengangkat kedua tangan lurus dengan bahu pada tiap-tiap takbir (sebagaimana keterangan gerakan takbîratul ihrâm di bab sholat).

4. Bagi imam dan makmum disunnatkan mengeraskan bacaan takbir.

5. Pada raka'at pertama setelah membaca surat Al fâtihah, disunnahkan membaca surat Qhaf dan pada raka'at kedua setelah Al fâtihah membaca surat Al Qamar, atau membaca surat Al-A’la pada raka'at pertama dan membaca surat Al-Ghasiyah pada raka’at kedua. Jika tidak hafal atau dirasa terlalu panjang, disunnahkan membaca surat Al Kafirun pada raka'at pertama atau surat Al Ikhlas pada raka'at kedua 

6. Bagi imam disunnatkan mengeraskan bacaan surat Al fâtihah dan surat-surat pendek . 

7. Sesudah sholat, disunnatkan khutbah dua kali, sebagaimana dua khutbah Jum’ah, baik rukun ataupun sunnat-sunnatnya, namun saat permulaan khutbah yang pertama disunnatkan membaca takbir sembilan kali secara kontinyu (tanpa dipisah bacaan lain), dan saat permulaan khutbah yang kedua disunnatkan membaca takbir tujuh kali juga secara kontinyu.

8. Dalam khutbah Idul Adha menyampaikan tentang qurban. 


*📚KESUNNATAN-KESUNNATAN PADA HARI RAYA IDUL ADHA 


a) Mandi, waktunya mulai separuh malam sampai hendak mengerjakan sholat.

b) Memakai wangi-wangian / parfum (Tathoyyub).

c) Berhias dengan pakaian yang paling bagus dan memotong kuku. 

d) Berangkat melalui jalan yang lebih jauh dan pulang dengan memilih jalan yang lain.

e) Bersedekah.

f) Mengerjakan sholat sunnat muthlak sebelum khutbah.

g) Disunnatkan tidak makan sebelum pergi sholat hari raya Adha, kecuali setelah sholat.

h) Mushofahah atau bersalam-salaman ketika kondisi aman.

i) Berangkat pagi-pagi setelah sholat shubuh selain imam.


*📚 MEMBACA TAKBIR PADA HARI RAYA IDUL ADHA 


Pada Hari Raya Idul Adha disunnatkan membaca takbir Muqoyyad (Takbir Muqoyyad adalah takbir yang dilakukan setiap kali selesai melakukan sholat, dimulai dari sholat subuh hari arofah yakni tanggal 09 Dzul Hijjah sampai setelah sholat ashar akhir hari tasyriq tanggal 11 sampai 13 Dzul Hijjah) dan takbir Mursal (Takbir Mursal adalah takbir yang pelaksanaannya tidak harus setelah sholat dimulai dari terbenamnya matahari sampai pelaksanaan sholat Idul Adha) 


*📚 LAFADZ TAKBIR 


اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ   x3

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ


*📚 PERINGATAN 


Setelah lafadz وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ tidak usah ditambahi lafadz وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ  dan وَلَوْ كَرِهَ الْمُنَافِقُوْنَ

Hukum berhubungan intim di malam takbiran Idul Fitri & adha adalah halal mubah.

AMALAN DI MALAM HARI RAYA

 AMALAN DI MALAM HARI RAYA

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••



KH.Maimoen Zubair berkata :


"Sak makendut-makendute santri ojo nganti ora ngurip-ngurip malem rioyo loro, kanthi sholat ba'diyah Isya' rong rakaat ditambah sholat witir sak rakaat."


Artinya :

"Senakal- nakalnya santri jangan sampai tidak menghidupkan dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dengan melaksanakan sholat sunah minimal dua rakaat setelah Isya' dan satu rakaat witir."


Nabi Muhammad SAW bersabda :


عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : "من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب " رواه الطبراني في الكبير والأوسط


Dari Ubaidah Ibn Shomit R.a sungguh Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa menghidupkan malam Idul Fitri dan Idul Adha, hatinya tidak akan mati di hari matinya hati. (HR . Thabroni).


عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : "من قام ليلي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب ". وفي رواية "من أحيا" رواه ابن ماجه


Dari Abi Umamah R.a dari Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa menegakkan dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap Allah, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. (HR.Ibnu Majah).


Bagaimana cara menghidupkan/ menegakkan dua hari raya itu ? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan :


1. Syaikh Al Hafni berkata : Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya" berjamaah dan meniatkan diri untuk sholat Subuh pada besoknya atau memperbanyak sholat sunah dan bacaan-bacaan dzikir.


2. Syaikh Al Wanna'i dalam risalahnya : Barang siapa membaca istighfar seratus kali (100x) Setelah sholat subuh di pagi hari raya, maka akan dihapus dosa-dosanya didalam buku catatannya dan pada hari kiamat akan aman dari siksa.


3. Masih dari Syaikh Al Wanna'i Barang siapa membaca :


سبحان الله وبحمده


Subhanallah Wabihamdihi 100x

Pada hari raya dan menghadiahkan pahalanya untuk ahli kubur maka para ahli kubur berkata : "Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, Rahmatilah ia dan jadikanlah ia ahli surga.


4. Syaikh Al Fasyni berkata dalam Ruhfatul Ikhwan : dari sahabat Annas, dari Rasulullah SAW dawuh (yang artinya) : Hiasilah dua hari raya dengan Tahlil, Taqdis, Tahmid dan Takbir. Dan Nabi juga Dawuh : Barang siapa yang membaca : 


سبحان الله وبحمده


Subhanallah Wabihamdihi 300x

Dan ia menghadiahkan untuk muslimin yang sudah wafat, Maka seribu cahaya akan masuk di setiap kuburan dan Allah akan memasukkan seribu cahaya ke kuburannya jika ia meninggal.


5. Syaikh Az-Zuhri berkata : Sahabat Anas R.a berkata, Nabi SAW dawuh (yang artinya) Barang siapa di dua hari raya mengucapkan ;


لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يحي ويميت وهو حي لا يموت بيده الخير وهو على كل شي قدير


Sebanyak 400x Sebelum sholat 'ied, Maka Allah SWT akan menikahkannya dengan 400 bidadari, seakan memerdekakan 400 budak dan Allah SWT mewakilkan para malaikat untuk membangun kota-kota dan menanam pohon-pohon untuknya di hari kiamat.


Beliau Syaikh Az-Zuhri berkata : "Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Sahabat Anas R.a dan Anas R.a dahulu juga berkata : "Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Nabi SAW.


 
Copyright © 2014 anzaaypisan. Designed by OddThemes